perbedaan lafaz di atas hanya mendahulukan satu jenis dari yang lainnya, tanpa ada yang terbuang atau adanya unsur tambahan. Beberapa hadis di atas adalah
riwayat dengan makna. Karena itu, hal tersebut tidak mengurangi keshahihan hadis ini.
Hadis di atas dijadikan argument bahwa hukum khitan bagi perempuan itu sunnah dengan alasan bahwa khitan dalam hadis tersebut disebut bersamaan
dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga khitan juga dihukumi sunnah
seperti amalan fitrah yang lainnya. Dan fitrah ini ada yang memaknai bahwa fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Hal ini akan berarti bahwa kelima hal yang
diungkapkan adalah hanya berupa kebiasaan baik yang disarankan agama. Dampaknya, hukum khitan baik untuk laki-laki dan perempuan hukumnya adalah
sunnah. Dan bahwasanya bentuk sighah-nyapun menggunakan bentuk umum, karena itu perempuan termasuk yang diperintahkan. Alasannya fitrah atau agama
dengan ajarannya, bukan hanya ditujukan kepada kaum lelaki namun juga kaum perempuan.
62
3. Mubah
Menurut madzab Hanafi dan Hanbali, khitan bagi perempuan hanya merupakan suatu kehormatan atau kemuliaan.
63
Sehingga khitan bagi kaum
62
Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan. h. 14-15.
63
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.
perempuan hukumnya mubah boleh.
64
Berikut dasar hukumnya yaitu berupa hadis Rasulallah Saw:
: Ę ð يÉğĖا ĔÅق : ĔÅق ġيÈا ĝع ËĚÅسا ĝÈا ĝع ĔÅجåėĖ Ëğس ĜÅÏßْĖا
ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ Ëěسا ĝع áěحا ĠاĤر
65
Khitan adalah suatu sunnah bagi kaum pria dan suatu kemuliaan bagi kaum wanita Riwayat Ahmad dari Usamah.
66
يحåĖا áْÉع ĝْÈ ÆÅĢĥْĖا áْÉعĤ يقْïĚáĖا ĝěْحåĖا áْÉع ĝْÈ ĜÅěْيėس Åğثáح Åğثáح ĜاĤْåĚ Åğثáح َÅق يعجْش ْْا ę
ْĞ ْْا Ëيطع Ęأ ْĝع åْيěع ĝْÈ كėěْĖا áْÉع ْĝع يفĥēْĖا ÆÅĢĥْĖا áْÉع ĔÅق ĜÅسح ĝْÈ áěحĚ ًÊأåْĚا Ĝأ ËيرÅص
ا ÅģĖ ĔÅقف ËğيáěْĖÅÈ ĝÏْßÎ ْÍĞÅك ىĖِ ÇحأĤ ÊأْåěْėĖ ىظْحأ كĖâ Ĝإف يēģْğÎ َ ęėسĤ ġْيėع َ ىėص يÉğĖ
ĕْعÉْĖا
62
Ummi „Atiyyah berkata: Sesungguhnya kaum perempuan di kota Madinah
dikhitan. Rasulullah saw. Bersabda kepadanya: “Jangan engkau habiskan
ketika mengkhitan perempuan, karena itu akan lebih baik bagi kaum perempuan dan lebih disenangi suaminya.
HR. Abȗ Dawud Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath al-
Bȃrȋ, “Syekh Abȗ „Abdillah bin Hajj menjelaskan dalam kitab Al-Madkhal, bahwa para ulama
berbeda pendapat dalam masalah khitan perempuan, apakah mereka berlaku umum atau dibedakan antara perempuan Timur dan Perempuan Barat. Apakah
perempuan Timur dikhitan sedangkan perempuan Barat tidak, hanya karena tidak
64
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Inodnesia:Fath al- Bȃrȋ, h. 760.
65
al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h.
325.
66
Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita,h. 49.
67
Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Bâb Mâ Jâa fî al-Khitân, hadis nomor: 5271, h. 264.
ada daging lebih yang harus dipotong pada perempuan Barat, sedangkan perempuan Timur memilikinya.
68
Muhammad Syams al-Haq al- „Azîm dalam kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh
Sunan Abî Dâwûd menjelaskan beberapa pendapat ulama khitan bagi perempuan dengan berdasarkan hadis ini: Ada perbedaan antara kaum perempuan al-Masyrîq
wilayah Timur dan kaum perempuan al-Maghrîb wilayah Barat. Perempuan wilayah Barat tidak perlu dikhitan karena pada kemaluannya tidak terdapat
kelebihan yang dapat dipotong sebagaimana yang disyari‟atkan. Sedangkan perempuan wilayah Timur dapat dikhitan
sebagaimana yang disyari‟atkan
69
. Dalam hal ini tidak ada penjelasan tentang hukum khitan perempuan. Dan bagi
merekaperempuan yang sejak lahir tidak ada daging lebih yang biasa dikhitan, maka dia tidak perlu dikhitan. Baik dia berada di daerah al-
Maghrȋb atau al- Masyrȋq.
70
Namun jika mereka ingin melakukan khitan maka dibolehkan hukumnya mubah.
Kesimpulan dari hadis di atas tidak ada indikasi hukum tentang khitan bagi kaum perempuan, karena hadis tersebut bersifat informative. Rasulullah Saw.
memerintahkan kepada Ummi „Atiyah untuk hati-hati dalam melakukan khitan
kepada kaum perempuan karena ada resiko yang akan ditanggung oleh kaum perempuan apabila terjadi kesalahan pada khitan.
68
Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al- Asqalȃnȋ, Fathal-Bȃrȋ ; Ibnu al-Haj Abu „Abdillah
Muhammad bin Muhammad Al-Abdari, Al-Mudkhal Kairo:Maktabah dȃr al-Turats,t.th; Syaikh
Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 34.
69
Muhammad Syams al-Haq al- „Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd,
Jilid XIV, h. 123.
70
Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 45.
Penjelasan Ummi „Atiyah menunjukkan bahwa khitan perempuan
merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Madinah, bukan perintah dari Rasulullah Saw. tidak ada penjelasan bagaimana dengan masyarakat Makkah,
ketika Rasulullah Saw. masih berada di Makkah.
4. Makrumah hanya kehormatan bagi perempuan.
Ahli fiqh kontemporer, Wahbah al-Zuhaili dari Suriah dalam al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah suatu
kemuliaan yang jika dilaksanakan dianjurkan untuk tidak berlebihan, agar ia tidak kehilangan kenikmatan seksual.
71
Beliau juga mengatakan mengenai pendapat Madzab Hanafi dan Madzab Maliki bahwasanya kedua madzab ini berpendapat
sama yaitu: khitan perempuan hukumnya makrumah, sedangkan khitan laki-laki hukumnya sunnah.
72
Dalam kitab al-Mughni dan Syarh al-Kabir karya al-Maqdisi ditegaskan bahwa hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak
wajib atas mereka.
73
Dalam kitab Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali dikatakan:
Hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka. Dan jika seorang tua masuk Islam kemudian dia takut
jika disunat akan membahayakan kesehatan dan jiwanya maka dia
71
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhal- Islamȋ wa „Adillatuhu,Damaskus: Dȃr al-Fikr,1997, h.642;
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.
72
Lihat. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al- Islamȋ wa „Adillatuhu, jilid 1, cet ke-4, h. 460-461;
Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al- Asqalȃnȋ, Fath al-Bȃrȋ X, h. 280. ; Lihat juga Syaikh
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukȃnȋ, Nail al-Autar, jilid 1, Beirȗt: Dȃr al-Qalam, t.th h.
138.
73
Lihat Ibn Qudamah, al- Mughnȋ, jilid 1,Kairo: Maktabah al-Qȃhirah,t.th h. 70-71; ibn
Qudamah, Syarh al-Kabir, jil.1 hal. 85-86.