Kekuasaan Menurut Ibnu Tainiyah
42
Argumen Ibnu Taimiyah tentang sumber-sumber hukum dan legilasi Islam dimaksukan untuk menitikberatkan pada sautu masalah
pokok: setalah melalui proses analisa final dapat ditarik kesimpulam bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap
dalam kitab suci Al- Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad yang secara
kolektif disebut syariah. Pembicaraan mengenai al- qur‟an, sunnah, ijma,
dan qiyas tidak mengandung arti bahwa empat sumber hukum itu sama derajatanya. Tidak ada yang sanggup mengikis esensi agama Islam bila
orang berpegang teguh pada prinsip itu. Seluruh bangunan Islam didirikan pada dua prinsip dasar: ke-Esaan Allah secara mutlak dan penegasan sikap
bahwa Muhammad adalah utusan Allah La ilaha ila Allah, Muhammad Rasul Allah. Karena muhammad diyakini sebagai rasul yang membawa
misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagai terungkap dalam al- Qur‟an, maka manusia dituntun kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha
kuasa hanyalah Allah semata. Syaraiah memang dapat dirinci menjadi empat bagian sumber, namun sumber-sumber itu dipandang sebagai
ungkapan kehendak Allah, Dzat yang Maha Esa dan Kuasa.
53
Pandangan para pemikir sunni mengenai perlunya pemerintahan untuk melaksanakan syariah mendorong terbentuknya konsep atas hukum
Tuhan siyasah Shar‟iyah. Konsep ini muncul sebagian karena
penyimpangan dan kekacauan politik waktu itu, yang sebagian besar di
53
Jidan, Teori Politik Islam, hal.71
43
luar masalah syariah, namun tetap dijustifikasikan oleh ara fuqaha sebagia bagian dari maslah syariah.
54
Ada sejumlah rujukan dalam al- qur‟an yang secara tegas
menerangkan sumber dan sekup kekuasaan dalam Islam. Misalnya dua ayat berikut:
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Q.S. 3:26
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Q.S. 3:189
Ayat-ayat al- qur‟an tersebut di samping ayat-ayat yang lain
menegasan bahwa Allah adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu juga menejalskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang
mempunyai kekuasaan mutlak seperti yang terdapat pada monarchi Hobbes atau reka-reka hukum dalam bentuk negara yang diajukan oleh
Jhon Austin. Tegasnya adalah bahwa tuhan sendiri yang mempunyai kekuasaan itu.
Hanya saja, al- qur‟an juga menegaskan bahwa Allah sebagai
pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan sebagai wakil khalifah Nya di bumi. Oleh sebab itu manusia dapat
54
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hal. 100
44
mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak beratas sepanjang digunkan hanya demi memenuhi kehenda-Nya.
Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan terselenggarakannya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian,
penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekdar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut,
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan sarana mendeaktkandiri kepada Tuhan, sudah barang tetu antara kehidupan
agama dan kehidupan duniawai akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika keukasaan memisahkan diri dari agamam atau agama mengabaikan
kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa
hubungan agana dan negara dalam pandangan Ibnu taimiyah, sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik.
Implikasi, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama syariah, tetapi negara berikut penyelenggaraannya juga bukanlah institusi
yang skaral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ketaatan kepada
pemerintah pemyelanggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah merak tidak bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang
45
remeh, karena, tanpa kehadirannya sautu tat terrtib sosial yang berlandasakan al-
qur‟an dan sunnah kiranya akan sulut diwujudkan.
55
a Kepala Negara
Kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas penting kepala negara adalah mewujudkan tujuan-tujuna dan maksud negara Islam. Sebagaimana
yang dijelaskan sejumlah besar ulama dan para pemikir dari kalangan pemuka salaf, berkaisar pada dua pusat inti, sebagaimana yang dikatakan
oleh al- Mawardi: “Meleindungi agama dan menagtur dunia.”
Sesungguhnya khalifah atau imam atau negara menjalankan administrasi negara yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan
tersebut. Jadi, ia menuaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah
ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para mentri, gubernur, pekerja pegawai dan pemerintah daerah, hakim dan lainnya kita mungkin
dapat meringkas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini; menjaga keamanan dakam negri membela negara, baik tanah air maupun rakyat,
melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar negri, dan mencegah setiap penyelewengan dan peyimpangan atau pelecehan
tasywih.
55
M. Arskal Salim G.P., etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, Jakrta: Logos, 1999, hal. 52
46
Begitu juga menuaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya: dengan mengekan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-
orang yang berbuat kejahatan serta mekanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang yang miskin, menarik pajak yang diwajibkan
negara atau mengumpulkan harta yang diizinkan syara, menjaganya dan membelanjakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengakat orang-
orang yang akan melaksanakan seluruh aktivis pembelanjaran negara, keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi.
56
Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang benilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakan kecuali dengnnya.
karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara meraka saling
membutuhkan.
57
Bagi Ibnu Taimiyah sangat penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan
mengubah keadaan orang.
