Pembahasan HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara, untuk mempermudah proses analisis data yang di dapat, maka peneliti mencoba mengklasifikasikan jawaban berdasarkan fokus masalah, berikut uraiannya : Komunikasi merupakan hal yang tepenting dalam menjalani hubungan, khususnya hubungan suami istri, anak dan berkeluarga untuk membangun kontak sosial. Komunikasi merupakan alat untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat atau pun dalam membangun sistem kekerabatan. Budaya dan komunikasi merupakan hal yang sangat berhubungan satu dengan yang lain, budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Budaya memiliki hubungan yang kuat dengan komunikasi, ketika berbicara tentang budaya pasti tak terhindarkan dari komunikasi. Budaya merupakan kebiasaan yang sudah tertanam di dalam diri manusia sejak dia lahir ke Bumi. Di dalam kebudayaan, terdapat tujuh unsur kebudayaan, salah satunya ialah adat-istiadat. Contohnya, suku batak memiliki adat- istiadat yaitu “Dalihan Na Tolu”. Setiap manusia tentu memiliki budaya, dan di dalam kebudayaan tersebut terdapat adat-istiadat yang mengatur sikap dan perilaku masyarakat. Namun, masyarakat juga sering salah mengartikan adat bahkan terkadang tidak menuruti norma-norma adat tersebut. Dari hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwasanya kebanyakan dari informan peneliti, lebih sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik yaitu “Subordinasi Perempuan” yang berasal dari keluarga dan juga dari masyarakat yang bertolak belakang dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”. Berdasarkan teori cultural studies, budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Di dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya bentuk-bentuk subordinasi di kalangan masyarakat batak. Subordinasi yang dirasakan perempuan sebagai orangtua tunggal dikalangan masyarakat batak tentu melalui komunikasi, baik komunikasi Universitas Sumatera Utara verbal maupun nonverbal. Dimana, subordinasi itu terjadi bukan karena adanya norma-norma adat tetapi budaya dari diri sendirilah yang mempengaruhi pola pikir atau tindakan masyarakat untuk mensubordinasikan perempuan. Sehingga dari penyimpangan tersebut, terdapat sikap atau pandangan yang membuat laki-laki lebih berkuasa terhadap perempuan. Bukan hanya itu saja, sistem patrilineal dalam suku batak juga mempengaruhi bagaimana masyarakat Batak Toba bersikap terhadap perempuan. Budaya atau kebiasaan yang menganggap bahwa perempuan hanya ada di belakang laki-laki, perempuan adalah “boru” yang dimana letak “boru” hanya ada di dapur. Konsep dasar manusia inilah yang mempengaruhi diri sendiri sehingga masyarakat Batak Toba seringkali menganggap bahwa yang diajarkan “Dalihan Na Tolu” sama dengan konsep mereka. Sementara di dalam “Dalihan Na Tolu” dikatakan bahwa perempuan atau “boru” harus disayangi karena dari “boru” lah terdapat kekuatan “hula-hula”. Begitu pula sebaliknya, bahwa “hula-hula” haruslah dihormati oleh “boru”. Sehingga di dalam filosofi “Dalihan Na Tolu” tidak terdapat perbedaan gender, semua masyarakat batak memiliki fungsi dan posisi masing-masing yang membuat mereka setara serta membuat hubungan saling membutuhkan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, di dalam masyarakat batak cucu pertama perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki paling besar merupakan sebutan untung nenek dan kakek mereka. Misalnya, opung Jessica karena Jessica merupakan anak pertama dari ayahnya. Jika di tanya mengapa harus ayah, karena sistem patrilineal yang dianut masyarakat Batak Tobalah yang mengharuskan anak dari ayah. Masyarakat batak toba sering salah menggunakan “Dalihan Na Tolu”, dengan kata lain masyarakat Batak Toba sudah menganut budaya yang bertolak belakang dengan “Dalihan Na Tolu”. Tanpa disadari masyarakat batak sudah lama mempraktekannya, sehingga sering membuat perempuan menjadi nomor dua dan laki-laki lah yang harus diutamakan. Universitas Sumatera Utara Pada informan pertama yaitu RS, peneliti melihat bahwa sebelum menjadi orangtua tunggal RS tidak begitu dekat dengan keluarga suami. Ketidakdekatan ini justru membuat jarak yang semakin jauh setelah suami RS meninggal. Akan tetapi suami RS yang merupakan istri dari “hula- hula”, maka pendapat RS masih di anggap di kalangan keluarga DS. Setelah DS meninggal pendapat RS tidak pernah di anggap, bahkan yang seharusnya RS sebagai istri “hula-hula” dan sebagai boru bukan lagi siapa- siapa. Misalnya pada saat acara adat, RS hanya diundang sebagai tamu dan posisi duduk yang seharusnya di depan menjadi di belakang. Kenyataan inilah yang menunjukkan bagaimana budaya masyarakat Batak Toba yang sudah mendarah daging lebih diutamakan dibanding budaya asli suku batak yaitu “Dalihan Na Tolu”. Bentuk-bentuk subordinasi yang dirasakan RS melalui komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Setelah menjadi orangtua tunggal yaitu “boru” hanya dapat mengerjakan pekerjaan dapur sehingga pendapat “boru” bukan merupakan hal yang penting. Pendapat RS tidak pernah ditanyakan saat ada pertemuan keluarga suami. RS mengaku hanya dihargai ketika suami masih hidup. Hal ini merupakan subordinasi terhadap RS dimana RS tidak dihargai lagi ketika suami meninggal. Bukan hanya subordinasi tetapi stereotype yaitu sikap negatif masyarakat terhadap perempuan. Streotype yang dirasakan RS juga ketika dia melakukan interaksi kepada masyarakat khususnya kepada kaum laki-laki, pandangan masyarakat terhadap RS menjadi negatif. Informan kedua yaitu YS juga mengalami hal yang sama seperti informan pertama. Hanya saja sebelum suaminya meninggal, YS sangat disayangi oleh keluarga suami. YS mendapatkan perlakuan yang lebih, pendapat YS sangat diperdulikan, apa yang terjadi di keluarga YS harus mengetahui. Saat suami YS meninggal semua berubah drastis, YS yang dulunya diutamakan sekarang harus dibelakangkan. Peneliti melihat bahwa yang terjadi dengan YS sama dengan RS, YS dan RS tidak dihargai sebagai seorang perempuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa laki-laki Universitas Sumatera Utara menjadi bagian yang paling penting, karena ketika laki-laki tidak ada maka perempuan tidak akan berharga. YS memiliki pengalaman yang lebih menyakitkan dibanding RS, YS bukan hanya tersubordinasi tetapi YS juga termarginalkan. YS disisihkan oleh keluarga pihak suami, bahkan YS tidak dianggap oleh pihak keluarga suami. Informan ketiga berbeda dengan informan pertama dan kedua, informan ketiga yaitu SM. Dari kecil SM tidak pernah diperhatikan orangtua, SM merasa terpinggir sejak ia masih kecil. Sehingga hal ini sangat berbeda dengan YS dan RS, SM yang dari kecil tidak begitu diperhitungakan dan SM sangat buta dengan adat. Setelah menikah SM baru mengetahui tentang adat, tetapi pernikahan SM tidak pernah diadati. Anak dari mantan suami pertama SM dibesarkan oleh keluarga AS suami pertama. SM tidak berhak atas anak laki-lakinya karena anaknya di asuh pernuh oleh keluarga SM, sementara berbeda dengan suami kedua. Anak dari suami kedua diasuh oleh SM, menurut peneliti karena SM memiliki anak perempuan sehingga anak tersebut tidak dipermasalahkan keluarga mantan suami kedua. SM memang tidak merasakan subordinasi, tetapi peminggiranlah yang dirasakan SM. Informan keempat yaitu MP, informan ini hamil diluar nikah dan