Tercapainya Kesepakatan Damai Dengan Isi Perdamaian Antara

menyaksikan momen yang amat bersejarah itu. Martti berperan sebagai “wasit” selama lima kali putaran dialog damai hingga tercapainya kesepakatan Helsinki. Sebagaimana dapat dibaca dalam terjemahan resmi bahasa Indonesia dari MoU, Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, enam hal pokok tercantum dalam MoU atau Nota Kesepahaman : 1 Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, 2 Hak Asasi Manusia, 3 Amnesti dan reintegrasi kedalam masyarakat, 4 Pengaturan Keamanan, 5 Pembentukan Misi Monitoring Aceh dan 6 Penyelesaian Perselisihan. Nota kesepahaman itu terdapat empat hal pokok dalam draf final MoU tersebut. Pertama, penyelesaian masalah Aceh harus diselesaikan dengan jalam damai. Kedua, penyelesaian seluruh masalah Aceh harus secara menyeluruh, tidak bisa parsial. Ketiga, harus ada kesinambungan dari kesepakatan tersebut, harus ada tindak lanjut dan aksi konkret atas kesepakatan yang dicapai. Keempat, penyelesaian masalah Aceh harus secara bermartabat, tidak ada yang kehilangan muka.

B. Tercapainya Kesepakatan Damai Dengan Isi Perdamaian Antara

Kedua Belah Pihak Berbagai hasil telah diungkap oleh tim perunding dalam pertemuan informal kelima antara pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Pertemuan yang pada awalnya dimaksudkan menciptakan iklim kondusif bagi para relawan dalam membantu rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami telah berubah dan dijadikan penyelesaian menyeluruh dari pemberontakan yang dilakukan oleh GAM terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tim perunding optimistis hasil perundingan akan dapat menyelesaikan masalah GAM secara damai. Menurut Hikmahanto Juwana Guru Besar Fakultas Hukum UI, Depok dalam harian Kompas 2002, paling tidak ada empat hal yang perlu mendapat perhatian, sebelum akhirnya pemerintah menandatangani nota kesepahaman MoU dengan GAM pada Agustus 2005 lalu. Pertama, segera setelah kembali dari Helsinki, tim perunding ataupun pemerintah perlu menyampaikan hasil kesepakatan yang telah dicapai kepada DPR dan publik Indonesia. Ini penting karena pengambilan keputusan di negeri ini tidak lagi berpusat pada pemerintah. Yang baik menurut pemerintah belum tentu baik untuk rakyat apalagi rakyat Aceh. Dalam alam demokrasi, rakyat harus diberi kesempatan menentukan apa yang baik untuk dirinya. Disamping itu, penyampaian hasil sangat penting agar publik dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat. Saat ini informasi yang disampaikan tidak secara utuh dan bersumber pada media massa. Informasi juga penting disampaikan agar publik tidak dikejutkan dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberi kesempatan kepada publik mewacanakan hasil perundingan Helsinki. Bahkan, pemerintah wajib memberi tahu apa yang dikehendaki mayoritas rakyat Indonesia. Proses wacana harus dilakukan karena suara Indonesia tidak bisa direduksi sebagai hanya suara pemerintah. Bahkan bila ditilik, didalam pemerintah pun masih ada pro dan kontra. Ketiga, penetapan waktu sebelum peringatan Proklamasi 17 Agustus, bahkan diupayakan sebagai kado ulang tahun, seharusnya tidak dilakukan. negosiasi untuk masalah sesensitif penyelesaian GAM harus dijalankan tanpa ada jangka waktu, tetapi pada kehati-hatian untuk tidak menyelesaikan gerakan separatis dengan melanggar hak asasi manusia. Keempat, pada saat publik Indonesia meyetujui hasil perundingan untuk disepakati dalam MoU, perlu diperhatikan jenis MoU yang ditandatangani. MoU itu jelas merupakan perjanjian yang memiliki ikatan hukum, tidak sekedar ikatan moral. Dari empat hal tersebut ternyata proses perundingan Helsinki bukan tidak menuai kecaman, tetapi banyak sekali pro dan kontra dalam menerima hasil perundingan tersebut, ada dari beberapa pihak di luar masyarakat Aceh yang menolak untuk dilaksanakannya perundingan Helsinki. Namun ketidaksetujuan ini hanya berkisar pada masalah mekanisme dan proses perundingan, tempat perundingan dilaksanakan, juru runding yang dianggap kurang mewakili masyarakat Aceh, serta isi dari beberapa butir hasil perjanjian MoU. Setelah mengalami beberapa pertemuan dan perundingan yang melalui proses yang panjang dan rumit pada akhirnya sebuah draft kesepakatan perdamaian berhasil di setujui oleh pemerintahan SBY-JK dan pimpinan GAM. Draft diformalkan dalam sebuah Memorandum of Understanding MoU yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki dengan isi perdamaian sebagai berikut. 49 Keadaan damai adalah prasyarat berakhirnya konflik dan tentu saja itu berhubungan langsung dengan proses dan hasil perundingan terutama implementasinya. Walaupun nota kesepahaman sudah ditandatangani bersama, tapi kritik dan tantangan belum hilang sama sekali. Pro dan kontra antara perdamaian melalui meja perundingan dan melanjutkan perang di medan pertempuran selalu timbul dalam memilih cara penyelesaian konflik bersenjata. Di belahan bumi mana saja dan sepanjang sejarah hal itu biasa terjadi, sehingga bukan merupakan masalah istimewa. Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih penyelesaian konflik secara damai untuk masalah Aceh, mengandalkan apa yang disebutnya sebagai soft power. Tak urung kritik tetap dilancarkan terhadap berbagai segi musyawarah Helsinki, dari soal isi yang dirundingkan sampai soal sifat dan kedudukan perundingan dengan GAM itu sendiri. Sebenarnya ada inkonsistensi dalam berbagai kritik itu. Jika yang dipermasalahkan 49 Lihat Tabel 2. adalah prinsip sah atau tidaknya perundingan, harusnya isi yang dirundingkan tidak relevan lagi untuk ditolak atau dipermasalahkan. Selain pihak-pihak masyarakat Aceh dan di luar masyarakat Aceh yang sejak awal tidak setuju diadakannya perundingan, kehadiran MoU juga mengundang bermacam pertanyaan dan kritik yang dikemukakan oleh berbagai kalangan diantaranya anggota DPR, MPR DPD, pejabat negara, mantan pejabat, anggotafungsionaris partai politik, pengamat, akademisi, LSM dan lain sebagainya, dengan nada baik yang bersifat optimis dan pesimis, pro dan kontra. Sebagai contoh, setelah memperhatikan isi perjanjian Ketua Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa tidak ada satu paragraph pun dalam MoU Nota Kesepahaman yang menyebutkan bahwa NKRI dan UUD 45 sebagai dasar konstitusi dari perjanjian dan MoU yang dihasilkan. Tentu saja semua ini masih merupakan harapan dan tujuan yang perlu diupayakan untuk dicapai. Oleh karena itu perundingan perdamaian yang sudah dilakukan dan telah menghasilkan MoU harus diimplementasikan dengan baik. Untuk itu diperlukan suasana saling mendukung, menghormati dan menghargai.

C. Pendapat Para Tokoh Terhadap Perundingan Helsinki