Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL

PRODUKSI TEH DI PTPN IV SIDAMANIK KAB.SIMALUNGUN

SUMATERA UTARA

SKRIPSI Diajukan Oleh: DINA MARIANA SINAGA

060501101 Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2010


(2)

ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk, penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun 1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.

Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least Square(OLS)


(3)

ABSTRACT

The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant plantation company.

This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS) methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.

Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.

Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia dan berkat-Nya setiap waktu yang tak berkesudahan, yang selalu menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulisan hingga sampai pada penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara” . Dalam penulisan skripsi ini,

penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan FE USU.


(5)

5. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya, MSi, selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan petunjuk kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Drs. Arifin Siregar, M.SP, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

7. Bapak Drs. H.B Tarmizi, SU selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis.

8. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik.

9. Bapak Ir.B.W.Wibowo selaku Manager PTPN IV Unit Kebun Sidamanik, juga kepada Bapak Okper Sinaga, Bapak B. Sitorus, Bapak Riduan Manik, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, serta membantu dan membimbing penulis selama masa penelitian.

10.Untuk kedua Orangtua tercinta, dengan penghargaan dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terimakasih buat semua dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak ternilai harganya.I Love You So Much Mom and Dad. You are the Amazing Grace in My Life.

11.Terimakasih juga buat My Big Brother (Jhon Parulian Sinaga) atas dukungan moril maupun materil selama dalam masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk kasih sayang dan perhatian serta doa Abang selama ini. I Love You Brother...


(6)

12.Untuk adik-adik ku tersayang (Rosmey Hendrawati Sinaga dan Jhon Newanda Sinaga), kalian adalah penyemangat terbesarku. I Love Both of You..

13.Untuk orang-orang dekatku, K’Ida, K’Revina, K’Rita, terimakasih buat semangat dan nasehat serta kebaikan yang telah kakak-kakak berikan. Untuk teman-teman baikku, Merin, Nove, Asniari, The Tolol Bingung Grup (Seven n Juni), Yusnar Ali, Guntur. Thank You so much buat bantuan doa, semangat dan kebersamaannya. Aku bersyukur memiliki kalian. Heheheh....

14.Untuk teman-teman kost M’5 ( July, K’sella, Nerly) dan M’27 (Mandolin Ceria Toon), makasih ya buat semuanya...

15.Buat teman-teman di Departemen Ekonomi Pembangunan, khususnya angkatan ’06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna dan kebersamaan pada setiap hari yang kita lewati.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunannya oleh sebab itu penulis menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Hipotesis ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Pengertian Perkebunan ... 9

2.1.1. Manajemen Perkebunan ... 12

2.2. Sejarah Tanaman The ... 14

2.3. Definisi dan Jenis The ... 15

2.4. Komoditi Teh Indonesia... 19

2.4.1. Sejarah Teh Indonesia ... 19

2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia ... 21

2.5. Perusahaan dan Produksi ... 28

2.5.1. Definisi Perusahaan ... 28


(8)

2.6. Definisi Produksi... 30

2.7. Faktor-Faktor Produksi ... 30

2.8. Teori Produksi ... 33

2.8.1. Teori Produksi Dengan 1 (satu) input ... 36

2.8.2. Teori Produksi Dengan 2 (dua) input atau lebih ... 39

2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas... 44

2.10. Biaya Produksi ... 47

2.10.1. Macam-Macam Biaya Produksi ... 48

2.10.2. Economies dan diseconomies scale ... 52

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 53

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 53

3.3. Metode danTeknik Pengumpulan Data ... 54

3.4. Pengolahan Data ... 54

3.5. Model Analisis Data... 54

3.6. Uji Kesesuaian ( Test Goodness of Fit) ... 56

3.6.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square) ... 56

3.6.2. Uji t-Statistik ... 56

3.6.3. Uji F-Statistik ... 58

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 59

3.7.1. Multikolinearity ... 59

3.7.2. Autokorelasi ... 60


(9)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum PTPN IV Sidamanik ... .63

4.1.1. Kondisi Dan Letak Geografis ... 63

4.1.2. Sejarah Perusahaan ... 64

4.1.3. Ruang Lingkup Bidang Usaha ... 67

4.2. Organisasi dan Manajemen PTPN IV Sidamanik ... 68

4.2.1. Struktur Organisasi ... 68

4.2.2. Pembagian Tugas dan Wewenang ... 69

4.3. Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik ... 75

4.4. Produksi PTPN IV Sidamanik ... 78

4.4.1. Proses Produksi ... 78

4.4.2. Kapasitas Produksi ... 86

4.5. Pemasaran ... 88

4.6. Pembahasan ... 89

4.6.1. Interpretasi Model ... 90

4.7. Pengujian Hipotesis……….91

4.7.1. Koefisien Determinasi(R-Square) ... 91

4.7.2. Uji F-Statistik ... 91

4.7.3. Uji t-Statistik ... 92

4.7.4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 98

5.2. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Luas Perkebunan Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan

(1990-2009) ... 21

Tabel 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan (1990-2009) ... 22

Tabel 2.3. Volume Ekspor Impor Teh Indonesia (1980-2009) ... 23

Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003) ... 27

Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Kerja PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 76

Tabel 4.2. Lama Pengeringan dan Tingkat Fermentasi Untuk Setiap Bubuk ... 81

Tabel 4.3. Lama Pengeringan di Mesin FBD dan TSD ... 82

Tabel 4.4. Luas Areal PTPN IV Sidamanik ... 84

Tabel 4.5. Jumlah Penggunaan Pupuk PTPN IV Sidamanik (1990-2009) ... 85

Tabel 4.6. Kapasitas Produksi ... 88


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia

(1969-2007) ... 24

Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia (1969-2009) ... 25

Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia (2000-2010) ... 26

Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve ... 35

Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi ... 38

Gambar 2.6. Kurva Isoquant ... 39

Gambar 2.7. Kurva Isocost ... 41

Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination ... 42

Gambar 2.9. Kurva Expantion Path ... 43

Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 47

Gambar 2.11. Kurva TC, TFC, TVC ... 51

Gambar 3.1. Kurva Uji t-Statistik ... 57

Gambar 3.2. Kurva Uji F-Statistik ... 59

Gambar 3.3. Kurva Durbin-Watson ... 61

Gambar 4.1. Struktur Organisasi PTPN IV Sidamanik ... 68


(12)

ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik. Dengan menggunakan variabel-variabel bebas seperti tenaga kerja, luas lahan, dan pupuk, penelitian ini mencoba menerangkan bagaimana pengaruh masing-masing variable tersebut terhadap peningkatan hasil produksi teh di instansi perkebunan yang bersangkutan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dalam menganalisis data dan Eviews 5.1 sebagai software pembantu dalam megolah data. Adapun data yang digunakan adalah data yang berbentuk time series dengan kurun waktu 20 tahun dari tahun 1990-2009.Berdasarkan hasil analisis, variable tenaga kerja, luas lahan dan pupuk, secara bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.

Kata kunci: produksi teh, tenaga kerja, luas lahan, pupuk, Ordinary Least Square(OLS)


(13)

ABSTRACT

The title of this research is Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Teh Di PTPN IV Sidamanik Kab.Simalungun Sumatera Utara. The purpose of this research is to analyse the influence of input in increasing tea production. By using independen variables,such as employee, area and fertilizer, this research attempts to explain how those variables influence tea production in relevant plantation company.

This research use econometric approach with Ordinary Least Square(OLS) methode in analyzing data and Eviews 5.1 in processing data. The data is in time series type with 20 years periode time from 1990 until 2009.

Base on analysis result, employee, area, and fertilizer are simultaneously influential significant to tea production in PTPN IV Sidamanik.

Keywords: tea production, employee, area, fertilizer, Ordinary Least Square(OLS).


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu subsektor pertanian yang berpotensi untuk dijadikan andalan adalah subsektor perkebunan. Sebagai salah satu subsektor yang penting dalam sektor pertanian, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan pekerjaan merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup signifikan. Sampai dengan tahun 2003, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh subsektor perkebunan diperkirakan mencapai sekitar 17 juta jiwa. Subsektor perkebunan juga mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). PDB perkebunan terus meningkat dari sekitar Rp 33,7 triliun pada tahun 2000 menjadi sekitar Rp 47,0 triliun pada tahun 2003, atau meningkat dengan laju sekitar 11,7 persen pertahun. Dengan peningkatan tersebut kontribusi PDB subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah sekitar 16 persen. Terhadap PDB secara nasional tanpa migas, kontribusi subsektor perkebunan adalah sebesar 2,9 persen atau sekitar 2,6 persen terhadap PDB total, dengan berdasarkan atas harga berlaku. Jika menggunakan PDB dengan harga konstan tahun 1993, pangsa subsektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian adalah 17,6 persen sedangkan terhadap PDB non


(15)

migas dan PDB nasional masing-masing adalah 3,0 persen dan 2,8 persen(Badan Pusat Statistik, 2004).

Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia, teh adalah merupakan salah satunya. Teh sebagai salah satu komoditas yang bertahan hingga saat ini mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia melalui devisa yang dihasilkan, selain untuk menjaga fungsi hidrolis dan pengembangan agroindustri. Perkebunan teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1999, industri ini mampu menyerap 300.000 pekerja dan menghidupi sekitar 1,2 juta jiwa. Secara nasional industri teh menyumbang PDB sekitar Rp 1,2 triliun atau 0,3 % dari total PDB non migas dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dollar AS setiap tahunnya. ( ATI, 2000)

Dalam hal produksi, Jawa Barat merupakan penghasil teh terbesar di Indonesia. Provinsi ini menghasilkan teh sebesar 70 % dari total produksi nasional. Provinsi lain yang juga merupakan penghasil teh terbesar adalah Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Produksi teh Indonesia berfluktuasi dan cenderung menurun. Pada tahun 1993, produksi teh Indonesia tercatat 164.994 ton. Kemudian menurun pada tahun 1994 menjadi 139.222 ton dan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya yaitu menjadi 154.013 ton. Ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menurun pada tahun 1998, produksi teh justru mengalami kenaikan menjadi 166.825 ton. Akan tetapi produksi kembali menurun menjadi 161.003 ton pada tahun 1999 dan 162.587 ton pada tahun 2000. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2001, produksi meningkat


(16)

dari tahun sebelumnya menjadi 166.867 ton dan turun lagi menjadi 165.194 ton pada tahun 2002. Untuk tahun 2003, produksi teh nasional tercatat mencapai 169.821 ton, pada tahun 2004 menjadi 165.951 ton, tahun 2005 sebanyak 166.091 ton. Dan terus menurun pada tahun 2006 menjadi 146.859 ton, tahun 2007 menjadi 150.623 ton. Untuk tahun 2008 dan 2009 produksi teh nasional masing-masing 153.971 ton dan 148.916 ton (www.ditjenbun.go.id).

Produksi teh Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan produksi teh dari negara-negara penghasil teh lainnya. India misalnya, pada tahun 1993 saja sudah memproduksi 768.826 ton dan mencapai 853.710 ton pada tahun 2001. Begitu juga dengan China, yang memproduksi sebanyak 599.941 ton pada tahun 1993 dan kemudian pada tahun 2002 berkisar lebih dari 700.000 ton. Srilanka memproduksi 233.276 ton the pada tahun 1993 dan pada tahun 2002 menjadi 310.032 ton. Sedangkan Kenya, pada tahun 2001 lalu memproduksi 294.044 ton teh. Padahal pada tahun 1970 produksi teh negara tersebut masih di bawah produksi teh Indonesia yaitu 41.077 ton produksi Kenya dan Indonesia 44.048 ton. Untuk keseluruhan produksi teh dunia, yang mencapai 3.021.632 ton teh pada tahun 2002, produksi teh Indonesia hanya sekitar lima persen dari total produksi tersebut.

Pangsa pasar teh Indonesia juga mengalami penurunan. Bahkan beberapa pasar utama yang dikuasai Indonesia telah diambil alih oleh negara produsen teh lainnya. Pasar-pasar yang kurang dapat dipertahankan Indonesia adalah Pakistan, Inggris, Belanda, Jerman, Irlandia, Rusia, Amerika serikat, Singapura, Malaysia, Siria, Taiwan, Mesir, Maroko, dan Australia. Dari data penguasaan pangsa pasar


(17)

ekspor teh pada tahun 2001, Indonesia merupakan negara pengekspor teh terbesar pada urutan ketujuh di dunia setelah India (18,9 %), Cina (17,1%), Sri Lanka (15,2%), Kenya (7,9%), Inggris (7,9%), dan Uni Emirat Arab (4%). ). Dalam beberapa tahun berikutnya pangsa pasar ekspor teh Indonesia hanya menguasai 6,3 % (2003), 6,4 % (2004), 6,6 % (2005), 6,5 % (2006), yang menurun drastis jika dibandingkan dengan pangsa pasar yang dapat dicapai pada tahun 1993 sebesar 10,8 %.(Suprihatini Rohayati, Daya Saing Ekspor Teh Indonesia)

Terpuruknya produksi teh Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang konsistennya mutu produk sehingga menyebabkan rendahnya harga teh Indonesia, penurunan luas areal, serta masih rendahnya tingkat konsumsi teh penduduk Indonesia. Faktor-faktor tersebut meyebabkan Indonesia kalah saing dengan dengan negara produsen teh lainnya.

Kondisi seperti ini merupakan tantangan bagi produsen teh Indonesia untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas produknya agar mampu bersaing dengan industri teh global dunia. Kemampuan untuk menciptakan produk dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang tepat sesuai dengan permintaan konsumen menjadi suatu keharusan dalam bisnis teh global.

Demikian halnya dengan PTPN IV Sidamanik yang juga merupakan salah satu produsen teh, tidak terlepas dari kebenaran pernyataan di atas. Perkebunan teh yang mempunyai luas lahan seluas 2.496,71 Ha ini, juga mengalami jumlah produksi yang berfluktuasi. Produksi perusahaan tidak stabil setiap tahunnya. Pencapaian


(18)

produksi tertinggi diperoleh pada tahun 2005 yaitu sebanyak 5.244.305 Kg dan jumlah produksi terendah pada tahun 1991 dengan total produksi 2.875.000 Kg. Sementara produksi untuk tahun terakhir (2009) hanya mencapai 3.591.545 Kg. Hampir seluruh hasil produksinya ditujukan ke pasar ekspor dengan negara-negara tujuan seperti Amerika, New Zealand, Australia, Malaysia, Singapura, Irak, Iran, Saudi Arabia Pakistan dan lain-lain.

Dalam melakukan produksi, tentunya perusahaan dihadapkan dengan berbagai masalah produksi. Masalah utama yakni berkaitan dengan faktor-faktor produksinya. Dalam proses produksi yang bertujuan untuk menghasilkan output harus menggunakan dari berbagai faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah, teknologi dan sebagainya.

Namun pada dasarnya faktor produksi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:

1. Fixed Input yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dirubah dengan segera untuk memenuhi faktor-faktor produksi yang diminta oleh pasar. Misalnya : tanah, gedung mesin dan sebagainya.

2. Variable Input yaitu faktor-faktor produksi yang dapat dirubah dengan segera sesuai dengan perubahn produksi yang diminta oleh pasar. Misalnya: bahan mentah, tenaga kerja, dan lain-lain. (Simbolon, 2007, hal 90)

Dalam prakteknya, faktor-faktor produksi yang mempunyai peranan besar terhadap produksi teh adalah tenaga kerja, luas lahan dan penggunaan pupuk. Faktor


(19)

produksi tenaga kerja memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelaksana kegiatan produksi. Peranannya sangat ditentukan terutama oleh kualitas (mutu) disamping kuantitas (jumlah) yang tersedia. Semakin besar sebuah perusahaan, biasanya akan mempergunakan tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak bila dibandingkan dengan perusahaan dengan skala kecil.

Sementara untuk masalah lahan (tanah) terutama ditinjau dari sudut luas lahan dan tingkat kesuburannya. Namun yang paling utama dianalisa adalah mengenai luasnya yang sangat berpengaruh terhadap produksi yang akan dihasilkan. Semakin luas lahan yang dimiliki akan memberikan hasil yang semakin tinggi pula.

Selanjutnya faktor produksi pupuk juga tidak kalah pentingnya dibanding kedua faktor produksi yang telah disebutkan terlebih dahulu. Pemupukan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan produksi, karena pupuk dianggap sebagai vitamin bagi tanah sehingga akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penggunaan pupuk secara tepat dan teratur akan dapat mempertinggi hasil produksi baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul “ Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh tenaga kerja terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik?

2. Bagaimanakah pengaruh luas lahan terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik?

3. Bagaimanakah pengaruh penggunaan pupuk terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik?

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas permasalahan yang menjadi objek penelitian dan kebenarannya masih perlu diuji. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Tenaga kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

2. Luas lahan mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

3. Penggunaan pupuk mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik


(21)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah tenaga kerja berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

2. Untuk mengetahui apakah luas lahan berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik

3. Untuk mengetahui apakah penggunaan pupuk berpengaruh terhadap peningkatan hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel tenaga kerja,luas lahan, dan penggunaan pupuk terhadap hasil produksi teh di PTPN IV Sidamanik.

2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi perusahaan yang bersangkutan.

4. Sebagai penambah, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian menyangkut topik yang sama.


(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Perkebunan

Istilah perkebunan sudah lama dikenal, sejak pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1938 di Indonesia terdapat 243 perkebunan besar. Pada tahun 1870 dengan keluarnya undang-undang agraria pengaturan perkebunan-perkebunan swasta di Indonesia lebih tegas dan jelas. Keluarnya undang-undang agraria mempunyai tujuan utama mengundang penanaman modal swasta ke Indonesia untuk berusaha mengembangkan produk-produk pertanian yang diperlukan pasaran dunia, terutama Eropa. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh Belanda, tepatnya sejak tahun 1957 (Syamsulbahri, 1996; 1).

Perkembangan perkebunan setelah orde baru dengan program pembagunan lima tahunan (Pelita) tahap demi tahap telah memfokuskan program pembangunannya terutama dalam sektor tanaman pangan, sedangkan sektor perkebunan memberikan kerangka landasan peningkatan produksi dan diversifikasi tanaman ekspor. Pada tahun 1992 telah berhasil membuat Undang-Undang Nomor 12 tentang budidaya tanaman. Dengan adanya undang-undang tersebut pemerintah telah memberikan kebebasan kepada petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya, serta kewajiban pemerintah dalam menjamin penghasilan petani (Syamsulbahri, 1996; 1).


(23)

Sejarah perkebunan sebelum penjajahan Belanda di Indonesia, perkebunan belum terorganisir secara struktural. Selama dekade penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang pengelolaan perkebunan beralih kepenguasa, dalam hal ini penjajah. Pada zaman Belanda dikenal ”sistem tanam paksa”. Setelah merdeka pengelolaan perkebunan masih seperti zaman Belanda, barulah tahun 1957 terjadi perubahan pengelolaan perkebunan. Pada tahun tersebut terjadi pengambil-alihan perkebunan dari orang-orang asing oleh pemerintah Republik Indonesia. Dambaan petani untuk menjadi tuan di tanahnya sendiri sangat diharapkan, karena menajer-manajer perkebunan telah diisi oleh putra-putra Indonesia. Pada kenyataannya kenyataan tersebut tidak bisa terwujud, karena didalam negeri sudah terlalu lama mengalami peperangan untuk merebut kemerdekaan.

Pada tahap dicanangkannya program-program Pelita, pada subsektor perkebunan mulai dilakukan pembenahan-pembenahan oleh pemerintah. Pada Pelita I dan II telah dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan dan memulihkan perkebunan-perkebunan yang terlantar. Pada Pelita III hingga V dilaksanakan serangkaian usaha-usaha intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi perkebunan. Pada Pelita III perkembangan sektor perkebunan amat mencolok, terutama ditinjau dari perluasan areal perkebunan baik di Jawa maupun diluar Jawa (Syamsulbahri, 1996; 3).

