Diskriminasi Kebijakan Ekonomi PETA KONDISI SOSIAL MUSLIM FILIPINA

33 aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan kementrian ditujukan kepada pembinaan lembaga sosial budaya dan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syari’at yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syari’at kadi juga dilancarkan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukkan amir al hajj pemimpin rombongan haji nasional pada musim haji 1982, pengadaan perlombaan membaca al Qur’an secara luas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama. 39 Bagaimanapun seriusnya usaha pemerintah melalui KUI, namun sebagian masyarakat Muslim meragukan ketulusan Marcos dalam menyelesaikan persoalan Moro dan beranggapan bahwa program pembangunan di Filipina Selatan hanyalah kedok ke arah integrasi yang merugikan. Karena itu, para tokoh perlawanan, terutama MNLF masih mendapat dukungan luas, kendati tidak dalam bentuk konkret perlawanan bersenjata.

C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi

Sejak Filipina memperoleh kemerdekaan, tahun 1946, Pemerintah Manila membuat program pemukiman bagi orang Kristen dari Luzon dan Visaya di wilayah Moro berdasarkan UU No. 1888 tanggal 22 Juni 1957 dibentuklah Commission On National Integration. Program ini sebenarnya kelanjutan dari 39 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.6. h. 315. 34 politik integrasi yang dilakukan Amerika. Pada waktu itu, masyarakat Moro tidak merasa terganggu, karena administrasi wilayah diatur oleh kalangan mereka sendiri. Tetapi dengan dukungan pemerintah, para pemukim Kristen mulai mengambil alih posisi straregis di bidang politik dan ekonomi, segera setelah mereka memenuhi tanah Moro. Kondisi ini mengakibatkan Muslim Moro makin terpinggir. Padahal semula program ini bertujuan mendorong semangat berproduksi, pertanian, industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara-cara yang lebih modern. Tetapi ini tidak berdampak signifikan bagi masyarakat Moro. 40 Dengan adanya kondisi semacam ini, tampaknya motivasi pemerintah Manila dalam proses migrasi dan pembangunan dinilai negatif, bukan hanya murni untuk pemerataan pemukiman di daerah Selatan, sehingga Cesar A Majul beranggapan tujuan Pemerintah Filipina adalah untuk mengurangi dan menghancurkan peran orang Islam di sana. Selain itu, kaum Moro merasa bahwa pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. Akhirnya di kalangan Moro terjadilah apa yang disebut erosi identitas kultural, teralienasi dari pembangunan ekonomi, terasing dari wilayah kehidupannya sendiri. Mereka menjadi kian asing di negeri sendiri. 41 Pada masa pemerintahan Marcos atau setelah penandatanganan perjanjian Tripoli, bangsa Moro diberikan hak otonom untuk mengelola wilayah Filipina Selatan. Bidang ekonomi dan finansial, wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Pada tahun 1977, keluar dekrit Presiden Filipina untuk mendeklarasikan adanya otonomi di wilayah Filipina Selatan dan tahun 1979 40 Djunaedi Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, Jakarta: PT Al Ma’arif, 1975. h. 31 41 Demografi fan Sejarah Kolonisasi di Fiipina. h. 42 35 kembali dekrit Presiden dikeluarkan untuk mengimplementasi adanya wilayah otonomi Filipina Selatan. 42 Dengan kesepakatan itu, pihak MNLF diberikan hak otonomi untuk mengelola wilayah Filipina Selatan di bidang ekonomi dan finansial, misalnya wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Tetapi perincian bagaimana mengoperasikan sistem itu dan bagaimana hubungan dengan pemerintah pusat dan Manila tidak begitu jelas, sehingga masyarakat Filipina Selatan tidak bisa berharap banyak pada kesepakatan otonomi tersebut. 43 Awal bulan Agustus 1973, didirikanlah Bank Amanah Filipina untuk memenuhi beberapa tujuan: untuk membangun kelas pengusaha wiraswasta Muslim yang lebih besar, untuk melatih kaum muda Islam memperoleh keahlian perbankan dan pengetahuan ekonomi yang canggih, dan membantu dana rehabilitasi daerah-daerah yang menyedihkan di daerah Selatan. Pada tahun 1974 Administrasi Pembangunan Filipina SelatanSPDASouthern Philippines Development Authority didirikan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara Muslim dan dan Non-Muslim pada batas regional. 44 Nyatanya, banyak usaha pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang atau sumber daya alam lainnya di wilayah masyarakat Moro di Mindanao. Banyak usaha dari pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri di Utara Filipina. Tingginya investasi untuk 42 Erni Budiwanti, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai, Jakarta: LIPI, 2001. h. 92 43 Problematika Minoritas Muslim Asia Tenggara. h.109 44 Durorudin Mashad, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar, Jakarta: LIPI, 2004. h. 171 36 menggali sumber-sumber tambang di Mindanao ini semakin mempertinggi disparitas atau kesenjangan di antara minoritas Muslim Moro dan Mayoritas Katolik. Setelah kemerdekaan Filipina, pemerintah bahkan menarik lebih banyak investor asing dari berbagai perusahaan multidimensional untuk mendirikan industri-industri besar di Mindanao guna memenuhi harapan pemerintah akan peningkatan ekspor Filipina, namun tidak memenuhi kebutuhan lokal Masyarakat Muslim Moro di Mindanao. 45 Pada umumnya, persoalan ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah berlangsung lama di kalangan kelompok minoritas secara etnis ataupun agama. Menurut Tri Nuke Pujiastuti, diskriminasi tersebut didukung oleh beberapa hal, pertama, pada kenyataannya kelompok minoritas tinggal di wilayah terpisah dengan kelompok mayoritas; kedua, masih rendahnya fasilitas-fasilitas ekonomi yang mereka miliki; ketiga, pelemahan konflik budaya; atau keempat, diskriminasi yang dilakukan kelompok mayoritas. 46 45 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 138 46 Problematika Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar. h.15 37

BAB III PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI