berat, serta hak restitusi atau ganti rugi yang diberikan oleh pelaku pada korban.
Akan tetapi, dalam Bab IV pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47 dan pasal 48 Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan
Orang UUPTPPO atau Undang-undang Anti Trafiking, disebutkan bahwa korban akibat kejahatan perdagangan orang berhak untuk
mendapatkan kerahasiaan identitas atas diri dan keluarganya pasal 44; mendapatkan perlindungan dari pihak kepolisian atas diri dan
keluarganya baik dalam proses pemeriksaan, maupun dari ancaman pelaku pasal 45, 46, dan 47; mendapatkan restitusi atau ganti rugi yang
diberikan pelaku kepada korban, apabila ia kehilangan kekayaan atau penghasilan, atau karena mendapat penderitaan yang dialaminya akibat
kejahatan pelaku, sehingga ia harus membayar biaya perawatan medisnya, atau adanya kerugian lain yang diderita akibat tindakan
perdagangan tersebut pasal 48. Dengan adanya hak-hak yang dimiliki oleh korban perdagangan orang
khususnya perempuan sebagaimana dijelaskan di atas, maka hendaknya korban itu tidak perlu merasa takut untuk mengadukan tindak kejahatan
yang telah dialaminya kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini yaitu pihak kepolisian.
2. Faktor penyebab dan dampak perdagangan orang
a. Faktor penyebab perdagangan orang
Karakteristik kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban perdagangan orang pada umumnya adalah anak-anak desa dari keluarga
miskin atau anak-anak dari kawasan kumuh perkotaan, atau anak-anak putus sekolah, korban kekerasan, korban penculikan, janda cerai akibat
kawin muda dan lain sebagainya. Perdagangan orang sebagai suatu kejahatan multi-dimensi dapat
terjadi karena berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut tidak hanya dari satu sisi saja melainkan dari berbagai sisi, misalnya sosial, politik, ekonomi
maupun budaya. Semua faktor tersebut pada umumnya memberi kesempatan orang untuk melakukan kejahatan dan membiarkan
sekelompok orang berada pada posisi rentan, baik karena sistem ekonomi yang tidak adil, pendidikan yang tidak merata, sistem sosial yang timpang,
atau bahkan adanya kebijaksanaan yang responsif dari pemerintah. Dari sisi ekonomi misalnya, kemiskinan atau feminisasi kemiskinan
merupakan alasan utama pendorong terjadinya perdagangan orang. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa daerah asal atau sender korban
trafiking memiliki masalah kemiskinan termasuk Indonesia. Diperkirakan 40 dari 220 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis
kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan dari 40 juta penduduk Indonesia tersebut pada umumnya berada di daerah pedesaan. Keadaan
demikian, membuat anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan formal di sekolah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk bekerja,
sedangkan mereka memiliki keinginan untuk hidup jauh lebih layak dengan penghasilan yang besar. Adanya sifat materialisme yang konsumtif
inilah yang membuat mereka rela melakukan pekerjaan apapun dan dengan cara apapun juga.
76
Selain kemiskinan, faktor lain yang juga mendukung terjadinya tindak perdagangan orang ini adalah tidak adanya akte kelahiran. Kemiskinan
sebagai salah satu masalah yang belum dapat terpecahkan oleh pemerintah Indonesia, membuat mereka yang berada dalam keadaan tersebut tidak
terlalu peduli atau bahkan tidak memperhatikan akan pentingnya akte kelahiran bagi mereka, khususnya anak-anak. Menurut data dari UNICEF
tahun 2000, sekitar 37 balita di Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Rendahnya registrasi kelahiran khususnya di kalangan
masyarakat desa, merupakan faktor lain yang dapat memfasilitasi terjadinya perdagangan orang. Karena, untuk memperoleh dokumen
perlengkapan pemberangkatan bermigrasi usia korban yang akan berangkat ke luar negeri tersebut dapat dengan mudah untuk dipalsukan.
77
Faktor penyebab lain yang mendorong terjadinya perdgangan orang adalah tingkat pendidikan yang rendah di kalangan masayarakat Indonesia,
khususnya perempuan di daerah pedesaan, usia perkawinan di bawah umur 18 tahun, tingkat perceraian yang tinggi, munculnya kekerasan dalam
rumah tangga, sempitnya lapangan pekerjaan, bertambahnya jumlah pengangguran tiap tahun, dan longgarnya sistem kekerabatan di desa
akibat polarisasi kemiskinan. Sedangkan di lain pihak, globalisasi, perkembangan mode, serta
kemajuan teknologi transportasi dan informasi telah membuat dunia
76
Sutedjo Yuwono, Penghapusan Perdagangan Orang, h. 7.
77
Suara APIK, Pentingnya Peraturan, h. 5.
terbuka hampir tanpa batas. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para calo untuk menjerat calon korbannya.
78
Di samping alasan-alasan di atas, terdapat alasan lain yang sangat mendasar dan dianggap sebagai faktor pendorong terjadinya perdagangan
orang, yaitu adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Fenomena perdagangan orang tak dapat dipisahkan dari fenomena
kekerasan terhadap perempuan yang semakin hari semakin meningkat. Kekerasan tersebut umumnya terjadi karena relasi sosial dan relasi kuasa
berlangsung timpang akibat kuatnya budaya patriarkhi, dengan menempatkan perempuan sebagai subordinat dan manusia kedua. Budaya
seperti ini masih terus berlangsung di Indonesia khususnya pada masyarakat pedesaan yang sangat memegang teguh adat dan budaya
daerahnya. Perempuan dalam kondisi ini, dianggap sebagai manusia yang tidak berdaya, penuh ketergantungan pada laki-laki, sehingga pada
akhirnya mereka akan dengan mudah dapat “dimanfaatkan”, dieksploitasi, dan diperdagangkan secara tidak manusiawi oleh para pelaku.
79
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa faktor-faktor tersebut telah mendorong dan menggerakkan banyak perempuan, terutama
remaja perempuan yang berharap dapat keluar dari kemiskinannya dan tergoda dengan moleknya keindahan dunia dan menyerah serta rela kepada
siapa saja yang menawarkan jasanya untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan dengan pekerjaan dan iming-iming gaji yang besar.
b. Dampak perdagangan orang