53
BAB IV NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN
MUSLIM FILIPINA
A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro
Dalam suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak etnis seperti di Filipina, nilai-nilai agama cenderung dilihat sebagai sarana mengatur aspek ritual
bagi penganutnya. Akan tetapi pada saat penganut suatu agama minoritas tidak merasa keberadaannya disejajarkan dengan kelompok mayoritas, kelompok
minoritas tersebut akan terus mencari jalan supaya keberadaannya diperhitungkan. Pasca kolonial, usaha yang dilakukan bangsa Moro untuk memperjuangkan
eksistensinya adalah melalui organisasi. Sehingga Moro telah mengalami pergumulan yang panjang untuk mendapatkan eksistensi dan identitasnya.
77
Carmen Abu Bakar dalam meneliti masyarakat Tausug, diketahui bahwa sebenarnya masyarakat Filipina lebih cenderung menggunakan identitas agama
dibandingkan identitas etnis.
78
Wajar jika organisasi-organisasi yang muncul pertama kali di Moro adalah organisasi yang mengatasnamakan Islam. Namun
sebagai kelompok minoritas, masyarakat Muslim di Filipina sangat dipengaruhi peran Negara dalam menciptakan kondisi sosial politik, yang sangat menentukan
dinamika konstruksi identitas mereka. Unsur etnis dan agama memang merupakan daya tarik tersendiri bagi
kelompok minoritas dalam menonjolkan identitasnya, tetapi itu bukan satu-
77
Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, Jakarta: LIPI, 2003. h.10
78
Saiful Muzani edt, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993. h.203
54 satunya variabel penyebab untuk dapat memunculkan persoalan yang kemudian
memicu konflik. Pemicu di sini melibatkan berbagai faktor seperti budaya, ekonomi, dan politik yang berlangsung secara kumulatif.
Berdasarkan analisis Hendropuspito, konflik yang berdasarkan agama terjadi karena tiga hal. Pertama, agama tidak lagi dipandang sebagai ‘agama’
dalam arti sempit, yaitu sebagai perangkat doktrin yang mengikat individu, tetapi telah diubah menjadi suatu ideologi bagi penganutnya, sehingga seringkali agama
menimbulkan rasa ketidaksukaan dari kelompok lainnya. Kedua, adanya kecenderungan kelompok minoritas yang hidupnya mengelompok dan eksklusif.
Dengan tidak berbaur, maka hal itu semakin menajamkan jurang perbedaan budaya antar kelompok dan menimbulkan prasangka kelompok lain atau
mayoritas terhadap minoritas Muslim ataupun sebaliknya. Ketiga, adanya mitos mayoritas, artinya bahwa adanya keyakinan tentang kekuatan yang berkuasa dan
upaya pemenuhan keinginan mayoritas tanpa menghiraukan keinginan kelompok minoritas. Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau
penguasa untuk memaksakan pengaruh dan keinginannya tersebut dengan memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya. Analisis situasi di atas dapat
memunculkan perlawanan organisai-organisasi Moro yang anggotanya kelompok minoritas Islam untuk mempertahankan eksistensi identitasnya.
79
Munculnya organisasi modern Moro merupakan bagian dari pencarian identitas yang berlangsung sangat lama dan tidak terlepas dari sosio-historis
Muslim Filipina sejak masa awal kolonialisme. Menjelang berakhirnya era kolonialisme, pada tahun 1935 pemimpin-pemimpin Muslim di Mindanao dan
79
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 1993. h. 165-166
55 Sulu mengajukan permintaan pada Kongres Amerika Serikat agar kedua daerah
itu jangan dipersatukan ke dalam Republik jika Filipina memperoleh kemerdekaan dari Amerika Serikat. Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi. Permintaan para
pemimpin Sulu dan Mindanao kepada Kongres Amerika tersebut menunjukkan pada masa tersebut masyarakat Muslim yang berada di wilayah Filipina Selatan
tidak menginginkan integrasi dalam sebuah negara Filipina bersama dengan warga Kristen, karena secara historis keduanya sudah mengalami konflik sejak masa
kolonialisme Spanyol.
80
Meskipun para pemimpin Sulu dan Mindanao menolak diintegrasikan dalam sebuah negara Republik Filipina, namun pada masa itu para pemimpin
tersebut belum menemukan konsep yang jelas mengenai arah warga Muslim di Filipina Selatan. Kemungkinan ini disebabkan karena para pemimpin Muslim
pada waktu itu belum mengenal pendidikan modern sebagaimana kelompok Kristen Filipina yang mengecap pendidikan Barat pada masa kolonialisme
Amerika. Setelah masyarakat Muslim mengecap pendidikan modern pasca
kemerdekaan Filipina, kemudian muncul diskusi-diskusi di sekitar mahasiswa Muslim pada tahun 1960-an.
81
Pada tahun 1961, Datu Ombra Amilbangsa, seorang anggota Kongres dari Sulu memperkenalkan sebuah rancangan Undang-
Undang yang meminta pemerintah mengabulkan kemerdekaan untuk seluruh Provinsi Sulu. Ia adalah salah satu dari tiga penuntut Kesultanan Sulu dan telah
dinobatkan sebagai Sultan oleh para pengikutnya. Rancangan Undang-Undang itu dimuat Media Nasional Filipina dan mengundang berbagai komentar dari para
80
Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h. 77
81
Muslim Separatism. h. 77
56 sejarawan dan mereka yang berminat dalam urusan keislaman. Namun rancangan
Undang-Undang itu tidak ditanggapi oleh Kongres.
82
Sebagai seorang elite keturunan Kesultanan Sulu, apa yang dilakukan oleh Datu Ombra Amilbangsa menurut hemat penulis tidak lebih dari sekedar
romantisme sejarah yang ingin membangkitkan Kesultanan Sulu, serta kepentingan pribadi sebagai Sultan Sulu agar mendapatkan kekuasaan mutlak
sebagai seorang Sultan. Apa yang dilakukan Datu Ombra disusul dengan dikeluarkannya
Manifesto pada 1 Mei 1968 oleh mantan Gubernur Cotabato, Datu Udtog di daerah Pagalungan, Provinsi Cotabato yang menyerukan agar seluruh daerah yang
yang penduduknya mayoritas beragama Islam di bagian Selatan Filipina bersatu di bawah sebuah negara yang dinamakan Republik Mindanao dan Sulu. Manifesto
tahun 1968 tersebut merupakan awal dari suatu gerakan yang lebih teratur, lebih terorganisir untuk memisahkan diri dari Pemerintah Filipina. Meskipun
sebenarnya gerakan ini tidak banyak bedanya dengan yang dilakukan para pendahulu mereka sebelum Perang Dunia Kedua. Tanggapan dari manifesto
tersebut, maka dibentuklah Muslim Independence Movement MIM pada tahun 1968.
Gerakan MIM awalnya hanya merupakan gerakan yang mengumpulkan massa dan simpati dari ummat Islam karena bertujuan untuk mengimbangi
kekuatan pemerintah yang dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam menangani masalah konflik yang terjadi atas masayakat Muslim. Namun kondisi politik dan
keamanan justru mendorong proses pematangan gerakan MIM ke arah yang lebih
82
Bangsamoro, Society and Culture. h. 21
57 radikal dan lebih keras. Salah satu di antaranya adalah kasus pembantaian di Pulau
Corregidor, yang kemudian dikenal sebagai ‘jabidah massacre’ pada tahun 1970.
83
Insiden ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah
Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang
menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’. Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan
desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19
Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70 orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh
membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah
kendali Police Constibulary Satuan Polisi Khusus. Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompok-
kelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’, kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari
MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.
84
Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin
83
Revolusi Damai; Rekaman Kemelut Filipina. h. 169
84
Ibid. h. 171
58 tradisional datu, dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang
menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan atas bangsa Moro.
85
Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa
memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat Islam dengan harta dan jiwa.
86
Meskipun para pemimpin Muslim mengeluarkan ultimatum berupa manifesto, namun pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan konflik horizontal
tersebut. Maka Nur Misuari, seorang yang menandatangani manifesto tersebut mendirikan MNLF dengan disertai gerakan bersenjata.
B. Nasionalisme Moro Sebagai Identitas Muslim Filipina