Kajian mutu minyak sawit kasar dan analisis karakterisrik olein serta stearin sebagai hasil fraksinasinya

(1)

STUDY OF CPO'S QUALITY AND ANALYSIS OF CHARACTERISTICS OF THE OLEIN AND STEARIN AS A RESULT OF PALM OIL FRACTIONATION

Ricky Alberto Sinaga, Slamet Budijanto, Nur Wulandari

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +6285695748663, email: rickyalbertosinaga@gmail.com

ABSTRACT

Crude Palm Oil (CPO) is a vegetable oil obtained from oil palm fruit extraction process (Elais guinneensis) with reddish orange colour. Standards applicable in Indonesia for CPO released by the National Standardization Agency stated in the document SNI 01-2901-2006 include free fatty acids (maximum 0.5%), moisture and impurities (maximum 0.5%), iodine value (50-55 g yodium/100 g), and reddish orange. In addition to chemical characteristics, other characteristics CPO such as carotene content and DOBI are also important to know as additional data. To increase the value-added palm oil, fractionated CPO usually produces two components, namely liquid olein and stearin with solid form. This study aims to obtain quality data CPO based on SNI-01-2901-2006, carotene, DOBI, and investigate the characteristics of the olein and stearin. Analysis of five types of CPO samples show different data on each CPO character. The result showed moisture content and impurities 0.33-5.39%, free fatty acids 3.84-5.88%, iodine value 50.38-54.15 g yodium/100 g, carotene content 428.28-815.56 ppm, and DOBI 1.34-3.11. The variation can be influenced by several factors including the processing of each palm oil mill and palm fruit oil condition of maturity that will be processed into crude palm oil. Fractination process carried out by melted CPO at 50 °C. The melted CPO was cooled until 15 °C with cooling rate 5 °C/30 minutes. Then crystallization carried out at 12°C for 16 hours. Separation was done by vacuum filter to get olein and stearin. The Olein and stearin were produced from fractination were analyzed. The results showed iodine value, slip melting point, and carotene content for olein consecutive 57.75-60.02 g yodium/100 g, 18.33-24 °C, and 438-536 ppm. While for stearin iodine value 34.95-42.32 g yodium/100 g, slip melting point 50.33-52 °C, and carotene content 215-276 ppm. Olein and stearin have very different characteristics. Keyword: CPO, Olein, Stearin, Fractination


(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan di sektor pertanian dan pangan. Beberapa indikator perkembangan bisnis kelapa sawit yang dapat dilihat antara lain peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit dan peningkatan produksi minyak sawit mentah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia pada tahun 2010 mencapai 19.8 juta ton dengan luas areal kelapa sawit 8.4 juta hektar yang tersebar hampir di seluruh provinsi di wilayah Indonesia. Sedangkan untuk total ekspor produk kelapa sawit dan turunannya pada tahun 2009 mencapai 21.2 juta ton dengan nilai US$ 11.6 milyar.

Besarnya produksi minyak sawit Indonesia diikuti dengan terjadinya keragaman kualitas minyak sawit yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, perbedaan varietas kelapa sawit, tingkat kematangan buah sawit yang diolah, dan proses pemanasan di unit pengolahan kelapa sawit. Selain itu, infrakstruktur kebun yang tidak baik dan cuaca buruk menyebabkan buah menginap (restan), dan dapat menyebabkan penurunan kualitas CPO (Hasibuan & Harijanto 2004).

Selain parameter kimia yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam dokumen SNI 01-2901-2006, parameter mutu yang menjadi perhatian dalam perdagangan CPO di pasaran internasional yaitu kandungan karoten dan nilai Deterioration of Bleachability Index (DOBI). Pada tahun 2007 BSN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah melakukan karakterisasi CPO dari 181 pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia, yang menunjukkan bahwa kadar karoten pada CPO Indonesia berkisar 400-700 ppm dan membuktikan bahwa kadar karoten pada sebagian CPO Indonesia belum sesuai dengan persyaratan Codex Alimentarius Commision (CAC 2003). Standar CAC (2003) yang digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional menetapkan bahwa persyaratan kadar karoten CPO 500-2000 ppm sebagaimana tercantum dalam Codex Standard for Named Vegetable Oils CODEX STAN 210 (Amended 2003, 2005) (Hasibuan & Harijanto 2004). Nilai DOBI pada beberapa CPO di Indonesia berada di bawah 2.8. Nilai DOBI minimal yang ditetapkan oleh kebanyakan negara tujuan ekspor sebesar 2.8, nilai ini berdasarkan ketentuan dalam Codex Alimentarius Commision. Dengan demikian nilai DOBI CPO Indonesia masih dibawah standar dan dianggap memiliki mutu yang kurang baik (Anonim 2004).

Salah satu keunggulan yang dimiliki minyak sawit yaitu tingginya kandungan karotenoid yang dimilikinya. Minyak sawit kasar memiliki kandungan karoten sekitar 500-700 ppm (Mustapa et al. 2010). Karoten terutama dari jenis β-karoten merupakan prekursor vitamin A dalam metabolisme tubuh manusia, senyawa antikanker, dapat mencegah penuaan dini dan penyakit kardiovaskuler, menanggulangi kebutaan akibat xeropthalmia, pemusnah radikal bebas, mengurangi penyakit degeneratif, meningkatkan kekebalan tubuh, dan dapat menurunkan atherosclerosis. Karena begitu banyak manfaatnya, karotenoid pada minyak sawit hendaknya dipertahankan dengan mengubah minyak sawit menjadi beberapa produk, seperti minyak kaya karotenoid, konsentrat karotenoid atau zat pewarna yang aman. Di Indonesia, sebagian besar produk olahan dari karotenoid masih diimpor dan harganya relatif mahal. Tahap bleaching dalam pemurnian minyak sawit konvensional dapat mendegradasi karotenoid dalam minyak sawit karena


(3)

tahap-tahap pemurnian minyak sawit, terutama dengan penghilangan tahap bleaching. Koreksi ini menghasilkan minyak sawit yang kaya karotenoid, yang dikenal sebagai minyak sawit merah (red palm oil). Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kadar karotenoid yang terkandung di dalamnya.

Minyak sawit kasar dapat difraksinasi menjadi dua fraksi. Fraksi cair yang dikenal dengan olein dan fraksi padat atau disebut juga stearin. Fraksi olein sering digunakan sebagai minyak goreng sedangkan fraksi stearin dimanfaatkan menjadi margarin. Fraksi olein yang diperoleh memiliki kandungan karoten yang lebih tinggi dibanding pada fraksi stearin. Hal ini disebabkan karena karoten diduga lebih bersifat polar daripada trigliserida. Asam lemak tidak jenuh mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh sehingga karoten yang mempunyai ikatan rangkap lebih mudah larut dalam olein yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (Casiday & Frey 2001).

Fraksinasi minyak sawit dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fraksinasi kering, fraksinasi basah, dan fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Fraksinasi kering lebih disukai karena biaya operasionalnya lebih rendah, tekniknya lebih sederhana, ramah lingkungan, dan menghasilkan yield olein paling tinggi diantara metode fraksinasi lain (O’Brien 2000). Fraksinasi kering dilakukan melalui dua tahap, yaitu kristalisasi dan separasi. Selain keberhasilan proses kristalisasi, kondisi separasi yang optimum juga penting agar efisiensi fraksinasi tercapai (O’Brien

2000).

Untuk memperoleh minyak sawit merah proses fraksinasi dilakukan setelah CPO terlebih dahulu dimurnikan atau dalam bentuk neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Produksi minyak sawit merah akan lebih efisien jika CPO terlebih dahulu difraksinasi kemudian dimurnikan. Apabila CPO dimurnikan terlebih dahulu baru kemudian difraksinasi akan membutuhkan energi dan bahan kimia yang lebih besar dibanding jika CPO terlebih dahulu difraksinasi karena masih terdapat stearin yang sebenarnya menjadi bahan samping dalam pembuatan minyak sawit merah. Di lain pihak proses fraksinasi pada CPO lebih sulit dilakukan karena CPO masih mengandung komponen-komponen minor berupa getah atau lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, air, dan resin. Komponen minor tersebut dapat mengganggu proses pemisahan olein dan stearin (Ketaren 1986). Oleh karena itu penentuan kondisi proses fraksinasi CPO penting untuk dilakukan untuk memperoleh olein dan stearin dengan karakteristik terbaik. Adapun parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas fraksi yang dihasilkan meliputi bilangan iod, kandungan karoten, dan slip melting point.

B.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk (1) memperoleh data mengenai profil mutu minyak sawit kasar (CPO) yang dihasilkan beberapa produsen CPO di Indonesia mencakup kadar air, kadar asam lemak bebas, kadar kotoran, bilangan iod, kadar karoten, dan DOBI; (2) menentukan tahapan fraksinasi beserta kondisi fraksinasi yang sesuai untuk mendapatkan fraksi dengan mutu yang diharapkan pada skala laboratorium; (3) mengetahui karakteristik fraksi olein dan stearin yang dihasilkan.


(4)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA SAWIT

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Tanaman ini adalah tanaman berkeping satu yang masuk dalam genus Elais, family Palmae, kelas divisio Monocotyledonae, subdivisio Angiospermae dengan divisio Spermatophyta. Nama Elaeis berasal dari kata Elaion yang berarti minyak dalam bahasa Yunani, guineensis berasal dari kata Guinea yang berarti Afrika. Jacq berasal dari nama botanis Amerika yang menemukannya, yaitu Jacquine. Tanaman ini tumbuh pada iklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan suhu 22-32 °C (Harley 1997). Kelapa sawit berasal dari Afrika Barat dan di Indonesia tanaman ini pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor oleh orang Belanda pada tahun 1848 (Sambanthamurthi et al. 2000).

Kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3-4 tahun. Kematangan buah yang optimum adalah pada umur 15-17 minggu setelah pembuahan. Untuk memperoleh kelapa sawit yang baik, panen kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarpnya maksimum dan kandungan asam lemak bebasnya minimum, yaitu saat buah mencapai tingkat kematangan tertentu yang dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada setiap tandan. Kadar minyak sawit dan minyak inti sawit yang tertinggi diperoleh dari buah sawit yang berumur 16 minggu (Ketaren 1986). Kriteria kematangan dapat dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan. Kenaikan jumlah buah yang rontok 5-74% menunjukkan kenaikan kandungan minyak pada mesokarp sebesar 5% dan kadar asam lemak bebas meningkat dari 0.5% menjadi 2.9% (Ketaren 1986).

Ada beberapa varietas tanaman sawit. Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buahnya, tanaman sawit dibedakan atas dura (tebal, bentuk buah tidak teratur), delidura (tebal, bentuk buah bulat), tenera (tipis, bentuk buah bulat), dan psivera (inti buah kecil, bentuk buah bulat). Sedangkan berdasarkan warna kulit buahnya tanaman sawit dibedakan atas nigricens (merah kehitaman), virescens (merah terang), dan albescens (hitam) (Ketaren 1986).

Buah sawit berukuran kecil antara 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari 10-18 butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk tandan. Buah sawit yang dipanen dalam bentuk tandan disebut dengan tandan buah sawit.


(5)

Buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (perikarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah dalam disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endokarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endokarp tidak mengandung minyak.

B.

PENGOLAHAN MINYAK SAWIT KASAR

Minyak kelapa sawit adalah minyak yang diperoleh dari proses ekstraksi daging buah kelapa sawit (mesokarp) tanaman Elais guineensis Jacq. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak yang berlainan sifatnya, yaitu crude palm oil atau CPO dan palm kernel oil atau PKO. CPO adalah minyak yang berasal dari serabut (mesokarp) kelapa sawit, sedangkan PKO adalah minyak yang berasal dari inti (kernel) kelapa sawit (Hariyadi 2010). Perbedaan kedua jenis minyak ini terletak pada kandungan asam lemaknya. Minyak inti sawit mengandung asam kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat dalam minyak sawit kasar dan perbedaan lainnya adalah adanya pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit yang tidak terdapat pada minyak inti sawit. Tahapan pengolahan buah kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar dijelaskan sebagai berikut (Naibaho 1998):

1. Penerimaan buah

Tandan buah segar (TBS) hasil pemanenan harus segera diolah lebih lanjut. Pada buah yang tidak segera diolah, maka kandungan asam lemak bebasnya semakin meningkat. Untuk menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam setelah panen, TBS harus segera diolah. Untuk mendapat CPO dengan kualitas yang baik maka harus dilakukan sortasi tandan buah segar dengan memperhatikan tingkat kerusakan buah yang minimal dan tingkat kematangan yang optimal.

2. Sterilisasi dan Perontokan

Tandan buah yang telah disortir kemudian direbus dalam suatu tempat perebusan (sterilizer) atau dalam ketel rebus pada suhu 143 °C dengan tekanan 3 kg/cm2 selama 60 menit. Akhir perebusan ditandai dengan beberapa gejala, antara lain bau buah yang gurih, empuk, dan buah mudah rontok. Buah yang sudah direbus kemudian dimasukkan ke dalam alat perontok.

Proses sterilisasi mempunyai tujuan antara lain:

a. Menghentikan aktivitas enzim lipase. Terhentinya proses enzim lipase akan mengurangi kerusakan bahan, antara lain akibat penguraian minyak menjadi asam lemak bebas..

b. Menggumpalkan protein dalam buah sawit, penggumpulan protein bertujan agar protein tidak ikut terekstrak pada waktu pengepresan minyak (ektraksi).

c. Memudahkan pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang. d. Memperlunak daging buah sehingga mempermudah proses ekstraksi.

3. Pelumatan

Tahap pelumatan ini bertujuan untuk melumatkan biji sawit sehingga daging buah mudah terlepas dari biji serta memudahkan pengeluaran minyak pada tahap pengepresan. Kondisi optimum pada tahap ini yaitu pada suhu 95-100 ºC selama 20 menit. Tahapan pelumatan ini dilakukan pada silinder vertikal yang dilengkapi dengan empat pisau pengaduk dan satu set pisau pelempar yang berputar berlawanan arah.


(6)

4. Ekstraksi

Ekstraksi minyak dilakukan menggunakan screw press yang terintegrasi langsung dengan alat pelumat (digester). Pada tahap ini dihasilkan dua produk yaitu (1) campuran antara minyak, air, dan benda padat lainnya; (2) Padatan berupa serat mesokarp buah sawit dan biji sawit hasil pemisahan dari buah.

5. Pemurnian minyak

Proses ini bertujuan untuk memperoleh minyak sebanyak-banyaknya dan menghasilkan CPO dengan kadar asam lemak bebas, kadar air, dan kadar kotoran yang sesuai dengan standar. Minyak kasar yang berasal dari hasil ekstraksi memiliki komposisi rata-rata 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan bukan minyak (nonoily solids). Karena tingginya proporsi padatan yang masih terdapat pada minyak maka harus dilakukan penambahan air panas agar padatan tersebut larut dengan air. Kemudian minyak disaring untuk memisahkan padatan tersebut. Selanjutnya minyak kasar dimasukkan ke dalam tangki yang berfungsi sebagai tempat penampungan minyak sawit kasar sementara sebelum mengalami proses pemurnian yang lebih lanjut. Minyak berada pada lapisan atas dipompakan menuju continuous settling tank (CST) sedangkan kotoran yang masih mengandung sekitar 10% minyak dialirkan ke parit untuk dikumpulkan kembali ke dalam main settling tank. Di dalam CST minyak dipisahkan dari kotoran dengan cara pengendapan. Fraksi berat akan bergerak ke bawah tank sedangkan fraksi ringan akan bergerak menuju ke atas. Suhu berpengaruh terhadap viskositas minyak. Semakin tinggi suhu minyak semakin kecil viskositasnya. Untuk mempermudah pemisahan minyak dari kotoran dan air maka viskositas minyak diperkecil, salah satu caranya dengan pemanasan. Berdasarkan viskositas maka suhu yang paling tepat digunakan suhu lebih besar dari 90 °C.

6. Pengering hampa

Pada pengering hampa air dikeluarkan dengan sistem pengkabutan minyak di dalam ruang hampa sampai air tersisa 0.1%. Suhu minyak yang masuk antara 90 – 95°C dengan tekanan vakum 30 bar. Minyak terhisap ke dalam tabung hampa melalui nozzle sampai seperti kabut. Uap air terhisap oleh ejector dan masuk ke dalam kondensor secara bertahap dan akhirnya ditampung.

7. Penyimpanan minyak sawit kasar

Minyak hasil produksi yang akan dipasarkan ditampung dalam tangki timbun. Bagian dalam tangki timbun umumnya dilapisi dengan bahan yang terbuat dari epoksi untuk mencegah kontaminasi logam besi yang berasal dari bahan tangki timbun. Suhu tangki timbun dikontrol pada suhu antara 32-40°C. Suhu ini cukup untuk meminimalkan kerusakan akibat pemanasan dan mampu mencegah minyak memadat.

C.

KARAKTER FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT KASAR

Seperti minyak lain pada umumnya, minyak sawit juga disusun oleh trigliserida. Lebih dari 95% minyak sawit disusun oleh campuran trigliserida dan sisanya adalah komponen minor seperti karotenoid, tokoperol, alkohol alifatik, sterol dan lain-lain. Trigliserida tersusun atas tiga asam lemak. Asam lemak dominan yang terdapat pada minyak sawit adalah asam lemak palmitat (Hart 2003).

Sifat fisiko-kimia minyak sawit kasar (CPO) meliputi warna, bau dan flavour, kelarutan, polimorphism, titik didih (boiling point), titik pelunakan, slip melting point, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api (Ketaren 1986). Sifat fisiko-kimia tersebut sangat penting untuk menentukan kualitas CPO selain dapat juga digunakan


(7)

untuk informasi dalam pengolahan lebih lanjut. Nilai sifat fisiko kimia CPO dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Sifat Fisiko Kimia CPO

Sifat Fisiko Kimia Nilai

Trigliserida 95%

Asam lemak bebas 5-10%

Warna (5¼ lovibond cell) Merah orange

Kelembaban dan impurities 0.15%-3.0%

Bilangan peroksida 1-5.0 (meq/kg)

Bilangan anisidin 2-6 (meq/kg)

Kadar β-karoten 500-700 ppm

Kadar fosfor 10-20 ppm

Kadar besi 4-10 ppm

Kadar tokoferol 600-1000 ppm

Digliserida 2-6%

Bilangan asam 6.9 mg KOH/g minyak

Bilangan penyabunan 224-249 mg KOH/g minyak

Bilangan iod (wijs) 44-54

Titik leleh 21-24 °C

Indeks refraksi 36.0-37.5

Sumber : Ketaren (1986)

Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada kelapa sawit sebesar 39-45%, sedangkan asam oleat sebesar 37- 44% (Ketaren 2008). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi dibanding jenis minyak nabati lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik leleh asam oleat lebih rendah dibandingkan asam palmitat yaitu 14 °C. Kandungan asam lemak minyak kelapa sawit dan titik lelehnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Asam Lemak pada CPO dan Titik lelehnya

Jenis Asam lemak Komposisi (%) Titik leleh (°C)

Asam kaprat (C10:0) 1-3 31.5

Asam laurat (C12:0) 0-1 44

Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5 58

Asam palmitat (C16:0) 39.2-45.8 64

Asam stearat (C18:0) 3.7-5.1 70

Asam oleat (C18:1) 37.4-44.1 14

Asam linoleat (C18:2) 8.7- 12.5 -11

Asamlinoleat (C18:3) 0-0.6 -9


(8)

Bau dan flavour dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak seperti alkana yang mempunyai jumlah atom C antara empat dan tujuh, senyawa trans-2-alkena dengan jumlah atom C antara lima dan delapan, senyawa 2-alkil furan dengan jumlah atom C sebanyak satu, dua, empat dan lima, serta hidrocarbon alifatik dan aromatik. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaannya beta ionone (Ketaren 1986).

Menurut Choo et at. (1989) CPO terdiri dari gliserida yang tersusun oleh asam lemak. Komponen utamanya adalah trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida. CPO juga mengandung komponen minor lain seperti asam lemak bebas dan komponen non trigliserida. Komponen non trigliserida pada CPO menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, dan mempercepat proses ketengikan minyak. Oleh karena itu komponen non triglserida pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak.

CPO berbentuk semi padat pada suhu kamar, hal ini disebabkan karena tingkat kejenuhan CPO yang mencapai 50%. Minyak sawit memiliki ketahanan yang baik terhadap panas dan oksidasi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga minyak sawit sangat baik sebagai bahan baku minyak goreng (Hariyadi 2010).

CPO berwarna jingga kemerah-merahan disebabkan oleh pigmen karoten yang larut dalam minyak. Kandungan karoten pada minyak sawit dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak dari jenis tenera kurang lebih 500-700 ppm (Ketaren 1986).

Menurut Hasibuan dan Harianto (2008), kandungan karoten minyak sawit pada pabrik kelapa sawit (PKS) yang ada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Kandungan karoten pada masing-masing PKS tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Karoten pada CPO di Storage Tank dari 9 PKS Nama PKS Kadar Karoten (ppm)

PKS A 513

PKS B 486

PKS C 584

PKS D 509

PKS E 564

PKS F 547

PKS G 526

PKS H 637

PKS I 590

Sumber : Hasibuan dan Harijanto (2008)

Keterangan : PKS A, PKS B, PKS C berlokasi di Sumatera Utara.

PKS D dan PKS E berlokasi di Sumatera Barat. PKS F dan PKS G berlokasi di Sumatera Selatan.

PKS H dan PKS I berlokasi di Kalimantan Selatan.

Menurut Ong et al. (1995), karakteristik fisik dasar minyak sawit mencakup berat jenis (density), panas jenis (specific heat), panas lebur (heat of fusion), dan kekentalan (viscosity).


(9)

Karakteristik empiris minyak sawit antara lain titik leleh (melting point), dan kandungan lemak padat (solid fat content), serta fase polimorfisme lemak sawit.

Densitas minyak sawit berguna di dalam penentuan berat bahan khususnya untuk keperluan ekspor. Suhu berpengaruh pada densitas minyak, dimana suhu yang semakin tinggi akan menurunkan nilai densitas minyak sawit (Ong et al. 1995). Data densitas minyak sawit yang telah dimurnikan (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO) pada beberapa suhu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Densitas RBDPO

Suhu (°C) Densitas (kg/m3)

50 891

75 874

100 857

200 789

Sumber : Ong et al. (1995)

Menurut Ong et al. (1995), pada kondisi cair, panas jenis (Cp) akan sedikit meningkat dengan bertambahnya berat molekul tetapi sedikit menurun dengan meningkatnya bilangan iod. Secara praktis, panas jenis minyak, termasuk minyak sawit dapat dihitung dengan Persamaan (1).

Cp = 0.47 + 0.0073 T kkal/kg dimana T adalah suhu minyak (°C).

Titik leleh minyak sawit berada dalam kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik leleh yang berbeda-beda (Ketaren 1986). Ong et al. (1995) mengemukakan bahwa titik leleh minyak sawit ditentukan dengan metode slip melting point (SMP). Suatu survey di Malaysia telah berhasil mengetahui kisaran nilai SMP dari CPO yaitu antara 30.8-37.6oC. Nilai SMP RBDPO sedikit mengalami peningkatan yaitu menjadi 34.0-39.0oC.

Minyak sawit terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi olein dan stearin. Stearin merupakan fraksi yang lebih padat, dan merupakan co-product yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama dengan fraksi olein. Stearin memiliki slip melting point pada kisaran 46-56 oC, sedangkan olein pada kisaran 13-23 oC. Hal ini menunjukkan bahwa

stearin memiliki slip melting point yang lebih tinggi dan akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris 1994).

Basiron (2005) mengungkapkan bahwa struktur TAG minyak sawit sangat menentukan karakteristik fisik minyak sawit tersebut. Titik leleh TAG dan sifat kristalisasi minyak sawit ditentukan oleh struktur dan posisi asam lemak di dalamnya. Sifat minyak sawit yang semi padat pada suhu kamar disebabkan oleh kandungan fraksi oleo dengan kandungan dua asam lemak jenuh (oleo-disaturated fraction). Pada minyak sawit juga terkandung pecahan dari TAG yang diketahui sangat mempengaruhi sifat kristalisasi minyak sawit.


(10)

D.

FRAKSINASI DAN KRISTALISASI

Menurut Gunstone dan Padley (1997), fraksinasi merupakan proses thermomechanical di mana bahan dasar dipisahkan menjadi dua atau lebih fraksi. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses kristalisasi dengan cara mengatur kondisi suhu dan filtrasi dengan penyaringan.

Proses fraksinasi dijelaskan oleh Winarno (1997) dengan mekanisme dimana lemak didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak antar molekul menjadi lebih kecil. Pada jarak tertentu terjadi gaya van der Waals dimana radikal asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya dan terjadilah pemisahan. Fraksi kristal yang diperoleh mempunyai titik leleh yang lebih tinggi daripada fraksi cair (Moran & Rajah 1994).

Mekanisme pembentukan kristal karena penurunan suhu diawali dengan melambatnya gerakan termal molekul-molekul minyak karena hilangnya panas. Kondisi ini menyebabkan jarak antara molekul-molekulnya lebih kecil. Jika jarak antara molekul tersebut mencapai 5 Å, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul yang disebut gaya van der Waals. Akibatnya, asam-asam lemak dalam molekul minyak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta berikatan membentuk kristal. Kristal-kristal yang terbentuk ini berbeda sifat dan titik lelehnya. Fardiaz et al. (1992) menambahkan bahwa gaya tarik menarik pada pembentukan kristal minyak tidak hanya oleh gaya van der Waals, tetapi juga karena adanya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen dapat menyebabkan molekul-molekul tertarik satu sama lain. Apabila rantai molekul minyak cukup panjang, maka daya tarik kumulatif dapat menyebabkan asam-asam lemak dalam molekul minyak berjejer secara paralel membentuk kristal.

Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan bentuk struktur kristalin produk berlemak. Proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth) (Lawler & Dimick 2002).

Proses kristalisasi mempunyai tahap yang berlanjut secara simultan. Tahap pertama adalah pembentukan partikel kecil, yang disebut dengan inti (nucleid). Pembentukan inti terjadi saat beberapa molekul lemak berkumpul membentuk agregat dan energi potensialnya turun sampai nilai minimum. Tahap kedua dalam proses kristalisasi adalah pertumbuhan inti. Inti kristal dapat tumbuh menjadi kristal bila probabilitas molekul lemak untuk teradsorpsi di permukaan inti kristal cukup besar. Semakin besar agregat yang terbentuk, semakin rendah energi potensialnya dan probabilitas untuk mengadsorpsi molekul lemak semakin besar. Minyak yang mengalami kristalisasi membentuk molekul yang rigid, beraturan, dan berbentuk tiga dimensi (Fardiaz et al. 1992).

Kristalisasi terjadi dalam dua tahap, yaitu pendinginan cairan atau triasilgliserol yang dilelehkan untuk memicu terbentuknya inti kristal, yang memiliki bentuk dan ukuran tertentu yang akan menentukan efisiensi separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996). Suhu, waktu proses, dan pengadukan menjadi tiga faktor mendasar dalam pembentukan dan timbulnya sifat kristal (Pahan 2007). Penurunan suhu menyebabkan komponen yang memiliki titik leleh tinggi menjadi super jenuh sehingga terpisah dari fase larutan. Pengadukan selama proses kristalisasi memfasilitasi pembentukan kristal-kristal kecil. Selanjutnya, suhu rendah akan menyebabkan pengendapan yang


(11)

Kristalisasi dilakukan untuk membentuk struktur kristalin pada triasilgliserol yang membuatnya padat (solid). Ada tiga jenis strutur kristalin yang dikenal, yaitu struktur heksagonal (bentuk kristal ), orthorhombic (bentuk ’), dan triclinic (bentuk ) (Krishnamurthy & Kellens 1996). Bentuk adalah bentuk yang tidak stabil dan bentuk merupakan bentuk yang paling stabil. Namun tidak semua minyak atau lemak kristalnya stabil pada bentuk beta. Ada minyak atau lemak yang stabil pada bentuk kristal’, seperti minyak sawit lebih stabil pada bentuk kristal ’.

Ketiga jenis struktur kristal ini berbeda dalam hal tingkat kristalisasi, stabilitas kristal yang dibentuk, dan energi aktivasi. Struktur heksagonal memiliki energi aktivasi terendah, tingkat kristalisasi tertinggi, namun stabilitas kristal terendah. Stabilitas kristal struktur triclinic (bentuk ) paling tinggi diantara struktur lain namun tingkat kristalisasinya paling rendah dan energi aktivasinya paling tinggi. Struktur orthorhombic (bentuk ’) memiliki tingkat kristalisasi, stabilitas kristal, dan energi aktivasi yang medium (Krishnamurthy & Kellens 1996).

Kristalisasi ditujukan untuk membentuk struktur kristalin orthorhombic (bentuk ’) melalui kontrol suhu dan pengadukan. Minyak sawit dipanaskan pada suhu 75 °C. Setelah itu kehomogenannya dijaga pada suhu 70 °C sebelum dikristalkan. Prinsipnya adalah menghancurkan kristal yang terlanjur ada dan mengarahkan proses pada lingkungan crystallizer yang terkendali (Pahan 2007). Minyak sawit didinginkan hingga suhu 5-10°C sambil dilakukan agitasi terkontrol lalu dijaga selama beberapa waktu (minimal 6 jam) untuk memulai pembentukan dan stabilisasi kristal. Setelah stabilisasi, suhu minyak secara normal akan naik hingga sekitar 15 °C sehingga menurunkan viskositasnya dan memudahakan separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996).

Menurut Timms (1997), desain optimal untuk proses kristalisasi yang mencukupi harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Permukaan pendinginan (cooling surface) yang mencukupi, dengan ukuran tangki (vessel) pada umumnya 2 m2/m3; 3 4 m2/m3)

2. Perbedaan suhu antara media pendingin dengan minyak tidak boleh terlalu besar, maksimal 3 oC dan dianjurkan 1 oC, walaupun perbedaan suhu ini dapat terjadi lebih tinggi pada periode awal pendinginan sebelum proses kristalisasi mulai terjadi, dan sangat bermanfaat bila perbedaan suhu dapat divariasikan secara sistematis.

3. Agitasi yang lambat namun efektif untuk membantu proses transfer panas dan mempertahankan suhu yang seragam, namun tetap dapat mencegah terjadinya kerusakan pada kristal.

4. Pendinginan yang lambat untuk menjamin bahwa proses kristalisasi terjadi pada kondisi yang sedekat mungkin dengan kondisi kesetimbangan. Waktu kristalisasi pada proses fraksinasi pada umumnya dilakukan selama 10 – 30 jam.

Menurut Che dan Swe (1995) pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan kristal yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi terlalu rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang ada disekelilingnya. Pendinginan yang terlalu lama akan memperlambat pembentukan kristal yang disebabkan oleh penurunan energi potensial yang tidak secara tiba-tiba. Bentuk kristal yang dihasilkan adalah bentuk seperti jarum halus dengan bentuk polimorfis beta intermediet (Oh et al. 1990). Kristal yang terlalu halus dan terlalu kecil dapat mengakibatkan pemisahan tidak efisien (Tirtaux 1990).

Menurut Hamilton (1995), minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu 25 ºC. Minyak sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7 ºC dapat terpisah menjadi fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Pahan (2007) mengemukakan bahwa fraksinasi minyak


(12)

sawit dapat terjadi karena trigliserida di dalam minyak sawit memiliki titik leleh yang berbeda. Pada suhu tertentu, trigliserida yang mempunyai titik leleh lebih rendah akan mengkristal menjadi padatan sehingga memisahkan minyak sawit menjadi fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin).

Menurut Choo et al. (1989), fraksinasi minyak kelapa sawit dapat menghasilkan olein sebesar 70-80% dan stearin 20-30%. Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik leleh rendah dan mengandumg asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda.

Pemisahan olein dan stearin dalam minyak sawit cukup sulit karena minyak memiliki viskositas yang tinggi. Metode yang biasa digunakan dalam proses pemisahan stearin dan olein yaitu dry fractination, lanza fractination (lipofraksinasi), dan fraksinasi menggunakan pelarut. Menurut Moran dan Rajah (1994), fraksinasi kering (dry fractination) biasa dilakukan secara semi kontinyu pada minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia tetapi minyak dihomogenkan pada suhu 70 ºC. Dry fractination biasanya menghasilkan olein sebanyak70-75%.

Lanza fractination (fraksinasi deterjen) biasanya dilakukan pada minyak sawit kasar. Minyak didinginkan pada crystallizer dengan pendingin air untuk mendapatkan kristal dari gliserida dengan titik leleh tinggi. Ketika suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0.5% natrium lauril sulfat dan MgSO4 sebagai elektrolit. Pemisahan berlangsung dalam suspensi cair. Kemudian dilakukan sentrifugasi agar fraksi olein dan fraksi stearin terpisah. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan vacuum dryer. Olein yang diperoleh mencapai 80% (Moran & Rajah 1994).

Solvent fractination merupakan fraksinasi menggunakan pelarut. Proses ini relatif mahal karena terjadi penyusutan jumlah pelarut, memerlukan perlengkapan untuk recovery pelarut, membutuhkan suhu rendah, dan membutuhkan penanganan untuk mencegah bahaya pelarut yang digunakan. Pelarut yang biasa digunakan adalah heksana atau aseton. Minyak harus dilarutkan dalam pelarut diikuti dengan pendinginan sehingga suhu yang diinginkan tercapai untuk mendapatkan kristal yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik lelehnya (Moran & Rajah 1994).

Fraksinasi kering adalah metode yang paling sering diaplikasikan secara komersial.

Fraksinasi kering dilakukan melalui dua tahap, yaitu kristalisasi dan separasi (O’Brien 2000).

Kristalisasi dilakukan untuk menghilangkan asilgliserol yang memiliki titik leleh tinggi yang menyebabkan minyak menjadi keruh dan lebih kental pada suhu rendah. Separasi dilakukan untuk memisahkan kristal (fraksi padat) dari fraksi cair minyak sawit.

Setelah proses kristalisasi, dilakukan proses separasi untuk memisahkan fraksi olein dan stearin minyak sawit. Proses separasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu filtrasi dengan sistem vakum atau tekanan, sentrifugasi, dan dekantasi.

Setelah proses separasi maka akan diperoleh dua fraksi minyak sawit, yaitu fraksi padat dinamakan stearin dan fraksi cair dinamakan olein. Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi stearin berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan oleh kandungan karotenoid yang terlarut di dalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit mengandung karotenoid.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal stearin adalah suhu awal minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, dan metode separasi. Variabel tersebut mempengaruhi ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, solid fat content, titik leleh, profil asam lemak dari fraksi cair dan fraksi padat (kristal).


(13)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

ALAT DAN BAHAN

1. Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu oven pengering dengan pemanas listrik, desikator, neraca analitik, penangas air, gegep, spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer double beam, kuvet, termometer, pipa kapiler, piknometer, pinset, hot plate, agitator, inkubator, gelas piala, kertas saring Whatman No.41, corong gelas, pompa vakum, buret, erlenmeyer, labu takar, pipet tetes, pipet mohr dengan berbagai ukuran.

2.Bahan

Bahan yang digunakan yaitu lima sampel minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO) yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Banten, PTPN XIII Kalimantan Barat dari Perkebunan Gunung Meliau dan Perkebunan Ngabang, PT. Wilmar Internasional Riau, dan PT. Sinar Meadow Internasional Jakarta. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis yaitu air destilata, heksana, NaOH, kaliumhidrogenftalat (KHP), indikator fenolftalin, etanol, asam asetat glasial, KI, Na2S2O3, K2Cr2O7, HCl, indikator kanji, dan iso-oktana.

B.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) analisis mutu CPO, (2) fraksinasi CPO, dan (3) analisis fraksi olein dan stearin yang dihasilkan. Garis besar tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1. Persiapan Bahan dan Analisis Mutu CPO

Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel dari industri pengolah CPO yang belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, diharapkan komposisi kimia di dalamnya belum mengalami perubahan dan mutu CPO masih dalam keadaan baik.

Analisis mutu CPO dilakukan berdasarkan atribut mutu yang ditetapkan dalam standar spesifikasi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2901-2006 yang mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran (maksimal 0.5%), kadar asam lemak bebas (sebagai asam palmitat, maksimal 5%), dan bilangan iod (50-55 g iod/100 g).

Analisis mutu tambahan CPO meliputi analisis kandungan karoten dan nilai Deterioration of Bleachability Index (DOBI). Kedua parameter ini tidak termasuk dalam atribut mutu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam dokumen SNI 01-2901-2006. Namun kedua parameter ini sering digunakan sebagai syarat dalam perdagangan CPO di pasar internasional. Codex Alimentarius Comission (CAC 2003) sebagai acuan dalam perdagangan internasional menetapkan bahwa persyaratan kandungan karoten CPO 500-2000 ppm dan persyaratan nilai DOBI yang ditetapkan minimum 2.8.


(14)

Analisis mutu CPO antara lain, analisis kadar air, kotoran, kadar asam lemak bebas, bilangan yodium, kadar karoten dan DOBI.

Fraksinasi CPO

Olein Stearin

Analisis bilangan iod, slip melting point (SMP), dan kandungan β-karoten.

Gambar 2. Diagram alir penelitian

2. Fraksinasi CPO

Fraksinasi CPO dilakukan untuk memperoleh fraksi olein dan stearin. Fraksinasi dilakukan pada sampel CPO yang telah dianalisis. Sampel CPO C dan D tidak difraksinasi. Sampel CPO C memiliki kualitas yang kurang baik berupa kadar kotoran yang tinggi sedangkan sampel CPO D tidak mencukupi untuk difraksinasi karena jumlahnya terbatas. Sebagai ganti sampel CPO C dipilih minyak sawit merah (SawitA). Fraksinasi dilakukan dengan mengikuti prinsip kristalisasi dan separasi. Pada awalnya belum diketahui kondisi pasti yang akan digunakan dalam tahap fraksinasi ini. Kemudian dicobakan tiga metode yaitu proses I, II, dan III. Ketiga metode ini menerapkan prinsip kristalisasi dan separasi.

Proses I dilakukan dengan mula-mula memanaskan sampel CPO sampai suhu 70 °C sambil diaduk menggunakan agitator. Kemudian suhu CPO diturunkan hingga 15 °C lalu dilakukan separasi dengan kain saring. Proses II dilakukan dengan memanaskan CPO hingga suhu 50 °C kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 20 °C selama 6 jam. Setelah itu sampel CPO dibiarkan semalaman dalam suhu ruang, lalu diseparasi menggunakan penyaring


(15)

16, 24, dan 48 jam. Sampel CPO mula-mula dipanaskan hingga suhu 50 °C kemudian dilakukan penurunan suhu dengan laju 5 °C/30 menit hingga suhu CPO mencapai 15 °C. Setelah itu sampel CPO disimpan pada suhu 12 °C dengan waktu penyimpanan 16, 24, dan 48 jam. Kemudian dilakukan separasi dengan penyaring vakum. Dari ketiga proses fraksinasi yang dicobakan tersebut, dipilih proses fraksinasi yang menghasilkan fraksi olein dan stearin dengan karakteristik yang paling baik. Kondisi proses fraksinasi yang dikontrol meliputi suhu kristalisasi, waktu kristalisasi, agitasi, dan separasi.

3. Analisis olein dan stearin

Fraksi olein dan stearin yang diperoleh dari proses fraksinasi kemudian dianalisis karakteristiknya. Parameter yang diuji meliputi analisis kadar karoten, slip melting point, dan bilangan iod. Ketiga parameter tersebut dapat membedakan olein dan stearin yang dihasilkan.

C.

METODE ANALISIS

1. Analisis kadar air (BSN 2006)

Gelas kimia 100 ml dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didingankan dalam desikator. Cawan yang sudah kering diambil dengan penjepit, kemudian ditimbang. Sampel minyak dilelehkan dengan memanaskan sampai suhu 50 °C dan diaduk rata. Sebanyak 5-10 g sampel minyak yang sudah dilelehkan ditimbang pada gelas kimia yang sudah kering, kemudian dikeringkan dalam oven selama semalaman (16 jam). Kadar air dihitung dengan persamaan (2) :

%Kadar air (g/100 g bahan basah) =

Keterangan :

W = Berat sampel sebelum dikeringkan (g) W1 = Berat sampel + cawan kering kosong (g) W2 = Berat cawan kosong (g).

