muhshan. Hadist di atas menunjukkan bahwasanya hukum Islam sangatlah adil dan dikenakan bagi siapa saja tanpa pandang bulu bahkan sampai pada sahabat terdekat
Nabi sekalipun. Hal di atas adalah beberapa kandungan Al- Qur’an dan Sunnah yang
menjelaskan sekaligus memerintahkan untuk memberlakukan hukuman rajam.
C. Pandangan Ulama tentang Pemberlakuan Pidana Rajam
a. Ulama yang setuju dengan pemberlakuan Pidana Rajam
Para ulama sepakat menyatakan bahwa pelaku zina muhshan dihukum dengan hukuman rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati terutama Al-Mazhahib Al-
Arba’ah Mazhab yang empat
49
yaitu mazhab Hanafi, maliki, Syafi’i dan Hambali.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW yang secara umum yaitu :
ع ها ها ع
س ع :
حي ا س ي ع ها ص ها س ا ح اا س
: ا ج
, ت ج
, ع ج ا ع ت ج
س ا
Dari Masruq dari Abdillah ra. berakta bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal : orang
yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari jamaah HR. Muslim
50
. Dan hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah salah satu istri Rasulullah saw
51
:
49
Catatan kaki No.7, pada hadist No.2 dalam kitab hudud di dalam buku Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughu al-Maram min adillati al-Ahkam,
Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H, h. 270.
50
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, Darul Fikri: juz ke 2, 1998, h. 107, hadist no: 4194
51
Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulughu al-Maram
min adillati al-Ahkam, Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H, hadist No. 2 pada kitab jinayat, h. 254.
ها س ع ع ها ي شئ ع ع
س ي ع ها ص :
ح اإ س حيا خ ا
: ج يف
ح ا ,
يف ا ع س ي ج ,
اسإا ي ج
أا ي أ ي أ يف س ها
حيف ححص س ا ا أ ا
ح ا .
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a, dari Rasulullah saw. Bersabda: tidak halal membunuh
seorang muslim melainkan lantaran tiga perkara: muhshan yang berzina maka dirajam dia, dan seorang muslim yang membunuh seorang muslim
dengan sengaja maka dia dibalas dengan dibunuh, dan seorang laki-laki yang keluar dari Islam kemudian memerangi Allah dan Rasul-Nya maka
dibunuhlah dia atau disalib atau dibuang dia dari tanah airnya. HR. Abu
Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Hakim
52
. Dalam Al-
Qur’an ayat rajam tak tercantum. Namun seperti apa yang telah dibahas di atas dalam kandungan Nash Al-
Qur’an mengenai rajam, sejumlah kitab fikih menjelaskan bahwa pada mulanya ayat rajam itu temaktub dalam Al-
Qur’an. Dalam perkembanganya, ayat itu dihapuskan namun hukumnya tetap berlaku naskh
al- rasm wa baqa’ al-hukm yaitu lafadznya ditiadakan namun hukumnya tetap
diberlakukan
53
. Menurut Ismaily Ayat tersebut berbunyi
54
:
ج ف ي ا إ يش ا خيش ا ها ا ا
52
Abu Daud Sulaiman Ibnu Al- Asy’ast Al-Sajsatany w 275 H, Sunan Abu Daud, yang ditulis
oleh Sidqi Muhammad Jamal, Darul Fikri: juz ke 3, 1994, h. 135, hadist no: 4243 lihat A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-
‘Atsqalani, Bandung: Diponogoro, 1999, cetakan ke-23, hadist No. 1188, h. 521. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al-
‘Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378
H, h. 271, hadist No. 5 pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 1 dan 2.
53
Kulliyat Al- Mu’allimin Al-Islamiah, al-Bayan fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, Ponorogo:
Darussalam press, 1998, h. 76.
54
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 101-102, yang dikutip dari As-
San’ani, Subul as-Salam, Jilid 4, h. 5-6, dan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, h. 350.
laki-laki tua dan perempuan tua yang berzina, maka rajamlah secara sekaligus, sebagai balasan dari Allah.
Hal ini ditambahkan oleh An- Nasa’i dalam buku Muhammad Abduh malik
bahwasanya ayat tersebut tepatnya berada dalam surat Al-Ahzab, kemudian dalam Al-Muwattha juga mencantumkan hadist itu bersumber dari Yahya bin Said dari Ibnu
Musayyab.
