Kebijakan Terhadap Sosial Keagamaan

30 bangsa. Masyarakat Muslim yang terdapat di Thailand misalnya, multi etnis menyebabkan masyarakat Muslim tidak bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap diskriminasi pemerintah. 34 Ternyata sentimen etnis juga terlihat pada konflik internal Moro National Liberation Front MNLF pada tahun 1977, ketika itu petinggi MNLF yang tidak suka dengan kepemimpinan Nur Misuari melakukan pembusukan dengan mengambil isu komunis dikatakan bahwa Nur Misuari sebenarnya orang Komunis yang berlindung dalam selimut Islam. Hashim Salamat 1942-2003, yang ketika itu menjadi menjabat anggota Komite Sentral MNLF memecat Nur Misuari dari kedudukannya sebagai Ketua Komite. Salamat menyatakan bahwa Nur Misuari sedang berpaling dari Islam, karena lebih menyukai metode Komunis, dan bahwa ia sedang kehilangan kepercayaan dari banyak komandan lapangan Bangsa Moro Army BMA. Nur Misuari kemudian menyerang balik dengan cara memecat Salamat dari Komite Sentral, dan memasukkan lebih banyak anggota dari etnisnya sendiri, yakni etnis Tausug. 35

B. Kebijakan Terhadap Sosial Keagamaan

Sistem pendidikan pasca kemerdekaan Filipina pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem yang diperkenalkan Amerika dan kemudian dikembangkan pada masa persemakmuran. Manuel Quezon mengatakan bahwa dalam rezimnya tidak ada tempat bagi para Datu dan Sultan. Ini bisa kita mengerti karena Manuel Quezon menghendaki kesultanan menjadi wilayah integral Negara Filipina. 34 Erni Budiwanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah Represi Politik Jakarta: LIPI, 2003. h.129 35 Dinamika Islam Filipina. h. 92 31 Sistem pendidikan Filipina pada masa Amerika sebenarnya menerapkan kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina di semua daerah tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan agama, kultural dan tidak mempertimbangkan bahwa orang-orang Islam memiliki beberapa karakteristik agama yang unik dan sejarah mereka sendiri. Serta Undang-Undang nasional akan diterapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen. Namun dengan adanya kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam yang membuat presiden Quezon menyadari bahwa orang-orang Islam memiliki kode etik sendiri yang berharga dan memiliki sistem undang-undang yang menguasai aspek kehidupan mereka. Beliau pun gagal menyadari bahwa undang-undang nasional yang dibentuk tanpa perwakilan para pemilih Islam karena ini dirasakan asing bagi orang Islam Filipina yang warisan kulturalnya diambil secara besar-besaran dari masyarakat Melayu. 36 Padahal menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika pada waktu itu bertujuan untuk mengintegrasikan masyarakat Filipina yang sejak masa kolonialisme Spanyol mengalami konflik antara masyarakat Utara dan Selatan. Kemungkinan yang membuat masyarakat Muslim Filipina berontak terhadap Amerika adalah menyangkut diskriminasi dalam politik migrasi. Sementara itu, para pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru, merupakan rencana yang sengaja dilaksanakan untuk mematikan Islam di Filipina. Ketika diproklamirkan kemerdekaan di Filipina, masyarakat Muslim meminta perlakuan khusus dan pembentukan hukum serta pengadilan syari’ah yang memungkinkan mereka melaksanakan haknya dalam 36 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, Jakarta: LIPI, 2003. h. 11 32 memperaktekkan hukum Islam secara penuh, karena orang-orang Muslim merasa sulit menerima undang-undang nasional Filipina, kerena berasal dari nilai Barat dan Kristen. 37 Orang-orang Islam tidak menyukai sistem pendidikan baru yang menekankan ide-ide progresif Barat yang berguna untuk menciptakan kerakyatan nasional baru yang cocok. Aturan-aturan perilaku didasarkan pada nilai-nilai Barat. Buku-buku sejarah mengajarkan bahwa orang-orang Filipina Selatan, yang telah memerangi orang-orang Spanyol adalah kelompok perampok dan pedagang budak. Karena hal ini, orang-orang Islam Filipina tidak bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Walaupun begitu, di Filipina masih terdapat sejenis pendidikan pesantren atau sekolah pandita ustadz atau guru. Sekolah ini diselenggarakan di rumah atau di Masjid. Sekolah pandita adalah sebuah lembaga pendidikan yang menjadi sekolah lokal. 38 Pada tahun 1976, dalam masa pemerintahan Presiden Marcos 1965-1982, konflik antara gerakan Muslim yang tergabung dalam MNLF dengan Pemerintah Filipina berakhir dengan kesepakatan Tripoli yang isinya masyarakat Moro mendapat hak otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan. Perjanjian tersebut tidak berjalan dengan lancar, namun Pemerintah Filipina membentuk Kementrian Urusan Islam KUI pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal yang megah diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka. Dalam menjalankan tugasya, kementrian Urusan Islam menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada Masyarakat moro untuk berperan 37 Dinamika Islam Filipina. h. 15 38 Wacana Ideologi Negara Islam. h.133 33 aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan kementrian ditujukan kepada pembinaan lembaga sosial budaya dan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syari’at yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syari’at kadi juga dilancarkan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukkan amir al hajj pemimpin rombongan haji nasional pada musim haji 1982, pengadaan perlombaan membaca al Qur’an secara luas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama. 39 Bagaimanapun seriusnya usaha pemerintah melalui KUI, namun sebagian masyarakat Muslim meragukan ketulusan Marcos dalam menyelesaikan persoalan Moro dan beranggapan bahwa program pembangunan di Filipina Selatan hanyalah kedok ke arah integrasi yang merugikan. Karena itu, para tokoh perlawanan, terutama MNLF masih mendapat dukungan luas, kendati tidak dalam bentuk konkret perlawanan bersenjata.

C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi