Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro Bersatunya Para Pemimpin Islam

50 memberi kemerdekaan pada tahun 1944 seperti yang dijanjikan, karena Jepang menduduki kepulauan itu antara tahun 1944 dan tahun 1945 selama Perang Dunia II. Pada tahap Perang Dunia II, baik bangsa Filipina, Amerika ataupun Moro sama-sama bertempur melawan Jepang, meskipun perjuangan mereka dilakukan secara terpisah tanpa satu komando. Setelah Jepang mampu dikalahkan, maka Amerika memerdekakan Filipina pada tanggal 4 Juli 1946. 69

B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro

Sebenarnya bila dicermati lebih lanjut, konflik kelompok minoritas dengan penguasa, dipengaruhi oleh sikap dan tindakan penguasa terhadap kelompok minoritas. Sikap dan tindakan pemerintah dapat dilihat dari pola-pola kebijakannya. 70 Dari tahun 1920, di bawah pemerintahan Filipina, masyarakat Muslim masih banyak mendapat diskriminasi. Memang pada saat itu pemerintahan Filipina tidak berjalan sepenuhnya sendiri, tetapi masih adanya kontrol dari Amerika Selama pemerintahan Ferdinand Marcos, persoalan umat Muslim diselesaikan dengan setengah hati. Terbukti dengan adanya peristiwa Jabidah pada awal tahun 1968. 71 Peristiwa Jabidah tersebut membangkitkan keraguan dan ketakutan yang pada akhirnya intelektual Moro berkeinginan untuk menyatukan bangsa Moro. Pemerintah Filipina mengabulkan permintaan orang muslim tetapi pemerintah 69 Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, Jakarta: Grolier International, PT Widyadara, 2003. h. 255 70 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan Myanmar, Jakarta: LIPI, 2003. h. 17 71 Bangsamoro, Societys and Culture. h.23 51 tidak menjalankan sepenuhnya. Dengan keadaan seperti ini, banyak organisasi yang bermunculan. 72 Setelah pemerintah Filipina menyatakan keadaan perang pada tahun 1972, pemerintah menertibkan semua senjata yang ilegal atau liar untuk diserahkan kepada yang berwenang. Tetapi sebagian kelompok Muslim menolak untuk menyerahkan, kerena menurutnya mereka akan kalah dengan pemerintah dan orang Kristen. Selain itu, dengan menyerahkan senjatanya mereka akan terbuka bagi serangan-serangan kelompok Kristen. Tindakan tentara untuk menyita senjata dan amunisi di bario-bario regional dan kota-kota pedalaman Sulu, menyebabkan timbulnya perlawanan dan pertempuran yang sporadis. Pengumuman tentang batas waktu untuk penyerahan semua senjata pada tanggal 25 Oktober, menghasilkan apa yang dinamakan “pemberontakan Marawi”. 73

C. Bersatunya Para Pemimpin Islam

Banyaknya Insiden yang mengorbankan masyarakat muslim ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’. Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19 Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70 72 W.K. Che Man, Muslim Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern Thailand, Oxford University Press, 1990. h. 77 73 Dinamika Islam Filipina. h. 62 52 orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah kendali Police Constibulary Satuan Polisi Khusus. Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompok- kelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’, kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara. 74 Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin tradisional datu, dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan atas bangsa Moro. 75 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat Islam dengan harta dan jiwa. 76 74 Ibid. h. 171 75 Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92 76 Lihat Lampiran 1. Dinamika Islam Filipina. h 129 53

BAB IV NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN