Adanya Saksi yang Bersumpah di depan Mahkamah

karena tidak tahan atas lemparan batu hukuman rajam. Lalu orang-orang mengejarnya beramai-ramai dan akhirnya mati. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau menyesali perbuatan orang-orang itu dan bersabda: “Mengapa tidak kalian biarkan saja dia lari” Sedangkan bila seseorang tidak mau mengakui perbuatan zinanya, maka tidak bisa dihukum. Meskipun pasangan zinanya telah mengaku. Dasarnya adalah sebuah hadits berikut 89 : Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dan berkata bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk memanggilnya dan menanyakannya, tapi wanita itu tidak mengakuinya. Maka Rasulullah SAW menghukum laki-laki yang mengaku dan melepaskan wanita yang tidak mengaku.

b. Adanya Saksi yang Bersumpah di depan Mahkamah

Ketetapan bahwa seseorang telah berzina juga bisa dilakukan berdasarkan adanya saksi-saksi. Namun persaksian atas tuduhan zina itu sangat berat, karena tuduhan zina sendiri akan merusak kehormatan dan martabat seseorang, bahkan kehormatan keluarga dan juga anak keturunannya. Sehingga tidak sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Dan sebaliknya, tuduhan zina bila tidak 89 A. Hassan,Tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani, Bandung: Diponogoro, 1999, cetakan ke-23, hadist No. 1190, h. 522. Lihat juga pada Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H, h. 272, hadist No. 9 dan 10, pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 4 dan 5. lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat. Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan 90 zina adalah : 1. Jumlah saksi minimal empat orang. Allah berfirman 91 ; “Dan terhadap wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu yang menyaksikan ”.. 2. Bila jumlah yang bersaksi itu kurang dari empat, maka mereka yang bersaksi itulah yang harus dihukum hudud. Dalilnya adalah yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khattab terhadap tiga orang yang bersaksi atas tuduhan zina Al-Mughirah. Mereka adalah Abu Bakarah, Nafi` dan Syibl bin Ma`bad. 3. Para saksi ini sudah baligh semua. Bila salah satunya belum baligh maka persaksian itu tidak syah. 4. Para saksi ini adalah orang-orang yang waras akalnya. 5. Para saksi ini adalah orang-orang yang beragama Islam. 6. Para saksi ini melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina. 7. Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar, bukan dengan bahasa kiasan. 90 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, cetakan ke-1, h. 27. 91 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, cetakan ke-1, h. 27. 8. Para saksi melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan dalam satu waktu yang apabila melihatnya bergantian, maka tidak syah persksian mereka. 9. Para saksi ini semuanya laki-laki. Bila ada salah satunya wanita, maka persaksian mereka tidak syah. Di luar kedua hal diatas, maka tidak bisa dijadikan dasar hukuman rajam, tetapi bisa dilakukan hukuman ta`zir karena tidak menuntut proses yang telah ditetapkan dalam syariat secara baku. Para fuqaha sepakat bahwa pelaksanaan hukuman rajam dilakukan oleh para imam dan wakilnya 92 , hal ini karena merupakakn hukuman had itu adalah hak allah. Adapun kehadiran imam tidak menjadi syarat dalam melaksanakan hukuman dalam beberapa hadist disebutkan bahwa Rasulalllah selalu memerintahkan hukuman had kepada para sahabat dan beliau tidak ikut menghadiri acara hukuman tersebut seperti dalam hadist Maiz dan lainnya. Akan tetapi persetujuan imam sangat diperlukan dalam pelaksanaannya. Satu hal yang menyebabkan beratnya hukuman zina muhsan adalah karena ikhsannya. 92 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 38. Lihat juga pada kandungan hadist, Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani yang ditulis oleh Mahmud Amin Nawawi, Bulugh al-Maram min adillati al-Ahkam, Surabaya: Maktabah Shahabat Ilmu, 1378 H, h. 271, hadist No.7, pada kitab hudud, dan lihat juga pada catatan kaki hadist ini No. 5. Adapun cara untuk melaksanakan hukuman rajam menurut jumhur adalah sebagai berikut 93 : 1. Hukuman rajam harus dilaksanakan dengan terbuka di muka umum sesuai dengan fiman Allah surat An-Nur 94 . 2. Apabila yang dihukum seoang laki-laki hukuman dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang atau diikat. Hal ini didasarkan hadis ketika Rasul merajam Maiz dan orang Yahudi. 3. Apabila melarikan diri sedangkan pembuktiannya dengan pengakuan maka tidak perlu dikejar, sedangkan apabila pembuktiannya dengan empat orang saksi maka terhukum harus dikejar. 4. Apabila yang dirajam itu wanita menurut imam Hanafi dan imam Syafi’i terhukum boleh dipendam sampai batas dada 95 . Karena cara demikian lebih menutup auratnya, adapun mazhab Maliki dan rajah Hambali wanita juga tidak dipendam sama halnya dengan laki-laki. 5. Lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila dibuktikan dengan empat orang saksi, kemudian oleh para pejabat yang ditunjuk dan diteruskan oleh masyarakat. Menurut abu Hanifah adapun yang lainya tidak demikian. 93 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 41. 94 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 41. 95 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 43. 6. Hukuman rajam ini boleh dilakukan setiap hari atau saat pada musim dingin atau panas dalam keadaan sehat atau sakit karena hukuman ini berakhir pada kematian akan tetapi jika terhukum itu wanita yang sedang hamil maka pelaksanaan hukuman di tunda sampai terhukum melahirkan. Karena apabila hukuman tetap dilaksanakan maka sama dengan menghukum bayi yang berada dalam kandungan yang tak bersalah. Adapun hal lain yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan rajam seperti apa yang telah dijelaskan oleh Muhammad Abduh Malik 96 pidana rajam dilaksanakan dalam waktu yang kondusif atau pada waktu yang tidak dapat menimbulkan dampak samping yang negatif, pada si terhukum. Pada dasarnya hukuman dapat dilaksanakan setelah adanya bukti dan pengakuan dari pelaku, kecuali jika ada hal-hal tertentu yang diperlukan pengunduran waktu pelaksanaan hukuman rajam. Apabila terhukum adalah wanita yang dalam keadaan hamil pelaksanaan hukuman rajam ditunda sampai dia melahirkan anak itu dan anak itu sampai dia menyusui serta telah dapat memakan makanan lain semisal roti 97 . Dan jika hukuman rajam telah dijatukan pada si terhukum maka anak yang dilahirkan nya menjadi tanggungan negara dengan biaya negara. Apabila terhukum dalam keadaan sakit, maka pelaksanaan hukuman rajam dapat diundurkan sampai keadaan terhukum dipandang memungkinkan dalam kesehatan. 96 Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakrta fakultas Syariah dan Hukum, masih aktif mengajar sampai saat ini. 97 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang dan Satelit Buana, 2003, h. 57.

2. Tempat Pelaksanaan Pidana Rajam