Dari Kontrak Kerja Membentuk Sebuah Komunitas: Study Kasus Masyarakat Hindu-Bali Di DesA Pegajahan Kecamatan Perbaungan (1963-1990)
DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH
KOMUNITAS
:
STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU-BALI DIDESA PEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : NOVRY DIANSYAH BARUS NIM : 020706011
PEMBIMBING Dra. Nurhamidah, M.A.
NIP. 131460524
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH
KOMUNITAS
: STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU BALI DI DESAPEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990)
Yang diajukan oleh : Nama : NOVRY DIANSYAH B
NIM : 020706011
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian Skripsi oleh:
Pembimbing Tanggal……….
Dra. Nurhamidah, M.A. NIP 131460524
Ketua Departemen Ilmu Sejarah Tanggal……….
Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 131284309
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH
KOMUNITAS
: STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU BALI DI DESAPEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990
Skripsi Sarjana Dikerjakan O
L E H
Nama : Novry Diansyah B Nim : 020706011
Pembimbing
Dra. Nurhamidah, M.A. NIP 131460524
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melangkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
KATA PENGANTAR
Segenap hati penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang memiliki kekuasaan atas alam dan segala isinya, berkat kekuatan dan pikiran yang jernih saat penulis mengerjakan tugas akhir ini, sehingga terhimpun dengan baik. Adapun tujuan dari skripsi ini ditulis merupakan pelaksanaan tugas seorang Sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau manusia. Di lain pihak, skripsi ini ditulis sebagai sebuah persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan program S-1, pada Departemen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini membahas tentang proses sosial yang dialami oleh masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan, setelah mereka ditempatkan menjadi karyawan kontrak pada PTPN II tahun 1963. proses yang dimaksud dimulai dari bencana meletusnya Gunung Agung yang menyebabkan harta kekayaan dan sumber kehidupan mereka rusak total oleh karena bencana alam letusan gunung Agung. Bagaimana masyarakat Hindu Bali menjadi masyarakat lokal di kecamatan Perbaungan desa Pagajahan, juga menjadi bahan kajian penelitian ini.
Penulis mengakui bahwa saat melaksanakan penelitian ini, penulis merasakan betapa banyaknya halangan yang dihadapi penulis, terutama saat pengumpulan sumber, sebab penelitian tentang topik ini sama sekali belun pernah dilakukan. Untuk itulah penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak ditemukan kekurangan. Penulis berlapang dada menerima segala kritik dan saran
(5)
terhadap karya ini yang sifatnya memberikan kebaikan dan melengkapi karya ini.. Semoga sikripsi ini berguna bagi kita semua, kususnya mahasiswa sejarah dan masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan. Terima kasih,
Medan, 27 Maret 2008
Novry Diansyah Barus
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
ABSTRAK ………. iii
DAFTAR ISI ………..……….. iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 RUANG LINGKUP PERMASALAH ……… 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ………. 7
1.3 TUJUAN DAN MENFAAT PENELITIAN ……… 8
1.4 TINJAUN PUSTAKA ………. 9
1.5 METODE PENELITIAN ………. 12
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 LATAR HISTORIS ……….. 14
2.2 PROFIL WILAYAH DESA PAGAJAHAN ………. 17
2.3 KEADAAN PENDUDUK ………..……….. 19
2.3.1 KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT ETNIS ….. ……… 20
2.3.2 KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT AGAMA … 21 2.3.3 KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT MATAPENCAHARIAN PENDUDUK ……..………... 22
2.4 STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA PEGAJAHAN… 24 BAB III KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI 3.1 LATARBELAKNG SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI ………..…… 26
3.2 PERISTIWA MELETUSNYA GUNUNG AGUNG ….. 28
3.3 ANTARA TRANSMIGRASI DAN KONTRAK KERJA SEBAGAI PILIHAN ……… 35
3.4 MASA KONTRAK KERJA PERTAMA HINGGA KETIGA ……… ……… 40
(7)
BAB IV MASYARAKAT HINDU BALI MEMBENTUK
SEBUAH KOMUNITAS
4.1 PERUBAHAN PNP IX MENJADI PTPN II DAN PENGARUHNYATERHADAPKONTRAK
KERJA …...………… 46
4.2 DARI SEBUAH KOMUNITAS MENUJU PENDIRIAN PURA DI PAGAJAHAN ………. 51
4.3 SITUASI TERAKHIR MASYARAKAT HINDU BALI DI PAGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN ………. 59
BAB V KESIMPULAN ……… 64
- DAFTAR PUSTAKA ………. 67
- DAFTAR INFORMAN ……….. 69 - LAMPIRAN-LAMPIRAN
(8)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Ruang Lingkup Permasalahan
Bencana alam adalah salah satu faktor yang dapat membuat perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Kehidupan sosial masyarakat merupakan bagian yang tidak terlepas dari pengaruh alam. Apabila terjadi bencana, maka sistem sosial yang berada di sekitarnya akan mengalami dampak tersebut1 Demikianlah yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di tiga kabupaten di Bali, yaitu: kabupaten Karang Asam, kabupaten Klungkung, dan kabupaten Tabanan, saat peristiwa gunung Agung meletus.
Pada bulan November 1963, gunung Agung yang berada di Bali meletus2. Dampak yang ditimbulkannya membawa berbagai kerusakan terhadap lingkungan alam, dan kehidupan sosial masyarakat disekitarnya. Masyarakat dari tiga kabupaten yang disebutkan sebelumnya menjadi kelompok sosial yang paling besar kerugiannya. Selain menelan korban jiwa, bencana alam letusan gunung Agung juga merusak segi kehidupan masyarakat, seperti lahan pertanian, perekonomian, dan bidang kehidupan lainnya. Besarnya jumlah korban dan kerugian yang dialami masyarakat akibat dari minimnya peralatan yang dimiliki pemerintah Indonesia untuk mendeteksi waktu dan besarnya kekuatan dari letusan gunung Agung. Hal inilah yang membuat masyarakat tidak bersiap menghadapi bencana alam tersebut.
1
Soerjono Soekanto,Teori Sosiologi Tentang Perubahan, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hlm. 29. 1983
2 wawancara dengan Inengah Sumandiyase.( tokoh masyarakat Hindu Bali ), tanggal 10 April 2007
(9)
Saat letusan terjadi, kelompok masyarakat diungsikan ke Denpasar sebagai tempat yang lebih aman dibanding ketiga kabupaten dekat wilayah Gunung Agung tersebut. Masyarakat berada dibawah perlindungan pemerintah dengan membentuk lembaga baru yaitu Komando Operasi Gunung Agung yang disingkat dengan KOOGA. Badan ini juga menjadi penanggungjawab terhadap masyarakat selama di pengungsian. Selama dua bulan di pengungsian, korban bencana alam meletusnya gunung Agung, hanya hidup dari bantuan pemerintah dan masyarakat. Harta dan perlengkapan yang mereka miliki semuanya tidak dapat digunakan lagi. Keadaan ini membuat pemerintah dan juga masyarakat pengungsi, berfikir keras untuk mencari cara bagaimana agar para pengungsi dapat melanjutkan kehidupan mereka kembali seperti semula. Untuk menunggu kondisi pemukiman mereka dapat digunakan kembali dengan baik, membutuhkan waktu yang lama3.
Pemerintah akhirnya membuat program untuk pengungsi yang masih berada di tempat pengungsian. Pada awalnya mereka (pengungsi) akan ditransmigrasikan, kedua daerah yaitu Irian Jaya, dan Kalimantan. Fasilitas yang mereka dapatkan adalah, tanah seluas 2 hektar dan perlengkapan rumah tangga yang lengkap. Pengungsi juga akan menjadi tanggungan negara selama masa pra-produktif. Mereka harus mandiri ketika masa produktif tiba4.
Proses pelaksanaan program transmigrasi pada dasarnya adalah mengurangi kepadatan penduduk di suatu daerah, dengan tujuan pemerataan jumlah penduduk antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Tujuan
3 Wawancara dengan Inengah Sumandiyase, tanggal 10 April 2007
4 Wawancara dengan Wayan Kingsar ( masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan ),
(10)
transmigrasi juga dilakukan untuk mempercepat pembangunan yang merata di masing-masing daerah.
Sebelum para pengungsi diberangkatkan kedaerah tujuan transmigrasi ( Irian Jaya dan Kalimantan), sebuah perusahaan perkebunan (Perusahaan Negara Perkebunan) datang menawarkan pekerjaan kepada pengungsi melalui pemerintah. Perusahaan ini membutuhkan karyawan sejumlah 60 kepala keluarga Mereka akan di kontrak selama 6 tahun. Fasilitas yang disediakan PNP ialah rumah kecil sederhana dengan dua buah kamar tidur dan dilengkapi dengan perlengkapan rumah tangga. Selama mereka belum menerima gaji biaya rumah tangga di tanggung Perusahaan. Mereka mulai menaggung biaya sendiri bila gaji pertama sudah diterima.
Sistem kontrak kerja pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan swasta yang melibatkan Direktorat Jenderal perlindungan dan perawatan kerja. Ketiga pihak yang berkaitan dengan perjanjian kontrak bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya tindakan-tindakan yang merugikan dari masing-masing pihak. Karyawan dan pihak pengusaha menandatangani kontrak kerja setelah sama-sama mengetahui hak dan kewajiban masing-masing saat kontrak dilaksanakan2 .
Kontrak kerja yang diterima oleh para pengungsi dari Bali ini tidak seperti Kontrak Kerja yang diatur oleh Undang-Undang Ketenaga Kerjaan Indonesia, sebab tidak ada perjanjian yang ditulis diatas kertas segel. Perjanjian kerja yang
2
Departemen Perundang-udangan, Peraturan Upah Minimum di 27 Propinsi di Indonesia Pada Perusahaan Swasta dan Upah Lembur, Pedoman Petunjuk Penyelesaian Industrial Upah, Djakarta: Sinar Grafika. 1991.
(11)
mereka lakukan hanyalah perjanjian lisan saja. Pihak Perusahaan berusaha untuk menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan para pengungsi ini dan beberapa persyaratan yang harus mereka patuhi.
Syarat-syarat yang diajukan pihak Perkebunan diantaranya adalah, harus berangkat dengan anggota keluarga (istri dan anak). Jumlah tanggungan tidak boleh lebih dari tiga orang dan siap menjalani kontrak selama 6 tahun. Oleh karena calon karyawan harus sudah berkeluarga, maka beberapa orang yang masih muda dan belum berkeluarga, berusaha untuk mencari pasangan sementara agar mereka boleh berangkat.
Pasangan sementara ini akan selalu bersama-sama di tempat tinggal mereka yang baru (Kecamatan Perbaungan) yang telah disediakan oleh pihak perusahaan. Kebersamaan ini menjadi hal yang unik ketika sudah sampai di tempat tinggal mereka. Sebagian dari mereka akhirnya melanjutkan kebersamaan mereka kejenjang pernikahan. Pasangan yang pada awalnya hanya untuk memenuhi syarat kontrak kerja, akhirnya memutuskan untuk benar-benar menikah.
Pekerjaan keseharian masyarakat Hidu-Bali yang baru, adalah sebagai karyawan kontrak di perkebunan (PNP IX) yang pada awalnya mereka adalah petani. Kelompok masyarakat kontrak ini hidup dengan peraturan kerja perusahaan. Kegiatan kerja yang mereka lakukan di PNP IX adalah membabat, menyemprot, mencangkol, dan menderes (perkebuan PNP pada saat itu masih menanam pohon karet) Mereka bekerja tujuh jam dalam satu hari, dan hari kerja dalam satu minggu berjumlah enam hari. Karyawan menerima gaji setiap satu kali
(12)
dalam satu bulan, tepatnya di akhir bulan. Mereka boleh meminjam di pertengahan bulan apabila mereka tidak memiliki persediaan perlengkapan rumah-tangga.