2. Analisis kadar kotoran (BSN 2006)

Kertas saring Whatman No.41 (alat penyaring) dicuci dengan n-heksana, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 °C selama 30 menit, lalu ditimbang. CPO yang digunakan dalam analisis ini yaitu CPO hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui beratnya. Sebanyak 50 ml n-heksana ditambahkan ke dalam CPO tersebut dan dipanaskan pada penangas air sambil digoyang-goyang sampai minyak larut seluruhnya. Setelah minyak larut, CPO disaring melalui alat penyaring yang telah disiapkan sebelumnya. Kertas saring tersebut dicuci beberapa kali menggunakan n-heksana setiap kalinya 10 ml sampai alat penyaringnya bersih dari minyak. Alat penyaring dengan seluruh isinya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103 °C selama 30 menit. Kadar kotoran dihitung dengan persamaan (3).

% Kadar kotoran =

Keterangan :

W = berat sampel (g)

(2)


(16)

W1 = berat alat penyaring setelah dikeringkan (g) W2 = berat alat penyaring kering (g)

3. Analisis asam lemak bebas (BSN 2006)

Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60-70°C sambil diaduk hingga homogen. Sampel tersebut ditimbang sebanyak 5 g pada erlenmeyer, 50 ml etanol 95% yang sudah dinetralkan ditambahkan ke dalam erlenmeyer tersebut. Sampel dan etanol kemudian dipanaskan di atas pemanas dan suhunya diatur 40 °C hingga sampel larut semua. Sebanyak 1-2 tetes larutan indikator fenolftalin ditambahkan ke dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N hingga titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda yang stabil minimal 30 detik. Volume NaOH 0.1 N yang terpakai kemudian dicatat. Kadar asam lemak bebas dihitung dengan persamaan (4).

%Asam lemak bebas = Keterangan :

V = volume larutan NaOH 0.1 N yang digunakan (ml) N = normalitas larutan NaOH yang digunakan W = berat sampel uji (g)

25.6 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat.

4. Analisis bilangan iod (BSN 2006)

Sampel CPO dilelehkan pada suhu 60-70 °C dan diaduk hingga rata. Kemudian sebanyak 0.4-0.6 g dari sampel tersebut ditimbang dalam erlenmeyer bertutup asah 250 ml atau 500 ml. Setelah itu sebanyak 15 ml larutan sikloheksana ditambahkan dengan menggunakan pipet untuk melarutkan larutan uji tersebut. Sebanyak 25 ml larutan Wijs ditambahkan lalu erlenmeyer tersebut ditutup dengan penutupnya, dikocok kemudian disimpan dalam tempat/ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu sebanyak 10 ml larutan KI 10% ditambahkan dengan pipet dan 50 ml air suling. Erlenmeyer ditutup, dikocok sebentar, kemudian dilakukan titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Indikator kanji ditambahkan sebanyak 1-2 ml, kemudian titrasi dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama. Bilangan iod dihitung dengan persamaan (5).

Bilangan iod = Keterangan :

N = normalitas larutan tiosulfat 0.1 N

V2 = volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (ml) V1 = volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan sampel (ml) W = berat sampel uji (g)

12.69 = konstanta untuk menghitung bilangan iod.

5. Analisis Kadar Karotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM 1995)

Sampel ditimbang sebanyak 0.1 g ke dalam labu takar 25 ml, kemudian ditepatkan hingga tanda tera dengan heksana. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh (4)

(5) )


(17)

nilainya lebih dari 0.700. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm. Kadar karotenoid dihitung dengan persamaan (4).

Karoten (ppm) = Keterangan:

W = Bobot sampel yang dianalisis (g) As = Absorbansi sampel

Ab = Absorbansi blanko

6. Slip melting point (AOCS Official Methods Cc 3-25, 1993)

Sampel yang telah disaring dilelehkan dan dimasukkan ke dalam tabung kapiler (3 buah) setinggi 1 cm. Selanjutnya tabung kapiler disimpan dalam refrigerator pada suhu 4-10 °C selama 16 jam. Tabung kapiler diikatkan pada termometer dan termometer tersebut dimasukkan ke dalam beaker glass (600 ml) berisi air distilasi (sekitar 300 ml). Suhu air dalam gelas kimia diatur pada suhu 8 – 10 °C di bawah titik leleh sampel dan suhu air dipanaskan pelan-pelan (dengan kenaikan 0.5 – 1 °C/menit ) dengan pengadukan (magnetic stirrer).

Pemanasan dilanjutkan dan suhu diamati dari saat sampel meleleh sampai sampel naik pada tanda batas atas. Slip melting point dihitung berdasarkan rata-rata suhu dari ketiga sampel yang diamati.

7. Deterioration of Bleachability Index (DOBI) (Ketaren 2008)

Sampel CPO ditimbang sebanyak 0.04 g ke dalam labu takar 25 ml yang telah diukur berat kosongnya. Sampel ditepatkan dengan pelarut iso-oktana dan digoncang agar minyak larut sempurna. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 446 nm (Ab) dan 269 nm (As).Nilai DOBI dapat ditentukan dengan persamaan (7).

DOBI = Keterangan ;

Ab = Absorbansi blanko As = Absorbansi sampel 8. Recovery Karotenoid

Recovery karotenoid adalah total karotenoid CPO yang dapat diperoleh kembali setelah proses fraksinasi. Recovery karotenoid dapat dihitung dengan persamaan (8).

Recovery Karotenoid =

X 100%

Total karotenoid = konsentrasi karotenoid (ppm) x volume sampel (ml)

(6)

(7)


(18)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR

Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar Internasional Riau, dan PTPN XIII Kalimantan Barat dari perkebunan Gunung Meliau dan Ngabang. Profil mutu minyak sawit kasar meliputi analisis CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006, kandungan karoten dan nilai Deterioration of Bleachability Index (DOBI). Sampel CPO PT. Sinar Meadow, PTPN VIII, PT Wilmar, PTPN VIII kebun Meliau, dan PTPN VIII Kebun Ngabang masing-masing disimbolkan dengan CPO A, CPO B, CPO C, CPO D, dan CPO E.

Analisis mutu CPO dilakukan untuk mengetahui profil mutu minyak sawit kasar yang ada di Indonesia yang diwakilkan dari lima sampel CPO yang dianalisis. Profil mutu CPO perlu diketahui karena berkaitan dengan harga CPO di pasar internasional dan tahapan pengolahan CPO selanjutnya.

1. Kadar air dan kotoran

Kadar air dihitung sebagai berat yang hilang akibat pemanasan CPO pada suhu 103°C ± 2°C selama 3 jam. Umumnya air dalam minyak hanya dalam jumlah kecil. Hal ini dapat terjadi akibat perlakuan di pabrik serta penimbunan CPO. Air digunakan sebagai bahan penolong pada ekstraksi minyak, baik dalam bentuk cair maupun dalam bentuk uap. Air banyak dipakai untuk proses pencucian dan bahan pengisi ketel uap. Uap panas dipakai pada proses sterilisasi, pemanasan, dan sebagai sumber tenaga (Ketaren 2008). Air yang terdapat dalam minyak dapat ditentukan dengan cara penguapan dalam alat pengering. Hasil analisis kadar air sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kadar air sampel CPO

Standar CPO yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam dokumen SNI 2006 ditetapkan bahwa kadar air dan kotoran CPO maksimal 0.5%. Dokumen SNI 01-2901-1992 memisahkan antara standar maksimum kadar air dan kotoran. Standar kadar air maksimum sebesar 0.45% dan standar kadar kotoran maksimum 0.05%. Pada Gambar 3

0.23

0.49 0.55

0.38 0.38

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

k

ad

ar

ai

r

(%

b

b

)


(19)

CPO memenuhi nilai standar maksimum kadar air menurut SNI 01-2901-1992 dan hanya terdapat satu sampel CPO yang tidak memenuhi standar yaitu sampel CPO C.

