Peristiwa Meletusnya Gunung Agung

Sampai tahun 1990, budaya masyarakat Bali tetap bercorakkan agama Hindu, termasuk bentuk keakrapan, organisasi sosial masyarakat Bali tetap ditata dengan ajaran Hindu, misalnya bentuk-bentuk upacara adat, menyerahkan sesajen dalam pura, melaksanakan acara Voedalan dan upcara agama Hindu lainnya yang rutin dilaksanakan oleh Masyarakat Hindu-Bali. Begitu pula dengan masyarakat Hindu Bali yang bermukim di desa Pegajahan kecamatan Perbaungan. Mereka tetap menjalankan acara-acara ritual keagamaan seperti ketika mereka masih tinggal di pulau Bali, walaupun disini mereka telah bergaul dengan masyarakat lainnya.

3.2 Peristiwa Meletusnya Gunung Agung

Gunung Agung adalah gunung tertinggi yang terdapat di pulau Bali, tepatnya di kecamatan Karangasem, dengan ketinggian 3.142 meter dari permukaan laut. Gunung Agung merupakan salah satu gunung berapi yang menyimpan mahma bumi sangat besar, sehingga kawah gunung ini sangat dalam. Masyarakat sering melihat gunung ini mengeluarkan asap dan uap air, yang menimbulkan keheranan kepada mereka yang menyaksikannya. Pada saat gunung Agung belum meletus, masyarakat banyak yang melakukan pendakian kepuncak gunung ini, untuk memandang sekitar Bali, wilayah Lombok dan daerah sekitar Bali. Dari puncak gunung pendaki akan melihat secara jelas gunung Rajani yang terdapat di Lombok. Gunung yang tergolong paling tinggi di Bali sering dijadikan sebagai tempat memandang daerah sekitar yang dekat dengan wilayah Bali. Universitas Sumatera Utara Apabila kita mengamati sekitar gunung Agung, maka akan banyak ditemukan peninggalan-peninggalan kehidupan masa lampau manusia, khususnya peninggalan kerajaan. Sebelum menuju ketinggian, terdapat sejumlah bangunan candi seperti Pura Puseh, Pura Telaga Mas, dan pura yang paling besar yaitu Pura Besakih, yang dijadikan masyarakat sebagai tempat penyembahan terhadap penjaga gunung Agung. Pada setiap tahunnya masyarakat sekitar Karangasem khususnya mereka yang menganut agama Hindu, melakukan upacara penyembahan dan pemberian sesajen kepada penghuni gunung Agung, sebagai upaya membujuk penghuninya untuk tidak menimbulkan bahaya kepada masyarakat yang ada disekitarnya. 20 Gunung Agung adalah gunung aktif yang sudah meletus beberapa kali. Setiap kali meletus maka masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat yang dominan memeluk agama Hindu selalu mengalami akibatnya. Latar belakang inilah yang membuat sebuah kebiasaan disekitar masyarakat Karangasem selalu mempersembahkan satu ekor kerbau jantan, agar mereka tidak mendapat petaka letusan gunung Agung. Terakhir kali gunung Agung meletus tahun 1963 yang sangat banyak menelan kerugian, dan bahkan terjadi perubahan sosial terhadap masyarakat yang ada disekitarnya. Jumlah korban meninggal dari bencana mecapai 1.148 orang, korban luka-luka mencapai 15.000 orang 21 . Kerugian materi yang diakibatkan bencana alam ini sangat membuat masyarakat tertekan. Terlebih lagi di kabupaten 20 WWW. Grapala FV. I.Htm. September 2007 21 WWW. Grapala FV. I.Htm. September 2007 Universitas Sumatera Utara Karangasem, sumber pendapatan rusak total sebagai akibat dari letusan gunung Agung tersebut. Keberadaan gunung Agung, sebelum terjadi letusan, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat ”kapan gunung Agung akan meletus”. Tanda-tanda dari bahaya akan terjadi letusan ini sudah sejak lama dirasakan masyarakat seperti suara gemuruh dari tanah, getaran gempa lokal, dan kepalan asap dari puncak gunung. Daerah yang dekat dengan gunung sangat merasakan sekali suara-suara dan getaran gunung yang membuat mereka susah untuk melanjutkan tidurnya. Sebagian dari mereka yang memiliki anak-anak bayi, terpaksa mengungsi untuk menjaga kesehatan dari anak-anak mereka. Getaran-getaran yang datang dari gunung sudah lama terjadi yang menimbulkan kebingungan masyarakat. Sebagian dari masyarakat sudah merasa yakin bahwa gunung tidak akan meletus, dan mereka bekerja seperti biasanya. 