Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah

59 wasath memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material dan moral dan terlibat dalam kekuasaan”. 71 Sementara itu, kekuatan atau otoritas dalam pemerintahan dan pemberlakuan hukum terhadap manusia adalah dengan memiliki ilmu tentang keadilan menurut panduan Al- Qur‟an dan sunnah, demikian pula dengan kemampuan menerapkan hukum[di tengah-tengah masyarakat]. Sementara sifat amanat, erat kaitannya dengan rasa takut khauf kepada Allah swt.tidak memperjual-belikan ayat-ayat-nya dengan harga yang murah, dan tidak memilki rasa takut terhadap sesama manusia.sebagaimana firman-nya: “karena itu janganlah engkau takut pada manusia, tapi takutlah kepada ku, dan jangnlah engkau menukar ayat-ayat-ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak behukum kepada apa yang di turunkan oleh Allah, maka itu adalah orang- orang yang kafir ,”Q.s. al-Maidah:44. 72 Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar- benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin imam‟. Dan “keseluruh kewajiban lain yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji, salat jamaah... menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin”. “agama 71 Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali Mariana Ariestyawati. Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001, hal. 288. 72 Ibnu Taimiyah, Sisyah Sya ’iyah : Etika Politik Isla , Terj, Rofi’ Munawar Syarabaya, Risalah Gusti, 2005. Hal 16 60 tanpa sultan kekuasaan, jihad, harta, sama buruknya dengan sultan, harta dan perang tanpa agama.”

B. Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun

Pada awal pembahasannya dalam Muqqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan empat perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk berpikir yang dengannya mengasilkan ilmu pengetahuan, makhluk politik yang memerlukan pengaturan dan pengedalian oleh kekuasaan, makhluk ekonomi yang ingin mencari pengidupan dengan berbagai cara dan profesi dan mahluk berperadaban. 73 Berdasarkan karakteristik diatas, ibnu khaldun menyatakan bahwa organisasi kemasayrakatan adalah suatu keharusan. Kodrat manusia tidak dapat memenuhui kebutuhan hidupnya secara sendirian. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhuinya. Makanan yang ia makan saja sudah melibatkan sekian banyak proses dan tenaga manusia. Tanpa ini eksistensi manuisa tidak akan sempurna. Dari sinilah lahir sebuah peradaban. Ketika manusia telah mencapai organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka mereka membutuhkan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka dari permusuhan antar sesama mereka. Ibnu Khaldun melihat bahwa manusia juga memeiliki watak yang suka menyerang antara satu dengan lainya. 74 Karena itu, untuk menolak dan mencegah sikap sewenang-wenang manusia atas manusia yang lain 73 Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penterjemah Ahmadie Thaha. hal. 31 74 Ibid 33-34 61 diperlukan pemimpin. ia adalah orang yang paling kuat dan disegani oleh kelompoknya, sehingga dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan manusia tersebut. Dialah yang disebut dengan raja atau kepala atau khalifah Sebenarnya, pandangan Ibn Khaldun tentang hubungan antara Kekhalifahan dan kedaulatan Mulk, yakni antar otoritas islam dan otoritas politik-alami serta fungsi-fungsinya, tampak sengat pelik. Pandangan itu mengantarkan kita pada dialektika antara Ilmu Budaya dan Wahyu; antara kekutan- kekuatan alami kedaulatan yang muncul dari „ Ashabiyyah,dan keadilan Tuhan . 75 „Ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan negara atau dinasti. „Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat dukungan dari keluarganya dan pengikutnya. Dalam konsep „Ashabiyah tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. Sebab pemimpin diperoleh dengan kemengan, oleh karena itu „ashabiyah pimpinan harus lebih kuat dari pada „ashabiyah-ashabiyah lain agar kemengan tersebut dapat terwujud. 76 Menurut Ibnu Khaldun kepemimpinan bukan merupakan kekuasaan “de jure” tetapi merupakan kekuasaan de facto dan kepemimpinan diperoleh dengan kemenangan, yakni dengan penggunaan kekuatan. Dengan demikian kepemimpinan terpusatkan pada salah satu 75 Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali Mariana Ariestyawati. Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001, hal. 324 76 Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penterjemah Ahmadie Thaha. H.144 62 cabang ashabiyah yang paling kuat. „Ashabiyah sendiri merupakan suatu bentuk khusus organisasi politik dengan puncaknya suatu aritokrasi kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi yang bebas. Jadi apabila di anatara anggota-anggota suku terjadi persamaan, maka tidaklah demikian dalam hubungan mereka dengan para pemegang kepemimpinan. Masyarakat desa merupakan syarat primer adanya „ashabiyah, dibalik itu ada sebagian suku-suku tidak memiliki „ashabiyah, yaitu suku-suku yang tunduk kepada suku lain. Atau suku tersebut tidak dapat mempertahankan dirinya sendiri, dan harus membayar pajak, maka pemimpinnya tidak dapat memrintah sesuai dengan kehendaknya sendiri. 77 „Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seorang untuk membela dan mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung didalamnya dengan sekuat mungin. Keluarga yang dimaksud adalah orang yang berasal dari garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan membela Klanya. „Asahabiyah dalam pengertian demikian adalah terpuji. Demikian „asbabiyah yang tidak terpuji adalah „ashabiyah atau Solidaritas orang-orang sesuku untuk melwan suku-suku yang lain tanpa landasan agama, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau yang tertindas. Dalam Fatwa al Khairiyyah di uraikan bahwa di antara larangan untuk menerima persaksian adalah „ashabiyah, yakni sesorang membenci sesorang yang lain karena orang tersebut masuk dalam suku X atau suku Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan dengan ini Nabi SAW 77 Kuhudairi, Filasafat Sejarah Ibn Khladun, h. 153 63 bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada „ashabiyah tidak termasuk kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan persaksian pelakunya tidak dapat diterima. 78 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa „ashabiyah yang baik adalah „ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan solidaritas yang berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah yang menjadi motivasi satu-satunya yang mendorong suatu suku memerangi suku yang lainnya. 79 Ini disebabkan karena hubungan darah memiliki kekuatan yang mengikat pada manusia setiap ummat manusia, yang membuat mereka ikut merasakan akan saetiap penderitaan yang meninpa kaumnya. Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk penindasaan dan menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya. Adanya hubungan kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu membantu, lebih disebabkan karena adanya hubungan nasab ikatan darah, dan inilah bentuk „ashabiyah yang sesungguhnya. Apabila tinngkat kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah akan sedikit melemah, maka sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun demikian, setiap orang ingin membantu orang lain family sebab ia khawatir akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya melindungi sesorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia ada hubungan keluarga dengannya. 78 Abd.al-Rahman Ibnu Khladun, Al- Ta’Ta’ if Ib Khaldu wa Rihlatu Gha ba wa Sya a Kairo: Lajnah al- Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951, h.27 79 Khudairi, Filsafat Sejrah Ibn Khaldun, h.142