58
Ibnu taimiyah jelas menolak pernyataan bahwa seorang raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Dan juga, ia tidak berpaandangan
56
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintah Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995, hal. 70
57
Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, hal. 158
58
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Hal. 235
47
bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural. Teori ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan
teori imamah syiah yang sangat ditentang keras oleh Ibnu Tamiyah. Pernyataan Ibnu Taimiyah seperti “inna al-Sulthan Zhil Allah fi al-
Ard” sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi seharusnya tidak dapat ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa
seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Sebab, di bagian lain, Ibnu Taimiyah menyebutkan
bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hamba-hamba-nya, tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba
al- Wulat Nuwwab Allah „Ala “Ibadaillah wa Wukala‟ala al-Ibad‟ala
mufsihin. Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda,
sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang mengutusnya dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam
mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjukannya sebagai wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenalkan
menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh yang mengangkatnya. Begit pul, dalam kedudukannya sebagi wakil, ia pun tidak
boleh mengkhianati amanat orang-orang yang diwakilinya.
59
59
Salim G.P., Etika Intervensi Negara, hal. 50
48
Ibnu taimiyah merumuskan teori kebersamaan, berkisaran konsep umat secara keseluruhan, di mana pemerintah dan yang diperintah
memiliki bentuknya masing-masing. Pertama, Ibnu taimiyah menyatakan bahwa “kekuasaan itu adalah amanah” dan ia mengutip dari ayat al-qur‟an:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Q.S. 4:58
60
Ayat ini diturunkan saat jatuhnya kota mekkah ke tangan Muslim. Nabi menerima kunci Ka‟bah dari Bani Syaiba. Paman Nabi, Abbas,
meminta bahwa ia Nabi diberikan kunci tersebut supaya ia dapat menghubungkan kantor penjaga Ka‟bah dan penyediaan air bag i para
jemaah haji. Saat ayat ini diturunkan, nabi memberikan kembali kunci ke bani Syaiba. Ayat ini menggariskan bahwa kepentingan akan keadilan dan
kehendak baik terhadap masyarakat oleh penguasa. Ayat al-
qur‟an kedua, yang Ibnu Taimiyah padang sebagai dasar pokok kedua dari doktrin politiknya adalah ayat yang diturunkan berurutan
dengan ayat tersebut diatas, yang berbunyi: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya,
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur‟an dan
Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya. Q.S. 4:59.
60
Departeman Agama Republik Indonesia, al- u ’a da Te je aha ya, hal.128
49
Ayat ini meminta muslim untuk patuh terhadap pemerintahnya dan tidak memberontak melawan mereka. Ibnu Taimiyah meyimpulkan bahwa
dua ayat ini menunjukan hubungan timbal balik antara masyarkat dengan pemerintah yang telah dibahas di atas. Akan tetapi sejak Ibnnu Taimiyah
menerima dengan sangat baik seluruh hadis politik determinasi sunni, ia menuntut bahwa Muslim harus tetap patuh pada pemerintah, sekalipun
mereka kejam Zalim. Kemudian, Ibnu Taimiyah menyatakan standar pandangan politik Sunni bahwa Muslim harus tunduk pada kezaliman, dari
pada memberontak melawan mereka, kecuali kalau pemerintah itu memerintah untuk sesuatu yang bertentangan dengan syari‟ah.
Meskipun demikian, pada tataran ini, konsep hubungan timbal balik Ibnu Taimiyah, muncul lagi. Walaupun ia tidak membolehkan
pemberontakan, ia
mengatakan bahwa
seandainya masayrakat
memberontak, seperti yang sering terjadi, pemerintah mesti toleran terhadap pemeberontakan dan tidak membunuh atau menhukum berat
meraka. Kebersamaan inin ternyata merupakan penerapan dari doktrin dasar Ibnu Taimiyah yang telah dinyatakan lebih dahulu dalam wacana
politik, dalam keadaan bagaimanpun, muslim tidak boleh membunuh Muslim lain atau menuduh Muslim lainnya kafir mutlak
kufr „ala „il- itlaq. Oleh karena itu, Muslim tidak boleh memberontak melawan
pemerintah Muslimin. Bagi orang yang memberontak, ia bukan melawan pemerintah, juga berusaha menggulinggkan atau membenuh, maka
50
hukuman yang berat mesti digunakan, seperti yang telah disebutkan dalam al-
qur‟an.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar
,
Q.S. 5:33
61
Menurut Ibnu Taimiyah ayat yang pertama, yakni 58 surat al- Nisaa, dimaksudkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya
kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyapaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil
keputusan atas sengketa antara sesam anggota masyarakat. Sedangkan ayat yang kedua, atau ayat 69 surat al-nissa, ditujukan kepada rakyat. Meraka
diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga pemimpin mereka, dan melakukan segala perintah selama tidak
diperintahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Kemudian kalau terjadi perbedaan pendapat antara mereka, mala dalam
mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah al- qur‟an dan
Rasul Sunnah. Ibnu Taimiyah mengakhiri pendahuluan dari bukunya dengan mengatakan bahwa dengan diwajibkannya para pemimpin negara
untuk menyapaikan amanat kepada pihak yang berhak, dan untuk berlaku adil dalam memutuskan sengketa seperti dalam ayat 58, maka akan terjadi
61
Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, hal. 227-228
51
perpaduan antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang baik.
62
Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyapaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟
Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Prinsip keadilan
ekonomi syariat dama barter, retrebusi, dan distribusi kepada kaum miskin harus dijalankan oleh publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas
publik wilayat adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan
tertinggi dari setiap tugas politik. Tidak ada pemerintah yang dapat mencapainya tanpa mematuhui norma-norma Islam. Sebaliknya,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif tanpa dukungan kekuatan politik.