Pada tahun 1969 kontrak kerja mereka berakhir sesuai dengan perjanjian kerja yang mereka sepakati selama 6 tahun. Pada saat itu juga, pihak perusahaan menawarkan dua pilihan, yaitu : apakah mereka akan mengakhiri kontrak mereka atau akan melanjutkan kembali.15 kepala keluarga dari karyawan kontrak yang berasal dari pulau Bali ini memilih untuk kembali ke pulau Bali dengan pertimbangan bahwa mereka masih memiliki harta warisan di pulau Bali yang dapat mereka kelola kembali. Sebagian lagi menyatakan ingin melanjutkan kontrak kerja ini, sebab mereka beranggapan bahwa hidup sebagai karyawan kontrak ini lebih terjamin. Mereka lebih memilih tinggal karena apabila mereka kembali ke daerah asalnya meeka juga tidak memiliki apa-apa lagi.
Bagi yang memilih pulang ke Bali disebabkan mereka masih mempunyai warisan yang dapat di mamfaatkan kembali setelah keadaan menjadi baik. Kelompok kontrak kerja yang tidak kembali dengan barbagai alasan tetap berkedudukan sebagai karyawan kontrak, dimana kontrak diperpanjang selama tiga tahun. Alasan melanjutkan kontrak sangat beragam. Sebagian mengatakan bahwa mereka terkait utang, ada yang tidak balik dengan alasan bahwa mereka di Bali tidak memiliki harta lagi dan alasan yang lainnya.
Masyarakat Hindu-Bali yang melanjutkan kontrak kerja mulai memikirkan bagaimana membentuk pola integrasi dengan masyarakat perkebunan, yaitu menjadi masyarakat yang permanen. Berawal dari pertemuan arisan mereka
(13)
merencanakan sebuah perkumpulan etnis. Mereka mulai membentuk paguyuban-paguyuban sebagai bentuk realisasinya mereka membentuk organisasi solidaritas sesama anggota yang dinamakan dengan “Parisada Hindu Dharma” di desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan, khususnya bagi mereka yang tergolong sebagai karyawan dari Bali yang beragama Hindu.
Dalam lingkungan menuju pemukimana mereka, mereka membuat nama baru yaitu desa Pegajahan kampung Bali. Disekitar gerbang manuju perkampungan, mereka membuat gapura, yang menyerupai bangunan Hindu-Bali. Sebagai bukti kongkrit dari komunitas masyarakat Hindu-Bali, maka disekitar perkampungan mereka mendirikan bangunan yang fungsinya sama seperti Pura, dimana umat Hindu melaksanakan upacara ritual keagamaan. Masyarakat mulai mempersembahkan sesajen di tempat upacara keagaamaan tersebut. Komunitas yang baru terbentuk ini, merupakan komunitas yang bernuansa keagamaan yaitu agama Hindu dan juga kesukuan yaitu etnis Bali.
Ketika kontrak kedua berakhir pada tahun 1972 jumlah masyarakat Hindu Bali yang kembali pulang ke pulau Bali sekitar 60 % dari sisa kepala keluarga yangbelum pulang. Pada akhir kontrak kerja periode yang kedua inipun pihak perusahaan masih menawarkan perpanjangan kontrak kepada mereka yang masih ingin bekerja dan masih ada keterkaitan dengan perususahaan. Tawaran tersebut banyak juga yang menerimanya, terutama masyrakat Hindu Bali yang baru membentuk keluarga setelah mereka tinggal di Kecamatan Perbaungan. Alasan
(14)
mereka adalah karena tidak mempunyai harta warisan di Pulau Bali, juga karena keluarga mereka sekarang adalah keluarga yang lahir di perantauan.
Keluarga ini semakin permanen didukung dengan situasi mereka pada tahun 1975 bukan lagi sebagai karyawan kontrak tetapi mereka sudah di golongkan oleh perusahaan sebagai karyawan lokal. Masyarakat yang baru inilah yang meneruskan budaya Hindu Bali, meskipun jumlah mereka semakin sedikit. Pada tahun 1989 mereka berhasil mendirikan sebuah Pura di Desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan.
Berdirinya Pura membuat mereka semakin giat dalam melaksanakan ritual keagamaan. Mereka lalu membentuk organisasi keagamaan yang lebih besar lagi. Masyarakat Hindu Bali yang memilih tinggal di kecamatan Perbaungan ini akhirnya dapat membentuk sebuah komunitas yang permanen. Berdasarkan uraian-uraian yang telah di paparkan diatas maka penulis mencoba menulis skripsi ini dengan judul : Dari Kontrak Kerja Membentuk Sebuah Komunitas;
Studi Kasus Masyarakat Hindu Bali di Desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan (1963-1990)
1.2 Rumusan Permasalahan
Permasalahan yang dikaji dalam perelitian ini dimulai dari latar-belakang sejarah migrasi masyarakat Hindu Bali, di kecamatan Perbaungan desa Pegajahan, hingga mereka berhasil membentuk sebuah kemunitas di desa Pegajahan kampung Bali. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:
(15)
1. Bagaimana latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali ini bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan
2. Bagaimana Hubungan kontrak kerja Perusahaan Negara Perkebunan (PNP IX dengan masyarakat Hindu Bali
3. Bagaimana usaha masyarakat Hindu Bali dapat bertahan tinggal dan berhasil membentuk sebuah komunitas yang permanen di desa Pegajahan, kecamatan Perbaungan.
Batasan waktu dari penelitian ini mengambil periode tahun 1963, dan berakhir tahun 1990. Tahun 1963 diambil sebagai batas awal penelitian adalah, sejak peristiwa meletusnya Gunung Agung di Bali sebagai latar-belakang masyarakat Hindu Bali melakukan migrasi dan kontrak kerja dengan Perusahaan Negara Perkebunan. Batasan 1990, diambil sebagai batas akhir penelitian karena masa inilah masyarakat Hindu Bali di Desa Pagajahan Kecamatan Perbaungan berhasil membentuk sebuah komunitas yang mapan, dan tahun itu juga Pura mulai difungsikan sebagai pusat agama Hindu. Batasan wilayah yang dikaji dalam hal ini adalah Desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan. Sebab disinilah mereka mulai menerima kontrak kerja dengan pihak PNP IX dan disini pula meeka tinggal dan menetap sampai sekarang.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian tentang sejarah sosial masyarakat Hindu Bali yang bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan ini, hingga mereka berhasil membentuk sebuah komunitas yang permanen belum pernah dilakukan. Itulah sebabnya
(16)
penulis sangat tertarik untuk menelitinya sebagai bahan kajian penulisan skripsi penulis.
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan.
2. Untuk mengetahui hubungan kontrak kerja antara Perusahaan Negara Perkebunan (PNP IX) dengan masyarakat Hindu Bali.
3. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan masyarakat Hindu Bali ini dapat bertahan tinggal menetap dan berhasil membentuk sebuah komunitas yang permanen di desa Pagajahan kecamatan Perbaungan. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat:
1. menambah wawasan tentang latar belakang migrasi masyarakat Hindu Bali di Kecamatan Perbaungan.
2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah sosial masyarakat, khususnya Hindu Bali.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk membahas mengenai kehidupan sosial masyakat Hindu Bali di desa Pegajahan kecamatan Perbaungan ini tidak dapat terhidar dari pendekatan multidimensisonal, yaitu pendekatan sejarah yang analitik.
Pendekatan ini juga dimaksud untuk mrnghindari gaya penulisan yang konvensional. Penulisan gaya lama yang menguraikan penulisan secara panjang lebar peristiwa-peristiwa politik yang menyangkut perang, riwayat orang-orang
(17)
besar atau panglima perang, sehingga aspek-aspek lain didalam masyarakat yang dapat mendukung peristiwa sejarah selalu terabaikan.3
Dalam penulisan sejarah dan pendekatan yang multidimensional, seorang peneliti perlu memperkaya diri dengan alat-alat metodologi, berupa konsep dan teori ilmu sosial. Konsep dan teori yang relevan dari teori ilmu sosial (Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Psikologi, dan Ilmu Ekonomi) akan mempu mengungkap peristiwa sejarah lebih mendalam.4
Untuk membantu pengkajian mengenai kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali, peneliti mencoba menggunakan pendekatan kultural masyarakat Hindu Bali. Pendekatan ini dianggap sesuai dengan pendekatan sosial yang ada dalam masyarakat Hindu Bali.
Masyarakat Bali yang sebagaian besar memeluk agama Hindu tidak dapat dipisahkan dari bagian budayanya. Hal ini terlihat jelas dari bagian-bagian agamanya yang penuh dengan upacara-upacara yang diiringi dengan tari, kidung, beserta kerawitannya.5 Demikian pula kegiatan kebudayaan yang berhubungan dengan adat istiadat yang menyangkut dengan kelangsungan hidup seperti; perkawinan, kelahiran, kamatian dan yang menyangkut rumah tempat tinggal. Masyarakat Hindu Bali yang pergi merantau juga akan terus melestarikan adat budaya mereka dan mendirikan perkumpulan-perkumpulan kedaerahan (paguyuban).
3
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historyografi Indonesia, Suatu Alternatife, Jakarta PT Gramedia, 1982. Hlm. 40
4
Sartono Kartodirdjo, Beberapa Kecenderungan Dari Peristiwa Sejarah Di Indonesia Dalam Monografi, Yoyakarta: Jurusan Sejarah Dan Geografi Sosial IKIP Sanata Dharma, 1980. Hlm. 9
5
Renggo Astuti, Keberadaan Paguyuban-Paguyuban Etika Di Daerah Perantauan Dalam Menjelang Persatuan Dan Kesatuan, Jakarta: Bima Sakti Raya, 1999. Hlm. 12
(18)
Dari buku yang ditulis oleh Renggo Astuti dan Triyadi yang berjudul keberadaan paguyuban-paguyuban etika di daerah perantauan dalam menunjang persatuan dan kesatuan (kasus paguyuban keluarga putra Bali di Yoyakarta) menyatakan bahwa lahirnya perkumpulan-perkumpulan (paguyuban) sangat erat kaitannya dengan perpindahan individu atau kelompok sosial masyarakat ke daerah perantauan. Perkumpulan kedaerahan ini juga memberi dorongan dan kebersamaan untuk mencapai tujuan aktualisasi jati diri dari setiap anggotanya yang tidak lagi berada di daerah asal mereka.6 Selanjutnya Astuti dan Triyadi menjelaskan bagaimana perkembangan organisasi kedaerahan ini sangat membatu masalah-masalah kehidupan sosial ekonomi para anggota terutama dalam menghadapi masalah duka.
Oleh karena kajian tentang kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali dimulai dari kontrak kerja yang mereka lakukan dengan Perusahaan Perkebunan (PNP IX tahun 1963) maka tulisan Halili Toha dan Hari Pramono dalam bukunya yang berjudul Hubungan Kerja Antara Majikan Dengan Buruh, dapat membantu peneliti dalam memperoleh sumber hukum kontrak di Indonesia,7 bagaimana hak dan kewajiban dari seorang buruh dan pengusaha (majikan). Mereka juga membahas bagaimana solusinya bila terjadi perselisihan sampai terjadi bagaimana pemutusan hubungan kerja oleh majikan.
Untuk mengetahui keberhasilan masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan, dan membentuk sebuah organisasi yang mapan serta perubahan-perubahan yang terjadi dan usaha apa saja yang dilakukan penulis memilih buku
6
Ibid, Hlm. 46 7
Halili Toha, Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara Majikan Dan Buruh, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Hlm 56
(19)
Teori Sosiologi Tentang perubahan Sosial yang ditulis oleh Soerjono Soekanto, dalam tulisannya dijelaskan mengapa terjadi perubahan dan faktor-faktor terjadinya perubahan.8
Dari beberapa buku yang digunakan sebagai telaah pustaka, penulis berharap dapat membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penulis akan menguraikan secara terperinci tentang latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali ini sampai di desa Pagajahan kecamatan Perbaungan ini hingga mereka berhasil membentuk sebuah kemunitas Hindu Bali yang permanen.
Metode penelitian ini akan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diterapkan dalam penelitian sejarah:
1. Heuristik yaitu: mengumpulkan sumber-sumber data yang sesuai dengan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan.
a. Metode yang digunakan adalah, wawancara dan observasi, wawancara dilakukan kepada orang-orang yang terlibat langsung dengan masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan. Data-data dari mereka dicari di kantor kepala desa Pegajahan dan kantor Kecamatan Perbaungan.
8
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Hlm. 23
(20)
b. Metode dokumenter yaitu mengumpulkan sumber tertulis seperti Buku, Majalah, Surat Kabar yang dapat membarikan keterangan masa lampau masyarakat Hindu Bali.
2. Kritik sumber, untuk memeriksa kevalidtan data melalui:
a. Kritik Intern dengan cara menganalisis sejumlah sumber yang berguna untuk memperoleh dokumen atau keterangan yang kredibel.
b. Kritik Ekstern, yang digunakan untuk memperoleh data yang outentik.
3. Interpretasi untuk menganalisis dan menafsir data dengan menggunakan metode perbandingan (komperatif) dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan permasalahan.
Historiografi, yaitu menyusun fakta menjadi hasil penelitian, yang bentuknya adalah hasil karya tulis sejarah.
(21)
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Latar Historis
Pada jaman Hindia Belanda kecamatan Perbaungan ini termasuk kedalam wilayah Kesultanan Serdang. Pada tanggal 29 Juli 1889, Sultan Serdang (Sultan Sulaiman) mendirikan istana Darul Arif dalam kraton kota Galuh. Pada masa sebelumnya Istana Darul Arif, berada dalam wilayah Rantau Panjang. Sejak tahun 1894 yaitu dengan selesainya istana Darul Arif di kota Galuh, maka ibu kota kesultanan Serdang dipindahkan dari Rantau Panjang Ke Perbaungan9.
Sebelum Jepang menduduki Indonesia, Sultan Sulaiman beserta permaisurinya pernah menghadap kaisar Jepang Meijitenno untuk meminta bantuan mengusir penjajah Belanda dari bumi Serdang. Kaisar memberikan hadia kepada sultan yaitu sebuah photo kaisar yang telah ditandatanganinya. Foto itu lalu dibesarkan sultan dan diletakkan dibelakang singgahsana sultan. Ketika Jepang berkuasa, tentara Jepang datang menemui sultan dan ketika mereka masuk mereka melihat foto kaisar mereka terpampang di belakang singgahsana sultan. Dengan spontanitas, mereka tunduk dan memberi hormat kepada sultan. Sejak itu kesultanan serdang mendapat kedudukan yang istimewa. Tentara Jepang tidak menangkap rakyat Serdang untuk dijadikan kerja paksa atau romusha.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, sultan serdang menyatakan kepada presiden Republik Indonesia bahwa kesultanan serdang bersama rakyatnya berdiri di belakang pemerintahan Republik Indonesia. Semua
9
Lukman Sinar, Makalah Disampaikan pada seminar Rencana Relokasi Rancang Bangun Istana Sultan Serdang, Perbaungan 28 Juli 2005. Hlm. 2
(22)
kantor dan rumah-rumah warga menaikkan bendera sangsaka merah putih dan kepada keluarga sultan dan bangsawan diperintahkan aktif masuk dalam berbagai kesatuan organisasi rakyat.
Pada tanggal 28 Juli 1947, Belanda mengadakan agresi militer pertama menyerang wilayah Republik Indonesia, dan pasukan KNIL mendarat di muara Seibogan untukmerebut kota Perbaungan dan Sungai Ular. Tempat ini diaggap sangat strategis guna memotong pengunduran pasukan Indonesia dari fron Medan Area. Sebelum tempat dapat direbut oleh pasukan Belanda, datang perintah dari panglima besar Jenderal Sudirman untuk membumihanguskan istana dan seluruh bangunan kraton kota Galuh beserta toko-toko dan rumah-rumah di pekan Perbaungan agar jangan dimanfaatkan oleh musuh10.
Selama tiga hari tiga malam, api membakar istana dan melalap semua bangunan istana dan perumahan dalam kraton kota Galuh dan sekaligus punahlah khazanah budaya Melayu Serdang yang tersimpan selama kurang 300 tahun yang takternilai harganya itu.
Kini kesultanan Serdang dan Istanahnya hanyalah tinggal sejarah dan ibu kota kesultanan Serdang (perbaungan) sekarang menjadi kecamatan Perbaungan.
Kecamatan Perbaugan merupakan salah satu kecamatan dari sembilan kecamatan yang ada di kabupaten Deli Serdang. Jarak kecamatan Perbaungan dari kota Medan sekitar 38 KM, dengan keadaan ketinggian digolongkkan sebaagai daerah pesisir pantai dan dataran rendah. Keadaan tanah yang tergolong subur, menjadikan wilayah ini sangat potensial untuk dijadikan sebagai wilayah lahan
10
(23)
perkebunan, sedangkan pada bagian pantai daerah ini sangat mendukung dijadikan sebagai sebagai areal pertambakan udang dan perikanan. Daerah dataran rendah dimanfaatkan sebagai areal perkebuanan sawit, coklat, perikanan dan daerah industri. Sangat sedikit sekali lahan yang tidak dimanfaatkan menjadi areal pertanian dan perkebunan dikecamatan Perbaungan.
Desa Pegajahan merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan perbaungan. Desa ini pertama sekali dibuka oleh masyarakat Simalungun yang bermarga Saragih, Purba dan Sinaga. Proses perpindahan ini berlatar-belakang dari konflik sesama etnis Simalungun di Raya tahun 1700an.
Nama Pagajahan merupakan penamaan kontekstual yang berasal dari bahasa Simalungun yaitu pargajahan, artinya tempat gaja. Daerah Pegajahan pada awalnya dibuka masyarakat Simalungun tepatnya di dusun Harapan dua. Kelompok masyarakat pertama ini menjumpai beberapa gajah ekor gajah liar di sekitar dusun. Hal inilah yang melatar-belakangi mereka menyebutkan tempat tersebut sebagai pargajahan sekitar 1760-an11
Nama Pargajahan seiring waktu mengalami perubahan penyebutan, menjadi Pergajahan hingga tahun 1974 nama daerah ini berubah kembali penyebutannya menjadi Pegajahan sampai saat ini, karena proses sosial masyarakat, dimana kelompok masyarakat yang menempati desa Pegajahan semakin heterogen, dan kelompok Etnis Simalungun mengalami pergeseran. Masyarakat pendatang memperlebar wilayah Pegajahan dengan membuka hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman.
11
(24)
2.2 Profil Wilayah Desa Pegajahan
Letak wilayah Pegajahan berada ditengah-tengah kecamatan Perbaungan, dan wilayahnya merupakan bagian dari areal perkebunan PTPN II, yaitu Kebun Melati II, Perkebunan PT. London Sumatera dan perkebunan Rumah-Tangga penduduk Pegajahan.
Desa Pegajahan tergolong wilayah yang sangat luas untuk ukuran desa. Hal ini dibuktikan sejak Januari tahun 2007, wilayah Pegajahan berubah administrasi menjadi kecamatan, dari kecamatan Perbaungan yang melakukan pemekaran menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Perbaungan dan kecamatan Pegajahan, tanpa menambah wilayah-wilayah. Hal ini disetujui setelah melakukan perhitungan.
Luas wilayah Desa Pegajahan adalah 798 Hektar, dengan batas-batas wilayah dengan wilayah lainnya adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lestari Dadi - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Suka Sari - Sebelah Barat berbatasan dengan Perkebunan PTPN II - Sebelah Timur berbatasan dengan Perkebunan PTPN II
Kelompok masyarakat yang ada di Pegajahan pada dasarnya hidup berbaur bersama dengan beberapa kelompok etnis lainnya dalam suatu dusun. Desa Pegajahan terdiri dari 6 dusun, diantaranya:
(25)
Tabel 1: Daftar Dusun di Desa Pegajahan No Nama Dusun Luas dusun (Ha) 1 Dusun I Perjuangan 190
2 Dusun Harapan I 19
3 Dusun Harapan II 47 4 Dusun III Sri Asih 37 5 Dusun IV Karang Sari 325
6 Dusun V Pelita 180
Sumber: Profil Desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990 Wilayah 6 dusun yang terdapat di desa Pegajahan pada dasarnya luas arealnya berbeda. Hal ini dilatar belakangi oleh umur desa yang berbeda. Dari tabel diatas kita dapat memperoleh keterangan bahwa dusun Perjuangan I adalah wilayah yang paling luas dan wilayah pertama yang ada di Desa Pegajahan, sedangkan dusun Perjuangan I luas arealnya 19 Hektar sebagai dusun yang wilayahnya paling sempit dari lima dusun lainnya yang ada di Pegajahan. Dusun IV Karang Sari menempati posisi kedua dengan luas 325 Hektar, disusul dengan wilayah Dusun V Pelita dengan luas wilayah 180 Hektar, sedangkan Dusun Harapan II tidak jauh beda dengan Dusun disebelahnya dusun Harapa I yaitu 47 Hektar.
(26)
2.3 Keadaan Penduduk
Secara umum, penduduk dapat dikatakan sebagai kelompok orang yang menempati areal tertentu yang sifatnya menetap ataupun hanya bersifat sementara. Mengetahui keadaan penduduk dalam suatu wilayah akan memberikan kita keterangan lebih luas lagi tentang keadaan disekitarnya. Karena itulah berikut ini dilakukan pengkajian terhadap keadaan penduduk yang menempati desa Pagajahan.
Penduduk desa Pegajahan setiap tahunnya mengalami perkembangan, baik jenis etnis maupun jumlah penduduk. Hal disebabkan karena proses kelahiran, mapun proses perpindahan kelompok etnis dari berbagai daerah. Pada tahun 1990, desa Pegajahan dihuni oleh penduduk yang heterogen sebanyak 774 kepala keluarga, dengan perincian laki-laki 1.807 jiwa, sedangkan perempuan berkisar 1825 jiwa. Jumlah seluruhnya penduduk yang menempati Desa Pegajahan sebanyak 3.632 jiwa.
Proses pertambahan yang tergolong pesat di desa Pegajahan dilatar belakangi situasi desa yang dekat dengan areal PT. Perkebunan Negara dan perkebunan swasta lainnya. Latar belakang ini menjadikan penduduk Pegajahan bersifat heterogen.
Kelompok Etnis yang menempati desa Pegajahan tergolong masyarakat yang heterogen dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Etnis Simalungun (etnis lokal), Etnis Batak, Etnis Karo, Melayu, Jawa dan Etnis Hindu Bali sebagai kelompok Etnis yang paling minim Jumlahnya, hanya masyarakat yang berlatar belakang kontrak kerja (sebutan masyarakat lokal) dengan PTPN II tahun 1963.
(27)
2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Etnis
Masyarakat Perbaungan merupakan kelompok masyarakat yang dapat digolongkan sebagai masyarakat yang hetorogen, meskipun beberapa suku yang mendiami wilayah ini adalah sebagai kelompok etnisitas yang dominant, seperti yang diuraikan pada tabel berikut:
Tabel 2: Penduduk Desa Pegajahan Menurut Kelompok Etnis No Jenis Etnis/Suku Jumlah Dalam %
1 Jawa 81
2 Melayu 2,3
3 Batak 9
4 Karo 2,1
5 Nias 0.3
6 Bali 2,2
7 Banjar 3,06
Jumlah keseluruhan 100%
Sumber: Profil desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990
Data kependudukan desa Pagajahan pada tahun 1980 membuktikan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang jumlahnya sebagai kelomok yang dominan, dengan jumlah 81%. Berbeda darikelompok etnis yang lainnya yang berasal dari Sumatera Utara yaitu Batak, dengan persentase 9,0%, belum termasuk etnis Karo. Kelompok masyarakat yang posisinya posisi ketiga adalah masyarakat Banjar, yaitu etnis yang berasal dari Kalimantan. Jumlah masyarakat Banjar sekitar 3,06%, sedikit lebih besar jumlahnya dari masyarakat Melayu yaitu 2,3%.
(28)
Kelompok masyarakat yang lainnya adalah masyarakat Karo yang jumlahnya hanya sekitar 2,1%, kemudian disusul dengan masyarakat Bali yang jumlahnya hanya 2,2%, pada dasarnya adalah masyarakat korban letusan Gunung Agung yang bermigrasi kedaerah ini. Masyarakat Nias adalah masyarakat yang jumlahnya paling minim, hanya sekitar 0,30%.12
Penduduk kecamatan desa Pegajahan setiap tahunnya selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh etnis pendatang yang akan bekerja sebagai buruh perkebunan. Sektor ini mengalahkan pertambahan penduduk dari proses kelahiran.13
2.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Agama
Masyarakat yang tinggal di desa Pegajahan pada dasarnya menganut kelima agama yang diakui di Indonesia, yaitu Katolik, Islam Kristen Protestan, Hindu dan Buda yang terbagi seperti tabel di bawah ini;
Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Agama di Desa Pegajahan
No Agama Persentase (%)
1 Islam 90, 0
2 Kristen Protestan 3,9
3 Katolik 3,0
4 Hindu/Budha 3,1
Sumber : Profil desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990
12
Sekretaris Desa Pegajahan, Profil Desa Pegajahan Tahun 1990 (tidak diterbitkan).1990. Hal.2
13
(29)
Tabel diatas menggambarkan bahwa masyarakat yang menempati desa Pegajahan mayoritas beragama Islam dengan persentase 90%. Masyarakat penganut agama Islam di desa Pegajahan adalah etnis Jawa dan masyarakat Melayu yang jumlahnya dominan di Pegajahan, sedangkan yang terkecil persentasenya adalah agama Katolik dengan jumlah 3,0%. Masyarakat yang menganut agama Kristen Protestan berjumlah 3,9%, menempati urutan kedua setelah Agama Islam. Agama Hindu/Budha berjumlah 3,1%.
Dalam proses kehidupan keagamaan setiap harinya masyarakat terlihat akur, sebab konflik antar sesama umat beragama belum pernah terjadi di wilayah desa Pegajahan kecamatan Perbaungan.
2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah bertani dan berkebun baik sebagai penyewa maupun pemilik tanah. Masyarakat yang lainnya ada yang bekerja sebagai buruh dalam perkebunan yang ada di Perbaungan yaitu PTPN II (kebun Melati), PT London Sumatera, PTPN IV, dan perusahaan perkebunan lainnya. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian akan diuraikan dalam tabel berikut ini:
(30)
Tabel 4: Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Di Desa Pegajahan Tahun 1980
No Mata pencaharian Persentase (%)
1 Petani 40
2 Karyawan/Buruh 45
3 Pegawai Negri 5
4 Nelayan 0,01
5 Dagang 5,7
6 Dan lain-lain 5,29
Sumber: Profil Desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1980
Dengan memperhatikan tabel diatas, bahwa penduduk Pegajahan mayoritas bekerja sebagai Karyawan dan buruh di Perkebunan PTPN II dan perkebunan Swasta sebanyak 45% dari jumlah penduduk. Masyarakat petani menempati posisis kedua yaitu sebanyak 40%, disusul kelompok kerja disektor lain sebanya 5,29%. Kelompok masyarakat pedagang berjumlah 5,7% dan yang penduduk yang paling minim adalah nelayan hanya 0,01%.
Jumlah masyarakat yang berpropesi sebagai nelayan di Pagajahan sangat kecil, hal ini dilatar belakngi tempat mereka nelayan hanya di sekitas sungai yang ada di pegajahan, dan mereka masihmempunyai pekerjaan lain yang sifatnya adalah pekerjaan tambahan.14
14
(31)
2.4 Struktur Pemerintahan Desa Pegajahan
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk, yang didasari oleh hukum dan sistem sosial, yang dipimpin langsung oleh seorang Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri.
Sebagai unit terendah dari sistem administrasi pemerintahan, desa dipimpin oleh Kepala Desa, dengan beberapa aturan yaitu sebagai berikut:
- Karangka atau struktur pemerintahan desa yang menjadi wadah kerja sama
- Pembagian tugas dan fungsi serta wewenang dan tanggung jawab - Pengaturan dan penyusunan staf pelaksana
- Pengaturan hubungan kerja antara antara satuan kerja organisasi dan suatu tata hubungan kerja15
Desa Pegajahan juga mempunyai struktur organisasi pemerintahan yang unsur-unsurnya, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan Kepemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan, Kepala Urusan Umum, dan Kepala Dusun. Semua unsur pemerintahan desa Pegajahan ini saling kerja sama satu sama lain.
Pada pelaksanaan pemerintahan di desa Pegajahan, unsur yang sering aktif menjalankan tugasnya adalah Kepala Desa dan Sekretaris Desa, sedangkan unsur-unsur yang lainnya kurang aktif. Bagan yang seharusnya dilaksanakan dalam suatu desa adalah sebagai berukut:
15
C. S. T Kansil, Undang-undang No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Jakrta: Ghalia Indonesia, 1983, Hal.3
(32)
BAGAN I
STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA PEGAJAHAN
KEPALA DESA
K UMUM K PEMBANGUNAN
K.PEMERINTAHAN SEKDES
LKMD LMD
K DUSUN
DUSUN I DUSUN II DUSUN DUSUN IV DUSUN V DUSUN VI
Sumber: Kantor kepala Desa Pegajahan 1990
(33)
BAB III
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI
3.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Hindu Bali
Propinsi Bali merupakan salah satu propinsi yang menyimpan peninggalan Agama Hindu tertua di Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui bahwa Bali menjadi pusat agama Hindu di Indonesia, hingga sampai saat ini bentuk-bentuk kebudayaan agama Hindu masih ditemukan di Bali.
Sama seperti masyarakat India yang mengaplikasikan kehinduannya dalam menjalankan kehidupannya, demikian juga dengan masyarakat Hindu Bali yang sudah menjadikan agama Hindu sebagai proses hidup pada setiap harinya. Agama Hindu tidak kurang menjadi suatu cara hidup dari pada kumpulan kepercayaan16. Hal ini dibuktikan dari proses pelaksanaan kegiatan hidup setiap hari yang dipelajari dari kitab Weda.
Hubungan antara etnisitas Bali dengan agama Hindu, sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Hindu sudah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Bali, sehingga sulit dipisahkan antara kebudayaan yang berasal dari agama maupun yang dari etnis Bali sendiri. Ikatan ini berlangsung sejak abad 8 masehi, yang dibuktikan dengan penemuan candi-candi berangka tahun 8 masehi di Bali dan wilayah Jawa, seperti candi Kalasan di Jawa Tengah. Pada bagain dinding candi sudah banyak ditemukan mantra-mantra yang diyakini sebagai mantra-mantra agama Hindu.17
16
Ahmad Shalabi Ali, Perbandinagan Agama-agama Besar di India, Jakarta. Hlm. 37 17
(34)
Kerajaan Bali sejak sejak abad ke 8 masehi, dipastikan telah menjadi kerajaan yang bernuansa agama Hindu. Nama-nama raja yang menduduki tahta kerajaan Bali diberi gelar Warmadewa, gelar yang merupakan pengaruh dari agama hindu. Pemberian gelar ini diketahui sudah digunakan masyarakat Bali sejak 835 tahun saka, yaitu seorang rajanya yang bernama Sang Ratu Uraseno18. Selanjutnya kerajaan Bali beralih ketangan Sang Ratu Sriaji Taba Hendra
Warmadewa bersama permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Trisubradika Darmadewi. Hal yang sangat mendukung yang dapat
membuktikan bahwa kerajaan Hindu sudah beraplikasi dengan kerajaan Bali adalah adalah peninggalan di Thira Tamapt di Tampak Siring, sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Bali.
Seorang raja yang bernama Dharma Udayana Warmadewa pernah memimpin kerajaan Bali pada tahun 905 sampai 923 yang dapat meyakinkan kita bahwa kerajaan Bali adalah kerajaan Hindu yang paling banyak meninggalkan nilai-nilai kehinduan. Ketika Dharma Yudayana digantikan oleh Paduka Batara Sri Asta Ratna Bumi Banten pengaruh kebudayaan Hindu tetap dikembangkan
Hubungan antara masyarakat Bali dengan agama Hindu sudah berjalan bersama sejak masyarakat Bali mengenal budaya yang religius, yaitu sejak abad ke-8 hingga saat ini, sehingga penyatuan antara dua komponen ini dinamakan dengan masyarakat Hindu-Bali19. Kerajaan Islam segera mengganti posisi kerajaan Hindu, tetapi kerajaan yang ada di wilayah Bali tetap mempertahakan pengaruh kehinduannya.
18
Nurhabsyah, Sejarah Agama dan Kebudayaan Hindu di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan pada Universitas Sumatera Utara, Medan: Fakultas Sastra USU. Hlm. 11
19
(35)
Sampai tahun 1990, budaya masyarakat Bali tetap bercorakkan agama Hindu, termasuk bentuk keakrapan, organisasi sosial masyarakat Bali tetap ditata dengan ajaran Hindu, misalnya bentuk-bentuk upacara adat, menyerahkan sesajen dalam pura, melaksanakan acara Voedalan dan upcara agama Hindu lainnya yang rutin dilaksanakan oleh Masyarakat Hindu-Bali. Begitu pula dengan masyarakat Hindu Bali yang bermukim di desa Pegajahan kecamatan Perbaungan. Mereka tetap menjalankan acara-acara ritual keagamaan seperti ketika mereka masih tinggal di pulau Bali, walaupun disini mereka telah bergaul dengan masyarakat lainnya.
3.2 Peristiwa Meletusnya Gunung Agung
Gunung Agung adalah gunung tertinggi yang terdapat di pulau Bali, tepatnya di kecamatan Karangasem, dengan ketinggian 3.142 meter dari permukaan laut. Gunung Agung merupakan salah satu gunung berapi yang menyimpan mahma bumi sangat besar, sehingga kawah gunung ini sangat dalam. Masyarakat sering melihat gunung ini mengeluarkan asap dan uap air, yang menimbulkan keheranan kepada mereka yang menyaksikannya.
Pada saat gunung Agung belum meletus, masyarakat banyak yang melakukan pendakian kepuncak gunung ini, untuk memandang sekitar Bali, wilayah Lombok dan daerah sekitar Bali. Dari puncak gunung pendaki akan melihat secara jelas gunung Rajani yang terdapat di Lombok. Gunung yang tergolong paling tinggi di Bali sering dijadikan sebagai tempat memandang daerah sekitar yang dekat dengan wilayah Bali.
(36)
Apabila kita mengamati sekitar gunung Agung, maka akan banyak ditemukan peninggalan-peninggalan kehidupan masa lampau manusia, khususnya peninggalan kerajaan. Sebelum menuju ketinggian, terdapat sejumlah bangunan candi seperti Pura Puseh, Pura Telaga Mas, dan pura yang paling besar yaitu Pura Besakih, yang dijadikan masyarakat sebagai tempat penyembahan terhadap penjaga gunung Agung. Pada setiap tahunnya masyarakat sekitar Karangasem khususnya mereka yang menganut agama Hindu, melakukan upacara penyembahan dan pemberian sesajen kepada penghuni gunung Agung, sebagai upaya membujuk penghuninya untuk tidak menimbulkan bahaya kepada masyarakat yang ada disekitarnya.20
Gunung Agung adalah gunung aktif yang sudah meletus beberapa kali. Setiap kali meletus maka masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat yang dominan memeluk agama Hindu selalu mengalami akibatnya. Latar belakang inilah yang membuat sebuah kebiasaan disekitar masyarakat Karangasem selalu mempersembahkan satu ekor kerbau jantan, agar mereka tidak mendapat petaka letusan gunung Agung.
Terakhir kali gunung Agung meletus tahun 1963 yang sangat banyak menelan kerugian, dan bahkan terjadi perubahan sosial terhadap masyarakat yang ada disekitarnya. Jumlah korban meninggal dari bencana mecapai 1.148 orang, korban luka-luka mencapai 15.000 orang21. Kerugian materi yang diakibatkan bencana alam ini sangat membuat masyarakat tertekan. Terlebih lagi di kabupaten
20
WWW. Grapala FV. I.Htm. September 2007 21
(37)
Karangasem, sumber pendapatan rusak total sebagai akibat dari letusan gunung Agung tersebut.
Keberadaan gunung Agung, sebelum terjadi letusan, menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat ”kapan gunung Agung akan meletus”. Tanda-tanda dari bahaya akan terjadi letusan ini sudah sejak lama dirasakan masyarakat seperti suara gemuruh dari tanah, getaran gempa lokal, dan kepalan asap dari puncak gunung.
Daerah yang dekat dengan gunung sangat merasakan sekali suara-suara dan getaran gunung yang membuat mereka susah untuk melanjutkan tidurnya. Sebagian dari mereka yang memiliki anak-anak bayi, terpaksa mengungsi untuk menjaga kesehatan dari anak-anak mereka. Getaran-getaran yang datang dari gunung sudah lama terjadi yang menimbulkan kebingungan masyarakat. Sebagian dari masyarakat sudah merasa yakin bahwa gunung tidak akan meletus, dan mereka bekerja seperti biasanya.22
Kebingungan tentang keadaan gunung juga terjadi bagi para badan Vulkanologi, mereka tidak bisa mendeteksi kapan gunung Agung akan meletus, atau bagaimana posisi gunung saat itu, sehingga masyarakat tidak menyakini lagi keterangan dari pemerintah ataupun badan yang memberikan keterangan tentang gunung Agung. Kebingungan semakin bertambah dengan perbedaan penafsiran dari para pakar gunung. Beberapa ahli menyatakan bahwa gunung akan segera meletus, untuk itu masyarakat harus segera mengungsi. Pakar yang lainnya menyebutkan hanya terjadi sumbatan kecil pada saluran air panas dalam gunung,
22
(38)
jadi kemungkinan terjadinya letusan sangat tidak memungkinkan. Sebagian dari mereka ada yang menjelaskan bahwa gunung masih membutuhkan waktu yang lama untuk meletus. Tarik menarik pendapat para pakar tersebut dilatar belakangi oleh peralatan yang sangat minim yang dimiliki oleh ahli gunung api di Indonesia. Masyarakat tetap menunggu hal apa yang akan terjadi dari gunung Agung. Gumpalan asap yang semakin besar keluar dari gunung hanya menjadikan sebagian dari masyarakat sebagai penonton, tetapi tanda-tanda ini menjadikan sebagian kecil dari masyarakat mengungsi dari daerah gunung sebab tanda-tanda seperti ini belun pernah terjadi sebelumnya.
Setelah beberapa hari mengeluarkan asap tebal, maka aktivitas gunung Agung selanjutnya mulai mengeluarkan bola api. Malam hari terlihat terang akibat bola api yang dikeluarkan gunung Agung, tetapi masyarakat menjadikan fenomena ini hanya sebagai tontonan malam, sebab mereka sama sekali tidak bisa tidur. Kelompok bapak-bapak, bertugas untuk tetap siaga tetap selalu diberatkan kepada mereka, sedangkan kelompok anak dan istri tetap menyelesaikan jam tidur mereka.23
Lima hari gunung mengeluarkan bola-bola api, dan hari selanjutnya, yaitu pada siang hari masyarakat mulai merasakan semburan abu-abu dan juga bebatuan dari gunung. Keadaan ini menimbukan kepanikan bagi sejumlah masyarakat khususnya yang berada disekitar gunung. Mereka segera mengungsi ketempat lain. Tetapi masyarakat yang lain menanggapinya sebagai proses akhir dari bahaya gunung Agung, sehingga mereka tetap menahankan bahaya yang
23
(39)
diakibatkan gunung tersebut. seperti masyarakat desa Naga Sari yang berada sekitar 5 Km dari posisi gunung tidak mau meninggalkan kediaman mereka sebab mereka menganggap fenomena tersebut sudah hal biasa.
Lamanya gunung Agung meletus mengakibatkan bahan pangan semakin krisis. Persedian yang mereka miliki semakin menipis, sehingga mereka banyak yang menerima untuk mengungsi ketempat lain sebab selama gunung mulai memberikan bencana ini, aktivitas masyarakat di sekitarnya terhenti. Masyarakat yang tetap bertahan disekitarr gunung adalah masyarakat yang masih memiliki cadangan makanan.
Pemerintah sengaja tidak memberikan bantuan kepada masyarakat yang tidak mau bergabung ketempat pengungsian, atau bantuan apapun bentuknya tidak diberikan kepada mereka yang tidak mau mengungsi. Kebijakan ini berlatar belakang dari perhatian pemerintah kepada pengungsi, agar tidak ditimpa bencana ketika gunug Agung meletus.
Sikap bertahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar Kecamatan Karangasem dilatar belakangi oleh keyakinan mereka. Masyarakat yang tetap bertahan ini adalah masyarakat Bali yang menganut ajaran agama Hindu sebagian besar, dan sebagian kecil adalah penganut agama Islam. Tanda-tanda bahaya gunung Agung yang ingin meletus dibalas mereka dengan sifat semakin rajin malaksanakan ibadah ditempat-tempat ibadah. Selama 9 hari masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di Pura dan juga tempat ibadah lainnya. Banyak masyarakat yang menginap di tempat ibadah pada malam hari, kebersamaan ini menjadi pengikat bagi masyarakat supaya sama-sama bertahan di tempat
(40)
pengungsian, seperti di desa Dukusari dan desa Subagun, masyarakat berkumpul di tempat ibadah baik malam maupun siang hari. Segala aktivitas sosial terhenti, selama beberapa hari gunung Agung belum meletus, baik pendidikan, bidang pemerintahan, maupun aktivitas keseharian masyarakat lainnya.
Aktivitas gunung yang memakan waktu lama hanya mengeluarkan gejala-gejala biasa seperti letusan yang tidak begitu dasyat membuat masyarakat dan juga pengamat gunung merasa yakin bahwa gunung sudah menuju puncak, sehingga kelompok masyarakat tetap tinggal di kediaman mereka, hingga pada hari yang kesepuluh. Gejala gunung meletus semakin terlihat, asap tebal dan debu menutupi sekitar pemukiman masyarakat, bebatuan semakin banyak dimuntahkan oleh gunung Agung, membuat masyarakat panik dan segera megungsi.
Pengungsian yang terjadi secara mendadak, membuat pemerintah melalui badan pengungsi yang dinamakan dengan Komando Operasi Gunung Agung (KOOGA)24 kewalahan mengusikan masyarakat ke wilayah Denpasar, yang dijadikan pemerintah sebagai tempat penampungan sementara. Sebagian dari masyarakat tetap bertahan di wilayah mereka, untuk menjaga pemukiman, keyakinan masyarakat ini tetap kuat walaupun tanda bahaya yang ditunjukkan gunung Agung sudah semakin besar.
Pada malam hari Komando Operasi Gunung menghentikan aktivitasnya, melihat gunung semakin berbahaya pada pertengahan malam, gunung Agung mengeluarkan magma dan suara yang sangat kuat, sungai-sungai yang ada disekitar gunung yang sudah kering sejak tanda-tanda letusan akan terjadi menjadi
24
KOOGA, Adalah Tim yang dibentuk oleh pemerintah kusus untuk menangani korban bancana gunung Agung, Wawancara Dengan Inengah Sumandyse ( tokoh masyarakat Hindu Bali desa Pegajahan ), tanggal 24 September 2007.
(41)
aliran larva panas hingga membanjiri tempat pemukiman penduduk, larva yang sudah keluar sebelumnya menyumbat aliran sungai dan larva yang baru masuk kedaerah perumahan penduduk.
Perkampungan desa Subagun yang sangat terkenal dengan sifat religiusnya hampir seluruh penduduknya meninggal ditempat ibadah, mereka tidak sempat melarikan diri. Jarak letusan gunung yang tidak dapat diprediksikan membuat korban bencana alam gunung tersebut semangkin besar. Masyarakat tidak mengira akibat dari letusan gunung Agung sangat besar, selain kabupaten Karangasam, dua kabupaten lainnya juga menderita semburan abu gunung yaitu kabupaten Tabanan, dan kabupaten Klungkung.25
Penduduk dari tiga kabupaten dikumpulkan di Denpasar menunggu situasi pulih kembali. Bahaya bencana yang paling berat dialami oleh masyarakat Karang Asam, sebagian besar penduduknya terpaksa harus mengungsi lama ditempat pengungsian, lahan pertanian dan pemukiman mereka rusak total. Setiap hari masyarakat yang ada di pengungsian hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah dan bantuan swasta lainnya.
Pemerintah sempat mengalami krisis kebijakan terhadap pengungsi dan bahkan kekurangan pangan, sehingga beberapa dari pengungsi banyak yang menderita penyakit paru-paru, kelaparan, meninggal dunia. Peristiwa ini membuat jumlah korban gunung Agung menjadi sangat besar.
25
Wawancara dengan Inyoman Jumu ( warga desa Pegajahan ), Tanggal 24 September 2007
(42)
Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah memikirkan nasip pengungsi, dan sebagai solusinya pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, memutuskan untuk menjadikan pengungsi sebagai masyarakat transmigrasi.
3.3 Antara Transmigrasi Dan Kontrak Kerja Sebagai Pilihan
Proses pelaksanaan transmigrasi pada dasarnya dilakukan sebagai pemerataan penduduk oleh pemerintah. Daerah yang berpenduduk padat akan dikurangi penduduknya kedaerah yang tergolong penduduknya sedikit. Proses perpindahan hanya terjadi dalam satu negara. Proses inilah yang dikatakan sebagai transmigrasi. Di sisi lain kontrak kerja mengandung arti persetujuan kerja antara majikan dengan buruh ataupun karyawan. Kesepakatan yang dimaksud dalam hal ini adalah penjelasasn hak dan kewajiban antara majikan (pihak perusahaan) dan buruh. Perjanjian kontrak dilakukan sebelum disepakati, yang tujuannya adalah mencari kesepakatan.
Kontrak kerja dan tranmigrasi menjadi solusi terakhir yang diterapkap kepada masyarakat Hindu-Bali yang masih ada di pengungsian. Proses pelaksanaan kedua program ini adalah sebagai alternatif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Hindu-Bali. Keadaan masyarakat yang sangat tertekan di tempat pengungsian menjadi faktor utama mereka menerima program yang ditawarkan oleh pemerintah kepada mereka. Dalam waktu tiga bulan masyarakat hanya tinggal ditempat pengungsian dengan bahan makanan yang kian menipis, dan hanya mengharapkan tenaga bantuan. Penderitaan kelompok
(43)
pengungsi inilah yang mendasari mereka segera menerima tawaran dari pemerintah.26
Kontrak kerja yang sebenarnya diterapkan oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, mengarah kepada batasan waktu kerja yaitu 6 tahun. Sedangkan penggajian yang diterapkan kepada mereka, sama dengan pekerja non-kontrak. Jadi kata yang paling sesuai dengan perjanjian ini adalah perjanjian kerja antara masyarakat Hindu Bali dengan Perusahaan Negara Perkebunan II.
Sebelum tawaran kontrak kerja belum dijadikan sebagai alternatif, masyarakat direncanakan akan mengikuti transmigrasi kedua daerah yang akan dituju, yaitu Kalimantan dan Sulawesi Utara.27 Masyarakat akan mendapatkan satu unit rumah untuk, 2 hektar tanah, dan selama waktu produktif belum tiba maka pemerintah akan mengupayakan sendiri biaya operasi mereka.
Saat proses administrasi sedang dilakukan, untuk pemberangkatan, pemerintah mendapat tawaran baru dari pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, yang mempunyai lokasi tiga propinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Riau, dan Irian Jaya. Sesuai dengan rencananya, masyarakat pengungsi akan dijadikan sebagai tenaga kerja kontrak dengan lama kerja selama 6 tahun. Lokasi yang menjadi penempatan mereka adalah Sumatera Utara, tepatnya kecamatan Perbaungan.
Beberapa pengungsi yang sudah lama menantikan kebijakan pemerintah, tawaran yang baru dari pihak perusahaan negara ini mendapat tanggapan yang lebih laris apabila dibandingkan dengan tawaran sebagai transmigrasi. Sebagai
26
Wawancara dengan Inengah Sumadyase, tanggal 24 September 2007 27
Wawancara dengan Ninyoman Paut ( masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan ), tanggal 25 September 2007
(44)
alasan pokok dari kelompok masyarakat Hindu-Bali yang memilih sebagai kontrak kerja adalah kondisi pekerjaan itu sendiri lebih sederhana, bila dibandingkan dengan transmigrasi yang masih membutuhkan beberapa tahapan menuju masa hasil.28 Poin yang kedua sebagai alasan lebih banyak memilih kontrak kerja adalah latar belakang lokasi transmigrasi, yang sangat jauh. Sebagai pemula di daerah yang akan mereka tempati, membutuhkan usaha yang kuat untuk mengusahai lahan yang akan mereka tempati, sedangkan sebagai tenaga kontrak, masyarakat tersebut akan segera bekerja diperkebunan PTPN, tanpa harus mengeluarkan usaha yang maksimal. Wilayah Sumatera Utara tergolong lebih memungkinkan dan faktor keramaian menjadi salah satu faktor mereka memilih wilayah Sumatera Utara.
Masyarakat yang menginginkan menjadi karyawan kontrak mempunyai keyakinan bahwa lahan pertanian mereka yang tinggal ataupun harta lainnya sudah pulih kembali ketika masa kontrak akan berakhir. Mereka lebih menginginkan kembali nantinya ke Bali dari pada menetap di daerah perantauan. Waktu 6 tahun sudah cukup untuk menunggu keadaan tanah mereka pulih kembali.
Pihak Perusahaan Negara Perkebunan bekerja sama dengan pemerintah mengeluarkan beberapa persyaratan pokok menjadi kontrak kerja, yaitu:
1. Anggota kelompok kerja, harus berangkat satu keluarga sekaligus
28
(45)
2. Setiap kelompok keluarga yang dijadikan sebagai tenaga kontrak kerja, harus memiliki minimal 3 orang dari kelompok kerja yang bisa dipekerjakan
3. Bersedia menjadi kelompok kontrak kerja selama masa kontrak belun berakhir yaitu 6 tahun kedepan
4. Tidak ada harta permanen yang dimiliki oleh kelompok kontrak, tetapi mereka akan diberi gaji sesuai dengan ketentuan dari pihak perusahaan 5. Masyarakat yang ikut kontrak adalah masyarakat yang umurnya masih
tergolong umur produktif, dan tidak cacat badan.29
Tawaran sebagai kontrak kerja ternyata lebih banyak yang menginginkannya dari pada transmigrasi, tetapi jumlah banyak dari mereka tidak memenuhi persyaratan yang dibuat oleh PNP II. Persyaratan yang paling memberatkan bagi masyarakat adalah poin tentang jumlah keluarga, dimana banyak diantara mereka harus benar-benar jumlahnya sesuai dengan yang diinginkan oleh Perusahaan Negara Perkebunan. Selain persyaratan yang memberatkan sebagai tenaga kontrak di PNP II, jumlah menjadi tenaga kontrak juga dibatasi oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, yaitu hanya 60 KK. Akibat dari keinginan masyarakat yang lebih dominan memilih kontrak kerja, persyaratan sebagai untuk tawaran ini semakin diperketat dengan persyaratan umur kerja, tetapi persyaratan ini dapat diantisipasi oleh masyarakat dengan keterangan umur yang tidak valid. Umur mereka tidak bisa dipastikan dengan
29
Wawancara dengan John B ( Pihak PTPN II Tanjung Morawa kebun Melati ), Tanggal 27 Agustus 2007
(46)
alasan surat yang memberikan keterangan pribadi sudah hilang akibat letusan gunung Agung.
Sangat sulit mencari keluarga yang permanen seperti yang diharuskan oleh perusahaan, sehingga mereka banyak yang gagal menjadi tenaga kontrak, tetapi disebagian masyarakat Hindu-Bali yang berkeinginan menjadi tenaga kontrak tetap berupaya keras mewujudkan keinginannya, dengan cara mengumpulkan beberapa kelompok muda atau yang tidak ada pasangannya menjadi satu kelompok keluarga. Kelompok ini mengaku satu keluarga dengan spespikasi 2 orang pria dewasa yang dikatakan sebagai suami istri, dan 3 orang atau lebih kelompok muda yang disebutkan sebagai anak. Dengan taktis yang mereka buat, maka persyaratan menjadi tenaga kontrak terpenuhi.
Bagi kelompok keluarga yang tidak mencukupi golongan anak, maka mereka berusaha mencari anak yang tidak mempunyai keluarga lagi. Anak yang tidak mempuyai orang tua (yatim, piatu, maupun yatim piatu) tergolong sangat bayak pada saat bencana alam terjadi, demikian juga dengan orang tua yang kehilangan anaknya juga banyak ditemukan pada korban pengungsi bencana Gunung Agung. Jadi tidak jarang keluarga campuran yang berangkat menjadi tenaga kontrak ke Perusahaan Negara Perkebunan II.30
Taktis yang dilakukan oleh masyarakat calon kontrak kerja tersebut mendapat persetujuan dari pihak PNP II, sebab situasi perusahaan juga sedang membutuhkan karyawan. Di sisi lain, hal terpenting dari karyawan adalah umur
30
Wawancara dengan Wayan Andek (masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan) dan Wayan Gio, tanggal 5 Agustus 2007
(47)
untuk mencukupi dan bisa bekerja dilapangan. Pihak PNP tidak terlalu selektif terhadap persyaratan mengenai status calon karyawan.
Momen yang sangat pentingpun tiba, ketika masyarakat diberangkatkan ketiga kota, yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. Bencana gunung Agung sangat membuat masyarakat Hindu Bali yang tinggal di sekitarnya sangat memperihatinkan, yaitu terjadinya perubahan sosial. Mereka harus pindah dari tempat kediaman mereka dan merubah pola hidup mereka setiap harinya.
3.4 Masa Kotrak Kerja Pertama Hingga Ke-Tiga
Masyarakat Hindu Bali sebelum ditimpa bencana alam letusan gunung Agung, hidup sebagai masyarakat petani. Pola hidup ini sedikit mengalami perubahan, yaitu menjadi tenaga kerja dalam perusahaan perkebunan. Kegiatan kelompok masyarakat Hindu Bali yang baru adalah sebagai buruh dalam perkebunan karet PNP II.
Golongan kerja kontrak pada babakan ini tergolong cukup besar, yaitu 60 kepala keluarga, dengan perincian satu kelaurga minimal 5 orang, jadi jumlah keseluruhan apabila dirata-ratakan berjumlah 60 x 5 = 300 orang. Dalam pembagian kelompok kerja, mereka dibagi mejadi dua kelompok besar, berdasarkan areal kerja, satu kelompok ditempatkan di areal Pondok Agung dengan jumlah 30 kepala keluarga, dan sisanya 30 kepala keluarga ditempatkan di Pondok Bali.
Penempatan ini bertujuan untuk memudahkan kelompok kerja tersebut mencapai tempat mereka bekerja, dengan pekerjaan pertama kali, bekerja sebagai
(48)
pembabat rumput di sekitar tanaman karet, mencangkol, dan sebagian besar mereka bekerja sebagai penderes (mengumpulkan getah dari batang karet).31
Sebelumnya telah dijelaskan tentang posisi buruh pada tahun 1960 hingga tahun 1980 kurang terpandang di masyarakat, tetapi pekerjaan ini harus diterima oleh masyarakat Hindu Bali karena keadaan terpaksa. Mereka akan bekerja sebagai buruh kontrak selama 6 tahun, sesudah masa kontrak berakhir maka, mereka akan kembali ketempat mereka semula yaitu Karangasem.32
Sebagai masyarakat baru sampai di tempat baru, terlihat kejanggalan dalam proses hidup setiap harinya. Masyarakat yang mayoritas agama Hindu ini menunjukkan proses hidup setiap harinya sesuai denga ajaran Hindu, sedangkan masyarakat yang dijumpai adalah masyarakat yang heterogen. Perbauran antara kedua kelompok penduduk ini terlihat tidak mudah untuk disatukan.
Kehidupan masyarakat yang hidup dikompleks perkebunan menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat terhambat bergaul dengan masyarakat yang lainnya. Organisasi ataupun komunitas yang akhirnya terbentuk dalam masyarakat Hindu Bali yang ada dikompleks adalah organisasi yang bernuansa etnisitas Bali dan komunitas agama yaitu Hindu.
Belum ada organisasi yang permanen ketika masa kontrak pertama dijalani, hanya bentuk komunitas yang sifatnya kecil dan sempit, seperti arisan masyarakat, dan kelompok Hindu, hal ini dilatarbelakangi dari perjanjian kontrak hanya 6 tahun, jadi belum terpikir menjadi keluarga yang permanen di Perbaungan.
31
Wawancara dengan Inengah Sumandyase, Tanggal 24 September 2007 32
Wawancara dengan Asmadi ( Masyarakat desa Pegajahan ), tanggal 22 September 2007
(49)
Banyak dari tenaga kontrak kerja adalah kelompok muda, atau usia menjelang perkawinan. Kelompok muda baik laki-laki maupun perempuan. Ketertutupan terhadap masyarakat luar, sehingga mereka dominan mencari pasangannya di sesama masyarakat yang tinggal di kompleks perkebunan. Laki-laki muda menjadikan wanita yang satu etnisitas menjadi pasangan keluarga. Di sisi lain pasangan yang dulunya hanya sebagai persyaratan kerja melanjutkan hubungan mereka kejenjang pernikahan. Proses ini sudah berlangsung pada masa kontrak pertama belum berakhir. Keluarga baru ini hidup dari hasil pekerjaan mereka sebagai tenaga kontrak.
Kontrak pertama akan segera berahir yaitu tahun 1969, segera pihak perusahaan memberikan dua tawaran kepada masyarakat yang mengikuti kontrak, yaitu perpanjangan masa kerja dengan lama 3 tahun dan kembali ke tempat mereka semula dimana biaya transportasi ditanggung oleh perusahaan. Mereka tidak diberi tunjangan atau pesangon, tetapi dalam satu sisi pihak yang melanjutkan kontrak mendapat nilai lebih, dimana mereka juga mendapat biaya ganti biaya pulang ke Bali. Tidak ada unsur paksaan dari pihak perusahaan memilih salah satu dari tawaran yang diberikan oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II. Mereka menentukan sendiri pilihan masing-masing.33
25 % ( 15 KK) kepala keluarga memilih kembali ke Bali, dengan berbagai alasan, sedangkan bagian yang lainnya memilih tetap sebagai buruh kontrak. Bagian masyarakat yang memilih perpanjangan kontrak dominan kelompok keluarga yang berumah tangga setelah di tempat kontrak. Sebagai keluarga yang
33
(50)
membentuk kepala keluarga diperantauan, mereka belum memiliki harta warisan, bagian yang lainnya adalah keluarga yang tidak memiliki harta warisan, atau sebelumnya adalah keluarga yang tidak memiliki orang tua.
Bagi mereka yang memilih kembali ke Bali, dilatarbelakangi oleh alasan kondisi sebagai kerja kontrak, mereka menilai bahwa mereka lebih terpandang sebagai petani di ladang sendiri dari pada menjadi buruh kontrak. Situasi ladang yang sudah pulih dan bisa diusahakan kembali juga turut mendorong mereka kembali ke Bali.
Tidak terlalu terlihat pengurangan jumlah masyarakat Hindu Bali yang melanjutkan kontrak pada periode pertama ini, oleh karena banyak kelompok keluarga yang baru kawin sebelum proses kontrak pertama berakhir. Kelompok keluarga yang kembali ke Bali, pada dasarnya adalah keluarga yang sudah lama dan sudah memiliki keturunan dalam perkawinannya.
Menghabiskan perpanjangan kontrak kerja tidak terlalu lama, sebab perpanjangan kontrak hanya 3 tahun yang berahir tahun 1969, tetapi masyarakat Hindu Bali mulai memikirkan bagaimana cara mempertahankan tata cara kehidupan mereka di kecamatan Perbaungan. Untuk itu sesama kelompok masyarakat Hindu Bali, yang tinggal di Pondok mulai membentuk arisan keluarga.
Arisan keluarga yang dibentuk ini bukan hanya memikirkan tentang keuangan ataupun materi, mereka juga membicarakan langkah-langkah rencana pendirian satu unit tempat ibadah. Masyarakat Hindu Bali mulai membuat tabungan sebagai persiapan dana. Mereka melakukan tabungan khusus untuk
(51)
kegiatan ini akibat keadaan mereka yang selama ini sama sekali tidak pernah melakukan pemujaan terhadap yang Maha Kuasa di tempat yang seharusnya yaitu Candi, tetapi melakukannya di rumah mereka masing-masing. Atas dasar inilah mereka tidak pernah merasakan kepuasan dalam menyampaikan rasa syukur mereka kepada yang Mahakuasa.
Masa perpanjangan kontrak kerja yang kedua akan segera berakhir pada bulan Agustus 1972. kembali masyarakat atau pekerja kontrak diberikan tawaran, antara pulang ke Bali dan melanjutkan. Waktu perpanjangan sama seperti lamanya kontrak kerja pertama yaitu 3 tahun. Setengah dari 60 kepala kaluarga yang berangkat dulunya kesumatera, 1/3 bagian memilih kembali ke kampung halaman mereka masing-masing.
Sebanyak 8 kepala keluarga dari 60 kepala keluarga melanjutkan kontrak kerja yang ketiga kalinya. Dalam menyelesaikan masa kontrak ketiga ini tidak jauh beda dengan masa yang kontrak kerja babak kedua. Perbedaan antara masa kontrak kerja pertama dan yang kedua dengan masa kontrak kerja yang ketiga terletak pada jumlah kepala keluarga baru sesudah di tempat kontrak. Setelah melakukan perkawinan, secara otomatis masuk menjadi anggota kelompok kontrak kerja.
Selama tiga tahun menghabiskan perpanjangan kontrak, para kelompok kerja Hindu Bali, hanya menghabiskan waktunya sebagai tenaga kontrak. Diakhir masa kontrak kerja yang terakhir, kelompok kerja ini dikejutkan oleh sebuah berita baru, dimana sistem kontrak yang diberlakukan selama ini dan selalu menakuti masyarakat ini, dihapuskan.
(52)
Kelompok masyarakat Hindu Bali yang dulunya terlibat kontrak kerja disamakan kedudukannya dengan karyawan lokal, tanpa dibatasi oleh lama kerja, tetapi sistem kerja dan juga gaji yang diberlakukan kepada mereka sama halnya dengan ketika masa kontrak kerja.
Sistem karyawan lokal yang berlakukan kepada masyarakat Hindu Bali ini menjadi salah satu faktor pendorong kepada masyarakat Hindu Bali menjadi kelompok masyarakat yang permanen. Sebagai salah satu ujut dari keseriusan masyarakat Hindu Bali menjadi kelompok masyarakat yang nenetap di desa Pegajahan, terlihat dari perayaan Galungan tahun 1975 tersebut, dimana mereka mendirikan sebuah rumah yang didekorasi sesuai dengan dekorasi Pura. Masyarakat Hndu Bali yang masih tinggal di Perbaungan melaksanakan ritual penyembahan kepada yang Mahakuasa di tempat tersebut. Demikianlah masyarakat Hindu Bali melaksanakan ritual keagamaannya sampai tahun 1989 di desa Pegajahan kecamatan Perbaungan..
(53)
BAB IV
MASYARAKAT HINDU BALI MEMBENTUK SEBUAH
KOMUNITAS
4.1 Perubahan PNP IX Menjadi PTPN II Dan Pengaruhnya Terhadap Kontrak Kerja
Setelah pemerintah mengeluarkan peraturan No 28 1975, tentang pengaturan Perusahaan Negara, Perusahaan Negara Perkebunan IX mengalami pergeseran status perusahaan menjadi Persero34. Salah satu perubahannya adalah, pemerintah pusat langsung mengelola PT. Perkebunan IX yang dibidangi oleh menteri Negara Pertama dan menteri keuangan. Pemerintah daerah terpaksa menghentikan tanggung-jawabnya dan pengelolaannya terhadap perusahaan yang beroperasi di daerah yang dipimpinnya.
Perusahaan Negara Perkebunan IX, sebenarnya sudah sering mengalami perubahaan sebelumnya. Perubahan yang diberlakukan terhadap perusahaan ini sebelumnya lebih mengarah kepada perubahan nama dan juga perubahan terhadap tanaman produksi yang ditanami dalam perusahaan negara tersebut.
Sebelum menjadi Perusahaan Negara Perkebuanan IX sistem Perusahaan Negara Perkebunan tidak ada, tetapi pemerintah daerah mengelola sendiri segala jenis perusahaan yang ada di daerah masing-masing. Pada saat ini pemerintah daerah memiliki hak otonomi terhadap perusahaan yang ada di daerah baik dalam
34
Syafruddin Kalo, Masyarakat Perkebunan studi mengenai Sengketa Tanah Masyarakat Versus PTPN II dan III di Sumatera Utara, Medan: Universitas Sumatera Utara. 2003, Hlm. 36
(54)
bidang pengelolaan, pembagian hasil, penerimaaan karyawan parusahaan, maupun dalam bidang penjualan produksi.
Pemerintah daerah yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerintah propinsi Sumatera Utara. Hasil dari hak otonomi daerah ini terlihat jelas terhadap peningkatan pendapatan daerah, terlebih daerah yang memiliki perusahaan-perusahaan perkebunan yang luas. Pemerintah pusat menilai bentuk pengelolaan perusahaan-perusahaan hasil proses nasionalisasi tersebut masih tergolong kurang, termasuk dalam produktivitas, maka untuk selanjutnya pemerintah pusat mengeluarkan surat keputusan mengenai pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut kembali ketangan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat memperkuat status PT. Perkebunan Nusantara sebagai perusahaan yang dikelola oleh pemerintah pusat, maka peraturan pemerintah No. 28 tahun 1975 (pengalihan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) menjadi PT.Perkebunan Nuantara II dibawah pemgelolaan pemerintah pusat) ditambah dengan Akte pendirian PT. Perkebunan II No. 12 tanggal 15 April 1975, Berita Negara RI No. 52 tahun 1978, Surat menteri Keuangan RI No.Kep.114/MK/W/3/1980 tanggal 23 Oktober 1980, Surat Direksi PT. Perkebuanan Nusantara II, SBPD No.II/0/X/R101/198.35
Sesudah perubahan ini, pemerintah daerah mengalami pengurangan porsi yang sangat besar yang ditarik oleh pemerintah daerah pusat.
Perubahan yang terjadi PT. Perkebuanan II, yang langsug dirasakan oleh karyawan lapangan, dalam hal ini sebagai tingkatan jabatan paling rendah adalah
35
(55)
perubahan cara kerja dilapangan. Latar belakang dari perubahan tugas ini berlatar belakang dari perubahan tanaman produksi perkebunan. Sebelum berubah tanaman produksi perkebunan hanya menanam satu jenis tanaman produksi, yaitu karet. Masyarakat hanya perlu memahami pengelolaan tanaman karet. Sedangkan sesudah perubahan, PT. Perkebunan Nusantara II mencoba manggiatkan multi tanaman produksi. Perusahaan Perkebunan Nusantara mencoba menanam tanaman Kelapa Sawit, Tanaman Karet, Tanaman Coklat.36 Hingga sampai saat in tanaman-tanaman tersebut masih ada yang ditanam.
Untuk mempermudah pengelolaan tanaman dan juga para pekerja di PT. Perkebunan Nusantara II, pengelola PT. Perkebunan Nusantara II membagi daerah-daerah perkebunannya menjadi beberapa sub sektor Perkebunan Nusantara II, berdasarkan wilayah-wilayah yang berdekatan diantaranya adalah:
1. Perkebunan Sawit Hulu 12. Kebun Bekium
2. kebuan Sawit Seberang 13. Kebun Tanjung Keliling 3. Kebun Batabg Serangan 14. Kebun Marikel Bukit Lawang 4. Kebun Kuala Sawit 15. Kebun Bekola
5. Kebuan Airtenang 16. Kebun Limau Mungkir
6. Kebun Basilam 17. Kebun Tanjung Garbus
7. Kebun Sawit Hulu 18. Kebun Melati 8. Kebun Gohor Lama 19. Kebun Tandun Riau 9. Kebun Tanjung Beringin 20. Kebun Proyek Sei BUatan 10. Kebun PIR Besitang 21. Kebun Proyek Frafi Irian Jaya
36
(56)
11. Kebun Padang Brahrang 22. Kebun Proyek Arso Irian Jaya.37 PT. Perkebunan Nusantara II juga mengalami perubahan visi kedepan atau tujuan yang akan dicapai, sebagai Perusahan Negara yang tarafnya adalah perusahaan Internasional. Adapun orientasi pesan tersebut adalah:
1. Perusahaan adalah suatu kesatuan produksi yang turut menunjang ekonomi Nasional, dengan jalan menghasilkan laba, baik berupa Devisa maupun Rupiah bagi Negara demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2. Perusahaan membuka kesempatan kerja bagi seluruh warga negara Republik Indonesia agar dapat memberikan bukti Dharma-Bhakti dan pengabdian dilapangan perkebunan yang disesuaikan dengan kecakapan dan kemakmurannya.38
Akibat lain dari proses perubahan sistem produksi dalam PT. Perkebunan Nusantara yang berhubungan dengan buruh lapangan adalah penerimaan pekerja lapangan atau buruh. Periode ini sama halnya ketika pada tahun 1963, saat tanaman produksi perkebunan berubah. Memulai program baru perusahaan ini PT.Perkebunan Nusantara II melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan sejumlah tenaga kerja lapangan.
Posisi seorang buruh ataupun pekerja lapangan saat itu tergolong kurang terpandang dihadapan masyarakat maka pekerjaan ini tidak diminati oleh masyarakat.
Babakan pencarian buruh kebon di lapangan tahun 1963, sangat tepat dengan kondisi masyarakat Hindu Bali yang menjadi korban bencana alam
37
Syafruddin Kalo, Op.cit.., Hlm. 51-52 38
(57)
gunung Agung meletus, yang sudah lama menantikan cara mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan Negara Perkebunan merupakan hal yang bertepatan, sehingga perusahaan mendapat keuntungan di satu sisi, dan pihak masyarakat yang sedang mencari pekerjaan terjawab.
Dua kali masa perpanjangan kontrak, maka pada akhir tahun 1975, seiring dengan perubahan status Perusahaan Negara Perkebunan IX menjadi PT. Perusahaan Nusantara II status buruh kontrak berubah menjadi buruh menetap dengan masa kerja tidak dibatasi oleh sistem kontrak, melainkan umur kerja seperti karyawan pemerintahan lainnya.
Proses perubahan ini adalah salah satu momen yang sangat penting kepada masyarakat Hindu Bali, yaitu menghilangkan latar belakang masyarakat Hindu Bali yang dulunya sebagai korban letusan Gunung Agung, Mereka (masyarkat Hindu Bali) tidak akan kembali lagi dengan batas waktu. Masyarakat Hindu Bali menjadi masyarakat yang menetap di kecamatan Perbaungan lengkap dengan unsur religius mereka. Status menjadi masyarakat menetap diperoleh setelah mereka lanjut usia dan berakhir sebagai buruh.
Ketika buruh sudah pensiun dari pekerjaan mereka, maka rumah yang mereka tempati harus mereka tinggalkan dan mencari sendiri tempat tinggal masing-masing, sebab hubungan dengan pihak PT. Perkebunan Nusantara II sudah berakhir. Sebagian dari mereka hanya keluar komplex perkebunan saja, tetapi masih dilingkungan desa Pagajahan, sebab hubungan antara sesama mereka
(58)
sudah kuat, sehingga sangat susah dipisahkan. Mereka inilah yang menjadi salah satu unsur sosial masyarakat Perbaungan.
4.2 Dari Sebuah Kemunitas Menuju Pendirian Pura Di Desa Pegajahan
Agama Hindu dan etnisitas Bali merupakan dua sisi yang akhirnya membentuk satu kesatuan yaitu masyarakat Hindu Bali. Pola-pola kehidupan, Etika atau sistem sosial yang dipakai oleh masyarakat Bali adalah hal yang sudah tertata dan tertanam lama dari ajaran Hindu. Etika individu masyarakat Bali dimanapun ia berada atau merantau maka tata cara kehidupan akan selalu melekat pada diri individu tersebut.39
Agama Hindu lebih merupakan tata cara kehidupan, dari pada kumpulan kepercayaan, sehingga sangat sulit dipisahkan antara pola hidup ataupun ajaran agama. Dalam perjalanan sejarah menjelaskan bahwa pola hidup itu menjadi kandungan kepercayaan seperti hal-hal yang bisa dilakukan bahkan sesuatu yang harus dilakukan oleh umat Hindu, demikianlah masyarakat Hindu-Bali korban musibah gunung Agung, yang menerima proses kontrak kerja, tetap menjalankan ritual keagamaannya walaupun mereka berada di luar tempat tinggal mereka.
Masyarakat Hindu-Bali yang ditempatkan dalam satu komplex perumahan, tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan dan upacara agama lainnya bersama-sama dengan satu kelompoknya. Keberbersama-samaan berjalan baik dibarengi dengan kegiatan keakraban yang sifatnya formal, seperti perayaan hari besar agama
39
Djoko Mudji Raharjo, Keberadaan Paguyuban-Paguyuban Etnis Di Daerah Dalam Menunjang Persatuan Dan Kesatuan, Jakarta: Bagian Pembinaan Dan Pangkajian Masa Kini Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Kebudayaan, 1999. Hlm 47
(59)
Hindu, dan yang tidak bersifat formal seperti pertemuan arisan sesama keluarga Hindu-Bali yang ada di desa Pegajahan. Sebelum masyarakat Hindu-Bali datang ke desa Pegajahan, dapat dipastikan bahwa corak kehidupan sama sekali belum dijumpai di desa Pegajahan. Pengaruh Hindu yang sama sekali belum pernah ada di Pegajahan, menjadi salah satu faktor yang memperlambat gerakan Hindu oleh masyarakat Hindu-Bali.
Sebelum berakhirnya kontrak kerja periode pertama yaitu tahun 1969, masyarakat Hindu-Bali di dua lokasi yaitu di desa Pegajahan dan desa Pondok Agung sudah mulai membentuk arisan etnis yaitu etnis Hindu-Bali. Dalam pertemuan arisan kegiatan pokok yang dilakukan adalah merundingkan tentang keagamaan mereka, pemilihan ketua etnis, dan pengurus perhimpunan yang bertugas sebagai koordinator Hindu-Bali dikecamatan Perbaungan.
Setelah beberapa kali mengadakan rapat, akhirnya mereka memilih Ketut Sari sebagai ketua perhimpunan etnis Bali di kecamatan Perbaungan atas solidaritas masyarakat Hindu-Bali di kecamatan Perbaungan. Untuk pertemuan selanjutnya yang dipimpin langsung oleh ketua perhimpunan etnis Bali di kecamatan Perbaungan dengan di ikuti oleh seluruh masyarakat Hindu-Bali dari berbagai golongan baik kaum Ibu, Ayah, maupun anak untuk mendengar pengarahan dari sang ketua yang berceramah tentang peningkatan kehidupan beragama di kalangan masyarakat Hindu-Bali.
Hasil dari pertemuan ini adalah untuk melaksanakan ritual Trisandio. Ritual Trisandio, yaitu melakukan sembahyang tiga kali dalam satu hari (pagi pukul 6, siang pukul 12 dan sore hari jam 6). Masyarakat mulai membenahi
(60)
komplex mereka dengan corak kehidupan sebagai pertanda bahwa semua masyarakat yang tinggal di komplex adalah masyarakat yang beragama Hindu, seperti pembuatan Gapura di gerbang masuk menuju Pondok Bali.40
Masyarakat Hindu-Bali mulai melakukan interaksi keluar, kepada kelompok masyarakat lain yang menganut agama Hindu. Ajaran agama Hindu yang ada di Indonesia pada umumnya adalah sama, demikian halnya dengan penganut Hindu yang ada di Medan dan sekitarnya seperti Etnis Cina, Etnis Tamil di Medan, Etnis Karo di Berastagi, pola ajaran agama Hindu dengan masyarakat Hindu-Bali yang ada di desa Pegajahan adalah sama. Faktor kesamaan ini membuat kelompok religius ini saling dekat.
Masyarakat Hindu-Bali dari desa Pegajahan, sebelum adanya organisasi keagamaan pada masyarakat Hindu-Bali, mereka melaksanakan ritual keagamaannya ( pada hari besar agama Hindu ) harus pergi ke kota, ke tempat masyarakat yang memiliki kepercayaan Hindu yaitu ke Medan. Sebab lain yang mengharuskan mereka pergi ke Medan ketika perayaan hari besar Hindu tiba, karena diantara mereka yaitu masyarakat Hindu-Bali yang ada di Pegajahan tidak ada yang memiliki gelar Pangandita (ahli dan pengetua dalam agama Hindu).
Pihak Perusahaan Negara Perkebunan II (PNP II), sama sekali tidak menyediakan tempat ibadah untuk karyawan yang menganut agama Hindu. Pembangunan rumah ibadah agama Hindu berbeda dengan pendirian rumah ibadah umat beragama lainnya. Proses pendirian Pura, sebagai tempat ibadah umat Hindu harus terlebih dahulu mengumpulkan tokoh-tokoh yang mengerti
40
(61)
tentang ritual keagamaan, dan yang memahami tentang isi kitab-kitab agama Hindu yaitu Veda. Hal inilah yang menyebabkan tidak didirikannya tempat ibadah umat beragama Hindu oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II41.
Setelah tahun 1975, salah satu berita yang menggembirakan bagi masyarakat Hindu-Bali yang bekerja sebagai karyawan kontrak di PNP IX, yaitu pergantian PNP IX menjadi PT.Perkebunan Nusantara II, masyarakat Hindu-Bali tidak dibatasi lagi dengan waktu kontrak kerja yang sebelumnya menjadi salah satu faktor yang menghambat mereka menjadi masyarakat lokal atau menetap.
Rencana pendirian tempat ibadahpun sudah mulai tergerak dihati mereka, juga yang sudah berhenti beberapa tahun sebelumnya. Selama ini masyarakat Hindu hanyalah sebagai nama saja sebagai penganut agama Hindu, sebab mereka sama sekali tidak pernah melaksanakan ritual keagamaan, disebabkan tidak adanya rumah ibadah di sekitar desa Pegajahan.
Rencana menjadi masyarakat yang permanen dilanjutkan dengan pendirian organisasi Hindu di desa Pegajahan yang dinamakan dengan Dirga Yusa. Organisasi Dirga Yusa semakin mempererat hubungan sesama masyarakat Hindu-Bali di desa Pegajahan. Organisasi menciptakan rasa tolong menolong antara mereka, yang akhirnya mendirikan sebuah tempat ibadah, dinamakan dengan Maradjan42.
Fungsi bangunan ini adalah bangunan pengganti pura. Maradjan dijadikan tempat perayaan Galungan di desa Pegajahan. Layaknya Pura, maradjan dilengkapi dengan tempat menyampaikan sesajen, tempat menyembah para
41
Wawancara dengan Wayan Gio, tanggal 22 Agustus 2007 42
(62)
masyarakat Hindu, dan bagian luar Maradjan dihiasi dengan warna kuning, sebagai warna kemenangan bagi umat beraga Hindu. Sebelum diresmikan menjadi tempat penyembahan, masyarakat yang dipimpin oleh tokoh agamanya sama-sama mengundang para Dewa hadir pada Maradjan tersebut. Tidak jauh berbeda dari fungsi sebuah Pura, sehingga banyak masyarakat dari sekitar kecamatan Perbaungan ikut memanfaatkan jasa Maradjan.
Bangunan maradjan, selain digunakan tempat ritual keagamaan pada hari besar Hindu, masyarakat juga menggunakannya sebagai tempat bermusyawarah sesama masyarakat penganut agama Hindu. Hasil yang dicapai dari pertemuan ini membentuk salah satu organisasi Hindu di kecamatan Perbaungan yaitu Parisada Hindu Dharma Perbaungan.43
Masyarakat yang ikut dalam organisasi ini sangat beragam, hal ini merujuk kepada sifat organisasi yang tidak dibatasi oleh etnisitas tetapi dibatasi oleh agama Hindu. Sebagai organisasi yang baru lahir, organisasi ini banyak diikuti oleh kelompok etnis Tamil, etnis Karo, etnis Bali, dan etnis Jawa yang beragama Hindu dari kecamatan Perbaungan.
Keseriusan dalam menjalankan organisasi Parisada Hindu Dharma yang ada di kecamatan Perbaungan hanya dimiliki oleh masyarakat Hindu-Bali yang tinggal di komplex perkebunan (Pondok Bali dan Pondok Agung). Kelompok etnis lainnya lebih mendekatkan diri ke daerah-daerah yang memiliki Pura di luar kecamatan Perbaungan, sedangkan masyarakat Hindu-Bali tetap melaksanakan ritual keagamaan di Maradjan, yang terdapat di Pondok Bali.
43
(63)
Organisasi Parisada Hindu Dharma (persatuan masyarakat penganut Hindu) ternyata pernah membuat penggalangan dana, pelatihan keagamaan terhadap penganutnya, yang direncanakan sebagai persiapan terhadap pendirian Pura disekitar desa Pagajahan. Rencana ini merupakan sebuah bukti kearah keseriusan masyarakat Hindu-Bali menetap di kecamatan Perbaungan.
Masyarakat Hindu-Bali sudah lama melakukan pungutan dana sukarela untuk rencana pendiri rumah ibadah tersebut. Mereka meyakini pendirian rumah ibadah nantinya akan meningkatkan kehindupan beribadah bagi masyarakat penganut Hindu yang ada di kecamatan Perbaungan. Dengan penuh keyakinan akhirnya tahun 1989, masyarakat Hindu-Bali membentuk kepanitiaan pembangunan Pura di kecamatan Perbaungan.44
Lima bulan pencarian dana pembangunan Pura telah membuahkan hasil dimana terkumpulnya dana. Masyarakat Hindu-Bali berupaya keras dalam publikasi pembangunan tempat ibadah tersebut, yang membuat pemerintah daerah dan pengusaha yang beragama Hindu terbuka hatinya untuk memberikan bantuannya kepada panitia.45
Pada bulan Juli 1989, pembangunan Pura sudah mulai dilakukan. Diawali dengan pematungan Patmasana, yaitu ukiran Naga dibagian dalam. Bangunan ini adalah pusat penyembahan oleh masyarakat Hindu46. Patmasana adalah inti dari sebuah bangunan Pura, dimana menurut keyakinan umat Hindu, para Dewa yang
44
Wawancara dengan Inengah Sumadyase tanggal 22 September 2007 45
Wawancara dengan Niwayan Marsi (masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan), tanggal 22 September 2007
46
(64)
ada di dalam Pura hadir kedalam Bangunan tersebut, sehingga bangunan ini menjadi pusat penyembahan di dalam Pura47.
Pembangunan selanjutnya adalah pembuatan Candi. Setelah Candi selesai dibangun maka candi yang terdapat dalam Pura tersebut dinamakan dengan candi Bentar. Pembuatan candi pada Pura merupakan sebagai ciri bahwa masyarakat yang hidup di sekitarnya adalah masyarakat yang menganut agama Hindu48.
Di bagian dalam Pura didirikan patung Saraswati, patung yang melambangkan kelembutan dan kebaikan. Pembuatan patung Saraswati ditujukan untuk dijadikan teladan bagi mereka yang mengikuti ritual di dalam Pura49. Ketiga bagian yang dibangun terlebih dahulu tersebut diatas merupakan bagian-bagian pokok dari sebuah bangunan Pura. Pembangunan selanjutnya ditujukan untuk melengkapi bangunan dengan lambang-lambang kehinduan seperti Prantena, tempat menyerahkan sesajen, pelataran yang berguna sebagai tempat menyembah menghadap Padma Sana, pada bagian luar Candi dua buah patung Bima memegang Bidat. Patung ini berarti sebagai penjaga Pura dari sisi sub natural candi Bentar. Di depan patung Bima disediakan 2 bangunan kecil yang merupakan tempat memberi sesajen kepada sang Bima, sebab telah bertugas menjaga Pura50.
Setelah mengerjakan satu persatu bagian dari Pura, maka pada akhir tahun 1989, pura telah siap dibangun dan awal tahun 1990, pesta Veodalan dilakukan sebagai upacara peresmian Pura. Dengan mengundang beberapa pangandita dari
47
Wawancara dengan Wayan Gio, tanggal 24 Agustus 2007 48
Lihat Gambar 3, Hlm lampiran 49
Lihat Gambar 4, Hlm lampiran 50
LIhat Gambar 5, 6, 7 Hlm lampiaran dan keterangan dari Wayan Gio, tanggal 2 September 2007
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)