Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Egaliter
depan peserta Kursus Reguler Angkatan 37 Lemhanas di Jakarta, 26 Juli 2005, ia mengatakan dengan lugas:
Kenapa saya menjadi Ketua Umum Partai Golkar? Pertimbangannya sederhana; tanpa suatu stabilitas politik, sulit sekali kita membuat
suatu kebijakan ekonomi yang baik. Tapi, ada satu hal yang sangat penting. Kultur Golkar itu kultur pembangunan atau kultur
pemerintahan. Berbeda dengan kultur PDIP. Kultur PDIP itu kultur oposisi. Pada saat Ibu Mega memerintah, orang-orang PDIP merasa
tetap sebagai partai oposisi. mereka tetap saja mengkritik pemerintah, walaupun pemerintahannya orang PDIP. Sebaliknya
Golkar, walaupun tidak mempunyai peranan penting dalam
pemerintahan, tetap saja bersahabat dengan pemerintah”
17
Saat membicarakan Parti Golkar, masyarakat tidak bisa melepaskan peran partai yang dulunya merupakan golongan kekaryaan ini sebelum era
reformasi. Golkar pada masa itu merupakan golongan yang sangat dominan dalam pemerintahan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Golkar merupakan
kendaraan Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya. Hampir semua birokrasi di Indonesia merupakan anggota Golkar, sehingga sangat sulit
menyaingi keberadaan Golkar pada masa itu. Namun keadaan tersebut berubah setelah terjadi reformasi pada tahun
1998 dengan pengunduran diri Soeharto dan digantikan oleh Habibie. Sejak saat itu, Partai Golkar menjadi sorotan banyak pihak. Sebagian kalangan
menginginkan agar Golkar dibubarkan, karena sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi, mengingat Golkar adalah warisan dari Orde Baru.
Sebagian yang lain menginginkan agar Golkar tidak perkenankan untuk mengikuti pemilihan umum.
17
Tomi Lebang, Berbeka Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika; Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, h. 4
Maka, berdasarkan kesepakatan para politisi Golkar, akhirnya Golkar menjadi partai politik, bukan lagi golongan kekaryaan sebagaimana pada era
Orde Baru. Di sini Partai Golkar mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa Partai Golkar sudah berubah, bahwa Partai Golkar bukan lagi Golkar
seperti pada masa Orde Baru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jusuf Kalla:
Politik sangat berubah. Orde baru sangat sentralistik, otoriter, sehingga golkar menjadi partai utama yang mendukung dan didukung oleh
partai dalam rangka untuk menjalankan pemerintahan. Sangat dominan sekali. Setelah orde baru, setelah reformasi, demokrasi lebih terbuka,
lebih liberal. Dan tiga partai muncul kemudian 48 partai pada tahun 1999. Sehingga terjadilah persaingan yang ketat antar partai-partai
sehingga Golkar harus mampu bersaing. Multi partai. Di sini Golkar berubah menjadi partai politik.
18
Saat penulis menanyakan tentang alasan berubahnya Golkar menjadi partai politik, Jusuf Kalla menjelaskan bahwa hal tersebut sudah menjadi
keharusan. Jika Golkar ingin tetap bertahan di tengah-tengah arus reformasi, maka Golkar harus merubah dirinya mengikuti organisasi politik, seperti
partai-partai yang lainnya. Jusuf Kalla menjelaskan bahwa ada tiga fungsi partai politik dalam ranah demokrasi, di antaranya yaitu: menjalankan
pemerintahan jika berada di eksekutif, menjalankan fungsi legislatif jika menjadi anggota DPR, dan yang ketiga adalah bagaimana sebuah partai
politik memberikan andil dan peran dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan Jusuf Kalla kepada penulis:
18
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
Tugas partai ada tiga: pertama menjalankan pemerintahan kalau menjadi partai pemerintah, waktu itu golkar selalu punya menteri di
pemerintahan. Calon presiden dari golkar. Keduanya, bagaimana peranan partai di DPR agar dapat menjalankan atau misi politik
nasional dan juga misi partai. Sebuah partai di DPR, legislatif. Yang ketiga, bagaimana peranan partai di masyarakat.
19
Berkenaan dengan anggapan banyak kalangan yang menyatakan bahwa sebagai seorang ketua umum partai yang cukup disegani di Indonesia,
Jusuf Kalla terlalu tegas dan blak-blakkan dalam menyikapi suatu permasalahan, hal ini menurutnya adalah suatu keharusan. Karena selama ini
beliau menganggap kebanyakan politisi terlalu berbelit-belit dalam memberikan tanggapan atau sikap terhadap suatu permasalahan. Jusuf Kalla
berusaha untuk mengubah citra itu, dengan selalu terus terang dan langsung ke pokok permasalahan. Seperti yang diungkapkan:
“Itu sudah menjadi ciri saya. Saya tidak bisa bertele-tele dalam memberikan tanggapan atau keputusan terhadap suatu masalah. Kalau
memang bisa langsung diselesaikan, kenapa berlama-lama, muter- muter dulu ke mana-mana. Itu tidak efektif, membuang-buang waktu
dan tenaga. Langsung saja ke pokok permasalahan, solusinya apa, lakukan Jangan diputar-
putar dulu.”
20
Apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla tersebut di atas, mungkin terpengaruh oleh lingkungan pengusaha, di mana beliau banyak
menghabiskan waktu. Diperlukan keputusan yang jitu dan cepat dalam menyikapi suatu permasalahan. Sebagaimana idiom yang dikenal dalam dunia
usaha Time is Money, maka momen sangat menentukan dan berarti.
19
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
20
Wawancara pribadi dengan Jusuf Kalla, Kantor Kalla Group, Jakarta, tanggal 10 September 2011 Pukul 10.15 WIB
Kepemimpinan menurut Jusuf Kalla adalah seni untuk mempengaruhi orang lain mengerjakan sesuatu yang baik dan mempersatukan banyak
pendapat. Selain itu, pemimpin menurutnya juga harus mau mengerjakan pekerjaan yang populer dan yang tidak populer. Kalau hanya mau
mengerjakan yang disukai saja, maka ia bukan seorang pemimpin melainkan seorang koordinator.
21