Sebelum mempelajari lebih jauh tentang perkebunan perlu kesatuan pengertian dari perkebunan itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemahaman selanjutnya, terutama tanaman perkebunan tahunan. Perkebunan


(24)

dapat diartikan berdasarkan fungsi, pengelolaan, jenis tanaman, dan produk yang dihasilkan.

1. Perkebunan berdasarkan fungsinya dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan devisa negara, dan pemeliharaan kelestarian sumber daya alam

2. Berdasarkan pengelolaannya, perkebunan dapat dibagi menjadi :

1) perkebunan rakyat; 2) perkebunan besar; 3) perkebunan perusahaan inti rakyat; 4) perkebunan unit pelaksana proyek

3. Perkebunan berdasarkan jenis tanamannya dapat diartikan sebagai usaha bididaya tanaman yang filakukan oleh rakyat, pemerintah, maupun swasta selain tanaman pangan dan holtikultura

4. Perkebunan berdasarkan produknya dapat diartikan sebagai usaha budidaya tanaman yang ditujukan untuk menghasilkan bahan industri (misalnya karet, tembakau, cengkeh, kapas), bahan industri makanan (misalnya kelapa, kelapa sawit, dan kakao), dan makanan (misalnya tebu, teh, kopi, dan kayu manis).

Dari pengertian-pengertian tersebut perkebunan dapat diartikan sebagai: ”usaha bididaya tanaman baik oleh pemerintah, swasta, rakyat, maupun secara bersama-sama dalam skala luas maupun sempit areal lahan yang digunakan namun bertujuan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan dan devisa negara, tanpa mengabaikan penyerapan tenaga kerja dan pelestarian sumber daya alam” (Syamsulbahri, 1996; 15)


(25)

2.1.1 Manajemen Perkebunan

Manajemen dapat diartikan sebagai usaha pengelolaan sumber-sumber daya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dimana sifatnya universal yang berarti dapat berlaku secara umum untuk berbagai organisasi. Dalam perkembangannya, perkebunan dijadikan sebagai satu sub-sektor dari sektor pertanian. Dimana sub-sektor perkebunan dijadikan andalan dalam memasukkan devisa negara dari sektor non-migas. Pengelolaannya ada yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun oleh rakyat. Sistem pengelolaan perkebunan di Indonesia ada keterpaduan antara unsur-unsur yang membentuk sub-sektor perkebunan yang meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat (Syamsulbahri, 1996; 16).

1. Perkebunan Rakyat

Perkebunan rakyat yang sering disebut juga pola swadaya menduduki hampir 80% dari total areal perkebunan yang ada di Indonesia. Pengelolaannya masih terbatas, dalam artian belum ada pembagian pengelolaan untuk masing-masing sistem. Untuk itu seorang petani tanaman perkebunan dapat berfungsi dan bertindak sebagai pelaksana setiap kegiatan usahanya.

2. Perkebunan Besar

Perkebunan besar swasta dan perkebunan besar milik negara sering disebut sebagai satu plantation atau estate dimana pengelolaannya jelas untuk masing-masing sub-sistem, akan tetapi merupakan satu kesatuan manajemen. Manajemen perkebunan


(26)

yang meliputi manajemen tanaman, manajemen pengolahan hasil dan manajemen pemasaran komoditi perkebunan.

Beberapa ciri dari perkebunan besar, antara lain : hamparan lahan reatif luas, tanaman dan tata tanam yang seragam, pemakaian bibit unggul dan teknologi relatif maju, perencanaan terinci dan pegawasan yang ketat, standarisasi (prosedur, prestasi, hasil, mutu dan biaya), penggunaan tenaga kerja terampil atau terlatih, disiplin dalam berbagai bidang, akomodasi pekerja di sekitar unit kerja, wadah organisasi dan mekanisme koordinasi. Pola organisasi perusahaan perkebunan umumnya dapat digambarkan sebagai organisasi intern yang mengatur hubungan antara kantor Direksi dengan kebun atau Pabrik. Atas dasar laporan-laporan harian, bulanan serta tugas-tugas pengawasan dilakukan oleh aparat direksi. Seluruh kegiatan administrasi kebun/pabrik dikoordinir oleh Kantor Direksi.

3. Perusahaan Perkebunan Inti Rakyat

Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) Direktorat Jenderal Perkebunan mengartikan sebagai usaha pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Perusahaan inti merupakan perusahaan perkebunan besar baik milik swasta maupun milik negara, sedangkan kebun plasma merupakan areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan yang diperuntukkan bagi petani peserta.


(27)

4. Perkebunan Unit Pelaksana Proyek

Unit pelaksana proyek merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pembinaan dan pelaksanaan proyek perkebunan, setiap unit pelaksanaan proyek perkebunan ditentukan oleh luas areal perkebunan rakyat yang dibina, dimana pembinannya dilaksanakan mulai dari pembibitan, penanaman sampai dengan pengolahan dan pemasaran hasil. Pembinaan dilakukan secara menyeluruh termasuk juga peningkatan keterampilan para petani dengan mengadakan kursus-kursus latihan-latihan, dan bimbingan didalam inti proyek.

2.2 Sejarah Tanaman Teh

Umum menduga bahwa tanah asal tanaman teh terletak dipegunungan antara Tibet dan Republik Rakyat Cina (RRC) sebelah selatan, yaitu didaerah antara 25-35 derajat lintang utara, dan antara garis meridian 95-105 derajat. Kebun –kebun teh yang pertama diselenggarakan orang ada ditanah pegunungan sebelah barat RRC Selatan. Hingga sekarang propinsi Szechwan merupakan salah satu daerah teh yang terpenting di Asia Tenggara. Sejak zaman dahulu kala hasil tanaman teh di daerah tersebut dipergunakan orang dalam ilmu pengobatan (Spillane, J., 1992; 15).

Di negeri Jepang tanaman teh untuk pertama kali ditanam dalam tahun 800. Biji-bijinya didatangkan dari negeri Tiongkok. Meskipun tumbuh tanaman teh di Jepang baik, lama perhatian penduduk kepada tanaman itu sedikit. Dalam abad XV atas usaha Shogun Yosshimasa hasil tanaman teh mulai dipuji-puji orang. Di Jepang


(28)

sejak itu timbul kebiasaan untuk menyelenggarakan upacara minum teh tiap-tiap tahun, yang sampai sekarang masih berlangsung.

Perhatian terhadap hasil teh tidak terbatas di Jepang dan RRC saja. Abad VI pedagang-pedagang Turki yang sudah mengadakan hubungan dengan Tiongkok, membawa hasil teh ke negerinya untuk diperdagangkan. Abad XVI hasil teh mulai dikenal orang dibenua Eropa, yaitu setelah pendeta-pendeta Kristiani yang datang kembali dari Tiongkok dan membawanya sebagai oleh-oleh.

Tahun 1610 oleh pedagang bangsa Belanda hasil teh dari Tiongkok mulai diperdagangkan di negeri Belanda dan lain-lain negeri di Eropa. Dalam abad XVIII lebih banyak lagi orang-orang di benua Eropa suka minum teh. Juga di Rusia dalam abad tersebut sudah banyak orang yang mengenal teh, sementara itu hasil teh juga diperkenalkan kepada penduduk Amerika Utara, yang beda dengan penduduk benua lainnya umumnya memberi sambutan baik sekali (Spillane, J., 1992; 16). Dengan demikian maka dalam abad XVIII hasil teh sudah dikenal dan diharapkan orang diseluruh dunia, sehingga di pasar dunia hasil teh itu merupakan barang dagangan yang penting dan yang memberikan banyak keuntungan.

2.3. Definisi dan Jenis Teh

Tanaman teh aslinya ditulis oleh Linnaeus didalam sistem binominalnya pada tahun 1753 sebagai Teh sinensis, sekarang teh diletakkan di Camellia sebagai C, sinensis (keluarga Tehaceae). Linnaeus mengakui dua jenis yang sebelumnya


(29)

digambarkan oleh John Hill, yaitu , T.viridis dan T.bohea. secara keliru dianggap bahwa T.bohea adalah sumber teh hitam, sedangkan T.viridis menghasilkan teh hijau. Pada tahun 1843 Robert Fortune menemukan bahwa teh hitam dan teh hijau dihasilkan dari daun tanaman yang sama dengan proses produksi yang berbeda (Spillane, J., 1992; 19).

Pada umumnya teh-teh dapat dikelompokkan dalam tiga golongan (Spillane, J., 1992; 22):

1. Teh yang difermentasikan atau teh hitam (fermented) 2. Teh yang tidak difermentasikan atau teh hijau

3. Teh yang setengah difermentasikan atau oolong (semi fermented)

Teh datang dari tanaman yang hampir sama di semua negara. Perbedaan antara jenis teh tersebut dikarenakan perbedaan cara produksi dan iklim lokal, tanah dan kondisi pengolahan. Ada kira-kira 1.500 tanaman teh yang berbeda dan kira-kira 2.000 campuran yang mungkin.

Dalam perdagangan teh internasional dikenal 3 golongan teh, yang pengolahannya berbeda-beda dan demikian juga bentuk serta cita rasanya, yakni (Spillane, J., 1992; 22):

a. Black Tea (teh hitam)

b. Green Tea (teh hijau atau teh wangi) c. Oolong Tea (Teh Oolong)


(30)

Perbedaan pokok antara teh hitam dan teh hijau adalah bahwa teh hitam mengalami proses fermentasi (proses pemeraman) yang merupakan ciri khasnya, sedangkan teh hijau tidak mengenal fermentasi dalam proses pengolahannya. Disamping itu teh hitam tidak mangandung unsur-unsur lain diluar pucuk teh, sedangkan teh hijau karena bau daunnya tidak hilang (karena tidak mangalami proses fermentasi itu) harus dikompensasi dengan wangi-wangian dari bahan non teh. Di Indonesia biasanya bunga melati digunakan dalam proses ini. Teh Oolong khas teh Cina/Taiwan, merupakan semacam perkawinan antara teh hitam dan teh hijau, yakni mengalami “setengah fermentasi”.

