menangani masalah perdagangan orang selama ini, seperti pasal 297 KUHP dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dinyatakan sudah tidak
berlaku lagi.
104
C. Perlindungan Hukum Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Terhadap Perempuan Korban Perdagangan Orang
1. Perlindungan korban dari ancaman
Korban sebagai pihak yang mengalami kerugian terbesar dari suatu tindak kejahatan memerlukan perlindungan yang sangat dari aparat penegak
hukum dan pemerintah. Seringnya korban dari suatu tindak pidana tidak memiliki keberanian untuk melaporkan peristiwa kejahatan yang menimpanya
kepada pihak yang berwajib dikarenakan pihak yang bersangkutan sering mendapatkan ancaman atau intimidasi dari pelaku kejahatan tersebut sehingga
korban pada umumnya lebih memilih untuk bungkam dan tidak melaporkannya. Misalnya, dalam tindak pidana perkosaan. Korban yang
mengalami peristiwa tersebut umumnya takut untuk melaporkan pelaku kepada polisi dikarenakan korban sebelumnya telah diancam akan dibunuh
jika korban melaporkan kejahatan pelaku pada polisi. Perlindungan hukum terhadap perempuan korban perdagangan ini dapat
ditemukan pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu pada Bab V pasal 44.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa korban beserta keluarganya berhak memperoleh kerahasiaan identitas. Hal ini dilakukan apabila korban takut
104
Ibid, h. 26-27.
mendapat ancaman dari pelaku karena ia memberikan informasi tentang peristiwa kejahatan yang menimpanya kepada pihak yang berwajib.
105
Umumnya ancaman pelaku yang diberikan pada korban tersebut biasanya berupa penghilangan nyawa atau pembunuhan.
Adapun upaya perlindungan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap korban dari ancaman pelaku adalah dengan
menyediakan ruang pelayanan khusus bagi korban pada setiap pemeriksaan di kepolisian setempat sehingga korban merasa aman dan nyaman. Pasal 45, dan
pasal 46.
106
2. Pemberian restitusi
Terjadinya berbagai tindak kejahatan dalam masyarakat merupakan suatu indikasi bahwa korban demi korban dari suatu kejahatan itu juga terus
berjatuhan dengan berbagai bentuk kerugian yang tidak terelakkan. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri secara langsung maupun oleh
orang lain secara tidak langsung. Jenis kerugian yang diderita oleh korban tidak hanya dalam bentuk fisik, seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
penyembuhan lukanya serta kemungkinan hilangnya pendapatan atau keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian berupa non
fisik yang susah dan bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Pemulihan kerugian fisik itu bertujuan untuk memberikan kepuasan
materil kepada korban, sedangkan pemulihan kerugian non-fisik ditujukan untuk menghilangkan trauma psikologis yang mungkin mencekam koban agar
kepercayaan dirinya bisa pulih seperti sedia kala.
105
Ibid, h.18.
106
Ibid, h.18.
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil danatau immaterial yang diderita korban atau ahli
warisnya.
107
Restitusi atau ganti rugi sebagai suatu pemberian yang harus diberikan
pelaku terhadap korban akibat kejahatan yang telah dilakukannya biasanya berupa sejumlah uang yang merupakan denda atas tindak kejahatan yang telah
dilakukannya terhadap korban.
108
Dalam pasal 48 Bab V Undang-undang Anti Trafiking disebutkan bahwa pelaku kejahatan perdagangan orang harus memberikan restitusi kepada
korban berupa ganti kerugian atas beberapa hal, yaitu karena korban kehilangan kekayaan atau penghasilan, atau karena korban telah mengeluarkan
biaya untuk perawatan medis danatau psikologis, danatau, karena korban mendapat kerugian lain yang dideritanya akibat tindak pidana perdagangan
orang ini. Namun mengenai tata cara pelaksaan pemberian restitusi ini dilakukan
oleh pelaku setelah adanya putusan pengadilan yang mengadili masalah tindak pidana perdagangan orang tersebut. Restitusi tersebut diberikan dan
dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, yang dilakukan dalam jangka waktu selama 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan pengadilan
tersebut yang telah memiliki kekuatan hukum tetap BHT.
109
3. Pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan