dan “gamein” atau gamos” yang berarti kawin atau perkawinan. Bila
pengertian ini digabung maka akan diperoleh pengertian yang berarti poligami ialah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.
3
Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita.
Walau ada yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan isteri. Perbedaan ini disebabkan
perbedaan dalam memahami dan menafsirkan firman Alla SWT dalam surat An-
Nisa’ ayat 3.
4
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 11974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan
tegas dalam pasal 3 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami, akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada
pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama
sekali sistem poligami.
5
3
Badriyah Fayumi, Euis Amalia, Yayan Sopyan, Sururin, Tien Rohmatin, Isu-isu Gender Dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002, h.40.
4
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h.84.
5
Lihat Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya.
2. Dasar hukum dan syarat poligami
Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-
Qur’an. Ayat yang sering menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah:
adalah QS. Al-Nisa 4 : 3 yang artinya:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
6
Maka kawinilah seorang saja,
7
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. al-Nisa [4]: 3.
Sedangkan hadis-hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hukum poligami dengan jelas dan gamblangsebagai berikut:
a. H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah RA dari Qais bin al-Haris:
6
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
7
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat
Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
8
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Ihya, tt, Jilid 1. h.628. Nomor hadis 1952.
Artinya:
Dari Qais bin al-Haris berkata bahwa saya telah masuk Islam dan saya memeliki 8 delapan isteri, lalu saya datang kepada Rasulullah
SAW lalu saya sebutkan kepadanya tentang hali itu maka Rasuluallah menyruhku untuk memilih 4 empat isteri saja.
b. H.R Ahmad dan Turmuzi RA:
Artinya:
Dari Ibnu Umar RA ia berkata bahwa telah masuk Islam Qhailan as- Saqafi dan dia memeliki 10 10 isteri pada masa Jahiliyah dan mereka semua
masuk Islam bersama dengannya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk memilih 4 empat saja.
Sedangkan mengenai syarat poligami. Para ulama menyebutkan dua syarat yang Allah
Subhanahu Wata’ala sebut dalam Al-Quran ketika seorang lelaki hendak berpoligami, dan syarat lainnya yang disebutkan dalam hadits
Rasulullah S hallallahu „Alaihi Wasallam antara lain sebagai berikut:
1. Jumlah istri yang paling banyak dikumpulkan adalah empat, tidak boleh lebih.
2. Bisa berbuat dan berlaku adil di antara para istri.
3. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.
9
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, Jilid 9. h.393.
B. Legalitas Poligami
Monogami ialah praktek perkawinan yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu, berbeda
dengan perkawinan monogami, poligini adalah praktek perkawinan dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang sama. Dua bentuk perkawinan ini memiliki
legitimasi normatifnya dalam hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Tetapi dalam aktulisasi atau implementasinya, perkawinan poligini
mengalami penyimpangan, cenderung mengutamakan keinginan-keinginan individual self interrest. Padahal perkawinan poligini dalam Islam
mengutamakan aspek kemaslahatan. Sejarawan Perancis terkemuka, Gustave Le Bon, menyatakan bahwa
undang-undang Islam yang membenarkan poligami merupakan suatu keistimewaan dari agama ini, dan berkaitan dengan perselingkuhan dan hubungan
gelap kaum peria dan wanita eropa.
10
Keberadaan hukum di tengah masyarakat tidak hanya bertujuan menciptakan ketertiban dan keteraturan, tetapi hukum harus mampu memainkan
peranan dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dalam penegakan hukum, paling tidak ada tiga asas yang harus diperhatikan, yaitu: asas keadilan
Gerechtigkeit, asas kemanfaatan Zweckmassigkeit, dan asas kepastian hukum
10
Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h.111.
Rechtssicherheit. Dalam penegakan hukum, ketiga asas tersebut harus sama- sama diperhatikan secara proporsional dan seimbang.
11
1. Poligami Dalam Perspektif Fikih
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Islam bukanlah agama yang pertama kali mengenalkan institusi poligami. Fenomena
poligami sudah ada pada sejarah manusia berabad-abad yang lalu sebelum datangnya Islam. Masyarakat Arab sebelum Islam juga sudah tidak asing lagi
dengan praktik-praktik poligami dalam kehidupan sehari-harinya. Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak
menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti
keharusan berlaku adil di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligaminya yaitu surah an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129.
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yatim bilamana kamu mengawininya maka kawinilah wanita- wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”
11
Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta: Jurisprudence Press, 2012,h. 84.
Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai berikut:
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesunguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang laki-laki beristeri sampai dengan empat orang wanita saja dalam waktu yang sama. Penegasan ini
dinyatakan dalam bentuk perintah. Akan tetapi, perintah pada ayat di atas hukumnya tidak dengan sendirinya menyatakan wajib seperti halnya perintah
melakukan shalat lima waktu atau puasa di bulan ramadhan.
12
Instrument hukum poligami tersebut hukumnya mubah, artinya bebas dilakukan oleh
setiap lelaki muslim selama yang bersangkutan memenuhi persyaratan untuk dapat melakukannya dengan adil dan memberikan kecukupan kepada isteri-
isterinya. Namun dalam hal ini yang perlu dingat adalah prinsip murni dalam
12
Muhammad Thalib, Tuntunan Poligami dan Keutamaannya, Bandung :Irsyad Baitus Salam, 2001, h.18.
Islam adalah monogami, yakni perkawinan antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tanpa perceraian.
13
Sebagaimana yang penulis kutip dari penjelasan yang disampaikan oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya yang
mengambil pendapat dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Quran begitu berat untuk menerima institusi poligami,
tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka Al-Quran membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus
adil. Dengan mengutip al-Thabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.
14
Berbeda dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut dengan
Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama sepakat
tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bergmacam-macam. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan
mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-
Syafi’i juga
13
Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Terj., Nur Rachman, Syari’ah
Demokratik, Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996, h.204.
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004, h.158.