Jenis-jenis mutu teh hitam dapat dibagi dalam tiga golongan dengan perincian sortasi mutu-mutunya sebagai berikut:

1. Teh daun atau Leaf Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Orange Pekoe, Pekoe, Pekoe Souchon

2. Teh Remuk atau Broken Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Broken Orange Pekoe, Broken Pekoe, Broken Tea.

3. Teh Bubuk atau Powdered Tea, yang terdiri dari mutu-mutu: Fanning, Dust.

Teh daun mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:

a. Orange Pekoe (singkatan dalam perdagangan OP), terdiri untuk sebagian besarnya dari kuncup-kuncup yang halus dan masih berbulu yang belum mekar/terbuka.


(31)

Bentuk teh ini panjang dan halus. Warna teh ini hitam mengkilap dan pada ujung kuncup daun itu terdapat titik kuning emas (tips).

b. Pekoe (P), terdiri dari daun-daun kuncup. Warnanya hitam mengkilap bercampur warna kecoklat-coklatan. Bentuknya lebih pendek dan lebih lebar dibanding OP.

c. Pekoe Souchon (PS), terdiri dari daun pucuk. Warnanya hitam mengkilap. Rasanya lebih pahit dan kurang harum dibanding OP dan P.

Teh remuk mempunyai karakteristik mutu-mutunya sebagai berikut:

a. Broken Orange Pekoe (BOP), bentuknya keriting ukuran kecil daun teh remuk yang tidak utuh. Teh ini mengandung tips (kuncup yang belum mekar). Warnanya hitam mengkilap tanpa warna coklat.

b. Broken Pekoe (BP), rupanya hampir sama dengan BOP, tetapi tidak mengandung tips.

c. Broken Tea (BT), terdiri dari daun-daun yang tidak tergulung sewaktu masuk mesin penggulung (roller) dan mempunyai bentuk kecil-kecil serta tipis.

Sebelum pihak konsumen teh membeli teh hasil perkebunan tertentu, mutu teh itu dinilai terlebih dahulu dari contoh-contoh representatif yang diambil dari suatu chop produksi. Penilaian teh atau tea testing dilakukan dalam dua tingkat, yakni (Spillane, J., 1992; 23):

a. Penilaian kualitas luarnya dari teh (Appearance of teh tea) b. Penilaian kualitas dalamnya (Inner quality).


(32)

a. Pemeriksaan contoh teh kering dengan menilai kenampakannya secara visual (visual appearance) dalam bentuk teh, warnanya,keratannya.

b. Pemeriksaan contoh air seduhan (liquor) teh dengan menilai warna, aroma, dan rasa.

c. Pemeriksaan contoh ampas seduhan (infusion) dengan menilai warna serta aromanya. Diambil kadar air dari teh kering (teh terkenal higroskopis/menghisap lembab udara).

2.4. Komoditi Teh di Indonesia 2.4.1. Sejarah Teh Indonesia

Tanaman teh mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1686. Pembawa tanaman tersebut adalah seorang Belanda yang bernama Andreas Cleyer di perkebunan Batavia (Jakarta). Usaha ini bukan dalam skala besar tetapi minat untuk menanam teh bertambah makin luas. Sesudah tahun 1728 pengolahan teh didukung oleh pemerintah. Lalu percobaan-percobaan di kebun Botani di Bogor berhasil pada tahun 1826. Perkebunan teh yang pertama di Indonesia dimulai oleh J.I.L.L. Jacobson pada tahun 1828. Sesudah ini, perkembangan industry teh di Indonesia sungguh-sungguh terjadi. Lebih banyak lagi perkebunan didirikan dan pada tahun 1870 ada 15 perkebunan yang berjalan. Sampai saat ini pohon teh diimpor dari Cina dan Jepang. Namun, pada tahun 1872, bibit dari jenis teh Assam diimpor dari India karena jenis ini lebih tahan lama. Sejak saat itu, berangsur-angsur teh Assam menggantikan teh Cina serta berkembang semakin luas. (Spillane, J., 1992; 32).


(33)

Pada tahun 1900-an pengembangan perkebunan teh diserahkan kepada swasta karena biayanya cukup besar. Dengan menanam bibit teh yang berasal dari Assam (India), hasilnya ternyata lebih baik dibanding kedua bibit yang ditanam sebelumnya. Sejak saat itu perkebunan teh di Jawa tumbuh di beberapa daerah seperti Bogor, Priangan, Cirebon dan Malang. Sesudah itu perkebunan teh meluas ke Sumatera Utara dan Selatan (Bank Bumi Daya, 1980; 6).

Pada tahun 1930 produksi teh semakin meningkat, hal ini berkaitan dengan baiknya harga teh di pasar luar negeri. Tahun 1933 harga teh turun cepat yang disebabkan gejala kelebihan penyediaan oleh negara-negara penghasil teh. Karena itu produsen teh seperti India, Srilangka dan Indonesia mengadakan pembatasan produksi agar dicapai tingkat harga yang lebih baik.

Perkebunan teh Indonesia pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) banyak yang rusak. Sesudah kemerdekaan hingga tahun 1950 usaha perkebunan teh mulai dihidupkan kembali akan tetapi perkembangannya sangat lambat mengingat kurangnya dana disamping karena belum stabilnya keamanan terutama di Jawa Barat.

Pada tahun 1960-an produksi teh Indonesia terus menurun karena umur rata-rata tanaman yakni diatas 40 tahun, kemudian meningkat kembali sejak dilaksanakannnya Repelita pertama. Produksi teh Perkebunan Pemerintah (PNP/PTP) semakin meningkat sedangkan perkebunan swasta nasional dan perkebunan rakyat lambat pertumbuhannya. Disamping dilaksanakan program intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi teh, dilakukan pula usaha rehabilitasi


(34)

pabrik teh, rehabilitasi tanaman dan pendirian beberapa pabrik baru (Spillane, J., 1992; 7).

2.4.2. Perkembangan Komoditi Teh Indonesia

Indonesia memiliki banyak perusahaan teh baik milik pemerintah maupun swasta yang mengelola komoditi teh dari hulu hingga hilir. Lahan yang luas dan produkstivitas tanaman teh yang tinggi mampu membawa Indonesia menduduki peringkat ke tujuh sebagai negara produsen dan eksportir terbesar di dunia.

.Tabel 2.1. Luas Areal Perkebunan Teh Seluruh Indonesia Menurut

Pengusahaan (1990-2009)

TAHUN

LUAS AREAL (HA)

PR PBN PBS TOTAL

1990 51,238 49,495 28,347 129,080 1991 51,468 51,662 30,575 133,705 1992 53,040 51,322 33,145 137,507 1993 55,678 51,296 35,609 142,583 1994 57,517 50,507 37,500 145,524 1995 61,202 4,939 41,839 152,431 1996 65,372 43,282 33,828 142,842 1997 64,498 43240 34,484 142,222 1998 65,372 50,446 40,752 157,039 1999 65,272 49,157 42,410 156,839 2000 67,100 44,263 42,312 153,675 2001 67,580 44,554 38,738 150,872 2002 66,289 44,608 39,810 150,707 2003 64,742 41,988 34,874 143,604 2004 61,902 44,768 35878 142,548 2005 60,771 44,066 34,284 139,121 2006 60,990 46,661 27,939 135,590 2007 60,948 42,579 30,207 133,724 2008 60,539 38,946 28,227 127,712 2009 60,923 38,199 30,165 129,287 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan


(35)

. Penurunan luas areal teh di Indonesia tentu saja akan mempengaruhi jumlah total produksi nasional. Namun, terkadang penurunan luas areal tidak berpengaruh pada produksi,bahkan produksi mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan meningkatnya produkstivitas tanaman secara biologisnya. Adapun perkembangan produksi teh nasional dapat dilihat pada tabel berikut.

Table 2.2. Produksi Teh Seluruh Indonesia menurut Pengusahaan (1990-2009)

TAHUN

PRODUKSI

PR PBN PBS TOTAL

1990 33381 95346 29192 155919

1991 27898 84035 27587 139520

1992 31834 94023 27844 153701

1993 36631 95126 33237 164994

1994 30294 78383 30545 139222

1995 32593 87432 33988 154013

1996 34256 96642 38537 169417

1997 32619 88259 32770 153648

1998 34137 91079 41612 166825

1999 34561 86099 40343 165003

2000 39466 84132 38989 162587

2001 40160 86207 40500 166867

2002 44773 80426 39995 165194

2003 47079 82082 40660 169821

2004 40200 89303 36448 165951

2005 37746 89959 38386 166091

2006 37355 81847 27657 146859

2007 38937 80274 31412 150623

2008 38593 78354 37024 153971

2009 38559 80889 29468 148916

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan

Hasil yang dicapai selain untuk dikonsumsi di dalam negeri,juga diekspor ke berbagai negara. Kondisi pasar ekspor yang selama ini menjadi target pasar utama


(36)

sangat sulit karena posisi Indinesia hasnya sebagai pengikut pasar dengan pangsa pasar hanya sekitar 6 persen. Untuk melihat perkembangan hasil ekspor dan import teh Indonesia dapat disajikan pada tabel di 2.3

Tabel 2.3. Volume Ekspor dan Impor Teh Indonesia (1980-2007)

TAHUN

EKSPOR IMPOR

VOLUME (TON)

NILAI (000 US $)

VOLUME (TON)

NILAI (000 US)

1980 74,711 112,669 51 156

1981 71,259 100,837 56 192

1982 63,660 89,493 51 182

1983 68,624 120,435 65 124

1984 85,650 226,291 58 110

1985 90,121 149,083 59 115

1986 79,040 99,094 251 303

1987 90,422 118,736 83 120

1988 92,678 125,309 146 224

1989 114,710 162,735 540 641

1990 110,963 181,017 6,699 8,906

1991 110,217 143,130 713 1,018

1992 121,259 140,909 411 713

1993 127,926 155,696 582 776

1994 79,056 87,921 453 678

1995 79,227 87,719 260 291

1996 101,532 112,342 190 329

1997 66,843 88,837 2,817 2,871

1998 67,219 113,208 3,995 4,359

1999 97,847 97,140 619 615

2000 105,582 112,105 2,632 3,091

2001 107,144 112,524 2,632 3,091

2002 100,184 103,427 3,526 3,651

2003 88,894 95,970 4000 3,807

2004 98,572 116,018 3,925 5,531

2005 102,389 121,777 5,479 7,161

2006 95,338 134,515 5,293 8,703

2007 83,658 125,243 10,366 11,855


(37)

Berikut dapat kita lihat perkembangannya melalui gambar 2.1.

Gambar 2.1. Volume Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007

Sementara untuk nilai ekspor dan impor,dapat pula digambarkan melalui gambar 2.2.

Dari gambar 2.2 terlihat bahwa nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 1990 yaitu sebesar US $ 181.017.000 dengan total volume ekspornya sebesar 110.963 ton. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi Indonesia khususnya bagi produsen teh di Indonesia. Namun pada tahun-tahun berikutnya, volume dan nilai ekspornya cemderung menurun.


(38)

Gambar 2.2. Nilai Ekspor Impor Komoditi Teh Indonesia 1969-2007

Untuk harga komoditi teh Indonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan ketersediaan komoditi teh di tingkat dunia. Apabila pasokan dunia berlimpah maka harga teh Indonesia akan menurun. Mutu dan kualitas teh tentunya juga menjadi faktor penentu tingkat harga komoditi teh Indonesia. Berikut adalah perkembangan harga komoditi teh menurut beberapa pusat pelelangan teh seperti Colombo Tea Auction (CTA), Jakarta Tea Auction (JTA), dan Mombasa Tea Auction(MTA).


(39)

Gambar 2.3. Harga Komoditi Teh Indonesia Tahun 2000-2010

Sumber: Departemen Pertanian

Komoditi teh banyak diperdagangkan di Colombo dan Mombasa. Dari ketiga tempat pelelangan tersebut, jika dibandingkan dengan harga komoditi teh di pasar dunia, harga komoditi teh Indonesia masih lebih rendah, yang ditunjukkan dari pergerakan grafik JTA( Jakarta Tea Auction). Dari gambar 2.3 dapat dilihat bahwa ternd harga komoditi teh di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun meskipun demikian, harga komoditi teh Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan harga komoditi teh di pusat pelelangan teh lainnya seperti di Colombo Tea Auction (Sri Langka) dan Mombasa Tea Auction.

Pada tahun 2006, harga teh Indonesia berpotensi mengalami kenaikan. Kenaikan ini disebabkan oleh faktor penurunan produksi Kenya. Sebesar 40 % karna


(40)

kemarau yang melanda negara tersebut. Hal ini memberikan dampak positif pada harga teh Indonesia. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertingggi sejak 6 tahun sebelumnya.

Tingkat konsumsi teh penduduk Indonesia juga masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi teh di negara produsen teh lainnya. Tabel 2.4 menunjukkan tingkat konsumsi teh Indonesia yang relatif tetap dan tergolong rendah, jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki tingkat konsumsi teh per kapita cukup tingggi, seperti India mencapai di atas 660 gram, Sri Lanka 1,380 gram, Hongkong 1.370 gram, inggris 2.240 gram, Irlandia 2.960 gram, Polandia 820 gram, Bahrain 1.310 gram, Arab diatas 2000 gram, Pakistan 750 gram, Jepang 1.040 gram dan New Zealand 950 gram (ITC, 2004)

Tabel 2.4. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Dalam Negeri (1997-2003)

Sumber : International Tea Committee(ITC), 2004

Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi per kapita nasional tersebut antara lain: faktor internal konsumen seperti budaya, kelas sosial, karakteristik

TAHUN

KONSUMSI Per Kapita/Tahun (gram)

1997 250

1998 310

1999 320

2000 310

2001 300

2002 310


(41)

individu dan faktor psikologis. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kinerja bauran pemasaran produk, harga , promosi serta produk sustitusi (air minerl, susu, kopi, dan coklat).

2.5. Perusahaan dan Produksi

2.5.1. Definisi Perusahaan

Perusahaan didefinisikan sebagai suatu unit organisasi yang menggunakan berbagai faktor produksi dan menghasilkan barang dan jasa untuk dijual kepada rumah tangga, perusahaan lain atau pemerintah dengan berorientasi pada keuntungan (profit oriented). (Pracoyo, T. K., 2005; 143)

2.5.2. Jenis Perusahaan

Bentuk-bentuk perusahaan dalam organisasi bisnis dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni: ( Pracoyo, T. K., 2006; 144)

1. Perusahaan Perseorangan

Perusahaan perseorangan dimiliki oleh pemilik tunggal, dimana ia sebagai pengambil keputusan dan harus bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Karena ia adalah pemilik tunggal maka pemiliknya mempunyai kekuatan penuh untuk mengendalikan seluruh aktivitas perusahaan. Oleh sebab itu, pemilik perusahaan sekaligus sebagai pemimpin perusahaan. Sisi kelemahan dari


(42)

bentuk perusahaan ini adlah modal yang cenderung terbatas, karena hanya bersumber dari satu orang saja. Kelemahan yang lain adalah pemiliknya secara pribadi harus bertanggung jawab penuh secara hukum atas kewajiban/utang perusahaan. Kewajiban ini dikenal dengan istilah kwajiban tanpa batas(unlimited liability).

2. Perusahaan Perkongsian (Partnership)

Pada perusahaan perkongsian biasanya terdapat dua orang atau lebih secara besama-sama melakukan kegiatan usaha. Kerana usaha ini bersama-sama maka setiap keputusan yang diambil oleh seseorang maupun bersama-sama, menjadi tanggungjawab semua anggota atas segala aktivitas yang dilakukan perusahaan. Kesulitan dana/modal yang dihadapai oleh perusahaan perseorangan, cukup teratasi dengan membentuk perkongsian ini.

3. Perseroan Terbatas (Corporation)

Pada bentuk ini, perusahaan merupakan badan hukum tersendiri. Secara hukum perseroan terbatas dianggap sebagai suatu badan yang terpisah dengan orang-orang yang yang memiliki perusahaan. Pemilik akan memilih dewan direksi, pada tahap selanjutnya akan memilih para manajer untuk menjalankan segala aktivitas perusahaan di bawah kendali direksi. Perusahaan memperoleh dana dengan cara menjual saham. Oleh sebab itu pemilik perseroan terbatas adalah para pemegang saham. Pemili saham tidak memiliki kewajiban atas segala tindakan yang dilakuakn perusahaan di luar batas risiko hilangnya uang yang ditanamkan. Apabila perusahaan


(43)

ini bangkrut maka kewajiban pribadi dari setiap pemegang saham hanyalah pada jumlah uang yang ditanmakan pada perusahaan tersebut.

2.6. Definisi Produksi

Yang dimaksud dengan produksi atau memproduksi adalah suatu usaha atau kegiatan untuk menambah kegunaan (nilai) suatu barang (Putong, I., 2005; 203). Kegunaan suatu barang akan bertambah apabila memberikan manfaat baru atau lebih dari bentuk semula. Untuk memproduksi dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses produksi. Adapun faktor-faktor produksi tersebut yaitu; Manusia(tenaga kerja), Modal(uang atau alat modal seperti mesin), SDA tanah), dan Skill(manajemen).

2.7. Faktor-Faktor Produksi

1. Tanah

Tanah sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi keluar. Dalam pertanian, terutama di Negara kita, faktor produksi tanah mempunyai kedudukan paling penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya (Mubyarto, 1984; 76).


(44)

Tanah adalah faktor produksi yang tahan lama sehingga biasanya tidak diadakan depresiasi atau penyusutan. Bahkan dengan perkembangan penduduk nilai tanah selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tetapi dalam pertanian tanah yang dikerjakan terus menerus akan berkurang pula kesuburannya. Untuk mempertahankan kesuburan tanah petani harus mengadakan rotasi tanaman dan usaha-usaha konservasi tanah lainnya (Mubyarto, 1984; 88).

Unsur-unsur sosial ekonomi yang melekat pada tanah dan memiliki peranan dalam pengelolaan usaha tani cukup beragam, diantaranya adalah:

1. Kekuatan atau kemampuan potensil dan aktuil dari tanah

2. Kapasitas ekonomis, efisiensi ekonomis dan keunggulan bersaing dari tanah 3. Produktivitas tanah, yang dimaksud dengan produktivitas tanah adalah jumlah

hasil total yang diperoleh dari satu kesatuan bidang tanah (satu hektar) selama satu tahun dihitung dengan uang.

4. Nilai sosial ekonomis dari tanah

Bagi sebuah perusahaan lahan (tanah) memiliki peranan penting terutama sebagai tempat pendirian perusahaan dan pabrik-pabrik yang dibutuhkan dalam proses produksi. Selain itu bagi perusahaaan tertentu tanah ini dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku, misalnya melalui pemberdayaan lahan yang dapat mendukung penyediaan bahan baku yang dibutuhkan sekaligus akan mengurangi biaya produksi.


(45)

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja sering disebut tenaga manusia mutlak dibutuhkan jika ingin menghasilkan sebuah produk. Tenaga kerja yang tersedia biasanya digunakan untuk mengoperasikan serta mengendalikan mesin/peralatan yang dimiliki oleh perusahaan. Untuk kasus tenaga kerja ini terutama tidak dipandang dari kuantitas (jumlah), tetapi juga mutu (kualitas) yang sangat mempengaruhi kinerja perusahaan yang bersangkutan.

Dengan adanya tenaga kerja yang terdidik dan terlatih maka dipastikan kesalahan-kesalahan fatal yang merugikan dan membahayakan akan dapat dicegah. Dalam hal ini sebuah perusahaan sangat mengharapkan tenaga kerja yang benar-benar berpengalaman serta memilki keahlian yang tinggi sehingga dapat memberikan kontribusi yang besar terutama terhadap peningkatan produksi perusahaan. Selain keahlian, dan kejujuran, kedisplinan juga hal yang sangat dibutuhkan dari seorang tenaga kerja.

Tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan kedalam persoalan tenaga kerja dalam usaha tani kecil-kecilan (usaha tani pertanian rakyat) dan persoalan tenaga kerja dalam perusahaan pertanian yang besar-besaran yaitu perkebunan, kehutanan, peternakan dan sebagainya. Petani yang memiliki lahan tidak luas tidak membutuhkan tenaga kerja dari luar. Tetapi bagi petani yang memilki lahan yang luas akan membutuhkan tenaga kerja dari luar (Mubyarto, 1984; 104).


(46)

3. Modal

Pengertian modal adalah barang dan jasa yang bersama-sama dengan faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru.Barang-barang pertanian yang termasuk barang modal dapat berupa uang, ternak, pupuk, bibit, cangkul, investasi dalam mesin dan lain-lain. Biasanya semakin besar dan semakin baik kualitas modal yang dimiliki maka akan sangat mendukung terhadap peningkatan produksi yang dihasilkan (Mubyarto, 1984; 91).

4. Manajemen (Skill)

Manajemen berarti proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota serta penggunaan sumber daya dalam rangka pencapian tujuan yang telah ditetapkan. Dari uraian di atas maka faktor produksi ini tidaklah kalah penting dibanding faktor produksi lain. Perlu diketahui ada 3 alasan manajemen ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan, yakni (Handoko, T. H.) :

1. Untuk mencapai tujuan perusahaan.

2. Untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan 3. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas

2.8. Teori Produksi

Konsep dasar teori produksi sangat diperlukan bagi berbagai pihak, terutama pihak produsen untuk menentukan bilamana output dapat memberikan maksimum laba. Beberapa informasi yang perlu diketahui produsen antara lain permintaan output


(47)

maupun informasi ketersediaan berbagai input guna mendukung proses output. Demikian pula alternative penggunaan input dan bahkan pengorbanan terhadap sesuatu output guna kepentingan output lainnya. Keterangan ini perlu mendapat perhatian para pelaku kegiatan produksi sebagai suatu kebijaksanaan sekaligus keputusan.

Production Possibility Curve

Proses penciptaan output selalu dihadapkan kepada berbagai alternative, apakah alternative dimaksud berkaitan dengan penggunaan input atau penciptaan output. Beberapa proporsi maupun jenis input yang digunakan guna menghasilkan berbagai output dan bagaimana kombinasi penggunaan input sehingga proses produksi terkendali. Informasi pasar output dan kesediaan input sangat berperan sehingga proses produksi memberikan laba maksimum bagi perusahaan. Konsep production possibility curve atau disebut production frontier dapat mengungkapkan keterangan diatas.

Dalam penerapannya pengertian ini mendukung makna berupa penggunaan berbagai sumber daya yang tersedia dalam kegiatan produksi secara keseluruhan dengan alternative output. Apabila sumber daya yang tersedia tidak digunakan secara keseluruhan berarti proses produksi tidak efisien. Tepatnya pengertian production possibility curve sendiri merupakan alternative pengorbanan yang diberikan sesuatu output guna peningkatan output lain seperti ditunjukkan pada gambar 2.2 (Sumandjaya, R., 2008; 78).


(48)

Gambar 2.4. Kurva Production Possibility Curve

Berdasarkan uraian diatas, produksi pada dasarnya merupakan proses penggunaan input (masukan) untuk menghasilkan output (keluaran). Secara umum fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:

Output = f(input)

Hubungan di antara penggunaan input dalam rangka penciptaan output dalam terjemahan fungsi disajikan sebagai:

q = f(x1,x2,x3,…….xn)

Q P

R

Production Possibility Curve

S T 0 P ro d u k ( A ) P e r U n it

Produk (B) Per Unit • E


(49)

Pengertian output tentunya berkaitan dengan produk yang dihasilkan dengan berbagai criteria dan input meliputi antara lain penggunaan tenaga kerja, barang-barang modal, bahan baku,teknologi dan berbagai input lainnya dengan berbagai satuan (Sumanjaya,R., 2008; 80)

2.8.1 Teori Produksi dengan 1 (satu) Input

Fungsi produksi dengan penggunaan 1 (satu) input disajikan sebagai:

q = f(x1)

Input X1 dapat berupa penggunaan input tenaga kerja, lahan, bahan baku,barang-barang modal, pupuk dan lainnya sehingga memberikan makna keberadaan masing-masing input tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan sejumlah produksi. Apabila input tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi berarti pembahasan bertumpu pada kemampuan tenaga kerja dalam menciptakan jumlah produksi (total physical productivity of labor/TPPL atau acapkali disingkat

(TP), produksi margin (marginal physical productivity of labor atau MP), rata-rata produksi (avarage physical productiviy of labor atau AP) dan sampai kepada laba maksimum( profit maximation). Adapun faktor produksi lainnya dianggap tetap.

Pengertian total physical productivity of labor pada dasarnya merupakan kemampuan input tenaga kerja untuk menghasilkan produksi. Kemampuan dimaksud terungkap dari perkembangan jumlah produksi yang dihasilkan dari perubahan penggunaan tenaga kerja.


(50)

Definisi avarage product (rata-rata produksi) dari penggunaan input tenaga kerja adalah jumlah produksi dibagi dengan jumlah input tenaga kerja yang digunakan. Keterangan ini juga dapat digunakan untuk mengulur tingkat produkstivitas tenaga kerja dalam bentuk suatu ukuran sebagai perbandingan diantara output dan input.

AP = TP/x1

Sedangkan definisi marginal product (produk margin) dari input yang sama adalah perubahan total output yang diakibatkan oleh perubahan satuan input tenaga kerja dalam proses produksi:

MP = ∆TP/ ∆x1

Penambahan tenaga kerja masing-masing satu orang maka formulasi dapat disajikan dengan rumus:

MP = ∆ TP

Tahapan produksi

Berdasarkan data dan grafik pada gambar 2.5 dapat ditemukan tahapan (stage) produksi, apakah sebagai tahap I, tahap II, dan tahap III. Tahap I ditunjukkan dari penggunaan 1 input tenaga kerja sampai pada perpotongan marginal product dengan average product. Tahap II dimulai dari MP = AP sampai pada maksimum total product dengan MP = 0. Tahap III dimulai total product mengalami penurunan dan diikuti oleh marginal product yang negative.


(51)

Gambar 2.5. Kurva Tahapan Produksi

Tahap I penggunaan tenaga kerja relative kecil sehingga total produksi masih memungkinkan untuk ditingkatkan, tahapan ini merupakan irrational stage sebagaimana tahap III dimana penambahan jumlah input tenaga kerja justru menurunkan jumlah produksi. Tahap II merupakan rational stage dimana penambahan input tenaga kerja dapat meningkatkan jumlah produksi. Dengan demikian berdasarkan ketiga tahapan produksi diatas, terbaik terdapat pada tahap produksi II (Sumanjaya,Rakhmat.,2008;83).

TPL

APL

MPL

I II III

X Y


(52)

2.8.2 Teori Produksi dengan 2 (dua) Input atau Lebih

Apabila dua input yang digunakan dalam proses produksi menjadi variabel semua, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan isoquan dan isocost.

a. Isoquant

Isoquant adalah kurva yang menunjukkan kombinasi input yang dipakai dalam proses produksi, yang menghasilkan output tertentu dalam jumlah yang sama (Suharti, T., 2003; 83).

Gambar 2.6. Kurva Isoquan

Isoquant mempunyai ciri-ciri yang sama dengan indifference curve dalam analisis perilaku konsumen, yaitu (Suharti, T., 2003; 83):

1. Turun dari kiri atas kekanan bawah

K

K1

K2

L2

L1 L


(53)

2. Cembung ke arah titik origin 3. Tidak saling berpotongan

4. Kurva pada gambar 2.6 menunjukkan jumlah output yang lebih banyak, artinya perubahan produksi digambarkan dengan pergeseran isoquan.

Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS)

Adalah suatu pernyataan yang mengungkapkan penurunan/berkurangnya penggunaan sesuatu input (kapital) di satu sisi pada sumbu vertikal dan diganti dengan penambahan input lain (tanaga kerja) dengan tingkat produksi yang sama (Sumanjaya, R.,2008; 87). Secara matematis dapat dituangkan sebagai berikut:

MRTS =

K L

MP MP

b. Isocost

Isocost adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi antara dua input yang berbeda yang dapat dibeli oleh produsen pada tingkat biaya yang sama (Suhartati, T., 2003; 87).


(54)

Gambar 2.7. Kurva Isocost

Berdasarkan gambar 2.7 dapat dijelaskan bahwa semakin dekat dengan titik origin, berarti semakin kecil pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh produsen, dan sebaliknya, semakin jauh dari titik origin maka semakin besar pengeluaran produsen.

Optimal production with least cost combination

Adalah mengungkapkan produksi optimal yang dihasilkan dari proses kombinasi penggunaan input sebagai total biaya produksi (last least combination). Kondisi ini disebut juga sebagai optimasi produsen. Terungkap melalui grafik berikut pada saat isocost line dan isocost curve saling bersinggungan hanya pada satu titik tertentu saja(Sumanjaya, R., 2008; 91)

L2 L

L1

K

K1


(55)

Gambar 2.8. Kurva Least Cost Combination

Expantion Path

Untuk melihat apakah penggunaan input produksi sudah secara riil sudah optimal atau belum, maka dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek teknis (technical aspect)dan aspek financial(financial aspect)(Salvatore, 1994:172). Aspek teknis merupakan tempat kedudukan kombinasi input terbaik yang diinginkan untuk menghasilkan output produksi maksimum yang ditunjukkan oleh kurva isoquant, sedangkan aspek financial merupak tenpat kedudukan kombinasi input produksi yang dapat dilakukan perusahaan seperti yang ditentukan oleh ketersediaan anggaran yang dimiliki yang ditunjukkan oleh kurva isocost.

