pelayanan yang sebaik-baiknya agar dirnya dan keluarganya merasa aman dan nyaman.
2. Analisis Terhadap Restitusi
Mengenai masalah restitusi ini, penulis juga telah menjelaskannya dalam bab III terdahulu. Sekadar hanya untuk mengingatkan kembali penulis akan
menguraikan sedikit tentang hal itu. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan restitusi atau ganti rugi adalah suatu pemberian yang harus
diberikan oleh seorang pelaku kejahatan terhadap korban akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Adapun bentuk ganti rugi tersebut biasanya berupa
sejumlah uang yang dianggap sebagai denda atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya terhadap korban.
Namun, penuntutan ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban itu dapat dilakukan apabila korban mengalami kerugian-kerugian berupa kerugian
fisik maupun non-fisik, misalnya kehilangan kekayaan atau penghasilan, atau karena korban telah mengeluarkan biaya untuk perawatan medis danatau
psikologis, danatau karena korban mendapat kerugian lain yang dideritanya akibat tindak pidana perdagangan orang ini. Demikian penjelasan singkat
mengenai restitusi yang terdapat dalam hukum konvensional. Dalam Islam, restitusi atau ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pelaku
kejahatan kepada korbannya dibedakan dalam dua katagori. Pertama ganti rugi yang dikenakan atas anggota tubuh dan nyawa yang dikenal dengan
istilah diat dan kedua, ganti rugi yang dikenakan atas kerugian berupa materi, dikenal dengan istilah al-gharamah al-maaliyah.
Secara etimologi, diat adalah harta pengganti jiwa atau anggota tubuh, atau dengan kata lain diat adalah ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tindak
pidana kepada korban atau ahli warisnya karena suatu tindak pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan seseorang.
123
Dalam istilah fiqh, diat dapat diartikan dengan sejumlah harta benda yang diberikan sebagai ganti
kerugian atas tindakan melukai atau membunuh seseorang.
124
Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, menyatakan bahwa diat adalah sejumlah harta
yang dibebankan kepada pelaku kejahatan, karena terjadinya tindak pidana pembunuhan atau penganiayaan dan diberikan kepada korban atau
walinya.
125
Selain diat --berkaitan dengan masalah ganti rugi terhadap korban mengenai anggota tubuh manusia-- dalam Islam pun ada yang disebut dengan
istilah al-arsy, yaitu ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kepada korban atau ahli warisnya karena tindakan kesewenang-wenangan
yang dilakukan pelaku terhadap anggota tubuh manusia, tetapi dengan tidak menghilangkan seluruh manfaatnya seperti terputusnya satu buah jari tangan
atau sebelah tangan. Akan tetapi, ulama hukum pidana Islam, memasukkan pembahasan kedua bentuk ganti rugi ini dalam topik diat.
126
Sedangkan yang diamksud dengan al-gharamah adalah hukuman ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku atas kerugian berupa materi yang diderita
123
Abdul Azis dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, Cet. ke-1, h. 266.
124
M. Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 60.
125
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah Penerjemah: H. A. Ali, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987, h. 94.
126
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 266.
korban sebagai akibat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku atau dengan kata lain disebut dengan hukuman denda.
127
Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa diat, al-arsy dan al-gharamah merupakan uquubah maaliyah hukuman yang bersifat harta, yang diberikan
oleh pelaku kepada korban apabila ia masih hidup atau kepada keluarganya apabila ia sudah meninggal, bukan kepada pemerintah. Tetapi walaupun ketiga
jenis hukuman ini sama-sama membahas tentang masalah ganti rugi terhadap korban kejahatan, namun terdapat perbedaan di antara ketiganya. Perbedaan
tersebut dapat dilihat pada obyek kejahatannya. Dalam diat yang menjadi obyek kejahatannya adalah jiwa manusia dan hilangnya manfaat anggota
tubuhnya. Sedangkan dalam al-arsy yang menjadi obyeknya adalah tindak kesewenang-wenangan terhadap anggota tubuh korban tanpa harus
menghilangkan seluruh manfaatnya, dan dalam al-gharamah yang menjadi objeknya adalah materiharta.