22 Kebingungan tentang keadaan gunung juga terjadi bagi para badan Vulkanologi, mereka tidak bisa mendeteksi kapan gunung Agung akan meletus, atau bagaimana posisi gunung saat itu, sehingga masyarakat tidak menyakini lagi keterangan dari pemerintah ataupun badan yang memberikan keterangan tentang gunung Agung. Kebingungan semakin bertambah dengan perbedaan penafsiran dari para pakar gunung. Beberapa ahli menyatakan bahwa gunung akan segera meletus, untuk itu masyarakat harus segera mengungsi. Pakar yang lainnya menyebutkan hanya terjadi sumbatan kecil pada saluran air panas dalam gunung, 22 Wawancara dengan Wayan Gio Pangandita , tanggal 18 September 2007, Universitas Sumatera Utara jadi kemungkinan terjadinya letusan sangat tidak memungkinkan. Sebagian dari mereka ada yang menjelaskan bahwa gunung masih membutuhkan waktu yang lama untuk meletus. Tarik menarik pendapat para pakar tersebut dilatar belakangi oleh peralatan yang sangat minim yang dimiliki oleh ahli gunung api di Indonesia. Masyarakat tetap menunggu hal apa yang akan terjadi dari gunung Agung. Gumpalan asap yang semakin besar keluar dari gunung hanya menjadikan sebagian dari masyarakat sebagai penonton, tetapi tanda-tanda ini menjadikan sebagian kecil dari masyarakat mengungsi dari daerah gunung sebab tanda-tanda seperti ini belun pernah terjadi sebelumnya. Setelah beberapa hari mengeluarkan asap tebal, maka aktivitas gunung Agung selanjutnya mulai mengeluarkan bola api. Malam hari terlihat terang akibat bola api yang dikeluarkan gunung Agung, tetapi masyarakat menjadikan fenomena ini hanya sebagai tontonan malam, sebab mereka sama sekali tidak bisa tidur. Kelompok bapak-bapak, bertugas untuk tetap siaga tetap selalu diberatkan kepada mereka, sedangkan kelompok anak dan istri tetap menyelesaikan jam tidur mereka. 23 Lima hari gunung mengeluarkan bola-bola api, dan hari selanjutnya, yaitu pada siang hari masyarakat mulai merasakan semburan abu-abu dan juga bebatuan dari gunung. Keadaan ini menimbukan kepanikan bagi sejumlah masyarakat khususnya yang berada disekitar gunung. Mereka segera mengungsi ketempat lain. Tetapi masyarakat yang lain menanggapinya sebagai proses akhir dari bahaya gunung Agung, sehingga mereka tetap menahankan bahaya yang 23 Wawancara dengan Inengah Sumandyase, tanggal 24 September 2007 Universitas Sumatera Utara diakibatkan gunung tersebut. seperti masyarakat desa Naga Sari yang berada sekitar 5 Km dari posisi gunung tidak mau meninggalkan kediaman mereka sebab mereka menganggap fenomena tersebut sudah hal biasa. Lamanya gunung Agung meletus mengakibatkan bahan pangan semakin krisis. Persedian yang mereka miliki semakin menipis, sehingga mereka banyak yang menerima untuk mengungsi ketempat lain sebab selama gunung mulai memberikan bencana ini, aktivitas masyarakat di sekitarnya terhenti. Masyarakat yang tetap bertahan disekitarr gunung adalah masyarakat yang masih memiliki cadangan makanan. Pemerintah sengaja tidak memberikan bantuan kepada masyarakat yang tidak mau bergabung ketempat pengungsian, atau bantuan apapun bentuknya tidak diberikan kepada mereka yang tidak mau mengungsi. Kebijakan ini berlatar belakang dari perhatian pemerintah kepada pengungsi, agar tidak ditimpa bencana ketika gunug Agung meletus. Sikap bertahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar Kecamatan Karangasem dilatar belakangi oleh keyakinan mereka. Masyarakat yang tetap bertahan ini adalah masyarakat Bali yang menganut ajaran agama Hindu sebagian besar, dan sebagian kecil adalah penganut agama Islam. Tanda-tanda bahaya gunung Agung yang ingin meletus dibalas mereka dengan sifat semakin rajin malaksanakan ibadah ditempat-tempat ibadah. Selama 9 hari masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di Pura dan juga tempat ibadah lainnya. Banyak masyarakat yang menginap di tempat ibadah pada malam hari, kebersamaan ini menjadi pengikat bagi masyarakat supaya sama-sama bertahan di tempat Universitas Sumatera Utara pengungsian, seperti di desa Dukusari dan desa Subagun, masyarakat berkumpul di tempat ibadah baik malam maupun siang hari. Segala aktivitas sosial terhenti, selama beberapa hari gunung Agung belum meletus, baik pendidikan, bidang pemerintahan, maupun aktivitas keseharian masyarakat lainnya. Aktivitas gunung yang memakan waktu lama hanya mengeluarkan gejala- gejala biasa seperti letusan yang tidak begitu dasyat membuat masyarakat dan juga pengamat gunung merasa yakin bahwa gunung sudah menuju puncak, sehingga kelompok masyarakat tetap tinggal di kediaman mereka, hingga pada hari yang kesepuluh. Gejala gunung meletus semakin terlihat, asap tebal dan debu menutupi sekitar pemukiman masyarakat, bebatuan semakin banyak dimuntahkan oleh gunung Agung, membuat masyarakat panik dan segera megungsi. Pengungsian yang terjadi secara mendadak, membuat pemerintah melalui badan pengungsi yang dinamakan dengan Komando Operasi Gunung Agung KOOGA 24 kewalahan mengusikan masyarakat ke wilayah Denpasar, yang dijadikan pemerintah sebagai tempat penampungan sementara. Sebagian dari masyarakat tetap bertahan di wilayah mereka, untuk menjaga pemukiman, keyakinan masyarakat ini tetap kuat walaupun tanda bahaya yang ditunjukkan gunung Agung sudah semakin besar. Pada malam hari Komando Operasi Gunung menghentikan aktivitasnya, melihat gunung semakin berbahaya pada pertengahan malam, gunung Agung mengeluarkan magma dan suara yang sangat kuat, sungai-sungai yang ada disekitar gunung yang sudah kering sejak tanda-tanda letusan akan terjadi menjadi 24 KOOGA, Adalah Tim yang dibentuk oleh pemerintah kusus untuk menangani korban bancana gunung Agung, Wawancara Dengan Inengah Sumandyse tokoh masyarakat Hindu Bali desa Pegajahan , tanggal 24 September 2007. Universitas Sumatera Utara aliran larva panas hingga membanjiri tempat pemukiman penduduk, larva yang sudah keluar sebelumnya menyumbat aliran sungai dan larva yang baru masuk kedaerah perumahan penduduk. Perkampungan desa Subagun yang sangat terkenal dengan sifat religiusnya hampir seluruh penduduknya meninggal ditempat ibadah, mereka tidak sempat melarikan diri. Jarak letusan gunung yang tidak dapat diprediksikan membuat korban bencana alam gunung tersebut semangkin besar. Masyarakat tidak mengira akibat dari letusan gunung Agung sangat besar, selain kabupaten Karangasam, dua kabupaten lainnya juga menderita semburan abu gunung yaitu kabupaten Tabanan, dan kabupaten Klungkung. 25 Penduduk dari tiga kabupaten dikumpulkan di Denpasar menunggu situasi pulih kembali. Bahaya bencana yang paling berat dialami oleh masyarakat Karang Asam, sebagian besar penduduknya terpaksa harus mengungsi lama ditempat pengungsian, lahan pertanian dan pemukiman mereka rusak total. Setiap hari masyarakat yang ada di pengungsian hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah dan bantuan swasta lainnya. Pemerintah sempat mengalami krisis kebijakan terhadap pengungsi dan bahkan kekurangan pangan, sehingga beberapa dari pengungsi banyak yang menderita penyakit paru-paru, kelaparan, meninggal dunia. Peristiwa ini membuat jumlah korban gunung Agung menjadi sangat besar. 25 Wawancara dengan Inyoman Jumu warga desa Pegajahan , Tanggal 24 September 2007 Universitas Sumatera Utara Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah memikirkan nasip pengungsi, dan sebagai solusinya pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, memutuskan untuk menjadikan pengungsi sebagai masyarakat transmigrasi.

3.3 Antara Transmigrasi Dan Kontrak Kerja Sebagai Pilihan