Kombinasi input yang memenuhi aspek teknis dan aspek financial tersebut juga dapat ditelusuri melalui kurva Expantion Path. Kurva ini menggambarkan

LEAST COST COMBINATION

ISOQUAN K

L ISOCOST


(56)

kombinasi input yang menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu, atau output tertentu, atau output tertebtu dengan biaya yang rendah apabila perusahaan melakukan perluasan yang menunjukkan keseimbangan (equilibrium of firm). Pada sepanjang garis jalur ekspansi ini akan diketemukan slope garis anggaran sama dengan slope isoquant (Suhartati, T., 2003; 89)

Gambar 2.9. Kurva Expantion Path

Return To Scale

Return to scale merupakan suatu fungsi produksi dimana menggambarkan hubungan antara perbandingan perubahan semua input-input yang berdampak terhadap perubahan outputnya (Pracoyo, T.K., 2006; 158)

Return to scale menyatakan proporsi perubahan penggunaan input yang menghasilkan perubahan output.(Sumanjaya, R., 2008; 94).

K GARIS

EKSPANS


(57)

Ada tiga konsep dalam return to scale ini,yaitu: (Pracoyo, T.K., 2006; 158)

a. Constant Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan sema dengan tambahan inputnya.

b. Increasing Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih besar dibandingkan tambahan inputnya.

c. Decreasing Return To Scale

Kondisi ini terjadi bila tambahan output yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan tambahan inputnya.

2.9. Fungsi Produksi Cobb Douglas

Fungsi produksi ini menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Coob, C.W. dan Douglas, P. H. pada tahun 1928 melalui artikelnya yang berjudul “A Tehory of Production” (Suhartati, T., 2003; 104).

Secara matematis fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dengan persamaan:

Q = AKα Lβ

Keterangan: Q = output


(58)

L = input tenaga kerja

A = parameter efisiensi/koefisien teknologi

a = elastisitas input modal

b = elastisitas input tenaga kerja

Fungsi produksi Cobb Douglas dapat diperoleh dengan membuat dengan membuat linear persamaan sehingga menjadi:

LnQ = LnA + αLn + βLnL + ε

Dengan meregres persamaan diatas maka secara mudah akan diperoleh parameter efisiensi (A) dan elastisitas inputnya. Salah satu kemudahan fungsi produksi Cobb Douglas adalah secara mudah dapat dibuat linear sehingga memudahkan untuk mendapatkannya

Dalam fungsi produksi Cobb Douglas ini, penjumlahan elastisitas substitusi menggambarkan return to scale. Artinya apabila α + β = 1 berarti constan return to scale, bila α + β < 1 berarti decresing return to scale, dan apabila α + β > 1 berarti proses produksi berada dalam keadaan increasing return to scale. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:

Fungsi produksi Cobb Douglas:

Q = AKα Lβ


(59)

Q2 = A (2K1)α. (2L1) β

= A2αK1α .2βL1β

= 2 α+ βAK1α. L 1β

= 2 α+β Q1

Jadi, bila α+β = 1, maka Q2 = 2 Q1, berlaku constan return to scale

bila α+β > 1, maka Q2 > 2 Q1, berlaku increasing return to scale bila α+β < 1, maka Q2 < 2 Q1, berlaku decreasing return to scale

Dalam fungsi produksi Cobb Douglas asli berlaku constant return to scale (Nicholson, 1995 : 332), sehingga dapat mengilustrasikan secara mudah perubahan output sebagai akibat perubahan input. Apabila input (baik K maupun L) naik sebesar 2 (dua) kali maka output akan naik sebesar 2 (dua) kali pula.

Karena dalam fungsi Cobb Douglas berlaku constant return to scale maka akan membawa konsekuensi bahwa substitusi antar factor-faktor produksinya adalah substitusi sempurna, artinya satu input L (tenaga kerja) dapat digantikan dengan satu unit input K (modal). Dengan demikian, fungsi produksi Cobb Douglas mempunyai bentuk isoquan linear. Yang dapat dilihat dengan jelas dari gambar 2.5


(60)

Gambar 2.10. Kurva Isoquan Fungsi Produksi Cobb-Douglas

2.10. Biaya Produksi

Keputusan manajemen dalam kaitannya dengan penggunaan input (masukan) untuk menciptakan output (keluaran) sangat penting dan perlu menjadi perhatian serius. Untuk menciptakan suatu output tentunya dengan berbagai input yang digunakan seperti : tenaga kerja, bahan baku,barang-barang modal, dan lainnya. Keseluruhan input ini pada hakikatnya berupa biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses produksi yang disebut opportunity cost.

Opportunity Cost

Konsep opportunity cost pada hakikatnya merupakan pengorbanan yang diberikan sebagai alternative terbaik untuk memperoleh sesuatu hasil atau manfaat. Atau dapat pula menyatakan sejumlah harga yang harus dibayar unutk

L K


(61)

mendapatkannya. Dalam penggunaannya dapat berupa pembayaran/ harga terhadap sesuatu barang yang akan dikomsumsi dan dapat pula berupa produksi maupun terhadap penggunaan jasa. Dengan demikian opportunity cost is the value of the best alternative that must be given up to produce goods or service (Sumanjaya, R., 2008; 107).

2.10.1. Macam-Macam Biaya

Yang dimaksud dengan biaya dalam pengertian ekonomi adalah seluruh beban yang harus ditanggung produsen untuk menyediakan produk baik barang maupun jasa agar siap dikonsumsi oleh konsumen (Pracoyo,T.K.,2006; 170).

Berdasarkan realitas, biaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Suhartati, T., 2003; 123):

1. Biaya eksplisit ialah pengeluaran yang nyata dari suatu perusuhaan untuk membeli atau menyewa input atau faktor produksi yang diperlukan di dalam proses produksi.

2. Biaya implisit ialah nilai dari suatu input milik sendiri atau keluarga yang digunakan oleh perusahaan itu sendiri di dalam proses produksi.

Berdasarkan pertanggungjawabannya, biaya digolongkan menjadi dua macam yaitu biaya internal dan biaya eksternal. Biaya internal adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka operasional perusahaan( biaya eksplisit dan implisit). Biaya eksternal adalah biaya yang harus ditanggung perusahaan sehubungan dengan dampak atau akibat dari operasional perusahaan. Misalnya biaya atas


(62)

pencemaran dan kerusakan lingkungan sekitar perusahaan biaya program peningkatan peran serta perusahaan terhadap lingkungan dan sebagainya (Putong, I., 2005; 252)

Berdasarkan sifatnya,yaitu mengkaitkan antara pengeluaran yang harus dibayar dengan produk atau output yang dihasilkan, biaya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Biaya tetap

Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan per satuan waktu tertentu, untuk keperluan pembayaran semua input tetap, dan bsarnya tidak tergantung dari jumlah produk yang dihasilkan.

2. Biaya variabel

Merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh suatu perusahaan pada waktu tertentu, untuk pembayaran semua input variabel yang digunakan dalam proses produksi.

Penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel dalam proses produksi disebut sebagai biaya total. Hubungan antara biaya dan output dalam bentuk persamaan merupakan fungsi biaya. Fungsi biaya total diformulasikan sebagai berikut:

TC = f(q)

Terdapat dua fungsi biaya yang dapat diurunkan dari fungsi biaya total, yaitu:


(63)

1. Fungsi Biaya Tetap Total/Total Fixed Cost (TFC)

Didefinisikan sebagai nilai dari biaya total pada suatu tingkat output nol. TFC(q) merupakan suatu fungsi dari q yang konstan untuk semua nilai-nilai q yang mungkin:

TFC(q) = TC(0)

2. Fungsi Biaya Variabel Total/Total Variabel Cost (TVC)

Sama dengan perbedaan antara biaya total memproduksi q dan biaya tetap total:

TVC(q) = TC(q) – TFC(q)

Oleh karena itu biaya variabel total adalah bagian dari biaya total yang bervariasi dengan tingkat output.

Kemudian dari fungsi biaya total diatas dapat diturunkan fungsi biaya rata-rata yang merupakan suatu nilai tengah aritmatik bilangan, yaitu (Tati Suhartati, 2003; 125):

1. Fungsi Biaya Tetap Rata-rata/Average Fixed Cost (AFC) adalah biaya tetap per unit output:

AFC(q) = q

q TFC( )

2. Fungsi Biaya Variabel Rata-rata/Average Variabel Cost (AVC) Adalah biaya variabel per unit output:


(64)

AVC = q

q TVC( )

3. Fungsi Biaya Total Rata-rata Adalah biaya total per unit output:

ATC(q) = q

q ATC( )

4. Fungsi Biaya Marginal

Adalah laju perubahan di dalam biaya total sebagai akibat perubahan output:

MC(q) = dq

d

[TC(q)]

Gambar 2.11. Kurva TC,TFC,TVC

0 Q

TC

TC


(65)

2.10.2. Economis dan Diseconomis Scale

Dalam kegiatan produksi dalam jangka panjang produsen dihadapkan suatu pernyataan tentang bagaimana alternatif proses produksi yang dilakukan oleh suatu perusahaan mencapai skala ekonomis atau tidak ekonomis. Economies scale berarti penggunaan input produksi dimana rata-rata biaya produkjsi menunjukkan penurunan sedangkan output dinyatakan meningkat. Adapaun diseconomies scale mengungkapkan pengingkatan output diikuti oleh kenaikan biaya rata-rata produksi.


(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mendapatkan data atau informasi untuk kegunaan atau tujuan tertentu. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan ekonometrika dengan metode kuantitatif menggunakan pemodelan regresi linier berganda, Hal ini dilakukan karena penelitian ini berusaha menjelaskan hubungan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya.

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana pengaruh variabel tenaga kerja, luas lahan dan penggunaan pupuk terhadap hasil produksi teh di perkebunan PTPN IV Sidamanik selama kurun waktu 20 tahun yaitu dari 1990-2009. Pertimbangan pemilihan perusahaan ini adalah karena perusahaan ini telah lama memproduksi teh hingga saat ini, diharapkan dapat memenuhi kriteria sebagai tempat penelitian yang dapat memberikan data serta informasi yang dibutuhkan.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk data time series selama kurun waktu 1990-2009.


(67)

Sumber data diperoleh dari PTPN IV Sidamanik dan juga dari sumber lain seperti Badan Pusat Statistik (BPS), buku literature,jurnal, artikel serta bahan bacaan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengambil langsung data-data penelitian ke PTPN IV Sidamanik. Selain itu, peneliti juga menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel, majalah, laporan-laporan penelitian ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pencatatan langsung berupa data time series dari tahun 1990 sampai dengan 2009.

3.4. Pengolahan Data

Dalam melakukan pengolahan data, penulis menggunakan bantuan software utama pengolah data statistik yaitu Eviews 5.1. Disamping itu juga digunakan software aplikasi Microsoft Excel 2007 sebagai software pembantu dalam mengolah data.

3.5. Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dalam menganalisis adalah model ekonometrika, sedangkan metode yang dipakai adalah metode OLS (Ordinary Least Squares) atau metode kuadrat terkecil biasa. Metode ini dikemukakan oleh Carls


(68)

Friedrich Gauss. Data-data yang digunakan, dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik yaitu persamaan regresi linear berganda. Variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen dinyatakan dalam fungsi sebagai berikut:

Y = f ( X 1, X2, X3, ) ……….1)

Kemudian dibentuk dalam model ekonometrika dengan persamaan sebagai berikut:

Y= α+β1 X1+ β2 X2+β3 X3 +µ……….2)

Dimana;

Y = Jumlah Produksi ( Kg)

α = Intercept/ konstanta

β1 β2 β3 = Koefisien regresi

X1 = tenaga kerja (orang)

X2 = luas lahan (Ha)

X3 = jumlah pupuk (Kg)


(69)

Bentuk hipotesisnya sebagai berikut :

> 0 artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (tenaga kerja) maka Y (jumlah

produksi) mengalami kenaikan, cateris paribus.

> 0 artinya jika terjadi kenaikan pada X2 ( luas lahan ) maka Y ( jumlah

produksi ) akan mengalami kenaikan, cateris paribus.

> 0 artinya jika terjadi kenaikan pada X3 ( jumlah pupuk) maka Y (

jumalah produksi ) akan mengalami kenaikan, cateris paribus.

3.6. Uji Kesesuaian ( Test Of Goodness of fit)

3.6.1. Uji koefisien Determinasi (R-square)

Koefisien determinasi digunakan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel independen secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai variabel dependen dimana nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 ( 0 ≤ R2 ≤ 1). Semakin besar nilai R2 , maka akan semakin kecil variasi variable dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen.

3.6.2. Uji t-statistik

Uji t-statistik merupakan pengujian untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap dependen variabel. Dengan menganggap variabel lainnya konstan.


(70)

Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :

t hitung =

(

)

Sbi

b bi

dimana :

bi = koefisien variable ke i

b = nilai hipotesis nol

Se(bi) = simpangan baku dari variable independen ke i

Dalam uji t ini digunakan perumusan bentuk hipotesis sebagai berikut :

Ho: bi = b

Ha : bi ≠ b

Dimana bila bi adalah koefisian variable ke I nilai parameter hipotesis dan biasanya dianggap = ). Artinya tidak ada pengaruh variable Xi terhadap Y.

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji t dengan membandingkan t-statistik dengan t table. Apabila hasil perhitungan menunjukkan :


(71)

a. Ho diterima dan Ha ditolak apabila t-hitung < t-tabel dengan tingkat kepercayaan sebesar (α).

Artinya variable-variabel bebas tidak dapat menerangkan variable terikat, dimana tidak terdapat pengaruh variable bebas terhadap variable terikat.

Pengujian dilakukan dengan tingkat kepercayaan sebesar ( α ).

b. Ho ditolak dan ha diterima apabila t-hitung > t-tabel dengan tingkat kepercayaan ( α).

Artinya variasi variabel bebas dapat menerangkan variabel terikat, dimana terdapat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan dengan tingkat ke[ercayaan sebesar ( α).

3.6.3. Uji F-Statistik

Uji F-statistik ini adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh koefisian regresi secara bersama-sama terhadap dependen variabel. Nilai F-statistik dapat diperoleh dengan rumus

F-hitung =

( )

(

R

)

(

n k

)

k R

− 2 −

2

1

1

Dimana:

R2 = Koefisien determinasi

k = jumlah variabel independen ditambah intercept dari suatu model persamaan


(72)

Kriteria pengambilan keputusan:

H0 : ß1 = ß2 = 0 Ho diterima apabila F* < F-tabel atrinya variabel independen secara

bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independen.

Ha : ß1 = ß2 ≠ 0 Ha diterima apabila F* > F-tabel artinya variabel independen secara

bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel independen

3.7.Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

3.7.1 Multikolinearity

Multikolinearity adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi apakah terdapat korelasi variabel independen diantara satu sama lainnya. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearity dapat dilihat dari nilai R2, F-hitung, t-hitung, dan standart error.

Adanya multikolinearity ditandai dengan :


(1)

5.2 Saran

Berdasarkan evaluasi dari hasil penelitian serta kesimpulan yang telah

dirumuskan di atas, maka perlu untuk mengajukan saran-saran yang relevan sebagai

usaha untuk memecahkan permasalahan yang ditentukan dalam analisis serta

diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terkait.

Adapun saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dampak penggunaan faktor-faktor produksi lebih efektif jika pihak perkebunan

lebih memfokuskan penggunaan faktor yang berpengaruh secara nyata dan

signifikan terhadap kenaikan jumlah produksi, disamping disatu sisi menekan

biaya produksi untuk hal-hal yang tidak perlu.

2. Perkembangan ilmu pengetahuan menuntut kita untuk lebih banyak belajar lagi,

karena apa yang ada di dalam teori terkadang tidak sama dengan apa yang terjadi

dilapangan terkhusus dibidang pertanian banyak faktor yang tidak diperhitungkan

didalam teori namun terjadi dilapangan.

3. Implikasi kebijakan yang kurang tepat dapat menyebabkan ketidakmaksimalan

antara hasil yang ingin dicapai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Oleh

sebab itu para pengambil kebijakan terkhusus di PTPN IV Sidamanik perlu

mempertimbangkan efektifitas setiap kebijakan yang diambil.


(2)

Sumanjaya,R., S.H,Nasution., dan H.B Tarmizi, 2008. Teori Ekonomi Mikro. Medan

: USU Press.

Simbolon, Sahat, 2007. Teori Ekonomi Mikro Dilengkapi Beberapa Bentuk Soal

Kuantitatif. Medan: USU Press.

Pratomo,Wahyu Aryo. dan Paidi Hidayat. 2007. Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews Dalam Ekonometrika. Medan: USU Press.

Spillane,J.,1992.

Komoditi Teh Peranannya Dalam Perekonomian

Indonesia.Yogyakarta: Kanisius.

Soehardjo,H.,2000. Teh. Medan : PT.Perkebunan Nusantara IV Sumatera Utara.

Teguh,M., 1999. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Suhartati,T., dan M. Fathorrozi, 2003. Teori Ekonomi Mikro Dilengkapi Dengan

Beberapa Bentuk Fungsi Produksi. Bandung : Salemba Empat

Gujarati,D., 1998. Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga.

Putong,I., 2005. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media

Mubyarto, 1984. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES

Syamsulbahri, 1996. Bercocok Tanam Tanaman Perkebunan Tahunan. Malang :

Gajah Mada University Press.

Pracoyo, T. K., 2006. Aspek Dasar Ekonomi Mikro. Jakarta: PT Grasindo

Bank Bumi Daya, 1980. Teh Tinjauan Produksi dan Pemasarannya. Jakarta.


(3)

Lampiran 1

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 03/14/10 Time: 15:01 Sample: 1990 2009

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 11.35899 2.287547 4.965578 0.0001 X1 -0.298268 0.070169 -4.250679 0.0006 X2 0.311031 0.317193 0.980573 0.3414 X3 0.264522 0.090076 2.936652 0.0097 R-squared 0.606232 Mean dependent var 15.14882 Adjusted R-squared 0.462163 S.D. dependent var 0.122874 S.E. of regression 0.090112 Akaike info criterion -1.798660 Sum squared resid 0.129924 Schwarz criterion -1.599514 Log likelihood 21.98660 F-statistic 6.442240 Durbin-Watson stat 1.904979 Prob(F-statistic) 0.004566


(4)

Dependent Variable: X1 Method: Least Squares Date: 03/17/10 Time: 08:47 Sample: 1990 2009

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -6.524451 7.746773 -0.842215 0.4114 X2 0.633294 1.085542 0.583390 0.5673 X3 0.668974 0.265723 2.517564 0.0221 R-squared 0.342067 Mean dependent var 7.718089 Adjusted R-squared 0.264664 S.D. dependent var 0.363220 S.E. of regression 0.311467 Akaike info criterion 0.642435 Sum squared resid 1.649200 Schwarz criterion 0.791795 Log likelihood -3.424352 F-statistic 4.419257 Durbin-Watson stat 0.434853 Prob(F-statistic) 0.028480


(5)

Lampiran 3

Dependent Variable: X2 Method: Least Squares Date: 03/17/10 Time: 08:48 Sample: 1990 2009

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 6.442007 0.786326 8.192542 0.0000 X1 0.030992 0.053125 0.583390 0.5673 X3 0.064547 0.067072 0.962356 0.3494 R-squared 0.143434 Mean dependent var 7.591551 Adjusted R-squared 0.042661 S.D. dependent var 0.070421 S.E. of regression 0.068903 Akaike info criterion -2.374760 Sum squared resid 0.080709 Schwarz criterion -2.225400 Log likelihood 26.74760 F-statistic 1.423345 Durbin-Watson stat 1.378706 Prob(F-statistic) 0.268205


(6)

Dependent Variable: X3 Method: Least Squares Date: 03/17/10 Time: 08:49 Sample: 1990 2009

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.893949 6.043914 0.809732 0.4293 X1 0.405963 0.161252 2.517564 0.0221 X2 0.800399 0.831708 0.962356 0.3494 R-squared 0.363567 Mean dependent var 14.10348 Adjusted R-squared 0.288693 S.D. dependent var 0.287688 S.E. of regression 0.242633 Akaike info criterion 0.142952 Sum squared resid 1.000807 Schwarz criterion 0.292311 Log likelihood 1.570485 F-statistic 4.855692 Durbin-Watson stat 1.162448 Prob(F-statistic) 0.021473