bahasa Latin berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan
tanah bertani Setiadi, 2010:27.
Budaya menurut E.B.Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan,
hokum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sementara menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia dengan belajar. Dengan demikian, kebudayaan atau budaya
menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun nonmaterial.
2.2.6.1 Kompenen Kebudayaan
T.La Pier menyatakanbahwa kebudayaan manusia dibagi dalam tiga sistem yang saling tergantung interdependent system, yaitu Setiadi,
2004:85 : a.
Sistem Ideologi, yaitu bagian dari kebudayaan yang berisi ide-ide, kepercayaan, nilai-nilai, cara berpikirpenalaran, dimana manusia
belajar menerima dalam membatasi apa yang diinginkan. La Pier menyebut sistem ideologi ini “komponen mental” dari sistem sosial,
yang dapat dipergunakan sebagai landasan aktivitas berfikir manusia. Ide-ide kita makhluk gaib supernatural creature, demokrasi,
keadilan, kebebasan, kesetiaan, kejujuran, keindahan dan nilai-nilai pendidikan atau ilmu pengetahuan berasal dari sistem ideology dari
kebudayaan sebagaimana yang telah kita pelajari. b.
Sistem Teknologi, bagian kebudayaan yang berkaitan dengan keahlian skill, kerajinan craft, dan seni yang memungkinkan manusia dapat
menghasilkan barang-barang material yang berasal dari lingkungan alam natural environment. Kemampuan kita memasak makanan,
mengendarai mobil, membentuk teknologi yang pada gilirannya melahirkan kebudayaan.
c. Sistem Organisasi, bagian kebudayaan yang berisikan semua yang
telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia mengkoordinasikan
Universitas Sumatera Utara
perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan orang lain. Kemampuan untuk memainkan peranan khusus untuk bertindak
sebagai anak atau orangtua, sebagai pemimpin diskusi, dan sebagainya, membentuk bagian dari komponen organisasi dari
kebudayaan yang telah kita pelajari. Jika sejumlah orang ada dalam proses interaksi satu sama lain, mereka membentuk kelompok sosial
yang terorganisir.
2.2.7. Adat Batak Toba
Banyak pendapat mengenai darimana asal-usul suku Batak dan apa arti perkataan Batak itu. Ada teorimengatakan bahwa suku Batak adalah
“sibatak hoda” yang artinya suku pemacu kuda dan pengertian Batak pada kamus yang ada adalah perampok, penyamun, gelandangan. Asal-usul
suku Batak berdasarkan teori tersebut adalah pendatang dari Hindia Belakang sekitar Asia Tenggara sekarang memasuki pulau Sumatera pada
masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia Rajamarpodang, 1992: 32. Suku Batak adalah suku murni sejati atau suku asli, sesuai dengan
yang terdapat pada “Mithologi Siboru Deakparujar” yaitu “Batakna” yang artinya “Mulana” atau “Mulanya”. Apabila diteliti akan kemurnian atau
keaslian suku Batak dari segi silsilah dan rasnya maka dapat dipastikan suku Batak itu adalah benar-benar murni atau asli. Silsilah suku Batak
menggambarkan kemurnian dan kesejatian. Ciri khas sistem kekerabatan suku Batak adalah marga. Penyebutan marga bagi seorang suku Batak
menggambarkan identitas pribadi etnis kekerabatan masyrakat Batak dan digunakan sebagai titik tolak berkomunikasi sesama masyarakat Batak
sesuai dengan filosofi “Dalihan Na Tolu”Rajamarpodang, 1992 : 36. Sistem kekerabatan masyarakat suku Batak memegang peranan
penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Terdapat beberapa
sistem didalam kekerabatan suku Batak menurut buku “Dalihan Na
Universitas Sumatera Utara
ToluNilai budaya suku Batak” yaitu; kelompok kekerabatan, sistem keturunan prinsip keturunan Batak.
- Kelompok Kekerabatan Suku Batak, pada umumnya perkawinan
suku Batak adalah monogami. Tetapi faktor turunan terutama karena faktor turunan anak laki-laki terjadi pula poligami.
Perkawinan sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedangkan perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh mungkin diusahakan
jangan sampai terjadi. Hal ini terjadi karena budaya, seorang istri yang diceraikan suaminya tidak akan mempunyai hubungan lagi
dengan keluarga laki-laki baik anak sendiri maupun keluarga lain.Pandangan Suku Batak bahwa anak adalah sesuatu yang paling
berharga. -
Prinsip Keturunan Suku Batak, prinsip keturunan suku Batak adalah patrilineal, bahwa garis turunan etnis adalah dari anak laki-
laki. Anak laki-laki memiliki peranan penting dalam kelanjutan generasi, artinya apabila seseorang tidak memiliki anak laki-laki
hal itu dapat dianggap “Napunu” karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya dan tidak pernah lagi diingat atau diperhitungkan
dalam silsilah. “Napunu” artinya adalah bahwa generasi seseorang sudah punah tidak berkelanjutan lagi pada silsilah suku Batak.