tidak memiliki suami sampai saat ini. MP merasakan marginalisasi saat keluarga tahu dia hamil di luar nikah. Sementara laki-laki yang menghamili dia tidak dikenakan sanksi apapun dari keluarganya, bahkan pihak laki-laki tidak mengizinkan mereka menikah. MP dipindahkan dari sidikalang ke Medan, hal ini adalah peminggiran yang kedua yang MP alami. MP juga mengalami subordinasi, MP tidak dihargai karena tidak memiliki suami dan pendapat MP tidak begitu diperhitungkan karena MP hanya seorang perempuan bahkan MP sendiri tidak dapat menjaga kehormatannya. Peneliti melihat bahwa seringkali perempuan dikucilkan karena kesalahannya. Padahal jika dilihat kembali, kesalahan itu bukan terjadi karena MP saja bahkan laki-laki lah yang paling penting peranannya. Tetapi bisa kita lihat, bahwa MP lah yang memiliki beban Universitas Sumatera Utara yang lebih berat sementara TS ayah dari anak MP sudah memiliki istri sampai saat ini. Peneliti melihat bahwa perempuan lebih dianggap rendah dibanding laki-laki karena pola pikir masyarakat di lingkungan MP masih terpengaruh oleh budaya yang tertanam. Budaya yang tertanam tersebut yaitu bahwa perempuan hanya ada di dapur, perempuanlah yang ada dibelakang, perempuanlah yang lemah, sementara laki-laki lebih kuat bahkan masyrakat lebih menghargai laki-laki. Sikap inilah yang membuat MP tidak begitu dihargai, bahkan peneliti melihat sama halnya seperti SM. MP dan SM sama-sama memiliki anak perempuan, tetapi keluarga dari ayah anak mereka tidak begitu mempertimbangkan keberadaan anak tersebut. Sementara jika kita melihat AS, anak laki-laki SM dan AS diasuh oleh keluarga AS. Anak laki-laki tersebut merupakan cucu pertama laki- laki dari keluarga AS, tetapi SM selaku ibu tidak diberikan kesempatan untuk mengasuh anaknya. Menurut peneliti, sikap ini lah yang mendasari terjadinya ketidakadilan gender. Informan kelima ini merupakan informan terakhir, peneliti sangat tertarik meneliti informan ini karena menurut peneliti informan ini jauh berbeda dari keempat informan sebelumnya. Informan ini adalah LM, dia menjadi orangtua tunggal karena suaminya meninggal dunia. RS dan YS menjadi orangtua tunggal juga karena suami mereka meninggal, akan tetapi perbedaannya RS dan YS tidak dianggap oleh keluarga suami setelah suami mereka tidak ada. Sementara LM tidak merasakan terpinggir dari keluarga suami. Alasan LM tidak dimarginalkan dari keluarga suami yaitu karena LM sangat menghormati dan tidak pernah melawan mertua dan seluruh keluarga suami. Inilah sebabnya peneliti tertarik, ada perbedaan yang peneliti temukan antara RS, YS dan LM. RS dan YS mengaku bahwa mereka memiliki sikap yang tegas, jika tidak sesuai dengan pemikiran mereka maka akan dibilang. RS dan YS juga mengaku, bahwa mereka memiliki sifat keras dan tidak suka menyimpan dalam hati. Universitas Sumatera Utara LM tidak tersubordinasi di dalam keluarga pihak suami maupun keluarga LM sendiri. Namun LM tetap merasakan ketidakadilan gender, stereotype merupakan ketidakadilan gender dari masyrakat. LM sangat menjaga sikapnya karena setiap masyrakat ketika meilhat perempuan sebagai orangtua tunggal akan selalu memiliki label negatif. Pandangan negatif inilah yang tidak bisa dihindari LM, tetapi sejauh yang peneliti lihat LM bukan termasuk perempuan yang dapat disepelekan. LM sangat dihargai oleh kedua pihak keluarganya, bahkan sampai saat ini LM dan keluarganya tidak memiliki masalah apapun. Perempuan sebagai orangtua tunggal memiliki perannya masing- masing, seperti kelima informan. Seluruh informan peneliti memiliki peran yang sama, yaitu mereka sebagai ibu dan mereka juga sebagai ayah. Bukan hanya itu saja, mereka juga harus menafkahi anaknya dan tujuan mereka agar anaknya berhasil kelak. Peran orangtua tunggal di dalam adat pun sama, tetapi jika memiliki anak laki-laki maka anak tersebut harus menggantikan ayahnya. Dengan kata lain, anak tersebut harus memberikan pendapat jika bermusyawarah. Bentuk subordinasi juga terdapat disituasi ini, dimana laki-laki tetap harus diutamakan dibanding perempuan tanpa melihat ibu atau anak. Hal ini jelas di uraikan oleh informan peneliti, mereka harus mengikutsertakan anak laki-lakinya bahkan YS juga sering menanyakan pendapat anak laki-lakinya terlebih dahulu jika ingin melakukan sesuatu. Peneliti melihat adanya ketidakseimbangan, bukan hanya laki-laki dan perempuan tetapi ketidakseimbangan antara filososfi “Dalihan Na Tolu” dengan perilaku masyarakat. Keempat informan peneliti memiliki penilaian yang sama bahwa masyarakat lah yang salah mengartikan “Dalihan Na Tolu”, adapun satu informan yang tidak berpendapat yaitu SM. SM tidak mengetahui dengan jelas apa itu “Dalihan Na Tolu” karena SM sendiri tidak mengerti dengan adat. Keempat informan tersebut melihat bahwa masyarakat sering salah mengartikan dan menyalahgunakan. Dari hasil penelitian peneliti, bahwa yang dikatakan Universitas Sumatera Utara keempat informan ini benar. Mereka mengalaminya dan peneliti melihat bahwa budaya dari diri mereka lebih kuat mempengaruhi perilaku dibanding budya “Dalihan Na Tolu” sendiri. Peneliti melihat bahwa hal ini disebabkan oleh persepsi yang turun menurun dan dari sistem patrilineal. Peneliti juga melihat bahwa perempuan itu sendirilah yang kadang membuat perempuan lainnya berfikir seperti apa yang mereka jalani. Peneliti memberikan satu contoh untuk mendasari alasan tersebut. Seorang ibu mengatakan bahwa anak perempuan harus taat kepada suaminya kelak, harus menghormati suaminya, harus bisa membuat makanan suami. Secara tidak langsung pola pikir perempuan tersebut terpengaruh dari ibunya karena dia percaya bahwa ibunya bertujuan baik. Budaya ini lah yang lebih kuat dibanding “Dalihan Na Tolu” yang sudah ada sejak suku batak terbentuk. Peneliti melihat bahwa di lapangan hal ini juga terjadi dan seringa disalah gunakan. RS ,YS, MP, dan LM mengalami ketidakseimbangan tersebut, mereka harus menghormati “hula-hula” sekalipun mereka tidak menyukai tetapi mereka harus taat. Jika “hula-hula” berpendapat salah, RS,YS,MP, dan LM harus tetap diam dan harus tetap menghormati “hula-hula”, harus tetap tersenyum. “hula-hula” terkadang memanfaatkan situasi ini dan membuat posisinya lebih tinggi. Karena perempuan selaku “boru” harus tetap ada disamping “hula-hula” tanpa melawan. “Boru” yang seharusnya disayangi karena persepsi masyarakat yang mengatakan “boru” ada di dapur, membuat RS,YS,MP, dan LM harus meladeni penuh “hula-hula” mereka. Penyimpangan tersebut tidak hanya terjadi antara “hula-hula” dan “boru” saja, akan tetapi sikap yang bertolak belakang lainnya juga dirasakan informan peneliti. Setelah menjadi orangtua tunggal RS,YS,SM, dan LM, tidak dipedulikan oleh keluarga laki-laki. Seharusnya di dalam filosofi “Dalihan Na Tolu” mereka adalah “boru” yang harus disayangi dan dilindungi. Tetapi tidak sesuai dengan arti filosofi tersebut, keluarga pihak laki-laki tidak peduli. MP juga merasakan sikap yang bertolak Universitas Sumatera Utara belakang tersebut, hanya saja MP tidak menikah. Meskipun demikian MP sempat dimarginalkan oleh keluarganya sendiri meskipun pada akhirnya dia kembali berhubungan baik dengan keluarganya sendiri. Penelitian yang dilakukan ini menunjukkan bahwa perempuan tersubordinasi bukan karena adat “Dalihan Na Tolu” tetapi budaya dari diri sendirilah yang membuat perempuan tersebut disubordinasikan. Pola pikir masyarakat batak yang mengutamakan laki-laki dibanding perempuanlah yang membuat perempuan harus merasaka subordinasi, padahal subordinasi itu sendiri bukan berasal dari “Dalihan Na Tolu”. Peneliti melihat subordinasi yang terjadi terhadap perempuan sebagai orangtua tunggal karena peraturan adat yang semula dibuat untuk menjadikan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan justru malah membuat laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan. Teori cultural studies menjelaskan bahwa budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Di penelitian ini terlihat bagaimana perempuan di subodinasikan, dan semua bentuk subordinasi yang dirasakan perempuan itu bukan karena filosofi “Dalihan Na Tolu” yang salah akan tetapi pola pikir masyarakat yang membudaya di lingkungan suku batak. Filosofi “Dalihan Na Tolu” dijadikan sebagai dasar pola pikir yang salah sehingga laki-laki di beri kuasa untuk perempuan. Bahkan peran perempuan sebagai orangtua tunggal lebih banyak, perempuan harus mampu menjadi ibu dan ayah. Ketika perempuan tersebut dekat dengan laki-laki lain, perempuan tersebut langsung direndahkan oleh masyarakat. Sementara jika laki-laki sebagai orangtua tunggal dekat dengan perempuan, masyarakat menganggap bahwa seorang ayah tentu memerlukan seorang istri dan ibu untuk anaknya. Penelitian ini tidak untuk di generalisasikan, penelitian ini hanya berlaku terhadap lima informan peneliti. Penelitian yang dilakukan ini dapat menjadi pandangan bagi masyarakat bahwa perempuan yang tersubordinasi memiliki peranan yang lebih penting, bahkan ketika tersubordinasipun perempuan tetap taat pada status yang ditanggungnya. Universitas Sumatera Utara Teori cultural studies bertujuan untuk mebgubah struktur dominasi yang sudah ada di masyarakat Batak Toba. Berangkat dari teori ini juga, peneliti melihat bahwa kita sebagai masyrakat harus menyamakan posisi perempuan dan laki-laki sama karena pada kenyataannya filosofi “Dalihan Na Tolu” juga dari awal mengajarkan yang baik untuk masyarakat Batak Toba. Universitas Sumatera Utara

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap lima informan perempuan sebagai orangtua tunggal dalam subordinasi di “Dalihan Na Tolu” , maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk subordinasi yang terjadi pada informan peneliti adalah beragam. RS dan YS memiliki banyak kesamaan, subordinasi yang mereka rasakan yaitu RS dan YS tidak dihargai oleh keluarga pihak laki-laki. RS dan YS dimarginalkan, sebagai “boru” di dalam adat RS dan YS tidak dapat ikut berpendapat dan hanya berada di dapur. Anak laki- laki sebagai pengganti ayah, subordinasi ini jelas dirasakan RS dan YS. Sekalipun anak, tetapi peneliti melihat adanya ketidaseimbangan gender yaitu dimana laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding perempuan. Sementara SM tidak diadati, peneliti melihat bahwa SM tidaklah berharga dan SM tidak banyak mengetahui tentang adat. Bahkan SM tidak tahu sama sekali tentang filosofi “Dalihan Na Tolu”. Selanjutnya, subordinasi yang dirasakan MP yaitu pendapat MP tidak dianggap saat awal menjadi orangtua tunggal, tidak dihargai karena suami yang membuat perempuan berharga. Bukan hanya tersubordinasi bahkan MP sempat termarginalkan oleh oranglain dan keluarga sendiri. Informan terakhir adalah LM, peneliti melihat tidak ada subordinasi yang LM rasakan selama menjadi orangtua tunggal. Akan tetapi, peneliti melihat adanya kesamaan dari kelima informan. RS, YS, SM, MP, LM mendapat pandangan negatif dari lingkungan ketika mereka salah bersikap dengan lawan jenisnya. Ini merupakan 85 Universitas Sumatera Utara