Melalui Dasar Legitimasi Diberlakukannya Khitan Perempuan di Indonesia

mengeluarkan Fatwa Nomor 9ATahun 2008, yang intinya khitan perempuan adalah ibadah yang dianjurkan. 20 Menurut Asroruniam Saleh: ”Masalah khitan bukan terminologi medis tetapi terminologi agama sehingga menentukan boleh tidaknya bukan karena pertimbangan medis tetapi pertimbangan agama. Kemudian pelasanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah keselamatan jiwa dan juga mencegah terjadinya hal- hal yang membahayakan.” 21 Begitu juga yang dinyatakan oleh Salah Ghaul 22 dan juga telah disebutkan oleh Syaikh Jadul Haq 23 sebagaimana disebutkan oleh Maryam Ibrahim Hindi, ia menerangkan dalam pelaksanaan khitan, “Tidak dibenarkan meninggalkan petunjuk dan pengajaran Rasulallah saw untuk kemudian mengambil ucapan orang lain, meskipun ia seorang dokter. Sebab, kedokteran adalah ilmu pengetahuan dan karakter ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Bukti kebenaran pernyataan tersebut adalah bahwa pendapat para dokter dalam masalah ini beragam. Sebagian berpendapat tidak perlu 20 “MUI Anggap Sunat Perempuan Sesuai UUD 1945” Kompas, 21 Januari 2013, Artikel diakses pada 1 April 2014 dari Tempo.com. 21 “Pemerintah Pastikan Tak akan Larang Sunat bagi Perempuan”, artikel diakses pada 24 Maret 2014, dari http:suaraborneo.com?m=201301paged=3.html. 22 Dikutip dari Koran al-Ahrar, tanggal 26 Oktober 1994 M dalam Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, penerjemah Abu Nabil, Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008, cet. ke-1, h.99. 23 Syaikh Al-Azhar ke-42, pengarang Al-Fiqh Al-Islamiy Murunatuh wa Tathawwuruh, Buhuts Fatawa Islamiyah fi Al- Ijtihad wa Syuruthuh,dll; “Syaikh Jadul Haq: Pelita Umat Abad 21” artikel diakses pada 26 Maret 2014 dari m.kompasiana.compostread1200562syaikh-jadul-haq- pelita-umat-abad-21.html. melakukan khitan perempuan sedang sebagian yang lain memandang perlu melakukannya. 24 Dari putusan MUI tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan, penulis setuju akan tindakan dan sikap pemerintah dalam menghadapi polemik khitan perempuan di Indonesia. Keluarnya PERMENKES nomor 1636 Tahun 2010 Tentang Sunat Perempuan dan Keputusan MUI nomor 9A Tahun 2008 Tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan merupakan suatu kebijakan pemerintah yang seimbang dan bijaksana yang harus kita dukung. Karena sesungguhnya khitan perempuan dalam Islam merupakan ajaran yang di syari’atkan perintahnya, meskipun hukum pelaksanaanya berbeda-beda tergantung dari kemasalahatan yang akan dicapai tiap individu dan bukanlah suatu keharusan yang mana apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. MUI sendiri memberi pernyataan bahwa hukum khitan perempuan adalah makrumah suatu ajaran baik dalam menjalankan perintah agama. 24 Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 99. 62

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT

KAMPUNG PASIR BUAH DI KARAWANG TENTANG KHITAN PEREMPUAN

A. Pandangan dan Dasar Pemikiran Masyarakat Terhadap Khitan Perempuan.

Fenomena khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah sesungguhnya berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang khitan perempuan itu sendiri. Menurut Mead persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, penglihatan, dan pendengaran yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu. Stimulus yang diindera itu diorganisasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera itu. 1 Dalam persepsi, objek menimbulkan stimulus yang mengenai penginderaan, objek yang di persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi, namun juga dapat berada dalam diri orang yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri orang akan dapat mengevaluasi dan melihat dirinya. Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek dapat berwujud benda-benda, situasi dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi benda-benda di sebut persepsi sosial. 2 1 George Ritzer, dkk, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, 2004 h. 274-275 dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phpkomunitas. 2 Bimo Walgito,Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003, h. 47.