Sebagai pertanda dari prinsip keturunan suku Batak adalah Marga. Marga ini adalah asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai
dibelakang nama diri dari satu-satu garis keturunan. Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama nenek moyang sampai saat
sekarang menumbuhkan silsilah suku Batak.
2.2.8. Dalihan Na Tolu
“Dalihan Na Tolu” berasal dari kata “Dalihan” yang artinya tungku yang dibuat dari batu, “Na” artinya yang dan “Tolu” artinya tiga. Jadi
“Dalihan Na Tolu” berarti Tiga Tiang Tungku. Tungku merupakan tempat untuk memasak dengan menggunakan batu dan tungku tersebut terdiri dari
tiga batu. “Dalihan” dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga
Universitas Sumatera Utara
bentuknya menjadi bulat panjan, ujungnya yang satu tumpul dan ujung yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya kurang lebih
10cm, panjangnya kurang lebih 30cm, dan diameter lebih kurang dari 12cm yang ditanamkan dekat dapur dan tempat yang telah disediakan
terbuat dari papan empat persegi panjang berisi tanah liat yang dikeraskan. Ketiga “Dalihan” yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku
tempat alat masak dijerangkan. Besar “Dalihan” harus sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain dan
terlihat harmonis Rajamarpodang, 1992 : 52. Periuk atau belanga tidak selamanya dapat menjadi alat masak
yang cocok dijerangkan diatas tungku, mungkin alat masak terlalu kecil. Untuk itu supaya alat masak tidak lolos atau luncas kebawah harus dibantu
dengan batu-batu kecil yang dipipih cocok untuk dalihan sehingga alat masak dapat dijerangkan, batu pembantu demikian disebut “sihal-sihal”.
Jelasnya semua tungku yang tidak dibuat dari batu, seperti tungku-tungku alat modern atau keluaran pabrik tidak boleh dinamai “Dalihan”. Karena
“Dalihan Na Tolu” bukan sekedar tiga tungku untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur.
Demikianlah keadaan kekerabatan suku Batak Toba dan pandangan hidupnya, bahwa “dongan”, “hula-hula”, dan “boru” masing-masing
mempunyai pribadi dan harga diri tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab terhadap kedudukannya pada suatu saat.
Pada saat melihat tiang tungku atau “Dalihan Na Tolu” sebagai tungku pemasak, kita melihat bahwa apa saja yang dimasak diatas tungku
yang baik dan masakan itu dimakan untuk perseorangan atau bersama. Masakan akan baik ketika “Dalihan” tersebut tersusun dengan baik. Segala
masakan dapat diolah diatasnya untuk dimakan keluarga atau bersama. Melihat penjelesan sederhana tersebut, nenek moyang suku Batak melihat
kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga sama seperti “Dalihan Na Tolu”. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi
kepentingan manusia dan keluarga yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga
Universitas Sumatera Utara
unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerjasama. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak
akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu dengan yang lain barulah bermanfaat. Unsur pertama suhut atau dongan tubu, unsur kedua adalah
saudara suhut yang perempuan dengan suaminya disebut boru, dan unsur ketiga laki-laki dari istri suhut disebut hula-hula.
Ketiga unsur tersebut diuraikan sebagai berikut Rajamarpodang,1992 : 1.
Somba Marhula-hula “Hula-hula” merupakan sapaan terhadap saudara laki-laki dari isteri,
saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan
kakek kita.“Somba marhula-hula” artinya bahwa “hula-hula” adalah sumber berkat kepada “boru”. “Hulahula” sebagai sumber “hagabeon”
atau keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari “hula-hula”, tanpa “hula-hula” tidak ada istri dan tanpa istri tidak
ada keturunan. 2.
Elek Marboru “Elek Marboru” artinya “boru” harus diperlakukan dengan penuh kasih
sayang serta membujuk secara persuasif. Rasa sayang terhadap
“boru”tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. “Boru” adalah anak perempuan kita, atau kelompok margayang mengambil istri dari
anak kitaanak perempuan kita. Sikap lemah lembut terhadap “boru” perlu, karena“boru” akan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada
padanya untuk mendukung hula-hulanya. “Boru” juga disebut “Pangalapan gogo do boru” artinya boru adalah sumber kekuatan.
3. Manat Mardongan Tubu
“Manat Mardongan Tubu” yaitu suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan
acara adat. Hati–hati dengan teman semarga, nenek moyang berkata, “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang
dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu
Universitas Sumatera Utara
dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
“Dalihan Na Tolu” merupakan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya. Sehingga mendorong suku Batak Toba dalam segala
kegiatan untuk mewujudkannya, karena dengan berbuat demikian mereka akan mendapat kebahagiaan material maupun spiritual.
2.2.8.1 Perempuan Sebagai OrangtuaTunggal dalam “Dalihan Na Tolu”