Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau 7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600. Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan. 1 Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh sebelum Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan Muslim yang mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni; Kesultanan Sulu meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay, Mindoro, dan Iloco di sebelah utara pulau-pulau Luzon, Kesultanan Manguindanao, dan Kesultanan Buayan. Penjajahan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, termasuk penjajahan Spanyol 1565-1876 atas Filipina tentunya bukan hanya bertujuan memperoleh kemenangan secara ekonomi dan perluasan kekuasaan, melainkan juga mempunyai misi menyebarkan agama Kristen Gold, Glory, Gospel. 2 Namun, apa yang dilakukan Spanyol tentunya mendapat perlawanan dari masyarakat Muslim yang mengorganisir diri. Terutama di selatan pulau-pulau Palawan, Sulu 1 Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina Jakarta, LP3ES, 1989. h.13 2 Dinamika Islam di Filipina. h.13 7 dan Mindanao. Sehingga meski terjadi peperangan berkali-kali, Spanyol tidak pernah mampu menaklukkan kepulauan tersebut. Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina seperti halnya pada masa kolonial, khususnya di Filipina Selatan yang dihuni oleh komunitas Muslim. Masyarakat Moro beranggapan, pemerintah Filipina hendak menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan dengan kebudayaan Barat yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari peradaban Kristen dari kolonialisme Spanyol dan Amerika. Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim mengangkat senjata untuk mempertahankan diri. Perjuangan ini dipimpin oleh Moro National Liberation Front Front Nasional Pembebasan Moro yang dipimpin Profesor Nur Misuari, seorang dosen dari Universitas Filipina. 3 OKI dan Libia memainkan peranan mediator antara pemerintah Filipina dengan MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi di Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur, Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu, Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur. 4 3 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam : Studi Harakah Darul Islam dan MNLF Jakarta, Darul Falah, 2003. h.135 4 Garni Janto Bambang Wahyudi, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Terorisme Internasional, Jakarta, 2003. H.23 8 Ali Kettani dalam bukunya, Minoritas Muslim, menganggap pemerintah Filipina tidak pernah ingin memberikan penyelesaian yang adil. Sehingga menurutnya tidak heran jika perjanjian itu segera macet, dan memunculkan konflik antara Tentara Filipina dan milisi MNLF. Dari Maret 1968 sampai Maret 1982, lebih dari 100.000 orang sipil Muslim dibunuh oleh tentara Filipina, lebih dari 300.000 rumah orang Muslim dihancurkan dan lebih dari 50 desa, kota kecil dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina, termasuk Jolo. Pada tahun 1972 Tentara Filipina diperbesar jumlahnya menjadi sekitar 300.000 prajurit dan 50.000. sekitar 3 juta Muslim telah ditelantarkan dan banyak sekali masjid, sekolah dan tanaman dihancurkan. 5 Dari latar belakang masalah ini, yang dijelaskan bukanlah proses perjalanan konflik dan diskriminasi terhadap Muslim Filipina dari masa kolonialisme Spanyol hingga kemerdekaan Filipina. Yang menarik bagi penulis adalah identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing dan pemerintah Filipina. Tentunya, ini didasarkan bahwa seluruh perjuangan pasti membutuhkan suatu rumusan konsepsi dalam gerakannya. Konsepsi yang dihadirkan memunculkan identitas dalam memperjuangkan eksistensi gerakan tersebut. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat Muslim Moro yang memperjuangkan eksistensinya. Mereka membutuhkan identitas. Apakah Islam sebagai Identitasnya, atau Nasional Moro, tentunya kita dapat melihatnya dalam rangkaian historis yang merupakan satu kesatuan utuh dengan kondisi Muslim Filipina saat ini. 5 Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini: Rajawali Pers, Jakarta, 2001. h. 197 9

B. Permasalahan