Dasar hukum diwajibkannya diat atas pelaku kejahatan dalam hukum Islam adalah surat an-Nisaa [4] ayat 92, yaitu:
⌧ ☺
☺
Artinya: “…dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin yang lain, kecuali krena tidak sengaja. Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja, maka hendaklah
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta
127
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005, h. 233.
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali kalau mereka keluarga si terbunuh bersedekah.”
QS. An-Nisaa [4]: 92.
Selain surat an-Nisaa [4] ayat 92 di atas, dalil diwajibkannya diat ini pun
terdapat pula dalam Hadis Nabi, yaitu Hadis ‘Amr bin Hisyam, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW memberitahukan kepada penduduk Yaman
melalui surah yang kandungannya berkaitan dengan fara’id pembagian warisan dan diat.”
Dan sabda Nabi yang lain, “Sesungguhnya siap yang terbukti membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang dibenarkan syara’
dikenakan qisas, kecuali apabila ahli warisnya rela untuk menerima ganti rugi, maka untuk satu jiwa yang hilang diatnya 100 ekor unta...”
HR. Malik, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Al-Baihaki.
128
Sebelum diat dibayarkan oleh pelaku kepada korban, ada beberapa syarat sehingga diat itu wajib dikeluarkan oleh pelaku, namun syarat-syarat
tersebut tidak semuanya disepakati oleh ulama fikih. Syarat yang disepakati adalah pembunuhan tersebut dilakukan terhadap orang yang dilarang oleh
syara’ untuk dibunuh. Sedangkan syarat yang tidak disepakati yaitu apabila
yang terbunuh itu berada di wilayah yang dikuasai oleh Islam. Ulama Hanafiyah mensyaratkan wajibnya diat jika yang terbunuh itu berada di
wilayah yang dikuasai Islam. Karenanya menurut mereka, orang mukmin yang terbunuh di wilayah kafir harbi maka pembunuhnya tidak dapat dituntut diat.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “…jika ia si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka hendaklah si pembunuh
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin….” QS. An-Nisaa [4]: 92.
128
Ibid, h. 266.
Menurut mereka dalam ayat ini Allah SWT hanya mewajibkan memerdekakan hamba sahaya bagi seseorang yang membunuh seorang mukmin di wilayah
kafir harbi, dengan alasan karena ayat ini bersifat umum: ”…dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarga terbunuhnya si terbunuh itu, kecuali jika
mereka keluarga terbunuh bersedekah…” Diat
ini terbagi pada dua macam. Pertama, diat jiwa, yang dikeluarkan pada tindak pidana pembunuhan, meliputi pembunuhan menyerupai sengaja
dan pembunuhan tidak sengaja. Kedua, diat anggota badan, yakni diat yang dikeluarkan pada tindak pidana pelukaan atau menghilangkan memotong
anggota badan yang dilakukan secara tidak sengaja. Dari dua macam diat tersebut yang merupakan hak bagi si korban adalah diat anggota badan.
Sedang pada diat jiwa, hak atas diat itu berada di tangan wali atau ahli waris korban.
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam, Ahmad Wardi Muslich menjelaskan ada berbagai macam diat. Akan tetapi ulama berbeda
pendapat tentang jenis diat yang wajib dibayar oleh pelaku. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim, diat dapat
dibayar dengan salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau perak.
129
Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Ibn Hasan dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, jenis diat itu ada enam macam, yaitu unta, emas,
perak, sapi, kambing, atau pakaian. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa lima
129
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 167- 168.
jenis yang disebut pertama merupakan asal diat, sedangkan yang keenam yaitu pakaian bukan asal, karena bisa berubah-ubah.
130
Jika dikaitkan dengan berat ringannya, maka diat terbagi kepada dua bagian, yaitu diat mughalladzah berlaku dalam pembunuhan menyerupai
sengaja dan diat mukhaffafah diat yang diperingan. Diat mughalladzah
hanya berlaku apabila diat tersebut dibayar dengan unta, sesuai dengan ketentuan syara’, dan tidak berlaku dalam jenis yang lain,
seperti emas dan perak. Pemberatan diat dalam pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja, dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pembayaran
ditanggung sepenuhnya oleh pelaku, pembayaran harus tunai tidak boleh dicicil serta umur unta lebih dewasa. Menurut Syafi’iyah, misalnya, unta
harus berumur tiga tahun ke atas, bahkan sebagian sedang bunting. Sedangkan maksud diat yang diperingan adalah diat yang diberlakukan
dengan memberikan beberapa keringanan kepada pelaku. Keringanan tersebut meliputi tiga aspek yaitu, kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah
keluarga, pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun, dan komposisijumlah diatnya.
131
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat terlihat bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara restitusi dalam hukum Islam dan restitusi
dalam hukum konvemsional. Persamaan keduanya terletak pada ancaman hukuman dan sistem pembayarannya,. Dilihat dari segi ancaman hukuman
keduanya adalah sama jenisnya yaitu berupa uang. Sedangkan jika dilihat dari segi sistem pembayarannya, keduanya sama-sama diserahkan pada korban.
130
Ibid, h. 169.
131
Ibid, h. 171.
Adapun perbedaan antara keduanya yaitu terletak pada jenis-jenis tindak pidana dan sumber hukumnya. Pidana diat hanya menjatuhkan hukuman
terhadap jenis tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan pelukaan, dan lain-lain, sedangkan restitusi dijatuhkan terhadap semua jenis tindak pidana,
seperti tindak pidana kejahatan, dan tindak pidana lain yang terdapat dalam UU khusus dalam hal ini perdagangan orang, misalnya.
Kemudian bila kita melihat sumber hukum antara diat dan restitusi, keduanya mempunyai sumber hukum yang berbeda, diat bersumber pada al-
Qur’an, Hadits dan pendapat ulama, sedangkan restitusi --dalam pembahasan ini-- mengacu pada Udang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jika dikaitkan dengan tindak pidana perdagangan orang, maka akan
terdapat hubungan yang nyata antara kewajiban seorang pelaku untuk membayar diat atau restitusi kepada korban sebagaimana yang tercantum
dalam Undang-undang Anti Trafiking. Hubungan tersebut terlihat dalam hal yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terhadap
korban. Dalam tindak pidana perdagangan orang, korban seringkali mendapat
perlakuan buruk dari pelaku, terlebih lagi jika korban menolak untuk melakukan apa yang diperintahkan. Bentuk perlakuan buruk itu seperti
penganiayaan, pemaksaan dan lain sebagainya. Penganiayaan tersebut ada yang bisa mengakibatkan korban terluka atau bahkan kehilangan nyawanya.
Jika dengan penganiayaan itu dapat mengakibatkan korban kehilangan nyawa, maka pelaku dikenakan hukuman penjara, akan tetapi jika korban mengalami
kerusakan fisik atas diri ataupun harta miliknya, maka pelaku diharuskan mengganti kerugian yang dialami korban itu. Penggantian atas kerugian
tersebut dilakukan oleh pelaku setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa restitusi yang diatur dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 telah sesuai dengan
hukum Islam walaupun belum sepenuhnya, karena restitusi dalam Undang- undang ini tidak dijelaskan secara rinci berapa besar jumlah minimum dan
maksimum nominal yang harus dikeluarkan oleh pelaku tersebut. Sedangkan diat
dalam hukum Islam sangat rinci dan jelas ditentukan batasan-batasan kadar dan jumlahnya. Umpamanya saja ganti rugi bagi korban pelukaan yang
menampakkan tulang dan membukanya mudhihah ditentukan jumlah ganti ruginya yaitu lima ekor unta.
3. Analisis Terhadap Rehabilitasi