Kandungan HAM tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati

B. Kandungan HAM tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati

Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah sesuatu yang dikecam, instrumen ini membahas suatu hak tunggal yang tercantum dalam DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 14 dan kovenant Internasional tentang hak sipil dan politik 15 . Indonesia telah mengesahkan konvensi tersebut walaupun tidak mengesahkan Protokol Opsionalnya 16 .

a. Latar Belakang Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati

Penyiksaan dipandang adalah perilaku paling serius dan kejam oleh komunitas Internasional, memang terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelarangan penyiksaan dalam kenyataan Jus Cogens pelarangan yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, melakukan penyiksaan merupakan kejahatan internasional menurut statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional 17 . Dalam hal ini HAM mempunyai pengadilan yang khusus di tempat pemerintahan indonesia sesuai pasal 2 Bab II 18 , yang mana pengadilan HAM tersebut 14 Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A III, tertanggal 10 Desember 1948 15 Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, di tetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi 217A III, tertanggal 10 Desember 1948. 16 Kata Pengantar Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, Cet ke-1, h. 154. 17 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, Jalarta: Salemba Diniyah, 2003, edisi pertama, h. 24, yang dikutip dari Decklarasi Vienna Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Komnas HAM, 1997, h. 32. 18 Kata Pengantar Philip Alston, Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, Cet ke-1, h. 147. berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi hukum pengadilan negri. Dalam ratifikasi HAM konferensi Dunia Hak Asasi Manusia menyambut baik ratifikasi oleh banyak Negara anggota terhadap Konvensi melawan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam 19 , tidak berprikemanusiaan atau merendahkan martabat, serta mendorong agar Negara anggota lain secepatnya untuk meratifikasinya. Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia pun menekan bahwa salah satu pelanggaran terhadap martabat manusia yang paling parah adalah penyiksaan, yang berakibat pada kehancuran martabat dan rusaknya kemampuan korban untuk melanjutkan hidup dan aktivitasnya dan juga hukuman mati. Konferensi dunia juga mendesak untuk mengakhiri segala jenis hukuman atau praktek penyiksaan dan memberantas kejahatan ini untuk selama-lamanya, dengan menerapkan sepenuhnya Deklarsi Hak Asasi Manusia dan juga konvensi-konvensi lain yang relevan. Dalam hal ini perhatian yang khusus diberikan untuk menjamin penghormatan universal dan penerapan efektifitas dari prinsip-prinsip Etika Medis yang relevan dengan peranan petugas kesehatan, terutama dokter dalam perlindungan para tahanan dan tawanan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam tidak berprikemanusiaan dan merendahkan martabat lainya yang disetujui sidang PBB. 19 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Deklarasi Vienna Program Aksi dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia, Jakarta: diterbitkan oleh KOMNAS HAM edisi Bahasa Indonesia, 1997, h. 98-99. Pada tanggal 9 Desember 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan persetujuan bersama menerima revolusi 3452 XXX. Deklarasi yang ditambah pada resolusi ini merupakan bukti bagi pendapat bahwa larangan penyiksaan adalah prinsip yang terdapat pada hukum Internasional, maka dalam hal ini erat hubungannya antara HAM dengan hukum Internasional 20 . Referensi lebih lanjut dapat dibuat untuk resolusi 3448 dan 3453 yang diterima oleh majelis umum tanggal yang sama, dan resolusi 3185 yang diterima oleh majelis pada tanggal 13 Desember 1946 21 . Komisi tentang Hak Asasi Manusia telah diminta untuk membuat konsep konvensi yang menentang penyiksaan dan kekejaman, perlakuan yang tidak berprikemanusiaan atau perlakuan yang menurunkan martabat atau penghukuman yang sejalan dengan prinsip yang tercakup dalam deklarasi. Dengan mempertimbangkan pasal 5 dan 7 dari Perjanjian Internasional mengenai hak sipil dan politik yang kedua-duanya memberikan bahwa tidak seorangpun dapat menjadi korban penyiksaan atau kekejaman perlakuan yang tidak berprikemanusian, menurunkan martabat manusia atau penghukuman 22 yang menyiksa atau menghilangkan nyawa. 20 I.C.J. Reports, Bercelona Traction Case, 1970, h.3 sd h. 32, kemudian lihat juga Brownlie, Principles Of Public International Law, edisi ke-3, 1979, h. 572 sd h. 596. 21 Ian Brownlie, Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993, h. 26. 22 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 45-46.

b. Ruang Lingkup Konvensi Anti Penyiksaan dan Hukuman Mati

Pasal 1 konvensi menetapkan tentang ruang lingkup penyiksaan, yang berarti segala tindak apapun yang dengan tindakan itu rasa sakit atau penderitaan yang berat baik fisik ataupun mental, apabila dilakukan oleh pejabat publik dalam kapasitas resmi dan penderitaan atau penyiksaan tidak termasuk atau mencangkup rasa sakit yang timbul semata-mata berasal dari inheren dalam atau yang terjadi akibat sanksi hukum. Defenisi ini adalah defenisi penyiksaan yang paling kompherensif yang ditetapkan dewasa ini, diberlakukan sebagai rujukan badan-badan internasional 23 baik regional maupun nasional. Pembukaan konvensi itu sendiri menyatakan bahwa konvensi tersebut pasal 5 dan pasal 7 DUHAM kovenan Internasional tentang hak sipil dan politik. Larangan terhadap penyiksaan bersifat mutlak sehingga setiap negara wajib mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial dan tindakan lainnya yang efektif 24 untuk memastikan pencegahan penyiksaan. Tidak ada alasan atau keadaan luar biasa yang dapat digunakan untuk membenarkan penyiksaan 25 . Penyiksaan lazimnya dibedakan dari perlakuan dan penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Dalam hal maksud tingkat kehebatan dan kedahsyatan rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Dalam Irland V. UK , Mahkamah Hak Asasi Eropa mengamati bahwa istilah penyiksaan menyematkan 23 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 155. 24 DUHAM pasal 2 ayat 1 25 DUHAM pasal 2 ayat 2 stigma khusus untuk menyengaja perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan penderitaan yang sangat serius dan kejam. Tyrer UK dan Mahkamah yang sama berpendapat bahwa kedahsyatan penderitaan membenarkan penggunaan istilah “tidak manusiawi” sebagai lebih tinggi dari pada apa yang mungkin digambarkan sebagai merendahkan martabat. Tidak manusiawi berhubungan dengan rasa sakit dan derita, sedangkan merendahkan martabat berhubungan dengan penghinaan. Jadi, terdapat skala yang sudah dipradugakan mengenai kehebatan yang diderita yang dimulai dari perendahan martabat yang berujung pada ketidak manusiawian dan sampai pada puncaknya yaitu penyiksaan. Maka dari itu suatu tindakan bisa lolos dari katagori penyiksaan ia tetap bisa dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat yang semuanya dilarang oleh kovenant 26 . Tujuan utama ketentuan itu ialah untuk melindungi martabat sekaligus keutuhan fisik dan mental individu.

c. Larangan Penyiksaan dan Hukuman Mati

Bagi banyak negara larangan penyiksaan itu sendiri dapat diterima, ada diskusi yang masih berlangsung tentang lingkup defenisi penyiksaan untuk beberapa negara terdapat hirarki latin yang memandang penyiksaan merupakan tindakan yang paling keji dan tunduk pada larangan mutlak, sementara itu perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat sering dianggap kurang serius dari pada penyiksaan. Namun konvensi itu juga mencegah segala sesuatu yang mencapai 26 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 47. ambang penyiksaan tetapi meskipun demikian berada dalam lingkup perjanjian 27 . Di dalam regional pada mulanya tampak keengganan untuk mengutuk kegiatan negara sebagai penyiksaan karena alasan politik dan diplomatik, istilah perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat sering kali lebih disukai 28 . Adapun kandungan tentang Larangan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat terdapat dalam pasal-pasal berikut: Pasal 7 DUHAM yang berisi 29 : tidak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan objek eksperiment medis atau ilmiah tanpa persetujuannya. Larangan atas penyiksaan cukup mapan dan dianggap sebagai norma mutlak Hukum Internasional. Kovenant internasional tentang hak sipil dan politik tidak mendefinisikan penyiksaan, tapi pasal 1 ayat 1 konvensi menentang penyiksaan dan bentuk perlakuan dan hukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi, dan 27 DUHAM pasal 16. 28 Lihat sebagai contoh, pendekatan pengadilan HAM eropa tentang perlakuan atas kekuatan keamanan inggris terhadap warga negara Irlandia – ireland v United Kingdom, Seri A, No. 25, 1978. 29 Ahmad Kosasih, HAM dalam Persfektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat, Jalarta: Salemba Diniyah, 2003, edisi pertama, h. 183, yang dikutip dari Decklarasi Vienna Program Aksi Konferensi Dunia Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Komnas HAM, 1997, h.25. merendahkan martabat. 30 Memuat defenisi yang luas diterima yang menentukan bahwa : Untuk tujuan konvensi ini, istilah penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau derita hebat, baik jasmani maupun mental pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga dengan menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan atau mengancam atau memaksa orang atau orang ketiga atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada deskriminalisasi, apabila rasa sakit dan penderiataan tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan dari dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari melekat pada atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlalu. Ketentuan hukuman rajam sampai mati itu antara lain berlawanan dengan; a. Deklarasi Umum HAM DUHAM pasal 7, b. Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan martabat manusia, c. Konvensi Hak Sipil dan Politik; dan 4 UUD 1945, dan UU lain yang sedang berlaku di Indonesia, Ancaman hukuman rajam dengan apa yang ada di atas, apabila kemudian dieksekusi menjadi bermasalah dalam hal bahwa eksekusi itu harus berakibat kepada pelukaan yang menyiksa, dan kemudian dilakukan dengan cara-cara yang tidak semua orang mungkin mampu melihatnya pada situasi di masa kini. Sedangkan hukuman mati berlawanan dengan DUHAM menyatakan 30 1465 UNTS, h. 85.lihat juga pasal 7 ayat 2, butir E tentang Statuta Mahkamah Pidana Internasional. UN Doc. ACONF.1839 17 juli 1998. a. hak hidup adalah hak asasi Pasal 3 DUHAM: setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. b. Hak hidup sebagai hak asasi juga disebut dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik Pasal 6: Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum, Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. c. Dalam UUD 1945, hak untuk hidup juga diakui Pasal 28A: setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kemudian Pasal 28I: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. PBB juga telah mengeluarkan protokol tambahan tentang penghapusan hukuman mati namun meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik, Indonesia tidak turut meratifikasi Protokol ini karena beberapa UU masih mencantumkan ancaman hukuman mati. Di samping itu, hukuman mati juga dilarang dalam konvensi eropa untuk perlindungan HAM dan kebebasan mendasar dalam statuta Roma tentang International Criminal Court, yang juga berasal dari nilai-nilai yang diakui secara internasional 31 . 31 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 77. Isi dan proses lahirnya Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat juga suatu hal yang patut diperhatikan dan dipelajari. Pada bagian “mengingat” dari Qanun Jinayat, selain UUD 1945, dicantumkan pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886. Pencantuman ini memperlihatkan pandangan perumus Draft Qanun tersebut. Pembuat draft juga memandang hukuman itu juga sesuai dengan UUD 1945 dan UU HAM 32 . Pemaparan di bagian awal tulisan itu menunjukkan bahwa hukuman rajam bertentang dengan DUHAM, Konvensi Anti penyiksaan, Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan secara asumstif juga dengan UUD 1945 meskipun fakta yang benar atas hal ini baru dapat diperoleh jika suatu saat ada judicial review terhadap isi Qanun Jinayat. Jadi, ada semacam kontradiksi dalam pencantuman diktu m “mengingat” dengan isi Qanun. Sampai dengan sekarang penjatuhan hukuman mati tetap menjadi suatu hal yang kontroversial, melanggar HAM dan karena itu banyak yang menentang sekitar 32 Saifuddin Bantasyam, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh, Tabloid KONTRAS No. 509, Tahun XI, 1 - 7 Oktober 2009. 130 negara sudah menghapus hukuman mati, namun ternyata masih pula banyak negara yang mencantumkan hukuman tersebut dalam UU mereka sekitar 50 negara. Seluruh negara di Benua Eropa sudah menghapus hukuman mati. Namun di Amerika Serikat beberapa negara bagian masih menerapkan hukuman mati, bahkan pada masa Clinton menjadi Presiden AS hukuman mati diperluas. Hukuman mati juga diterapkan di Malaysia, Singapura, Vietnam, Jepang, dan negara-negara di jazirah Afrika dan Arab dan lain-lain. Di Indonesia, dikenakan terhadap pelaku kejahatan jenis tertentu seperti terorisme, narkotika dan pembunuhan berencana. Eksekusi hukuman mati dalam Negara Indonesia dilakukan dengan menembak terhukum sampai mati. Karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yang mengakui hak untuk hidup sebagai hak asasi, maka telah pernah dilakukan judicial review terhadap ancaman hukuman mati dalam UU Narkotika. Namun Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak melanggar konstitusi sebab hukuman itu ditujukan untuk menghormati hak orang lain. Dalam Pasal 28J ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. bentuk penyiksaan dan hukuman mati sangat dipandang kejam dan tidak manusiawi, tetapi kadangkala kemudian dijustifikasi dengan pernyataan bahwa pelaksanaan hukuman itu dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Tetapi dalam konteks diskursus HAM internasiona 33 l, Pasal 5 DUHAM yang menyebut: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Sedangkan Pasal 7 Konvensi Hak Sipil dan Politik 34 , mengatur: Tidak seorangpun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Berikutnya terdapat dalam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan meredahkan martabat manusia. Pada intinya menegaskan larangan penyiksaan dan adanya kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. Dengan beberapa penjalasan di atas maka menjadi jelas kiranya landasan berpikir atau berpijak terhadap posisi hukuman rajam sampai mati sebagaimana diatur dalam Qanun Jinayat yang disahkan oleh DPRA beberapa waktu lalu saat berhadapan dengan DUHAM dan konvensi-konvensi internasional HAM lainnya. 33 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 26. 34 Ian Brownlie Dokumen-dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: UI-Press, 1993,edisi ke-2, h. 28.

C. Pelaksanaan Pidana Rajam dan HAM di Indonesia