2. Menyerahkan minimal 900 pucuk senjata
3. Menyerahkan pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri
4. Perundingan Helsinki Tahap IV
Pada babak keempat, yang berlangsung 26-31 Mei, telah dibahas soal-soal partisipasi politik dan keamanan by rebels dalam
kerangka self government.
46
Beriringan dengan berlangsungnya proses pembicaraan, khususnya pada babak yang keempat ini, muncul
penentangan dari beberapa pihak, seperti : para pemimpin Tentara Nasional Indonesia TNI, beberapa anggota Dewan Perwakilan
Rakyat DPR dan belakangan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Lemhanas.
Reaksi beberapa anggota DPR, terkait dengan munculnya gagasan dalam proses pembicaraan di Helsinki untuk melibatkan Uni
Eropa dalam upaya menyelesaikan konflik secara damai. Kehadiran yang belakangan ini, Uni Eropa, dalam pandangan mereka hanya akan
melahirkan apa yang diistilahkannya “the internationalization of Aceh internasionalisasi masalah Aceh.
5. Perundingan Helsinki Tahap v
Banyak hal yang tampak samar-samar, tetapi sangat menarik untuk diamati dalam perundingan damai Indonesia-GAM ini. Pada
akhir perundingan babak kelima di Vantaa, Helsinki, Juni 2005, anggota delegasi Indonesia sudah menarik napas lega saat delegasi
46
Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi Rekonsiliasi , h. 21.
GAM sama sekali tidak mempersoalkan tiga hal pokok dan sensitif, yakni referendum, keinginan memerdekakan Aceh dan pengakuan
pada otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia berikut konstitusi dan hukumnya.
Ronde kelima perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah tuntas. Kedua kubu berhasil mencapai
titik temu dalam sejumlah agenda. Tetapi tak semua berjalan lancar, ada persoalan yang kemudian muncul, yakni keinginan GAM agar di
Nanggroe Aceh Darussalam diperbolehkan mendirikan partai politik lokal. Pemerintah Indonesia sempat bingung menanggapi tuntutan
pembentukan partai politik lokal tersebut. GAM menganggap pendirian partai politik lokal merupakan kompensasi yang sepadan
dengan kesediaan mereka meletakkan senjata. Permintaan GAM mulanya ditolak oleh pemerintah. Alasan
yang dipakai adalah Undang-Undang Partai Politik, yang mengharuskan setiap partai berpusat di Jakarta dan setidaknya punya
cabang di sebagian jumlah provinsi di Indonesia. Sikap keras Pemerintah belakangan luluh. Untuk mengakomodasi tuntutan
pendirian partai politik lokal, pemerintah melontarkan gagasan untuk mengubah Undang-Undang Nomor No. 182001 tentang Otonomi
Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Otsus NAD dan bukannya Undang-Undang tentang Partai Politik.
47
47
Tempo, “Menanti Partai Lokal GAM”, Edisi 25-31 Juli 2005, h. 10
Sejauh ini DPR belum mengeluarkan suara resmi. Namun beberapa anggota DPR menyatakan keberatan dengan jalan tengah
yang ditawarkan pemerintah, yaitu dengan amandemen UU Otsus NAD. Soal partai politik lokal, substansinya ada pada UU Partai
Politik. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo, jumlah
suara responden yang mendukung dan yang menolak partai lokal tak berbeda jauh, yang setuju mencapai 53,35 persen dan yang tidak setuju
43,59 persen. Dengan alasannya masing-masing, ada yang menyatakan bahwa partai lokal penting untuk memaksimalkan aspirasi masyarakat
di daerah dan baik untuk memperbaiki partai nasional. Sedangkan dari kubu yang menolak, bahwa pemberian amnesti serta pemberian hak
untuk menjadi warga negara Indonesia sudah cukup bagi eks-GAM.
48
GAM dan pemerintahan RI bersepakat menandatangani nota kesepahaman babak kelima kedua pihak di Vantaa, Helsinki, Finlandia
pada 15 Agustus 2005. Delegasi Indonesia diwakili oleh antara lain, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S, Menteri
Hukum dan HAM Hamid Awaludin, mewakili GAM, hadirlah Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah juru bicara GAM di
Swedia. M.Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman. Tim delegasi GAM juga diperkuat Damien Kingsbury, dosen Ilmu Politik dari Universitas
Deakin, Australia. Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, turut
48
Tempo, “Menanti Partai Lokal GAM”, h. 10
menyaksikan momen yang amat bersejarah itu. Martti berperan sebagai “wasit” selama lima kali putaran dialog damai hingga
tercapainya kesepakatan Helsinki. Sebagaimana dapat dibaca dalam terjemahan resmi bahasa
Indonesia dari MoU, Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, enam hal pokok tercantum
dalam MoU atau Nota Kesepahaman : 1 Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, 2 Hak Asasi Manusia, 3 Amnesti dan
reintegrasi kedalam masyarakat, 4 Pengaturan Keamanan, 5 Pembentukan Misi Monitoring Aceh dan 6 Penyelesaian
Perselisihan. Nota kesepahaman itu terdapat empat hal pokok dalam draf
final MoU tersebut. Pertama, penyelesaian masalah Aceh harus diselesaikan dengan jalam damai. Kedua, penyelesaian seluruh
masalah Aceh harus secara menyeluruh, tidak bisa parsial. Ketiga, harus ada kesinambungan dari kesepakatan tersebut, harus ada tindak
lanjut dan aksi konkret atas kesepakatan yang dicapai. Keempat, penyelesaian masalah Aceh harus secara bermartabat, tidak ada yang
kehilangan muka.
B. Tercapainya Kesepakatan Damai Dengan Isi Perdamaian Antara