54
keinginan  jiwa  manusia,  dan  kedaulatan  hanya  bisa  didapat  dengan bantuan  para  pengikut,  orang  yang  berkuasa  itu  tergantung  kepada
persetujuan  rakyatnya.  Dan  tujuan  berakhir  dari  „ashabiyah  adalah kedaulatan atau kerajaan.
65
b Ashabiyah Fondasi kekuasaan dan Kedaulatan
„Ashabiyah  adalah  kekuatan  penggerak  negara  dan  merupakan landasan  tegaknya  suatu  negara  atau
dinasti. „ashabiyah juga merupakan kekuatan  pemersatu  dan  mampu  melindungi  kelompok  dan  mempercepat
kemenangan  kelompok  itu  atas  „ashabiyah-„ashabiyah    lainnya  serta sebagai  perbedam  pertentangan-pertentangan  dalam  tubuh  sendiri.  Lebih
jauh  lagi  „ashabiyah  selalu  membuat  terjadinya  perubahan  yang mengakibatkan  terwujudnya  kehidupan  yang  lebih  baik.  Dan  „ashabiyah
juga  merupakan  struktur  sosio-politik  yang  membuat  terjadinya  peralihan dari  masyarakat  tanpa  kelas  menjadi  masyarakat  berkelas.  Pada
permulaanya  aristokrasi  kesukuan  didasarkan  pada  struktur  sosio-politik yang  berlandasakan  persamaan.  Dan  setiap  kali  aristokrasi  kuat  ia  akan
semakin  tampak  sebagai  suatu  kelas  yang  kepentingannya  bertentangan dengan  kepentinganya  anggota-anggota  suku  lain,  akibatnya  gocanglah
struktur  kesukuan  yang  pada  dasarnya  di  dasarkan  pada  persamaan. Namun  kegoncangan  ini  pada  batas  tertentu  dapat  di  pandang  progresif.
Sebab  ia  merupakan  permulaan  peralihan  menuju  sistem  produksi  yang lebih efektif.
65
Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. H.154
55
Ashabiyah  mempunyai  peran  yang  besar  perluasan  negara  setalah sebelumnya ia merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Jadi bilmana
„ashabiyah  itu  kuat  maka  negara  yang  muncul  pun  akan  luas  pula. Sebaliknya jika „ashabiyah it lemah maka luas negara yang muncul relatif
terbatas. Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “kekuasaan akan muncul
bersama- sama  „ashabiyah  dan  anggota-anggota  „ashabiyah  adalah
perlindungan  yang  akan  terpencar  di  seluruh  penjuru  negara.  Jadi  apabia „ashabiyah tersebut kuat maka negara tersebut akan lebih kuat dan luas.
66
66
Ibn Khaldun, Muaqaddimah. Hal.142
56
BAB IV PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN
A. Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah
Ibnu  Taimiyah  berpendapat  bahwa  mengatur  urusan  memang merupakan  bagian  dari  kewajiban  agama  yang  tepenting,  tetapi  hal  ini
tidak bearti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Karenanya, ibnu taimiyah menolak ijma sebagai landasan kewajiban tersebut. Berbeda
dengan  al-mawardi,  Ibnu  Taimiyah  menggunakan  pendekatan  sosiologis. Menurutnya,  keejahteraan  manusia  tidak  dapat  tercipta  kecuali  hanya
dalam  satu  tatanan  sosial  di  mana  setiap  orang  saling  bergantung  pada yang lain  nya. Oleh sebab itu, dibutuhkan sesorang pemimpin yang akan
mengatur kehidupan sosial tersebut.
67
Mengurusi  umat  manusia  itu  tergolong  kewajiban  agama  yang benilai  besar.  Bahkan  agama  tidak  bisa  ditegakan  kecuali  dengnnya.
karena  itu  umat  manusia  tidak  akan  bisa  mencapai  kesejahteraan  dengan sempurna  kecuali  dengan  bersosialisasi  karena  di  antara  meraka  saling
membutuhkan.
68
Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah  sebuah  fenomena  meyedihkan  yang  senantiasa  menghantui
67
Mummad Iqbal  Amin Husein nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari masa klasik hingga Indonesia Komtemporer, Jakarta, Kencana, 2010. Hal. 33
68
Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, hal. 158
57
pikiran  Ibnu  Taimiyah.  Fenomena  inilah  yang  menurut  beliau,  sebagai penyebab  utama  kerusakan  kaum  musilimin,  terampasnya  negara  dan
kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama
dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin. Pada  saat  Rasulullah  saw.  Menaklukkan  kota  Mekkah  dan
menerima  kunci  Ka‟bah  dari  bani  Syaibah,  maka  kunci  tersebut  hendak diminta  oleh  Abbas  bin  Abdil-Muthallib  agar  dia  memegang  dua  tugas
sekaligus,  yakni  memberi  minum  jamaah  haji  serta  menjadi  pelayan Ka‟bah.  Berkenaan  dengan  peristiwa  itu,  Surat  kepada  bani  Syaibah.
Dengan  demikian,  sudah  menjadi  suatu  kewajiban  dari  pemimpin pemerintahan  waliyyul-amri  untuk  mengangkat  orang  yang  paling
kompeten dan layak yang dia dapati untuk menyandang tugas itu.
69
Pengangkatan pejabat untuk mengurusi perkara kaum Muslimin ini mutlak harus di laksanakan. Oleh karena itu, perlu di lakukan pilihan yang
amat  selektif  bagi  orang  orang  yang  pantas  al-mustahiqqin  untuk memangku  jabatan  tersebut,  pejabat  pejabat  yang  menjadi  deputi
nuwwab  di  berbagai  kota  amshar ,  para  gubenur  umara‟  yang
mewakili kepala pemerintahan dzawi as-sulthan di daerah.
70
Politiknya diilhami oleh versi syariat yang sesuai dengan missinya yang  menyeluruh,  telah  diperbarui.  Usahanya  untuk  menegakan  kesucian
69
Ibnu Taimiyah, Sisyah Sya ’iyah : Etika Politik Isla , Terj, Rofi’ Munawar Syarabaya,
Risalah Gusti, 2005. Hal.3
70
Ibnu Taimiyah, Sisyah Sya ’iyah : Etika Politik Isla , Terj, Rofi’ Munawar Syarabaya,
Risalah Gusti, 2005. Hal 4
58
moral  dalam  tradisi  Hanbali  tidak  dilakukan,  sebagaimana  pendahulunya, melalui pengabaian semu terhadap praktik politik, namun melalui aplikasi
syariat ke dalam urusan pemerintahan. Ia menolak pandangan Al-Marwadi yang  menyetakan  bahwa  kekuatan  penguasa  Sultan,  selama  diakui  oleh
khalifah  tertinggi  dan  dibenarkan  syariat,  secara  de  facto  dapat  dianggap independen dan sah menurut    Islam.  Isa mensyaratkan kriteria  yang lebih
keras untuk diaplikasikan. Tujuan  Ibnu  Taimiyah  adalah  membangun  pemerintahan  yang
berdasarkan  syariat siasayah  syar‟iyyah.  Risalah  Ibn  Taimiyah  dimulai
dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan  “pengetahuan dan pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan
pedang  dengan  penegasan  superioritas  Islam  atas  dua  agama  wahyu lainnya  dengan  argumen  bahwa  keduanya  menyatakan  agama  tanpa
berusaha  untuk  memenuhi  “syarat-syarat  yang  dibutuhkan  untuk esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan su
mber materi”. Menurut Ibnu Taimiyah, masalah yang dihadapai umat dewasa ini adalah bahwa, di satu
sisi,  para  pemimpin  berpikir  mereka  dapat  mencapai  tujuan  spiritual semata-
mata  dengan  kesalehan.  “  dengan  demikian  mangkir  dari  semua partisipasi  kehidpuan  politik,  namun  pada  saat  yang  sama  melarangn
keterlibatan  orang  lain”.  Jalan  benar  adalah,  sekali  lagi,  jalan  tengah
59
wasath  memperhatikan  kepentingan  masyarakat  dalam  aspek  material dan moral dan terlibat dalam kekuasaan”.
71
Sementara  itu,  kekuatan  atau  otoritas  dalam  pemerintahan  dan pemberlakuan  hukum  terhadap  manusia  adalah  dengan  memiliki  ilmu
tentang  keadilan  menurut  panduan  Al- Qur‟an dan sunnah, demikian pula
dengan  kemampuan  menerapkan  hukum[di  tengah-tengah  masyarakat]. Sementara  sifat  amanat,  erat  kaitannya  dengan  rasa  takut  khauf
kepada  Allah  swt.tidak  memperjual-belikan  ayat-ayat-nya  dengan  harga yang  murah,  dan  tidak  memilki  rasa  takut  terhadap  sesama
manusia.sebagaimana  firman-nya: “karena  itu  janganlah  engkau  takut
pada  manusia,  tapi  takutlah  kepada  ku,  dan  jangnlah  engkau  menukar ayat-ayat-ku  dengan  harga  yang  sedikit.  Barang  siapa  yang  tidak
behukum kepada apa yang di turunkan oleh Allah, maka itu adalah orang- orang yang kafir
,”Q.s. al-Maidah:44.
72
Ibnu  Taimiyah  bersikukuh  bahwa  agama  tidak  dapat  diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah  kemungkaran  benar- benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui
kekuasaan dan otoritas pemimpin imam‟. Dan “keseluruh kewajiban lain yang  telah  ditetapkan  Tuhan-  yaitu  jihad,  keadilan,  haji,  salat  jamaah...
menolong kaum  yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat ditunaikan  kecuali  melalui  kekuasaan  dan  otoritas  pemimpin”.  “agama
71
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali  Mariana Ariestyawati. Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001, hal. 288.
72
Ibnu Taimiyah, Sisyah Sya ’iyah : Etika Politik Isla , Terj, Rofi’ Munawar Syarabaya,
Risalah Gusti, 2005. Hal 16