Ayat dan hadist berikut inilah yang menjadi pegangan para ulama pendukung hukum rajam. Sebuah hadits menyebutkan,
............. ي ا ت ا إ
حأ ع ها ف ٌ ح ج ا إ
, ت أ
ح ا ,
فا ع إا أ ا ا
Artinya: Bahwa sesungguhnya rajam itu ada di dalam Kitabullah, yang wajib diperlakukan buat laki-laki dan perempuan yang berzina muhshan, ketika
sudah cukup bukti, atau sudah hamil atau mengaku berzina HR. Bukhari
55
. Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan sejarah pemberlakuannya sampai masa
Rasulullah wafat hukuman rajam masih diberlakukankan dan dilestarikan sampai pada masa khilafah Ali bin abi Thalib dan seterusnya, maka dengan adanya Sunnah
Nabawiyyah dan Atsar dari para sahabat maka ulama beserta jumhur bergegas bahwasanya Pidana rajam adalah perintah Allah dan Rasul nya, yang mana ini
merupakan Syariat Islamiyah yang mesti dipertahankan. Seperti di sampaikan di atas
55
Abu Hasan Nur Addin Muhammad Ibnu Abdul Hadi Assanadi w 1138 H, Shahih Bukhari, Beirut Libanon: Darul Kutub Ilmiah, 1998, h. 338, hadist no: 4560.
walau dalam Al- qur’an tidak tertera tentang ayat rajam namun dahulu ayat tersebut
pernah ada, seperti apa yang disampaikan di awal.
b. Ulama yang tidak setuju dengan Pemberlakuan Pidana Rajam
Kelompok Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwasanya ayat atau hadist
yang menegaskan tentang pidana rajam bagi pezina muhshan sudah dihapuskan oleh ayat al-
Qur’an al-Nur: 2, yaitu :
Artinya: Pezina perempuan dan laki-laki, pukullah sebanyak seratus kali dera. Janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang beriman Q.S.An-Nuur;2.
Memang Al- Qur’an sendiri seperti dalam Mushaf Utsmani, tidak
membedakan antara zina muhshan dan ghair muhshan. Pertimbangan ini sekalipun hadir dengan argumen yang dipertimbangkan oleh kaum Khawarij dan Azariqah
sebagai salah satu argumen untuk menolak penerapan pidana rajam
56
.
Dapat dikatakan pendapat kelompok ini bahwa ayat yang terkait dengan sanksi hukum seperti rajam merupakan fikih jinayat Al-
Qur’an yang pada tingkat
56
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 , Cet Ke-1, h. 35.
implementasinya tak otomatis bisa dijalankan. Artinya, umat Islam bisa mencari sanksi-sanksi hukum yang paling mungkin dan efektif untuk menjerakan para pelaku
kriminal. Bisa dengan cara dipenjara atau yang lainnya. Ibnu Zaid pernah mengusulkan agar orang yang berzina dilarang menikah sampai yang bersangkutan
meninggal dunia
57
. Sebagian ulama, seperti Muhammad Syahrur, berpandangan bahwa hukum potong tangan dan rajam merupakan hukum maksimal al-hadd al-
a`la yang hanya bisa dijalankan ketika sanksi-sanksi hukum di bawahnya tak lagi efektif untuk mengurangi tingkat kriminalitas
58
.
Dengan memperlakukan ayat-ayat jinayat sebagai fikih al- Qur’an, kaum
golongan kedua yang tidak setuju akan pemberlakuan hukuman rajam berpendapat untuk tidak lagi terikat supaya memaksakan penerapan sanksi-sanksi hukum itu
seperti yang secara harfiah disebut dalam Al- Qur’an. Maka dapat mencari jenis-jenis
hukum lain yang lebih relevan dan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Yang penting tujuan dari sanksi-sanksi hukum Islam untuk menjerakan para pelaku tindak
pidana sudah tercapai.
Menurut Azyumardi Azra’mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Rajam hukuman sampai mati stoning to death bagi pezina laki-laki dan perempuan yang sudah atau pernah menikah muhshan beliau memandang bahwa rajam
merupakan hukum hudud yang kontraversial dikalangan ulama dan fuqaha. Terdapat
57
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, h. 79.
58
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid III, h. 70.
perbedaan pendapat tentang hukum dasarnya dalil naqli, baik penetapan hukum rajam, maupun metode pelaksanaannya
59
.
