1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang bersifat universal. Ajaran-ajaran dalam Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT semata,
melainkan juga menjelaskan soal etika kemanusiaan sebagai dasar relasi antarsesama. Dalam pandangan Islam, seorang muslim yang baik adalah
mereka yang sukses membangun hubungan baik dalam dua arah sekaligus. Secara vertikal, membina hubungan dengan Tuhannya sebagai Dzat yang
mencipta, sedangkan secara horisontal, ia selalu berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Bukanlah muslim yang baik, yang hanya
sibuk dengan ritual peribadatan, tetapi dalam waktu yang bersamaan melakukan tindakan anti kemanusiaan, seperti penindasan, kezaliman,
kekerasan, pemerasan, manipulasi, eksploitasi, dan lain-lain. Bagi Islam, keadilan adalah basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Karena itu,
Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang, yaitu dengan menolak segala bentuk tirani, eksploitasi,
dominasi, dan hegemoni dalam pelbagai aspek kehidupan baik yang berkaitan dengan ekonomi, politik, budaya, gender, dan lain-lain. Al-Qur’an sendiri
menyerukan kita agar menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah.
1
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa ayat 75, yaitu:
1
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking: Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Persspektif Hukum Islam,
Cirebon: Fahmina-Institute, 2006, Cet. Ke-1, h. 81-82.
☺
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan
membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan- perempuan, dan anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini Mekah yang zalim penduduknya berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan
berilah kami penolong dari sisi Engkau.”
Q. S An-Nisaa [4]: 75
Dengan pemihakan terhadap masyarakat tertindas, Islam menjadi agama yang sangat populer di kalangan masyarakat akar rumput. Gerakan
pembebasan Islam itu tidak hanya difokuskan pada keadilan di bidang ekonomi, melainkan juga pada bidang dan kesetaraan gender. Di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, Islam juga mengarahkan pada upaya pembebasan perempuan. Kaum perempuan yang sebelumnya diperlakukan
seperti barang atau benda dan dapat diwariskan, oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi kedudukan yang sama dengan kaum pria di
hadapan Tuhan. Islam menegaskan mereka tidak lagi dapat diwariskan, sebaliknya berhak menerima warisan, dan Islam juga melarang penguburan
hidup-hidup anak-anak perempuan yang sebelumnya dilakukan oleh masyarakat Arab.
2
Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan berbagai isu sosial lainnya. Kekerasan
terhadap perempuan juga merupakan fenomena global. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga KDRT terhadap perempuan. Pada tahun
1993 diselenggarakan sebuah konferensi hak asasi manusia di Viena, yang secara resmi mengakui kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu
tindak pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal ini dinyatakan dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.
Dalam Deklarasi CEDAW tersebut tidak hanya mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban negara untuk
menanggulangi kekerasan dan melindungi perempuan dari kekerasan tersebut.
3
Pendefinisian tentang kekerasan terhadap perempuan tersebut setidaknya memiliki empat ciri. Pertama, kekerasan yang dilakukan terhadap fisik
maupun non-fisik psikis. Kedua, kekerasan dapat dilakukan secara aktif maupun pasif tidak berbuat. Ketiga, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
2
Ibid., h. 88-89.
3
Samsidar, dkk., Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan, Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2004, h. 6.
tersebut merupakan suatu kesengajaan. Keempat, adanya akibat yang ditimbulkan dari kekerasan yang terjadi sehingga merugikan si korban.
4
Salah satu prinsip yang dijunjung tinggi dalam Islam adalah penghormatan terhadap kemanusiaan dan kasih sayang. Prinsip ini secara logis
kemudian menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama, seperti perlunya berbuat baik,
pengharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada
tindak pidana perdagangan orang bisa dikatagorikan sebagai suatu kezaliman. Karena dalam perspektif Islam kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang
lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa, maupun harga diri seseorang termasuk perlakuan yang buruk, seperti kekerasan, penistaan atau
penelantaraan.
5
Pengharaman terhadap tindak kezaliman ini dijelaskan Allah dalam Hadis Qudsinya sebagai berikut:
ﻼ ﻜ ﺎ ﺎ ﺮ ﺜ و ﻰ ﻰ ﻄ ا ﺮ ا يد ﺎ ﺎ اﻮ ﺎﻄ
Artinya: “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap
diri-Ku,--dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram diantara kamu--,maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain.”
Hadis Qudsi, Hadis Riwayat Muslim. Banyak orang yang mengkatagorikan perdagangan orang sebagai bentuk
baru dari perbudakan manusia yang diharamkan seluruh komunitas dunia. Perbudakan dalam Islam sangatlah dengan tegas diharamkan, karena selain
4
Tapi Omas Ihromi, dkk., Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Bandung : PT. Alumni, 2006, h.267.
5
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking, h. 90-93.
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan juga bertentangan dengan doktrin agama, yaitu al-Qur’an. Karena dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 70
dinyatakan bahwa “Allah sangat memuliakan anak-anak Adam.” Jika Allah saja sangat menghormati manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya apalagi kita
sebagai makhluk yang tingkat kedudukannya setara sebagai makhluk Tuhan. Akan tetapi, memang dalam sejarahnya perbudakan pernah terjadi dalam fase
kahidupan manusia. Pada masa peperangan dahulu biasanya orang yang tertangkap dalam peperangan langsung dijadikan sebagai budak. Ketika
seseorang menjadi budak, maka ia kehilangan seluruh hak-hak dasarnya sebagai manusia, dan telah kehilangan kemerdekaannya.
6
Bagaimanapun juga kehadiran Islam telah membawa para budak dalam keadaan yang lebih baik. Kekuasaan majikan terhadap budaknya terus
dikurangi. Para majikan dilarang mempekerjakan budak-budaknya sebagai pelacur demi keuntungan duniawi bagi majikan. Hal ini sesuai dengan firman
Allah surat An-Nuur ayat 33 sebagai berikut:
☺ ☺
☺
6
Ibid., h. 63-65.
⌦ ⌧
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian dirinya sehingga Allah SWT memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang
menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-
budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan mereka menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang kepada merekasesudah mereka dipaksa.”
Q. S. an- Nuur [24]: 33.
Dari ayat ini sebenarnya dapat diambil satu pemahaman bahwa seseorang dilarang melakukan tindakan penipuan, pemaksaan, dan eksploitasi
terhadap perempuan, bahkan terhadap orang yang ada dalam kekuasaannya, seperti anak dan budak-budaknya. Serta dengan ayat ini pula ditegaskan
bahwa melacurkan seseorang, tak terkecuali budak dan anak-anaknya sendiri adalah bagian dari kegiatan kriminal sehingga para pelakunya harus dihukum.
7
7
Ibid., h. 66-67.
Dalam upaya untuk mengurangi tindak kejahatan perdagangan orang ini perlu dilakukan beberapa langkah yang efektif dalam menghapuskan
penindasan terhadap perempuan dan anak. Pertama, memberikan informasi yang berkaitan dengan TKI legal dan berusaha untuk menghentikan
perdagangan orang yang membawa korban perempuan dan anak. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan secara layak kepada
para pekerja di luar negeri dan menyeleksi secara ketat lembaga yang mempunyai kepentingan rekrutmen. Kedua, meningkatkan aksi yang
menyeluruh dari pemerintah, LSM, dan organisasi masyarakat untuk mencegah terjadinya perdagangan orang dengan cara menghentikan tindak
kekerasan dan pemaksaan terhadap perempuan serta dilakukan proses penyadaran melalui program konseling dengan metode berpusat pada
perempuan peduli perdagangan orang, yang dapat dilakukan oleh orang-orang profesional, sehingga membantu korban perempuan dan anak yang telah
masuk perangkap perdagangan orang.
8
Sejalan dengan pemikiran di atas, maka pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk mengurangi tindak kejahatan perdagangan orang ini dibuatlah
suatu aturan khusus yang mengatur tentang masalah penanggulangan perdagangan orang yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UUPTPPO atau dikenal dengan Undang-undang Anti Trafiking.
Adapun salah satu dasar pemikiran pembentukan undang-undang ini adalah untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat
8
Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, Malang : Bayumedia, 2005, Cet. Ke-1, h.22-23
manusia dengan berupaya untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
9
Negara Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam sangat menyambut baik dengan adanya Undang-undang Anti Trafiking ini. Karena
dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan upaya pemberantasan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan secara lebih efektif
lagi, disamping diperlukan juga peran serta masyarakat dalam memberikan informasi tentang kejahatan yang terjadi di lingkungannya sehingga terjalin
kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Namun, apakah Undang-undang Anti Trafiking ini sudah sejalan dengan prinsip-
prinsip yang ada dalam hukum Islam? Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap perempuan korban perdagangan dalam
undang-undang ini? Serta bagaimana pula tata cara pelaksanaannya? Dari gambaran realitas yang terjadi di atas, maka Penulis tertarik untuk
mengangkat wacana tersebut menjadi sebuah skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Korban Perdagangan Orang Trafiking Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2007”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah