Penjelasan Ummi „Atiyah menunjukkan bahwa khitan perempuan
merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Madinah, bukan perintah dari Rasulullah Saw. tidak ada penjelasan bagaimana dengan masyarakat Makkah,
ketika Rasulullah Saw. masih berada di Makkah.
4. Makrumah hanya kehormatan bagi perempuan.
Ahli fiqh kontemporer, Wahbah al-Zuhaili dari Suriah dalam al-Fiqh al- Islami wa Adillatuhu menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah suatu
kemuliaan yang jika dilaksanakan dianjurkan untuk tidak berlebihan, agar ia tidak kehilangan kenikmatan seksual.
71
Beliau juga mengatakan mengenai pendapat Madzab Hanafi dan Madzab Maliki bahwasanya kedua madzab ini berpendapat
sama yaitu: khitan perempuan hukumnya makrumah, sedangkan khitan laki-laki hukumnya sunnah.
72
Dalam kitab al-Mughni dan Syarh al-Kabir karya al-Maqdisi ditegaskan bahwa hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak
wajib atas mereka.
73
Dalam kitab Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali dikatakan:
Hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka. Dan jika seorang tua masuk Islam kemudian dia takut
jika disunat akan membahayakan kesehatan dan jiwanya maka dia
71
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhal- Islamȋ wa „Adillatuhu,Damaskus: Dȃr al-Fikr,1997, h.642;
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.
72
Lihat. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al- Islamȋ wa „Adillatuhu, jilid 1, cet ke-4, h. 460-461;
Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al- Asqalȃnȋ, Fath al-Bȃrȋ X, h. 280. ; Lihat juga Syaikh
Muhammad bin Ali bin Muhammad al- Syaukȃnȋ, Nail al-Autar, jilid 1, Beirȗt: Dȃr al-Qalam, t.th h.
138.
73
Lihat Ibn Qudamah, al- Mughnȋ, jilid 1,Kairo: Maktabah al-Qȃhirah,t.th h. 70-71; ibn
Qudamah, Syarh al-Kabir, jil.1 hal. 85-86.
terlepas dari kewajiban dikhitan. Namun jika orang tua tadi percaya, maka dia harus melakukannya dikhitan.
74
Hal senada menjadi pendapat mayoritas kalangan akademisi muslim. Imam Ahmad berkata, “Kewajiban berkhitan bagi kaum laki-laki lebih ditekankan.
Karena jika seorang laki-laki tidak berkhitan, kulit yang menutupi ujung penis tersebut akan menjuntai. Dan kotoran yang ada didalamnya tidak dapat
dibersihkan. Sedangkan pembersihan kulit yang berada pada bagian atas kemaluan perempuan lebih mudah.”
75
Sehingga khitan pada perempuan dianggap tidak terlalu ditekankan untuk dilaksanakan.
Dalam buku Fiqh Khitan Perempuan karya Ahmad Luthfi Fathullah dijelaskan hadis yang menyatakan bahwa khitan bagi perempuan merupakan
makrumah yaitu dengan berdasar kepada hadis:
76
يÉğĖا ĔÅق : ĔÅق ġيÈا ĝع ËĚÅسا ĝÈا ĝع ęėسĤ ġيėع َ ىėص
: ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅجåėĖ Ëğس ĜÅÏßْĖا
ĠاĤر Ëěسا ĝع áěحا
22
Khitan merupakan sunnah buat laki-laki dan makrumah kemuliaan bagi perempuan HR.Ahmad dari Usamah.
78
Namun beberapa catatan dan perincian jalur sanadnya dapat dilihat sebagai berikut. Terdapat dua jalur periwayatan hadist ini:
74
Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali, jil. 2, hal.296, dalam kata Khitan.
75
Ibnu Hajar al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathul Bari 28, h. 760. Dan Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 33.
76
Hadis-hadis yang dijadikan referensi dalam membicarakan khitan perempuan adalah riwayat sahih
Bukhȃrȋ Muslim, Sunan Abu Dawȗd, Nasȃ‟i al-Muwattȃ‟ Imam Mȃlik, Imam Nawȃwȋ.
77
al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.
325.
78
Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794; al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-
Husain ibn Ali al- Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala al-
Khitan, h. 325.
Pertama riwayat yang bermuara pada al-H ajjȃj ibn Arta‟ah,
79
beliau meriwayatkannya dengan tiga versi yaitu:
a Al-Hajjȃj –dari- Abȋ Malȋh –dari- Usamah –dari- Rasulullah saw. Diriwayatkan
oleh Ahmad dan al- Baihaqȋ dalam al-Sunan al-Kubra.
80
Åğثáح ĝع ĘاĥعْĖا ĝْÈا يğْعي àÅÉع Åğثáح جْيåس
ÔÅجحْĖا ىėص يÉğĖا ĜأģيÈأ ْĝع ËĚÅسأ ĝْÈ حيėěْĖا يÈأ ْĝع
َ Ëğس ĜÅÏßْĖا ĔÅق ęėسĤ ġْيėع
ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅجåėĖ يقÅģيÉĖا Ĥ áěحا ĠاĤر
ÅĞåÉْخأ ْĖا Æĥيأ Åğثáح ĜاáْÉع Åğثáح ĜÅيح ĝْÈ áěحĚ ĥÈأ ÅĞåÉْخأ ġيقفْĖا ÐرÅحْĖا ĝْÈ åْēÈ ĥÈأ
Åğثáح Ĝاæĥ ËĚåْēع ْĝع Ĝاْجع ĝْÈ áěحĚ ْĝع ĜÅÈْĥث ĝْÈا Åğثáح áيĖĥْĖا ĝْÈ áيĖĥْĖا
ىÉğĖا ĝع èÅÉع ĝْÈا ĝع -
َ ىėص ęėسĤ ġيėع
- ĔÅق
ذ: ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅجåėĖ Ëğس ĜÅÏßْĖا
.د يĞاåÉø ĠاĤر
. فيعض àÅğْسِ اãĢ
81
b Al-Hajjȃj –dari- Abi Malȋh –dari- Usamah –dari- Syidȃd ibn Aus –dari-
Rasulallah Saw. diriwayatkan oleh Ibn Abȋ Syaibah dalam Musannaf Ibn
Syaibah , Ibn Abȋ Hatim dalam al-I‟lal, dan Tabaranȋ dalam al-Mu‟jam al-
kabir.
82
- Åğثáح
ĝع ، ĘاĥعْĖا ĝْÈ àÅÉع ÔÅجح
ĔÅق : ĔÅق èْĤأ ĝْÈ àاáش ĝع ، حيėěْĖا يÈأ ْĝع ، ĕجر ĝع ، Ëğس ĜÅÏßْĖا : ęėسĤ ġيėع َ ىėص َ Ĕĥسر
ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅجåėĖ .
يĞاåÉø ĠاĤر
79
Kredibilitas al-H ajjȃj diperselisihkan ulama, banyak yang mendhaifkannya dan ada juga
yang mengatakan beliau termasuk penghafal hadis, hanya saja sering sekali mentadlis. Ibn Hajar menyimpulkan pendapat ulama dengan mengatakan bahwa beliau salah seorang fuqaha, jujur, namun
banyak salah dan banyak tadlis. Hal yang sedemikian juga dikatakan oleh al-Zahabi. Lihat keterangan biografi al-H
ajjȃj dalam kitab-kitab dibawah ini: al-Kamil, jil.2, hal.518-527; Mizan al-I‟tidad, jil. 2, hal. 197; al-Majuruhin, jil.1, hal. 225-228; Tahzib al-Kamal,jil.5, hal.420-429;al-Kasyif, jil.1, hal.311;
Taqrib al-Tahzib, hal. 152.
80
Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794;al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-
Husain ibn Ali al- Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala al-
Khitan Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994,h. 325.
81
al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h. 325
82
Al-T abrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jil. 7, Al-Mushil: Maktabah „Ulum wa al-Hikam,1983 h.
273-274.
- Åğثáح
ĝع عيكĤ Åğث ĨàĤْا َ áÉع ĝÈ Ĥåěع Åğث ĨåÏسÏĖا åيĢæ ĝÈ áěحأ È áيعس
åيïÈ ĝ ÊàÅÏق ĝع
Ëğس ĜÅÏßĖا : ĔÅق : èÅÉع ĝÈا ĝع áيæ ĝÈ åÈÅج ĝع ءÅسğėĖ ËĚåēĚ ĔÅجåėĖ
يĞاåÉø ĠاĤر
8
c Al-Hajjȃj –dari- Madkhul –dari- Abȋ Ayyub –dari- Rasulallah Saw.
diriwayatkan oleh Ahmad seperti yang diisyaratkan oleh Ibn Hajar dalam Talkhis al-habir
dan Ibn Abȋ Hatim.
84
:ĔÅق ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص َ Ĕĥسر ĝع Æĥيا يÈا ĝع ĕخáĚ ĝع ÔÅجح ĝع Ëğس ĜÅÏßĖا
ĔÅجåėĖ ءÅسğėĖ ËĚåēĚ
áěحا ĠاĤر Al-H
ajjȃj sendiri dinilai sebagai perawi yang suka mentadlis menyembunyikan sesuatu dan riwayatnya sering bertentangan, karena itu
beliau disifatkan sebagai perawi yang lemah bahkan Ibn Abd al-Barr menyatakan bahwa riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua, Riwayat Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh al-T abaranȋ dalam
al- Mu‟jam al-kabir dan al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-kubra dan Ma‟rifat al-
Sunan wa al-Atsar. Namun riwayat ini di da‟ifkan sendiri oleh al-Baihaqȋ dan
beliau menafikan hadis ini sebagai sabda Rasulallah Saw, akan tetapi hanya perkataan Ibn Abbas. Dengan demikian maka hadis ini bukan sabda Rasulallah
Saw, akan tetapi hanya perkataan seorang sahabat, atau yang dikenal dengan istilah mauquf.
85
83
Al-T abaranȋ, Mu‟jam al-Kabir, Jilid 12, hadis no. 12828.
84
Ibn H ajȃr al-Asqalȃnȋ, Talkhis al-Habȋr fi Takhrȋj Ahadists al-Raȋi‟i al-Kabȋr, jilid 4, hadis
no. 1806, Maktabah Kulliyah Al-Azhariyyah, 1987 h.1407.
85
Lihat al-Hafiz al- Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,
h. 325; al-T abrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jilid 7, h. 273-274.