Putusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI Nomor 9A Tahun 2008

62

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT

KAMPUNG PASIR BUAH DI KARAWANG TENTANG KHITAN PEREMPUAN

A. Pandangan dan Dasar Pemikiran Masyarakat Terhadap Khitan Perempuan.

Fenomena khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah sesungguhnya berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang khitan perempuan itu sendiri. Menurut Mead persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, penglihatan, dan pendengaran yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu. Stimulus yang diindera itu diorganisasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera itu. 1 Dalam persepsi, objek menimbulkan stimulus yang mengenai penginderaan, objek yang di persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi, namun juga dapat berada dalam diri orang yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri orang akan dapat mengevaluasi dan melihat dirinya. Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek dapat berwujud benda-benda, situasi dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi benda-benda di sebut persepsi sosial. 2 1 George Ritzer, dkk, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, 2004 h. 274-275 dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phpkomunitas. 2 Bimo Walgito,Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003, h. 47. Tindakan anggota-anggota masyarakat kampung Pasir Buah melangsungkan kebiasaan khitan perempuan merupakan tindakan sosial yang dikontrol oleh mekanisme sosial. Dengan demikian, tindakan anggota-anggota masyarakat kampung Pasir Buah adalah tindakan yang didasarkan pada pertimbangan dari sistem makna dan sistem nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak dan melahirkan serangkaian perilaku atau tindakan. Kemudian sistem makna dari nilai yang dimiliki bersama tersebut dikomunikasikan melalui sistem simbolik. 3 Dan sistem simbolik tersebut menciptakan suatu kebudayaan. Dan konsep kebudayaan menurut Geertz terdiri dari dua bagian yaitu kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan dan sistem makna, dan kebudayaan sebagai sistem nilai. 4 Dan perlu diketahui bahwa khitan perempuan merupakan suatu bentuk simbolik dan dibalik praktik tersebut terkandung makna-makna yang dipahami oleh masyarakat Kampung Pasir Buah. Bentuk-bentuk simbolik disini dianggap sebagai penyimpanan makna dan melalui tindakan simbolik ini pula bisa dipahami budaya masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwasanya masyarakat di Karawang masih melanggengkan tradisi praktik khitan perempuan. Hal ini ditunjukan dari jawaban responden yang mencapai 100 atas jawaban dalam 3 Ignas Kleden, Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES, 1988, h. 12, dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http:journal.unnes.ac.idnjuindex.phpkomunitas. 4 Ignas Kleden,After the Fact Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog Clifford Geertz. Yogyakarta: LKIS, 1999, h. xiv. quesioner yang sudah penulis sebarkan pada 15 responden menunjukan mereka hampir seluruhnya telah mengkhitankan anak perempuannya. Sedangkan usia anak yang dikhitan yaitu pada data yang diperoleh penulis menunjukan 60 anak perempuan dikhitan pada usia 1-7 pasca kelahiran dan 6.7 pada usia 40 hari dan sisanya 33.3 pada usia 1 tahun keatas. Hal ini tergantung pada keyakinan orang tua masing-masing anak. Namun dari data yang diperoleh bahwasanya masyarakat mengkhitankan anak perempuannya sebelum usia baligh hal ini dikarenakan khitan perempuan sesuatu hal yang tabu dan pelaksanaannya pun tidak dirayakan seperti halnya khitan pada anak laki-laki. Seperti kutipan wawancara penulis dengan responden yaitu: Pada usia berapa anak perempuan anda dikhitan? Jawaban: 3 hari, kalau sudah kegedeean takut nantinya, malu juga, kita yang mengkhitankan juga malu, kalo perempuan emang bagusnya umur segitu masalahnya umur segitu masih keliatan kaluar ininya yang putihnya itu jadi itu yang diambil yang putih kayak biji kacang itu tapi putih, tapi kalo yang ga bisa kepanjangan nanti hasrat si cewenya ilang. 5 Apabila kita analisis dengan hukum Islam Al-Mawardi berpendapat bahwa waktu pelaksanaan khitan ada 2 macam: waktu yang diwajibkan dan waktu yang lebih disukai. Waktu yang diwajibkan adalah ketika mencapai umur baligh, dan waktu yang lebih disukai adalah sebelum mencapai umur baligh. Pilihan waktu yang dimubahkan adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Hal ini sesuai dengan riwayat Al-Thabrani di kitab Al-Ausath dari Ibn-Abbas, dia berkata, يف ËğسĖا ĝĚ عÉس ىěسي يÉصĖا ĝÏßيĤ عÈÅسĖا يفTujuh perkara sunnah pada anak; diberi anak pada hari ke tujuh dan 5 Wawancara pribadi penulis dengan Nunung, Karawang, 6 April 2014. dikhitan 6 . Namun ada juga yang berpendapat dimubahkan pada hari ketika ia dilahirkan. Jika pelaksanaannya diundur, bisa dilakukan pada hari keempat puluh, atau pada tahun ke tujuh setelah dilahirkan. Abu Al-Faruj Al-Saraksi berkata sebagaimana diungkapakan oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid As-Syinnawi: “Melakukan khitan pada seorang anak yang masih kecil terdapat maslahat, yaitu dilihat dari sisi kulitnya. Karena kulit seseorang setelah mencapai usia dewasa akan menguat dan mengeras, oleh karena itu banyak ulama yang membolehkan melakukan khitan sebelum usia dewasa. ” Namun Ibnu Mundzir berkata sebagaimana diaktakan oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid As-Syinnawi: “Pada pembahasan ini tidak terdapat larangan dan waktu pelaksanaan khitan tidak terdapat khabar yang dapat dijadikan rujukan dan tidak ada sunnah yang dapat dipakai sebagai sandaran hukum. ” Oleh karena itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan khitan tidaklah dikhususkan pada waktu-waktu tertentu, dan juga pelaksanaan khitan tersebut tidaklah diwajibkan pada waktu kecil. 7 Dan untuk masalah walimah khitan perempuan ini menunjukan sebanyak 40 masyarakat di Karawang tidak melakukan syukuran perayaan khitan perempuan dengan alasan karena khitan perempuan tidak umum dirayakan sebagaimana walimah pada khitan laki-laki. Dan 46.7 responden yang melakukan syukuran, tapi hanya lingkungan keluarga dekat. 6 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fath Bȃrȋ buku 28 , Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, penerjemah Amiruddin Jakarta:Pustaka Azzam, 2011 cet ke-2, hal.766. 7 Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, penterjemah Nashirul Haq, Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003 h. 55-57