Beliau mengatakan bahwasanya dalam Al- Quran, tidak ada satu ayatpun yang memerintahkan tentang rajam bagi orang yang telah berzina, jika telah pernah
menikah
60
. Dalam Al-Quran hanyalah perintah cambuk seratus kali. Dapat dilihat pada ayat yang artinya :
Artinya: Perempuan yang berzina, dan laki-laki yang berzina, maka deralah keduanya, masing-masingseratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka, disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang beriman QS. Al-Nur ayat: 2.
Mengenai ayat lain yang ditafsirkan sebagian ulama yang menggiring kaum penzina dirajam, yaitu :
59
Lihat pada Deden gunawan, Hukum Rajam di Aceh, Detik News: Kamis, 17092009, 18:51 WIB. Lihat juga pada http:husnilatief.wordpress.comartikel-jurnal.
60
Ungkapan Azyumardi Azra’ yang ditulis dalam makalah Husni Mubarak A. Latief, Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun Jinayat di Aceh, Jurnal Sosio religia, 3, Mei 2010, Vol. 9,
No. 3.
Artinya: Terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan “ fahisyah ” keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu, yang menyaksikannya. Kemudian apabila empat saksi itu telah memberikan penyaksian, maka
kurunglah wanita-wanita penzina itu dalam rumah sampai menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya QS.Al-
Nisa’ ayat: l5. Dari kedua ayat tersebut di atas Q.S. Al-Nur 2 dan Q.S. Al-Nisa l5 tidak
menggunakan kata rajam, hanya kata “dera seratus” dan mengurung di rumah sampai
ajalnya datang atau ada cara lain. Khusus surah Al- Nur l5 dengan kata “fahisyah”
terdapat dua tafsir, pertama zina biasa, yang kedua, zina luar biasa, yaitu antara perempuan dengan perempuan homoseks dan itupun hukumannya bukan rajam.
Kemudian syarat yang lebih besar dalam persaksian ada empat orang saksi mata melihat langsung secara transparan, persis pedang dimasukkan ke dalam sarungnya
61
.
Beliau berpendapat bahwa yang digunakan oleh ulama yang cenderung menghukum rajam kaum penzina muhshsan yang sudah kawin, adalah hadist ahad
dha’if. Dari seorang perawi Ubadah bin Shamit
62
;
ا ع ع ت
: س ا ي ع ها ص ها س
: ع ا خ ع ا خ
ها عج ي س
. ج ا ئ ج ي ي ا س
ئ ج ا
ا ا اا ع ج ا
يئ س ا
61
Azyumardi Azra’ dan Arskal Salim, Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003. Lihat juga pada dialog Husni Mubarak A. Latif dengan Al Yasa Abu Bakar, Hukuman
Rajam Dalam
Serambi Indonesia,
13 November
2009, yang
ditulis dalam
http:husnilatif.wordpress.comartikel -jurnal.
62
Imam Abu Hasan Muslim Ibnu Hajjaji Al-Quraisy An-Naisaburi w 206-261, Shahih Muslim, Darul Fikri: juz ke 2, 1998, h. 108, hadist no: 3211.
Artinya: Dari Ubadah Ibnu Shamit berkata: Ambillah olehmu dariku, Allah telah membukakan jalan bagi mereka; lajang dengan lajang, dicambuk seratus
kali, dan dibuang selama setahun, janda dengan duda, dicambuk seratus kali dan di rajam HR.
Jama’ah: Muslim, Abu Daud dan Nasa’i kecuali Bukhari dan nasai.
Menurut beliau hukum yang bersumber dari hukum pertama Al-Quran, dan sumber kedua Hadis jelas ada perbedaannya. Al-Quran hanya menyebut dera
cambuk seratus kali lajang atau janda, sedang Hadis menambah dibuang satu tahun lajang, dan di rajam janda. Mengenai kedudukan hukum pertama dan kedua
selalu berbeda. Satu dari Allah dan yang satu dari Nabi. Karena Hadis tidak selalu penjelasan dari Al-Quran, dan juga tidak selalu berlaku universal, tapi terkadang
hanya lokal saja. Maka harus hati-hati dan memahaminya juga lain. Terlebih jika hadisnya ahad
dha’if
63
. Mengenai had is dha’if ulama Syafii memakainya jika
menyangkut ibadah atau fadhail ‘amal pahala-pahala dalam amal supaya
merangsang pengamalan. Tapi jika menyangkut hukum, ulama Sunni termasuk Syafii menolak menjadikannya rujukan.
Karena adanya kemusykilah dalam hukum rajam tersebut, maka negeri-negeri Islam terjadi penerapan hukum ini kontraversial. Negara-negara yang menulis dalam
konstutusinya berlandaskan Al-Quran, seperti Saudi Arabiyah dan negara-negara Teluk berusaha menerapkannya. Sebaliknya, negara-negara yang mengadopsi hukum
63
Ungkapan Azyumardi Azra’ yang ditulis dalam makalah Husni Mubarak A. Latief, Hukuman Rajam dalam Rancangan Qanun Jinayat di Aceh, Jurnal Sosio religia, 3, Mei 2010, Vol. 9,
No. 3, lihat juga dalam Deden gunawan, Hukum Rajam di Aceh, Detik News: Kamis, 17092009, 18:51 WIB. Lihat juga pada http:husnilatief.wordpress.comartikel-jurnal.
pidana Barat seperti Mesir, Syria, Aljazair dan Maroko tidak memberlakukan hukum rajam tersebut. Di Pakistan pernah terjadi diskusi panjang tentang hukum rajam
dengan mengambil qiyas di zaman nabi lalu disepakati bahwa sebenarnya hukuman rajam tidak ada dalam Al-Quran. Karena itu hukum rajam yang dijalankan sebagian
negeri Islam, merupakan hukuman tambahan berkenaan dengan hak Allah hududullah
yang diputuskan secara ta’zir kebijakan hakim . Karena kebijakan hakim yang sangat berperan, maka dera seratus pun dianggap hukum maksimal lalu
memperlakukan yang minimal yaitu hanya di dera 25 kali, seperti yang dipraktekkan di Sudan.
Menurut beliau yang pernah dipraktekkan Rasul sebelum turunnya Surah Al- Nur, sehingga tidak ada ketentuan ini berlaku universal, dan masih harus
dilaksanakan yaitu Seorang lelaki mendatangi Rasul lalu berkata, “ ya Rasul saya telah berzina
“, tapi Rasul tidak menghiraukan dan memalingkan muka, sehingga lelaki itu mengulang sampai empat kali, dan pergi mencari 4 saksi, setelah menghadap Rasul,
dengan saksi-saksinya, baru Rasul bertanya, “ apa kamu tidak gila ?’. Dia jawab “
tidak “. Kemudian Rasul bertanya lagi, “ apa kamu sudah pernah nikah ?. “ Dijawab “ya”, Kalau begitu, bawalah orang ini dan rajamlah HR. Bukhari.
Jika seorang hakim mengambil hukum qiyas dari hadis dhaif dari Ubadah diatas, atau menggunakan hadis yang sudah mansukh dengan turunnya Surah Al-Nur
dengan menambah kata “ rajam ” atau meyakini bahwa riwayat Bukhari bersifat universal dan bukan local, serta masih berlaku, mengapa Rasul ketika dilapori 4 kali
baru mau menoleh menerima laporan? Hakikatnya, agar menghindarkan si pelapor
dari hukuman karena dasar utama Islam adalah etika makarim al- akhlaq. Tapi terlihat sipelaku sendiri terlalu bernafsu mau sekali dihukum lalu dijalankan.
Seorang hakim perlu mengetahui, bahwa Al-Quran tidak pernah menyebut istilah “rajam” secara akspelisit. Satu-satunya ayat yang ada adalah istilah “ fahisyah
” itupun mutasyabihat meragukan.
Jadi menurut hemat beliau , dalil “merajam” penzina itu lemah sekali. Itulah
sebabnya sehingga di negara Islam Pakistan sudah menghentikan hukum rajam setelah selesai diskusi panjang ulama mengenai rajam yang tidak ditemukan dalam
Al-Quran.
Akhirnya berdasarkan uraian singkat di atas yakni alasan rajam menggunakan ayat “fahisyah” mutasyabihat atau hadist dhaif atau ayat yang sudah mansukh
dengan turunnya surah Al-Nur, Dan yang lebih penting diketahui menurut beliau hukum rajam itu sendiri tidak ditemukan secara ekspelisit dalam Al-Quran.
D. Pelaksanaan Pidana Rajam dalam Hukum Islam