Kadar air memegang peranan penting dalam mutu CPO, kadar air CPO diharapkan tidak terlalu besar karena hal ini berkaitan dengan reaksi hidrolisis yang dapat terjadi pada CPO dan akan mengakibatkan kerusakan pada CPO. Dalam reaksi hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim. Asam lemak bebas yang terbentuk dari hasil hidrolisis menghasilkan flavour dan bau tengik pada minyak terutama asam lemak rantai pendek seperti asam butirat dan kaproat (Ketaren 2008). Persamaan reaksi hidrolisis minyak oleh air dapat diihat pada Gambar 4.

Faktor yang mempengaruhi kadar air pada CPO antara lain adalah efektifitas pada tahap pengolahan buah sawit menjadi CPO. Tahapan pengolahan yang memegang peranan penting dalam mengendalikan kadar air CPO yaitu tahap pemurnian minyak (Basiron 2005). Pada tahap ini terjadi pemisahan antara air yang secara alami terdapat pada buah dan yang digunakan pada proses sterilisasi dengan minyak/CPO menggunakan prinsip pengendapan dan pengeringan dengan menggunakan vacum dryer.

Gambar 4. Reaksi hidrolis minyak oleh air (Ketaren 2008)

Kotoran pada CPO mencakup kotoran-kotoran kecil atau serabut yang terdapat pada CPO dan bahan yang terkandung pada CPO yang tidak larut pada n-heksana. Kadar kotoran menjadi salah satu parameter yang perlu diperhatikan karena CPO umumnya digunakan sebagai bahan baku dalam industri pangan. Dalam dokumen SNI 01-2901-1992 ditetapkan kadar kotoran maksimum CPO sebesar 0.05%.

Berdasarkan hasil analisis lima sampel CPO, kadar kotoran CPO memiliki kisaran antara 0.3%-4.84% dengan kadar kotoran terkecil dimiliki oleh sampel CPO A dan kadar kotoran terbesar dimiliki oleh sampel CPO C. Nilai kadar kotoran lima sampel CPO yang dianalisis berada di atas nilai kadar kotoran dalam syarat mutu SNI 01-2901-1992. Tingginya kadar kotoran yang dimiliki oleh sampel C bisa disebabkan oleh sumber CPO yang diberikan oleh perusahaan C kemungkinan bukan CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri pangan tetapi CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri non pangan seperti untuk bahan baku biofuel ataupun untuk bahan baku pelumas. Gambar 5 menunjukkan hasil analisis kadar kotoran lima sampel CPO.


(20)

Gambar 5. Kadar kotoran CPO

Standar SNI 01-2901-2006 melakukan penggabungan nilai kandungan maksimal terhadap parameter kadar air dan kadar kotoran. Nilai maksimal yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional terhadap kedua parameter tersebut yaitu maksimal 0.5%. Apabila nilai kedua parameter tersebut digabungkan maka akan didapat nilai kandungan kadar air dan kadar kotoran seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kadar air dan kotoran lima sampel CPO

Berdasarkan data yang diperoleh kandungan kadar air dan kotoran pada lima jenis sampel CPO berkisar antara 0.33% sampai 5.39 %. Jika mengacu pada standar SNI 01-2901-2006 hanya satu sampel CPO yang memenuhi standar yaitu sampel CPO A sedangkan empat sampel CPO lainnya tidak memenuhi standar.

Tingginya kadar air dan kotoran empat sampel CPO tersebut dapat dipengaruhi oleh efektivitas selama proses pengolahan terutama pada tahap pemurnian minyak dan pengeringan hampa. Pada tahap pemurnian, minyak sawit diendapkan dalam tangki pengendapan. Kotoran dan air yang masih terdapat pada minyak terpisah karena adanya perbedaan bobot jenis. Bobot jenis minyak lebih kecil daripada bobot jenis air dan kotoran sehingga air dan kotoran akan mengendap dan proses pemisahan dapat dilakukan. Apabila lama pengendapan terlalu pendek dan suhu dalam tangki pengendapan terlalu rendah maka

0.1 0.2

4.84

0.29 0.3 0 1 2 3 4 5 6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

k ad ar k o to r an (% b b ) Sampel CPO 0.33 0.69 5.39

0.67 0.68 0 1 2 3 4 5 6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

K ad ar ai r d an k o to r an (% b b ) Sampel


(21)

pemisahan kotoran dan air tidak optimal. Pengeringan dengan pengering hampa dilakukan setelah kotoran terpisah dari minyak.

2. Kadarasam lemak bebas

Karakteristik mutu suatu minyak atau lemak dipengaruhi oleh kadar asam lemak bebasnya (ALB). Kadar ALB yang tinggi menunjukkan bahwa minyak atau lemak memiliki kualitas yang buruk. Tingginya kadar ALB dapat memperbesar risiko kerusakan minyak lebih lanjut akibat oksidasi. Kenaikan ALB pada CPO disebabkan adanya reaksi hidrolisis pada minyak. Reaksi ini dipercepat dengan adanya asam, panas, air, dan enzim.

Salah satu enzim yang berperan dalam peningkatan ALB pada minyak yaitu enzim lipase (triacylglycerol acylhydrolase) (Sambanthamurthi et al. 2000). Enzim ini secara alami terdapat pada buah kelapa sawit. Aktivitas enzim ini berperan dalam peningkatan ALB pada CPO. Semakin matang buah sawit maka aktivitas enzim lipase semakin meningkat yang mengakibatkan peningkatan ALB pada minyak. Sebaliknya buah sawit yang belum matang memiliki aktivitas lipase yang rendah namun rendamen minyaknya juga rendah. Selain faktor kematangan buah, lama waktu antara pemanenan buah hingga pengolahan juga turut mempengaruhi kandungan ALB pada minyak. Buah yang sudah dipanen harus segera diolah untuk mengurangi kandungan ALB pada CPO (Tan et al. 2009).

Kandungan ALB yang tinggi pada minyak dapat dikurangi dengan melakukan proses netralisasi pada minyak tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku (Ketaren 1986). Selain itu menurut Tan (2009) pengeringan buah sawit pada suhu 66.8 °C selama 12.8 jam sebelum ekstraksi dapat mengurangi kandungan ALB pada CPO.

Hasil analisis lima sampel CPO menunjukkan bahwa kandungan ALB CPO pada kelima sampel berkisar antara 3.84-5.8%. Kandungan ALB tertinggi terdapat pada sampel CPO A sedangkan kandungan asam lemak terendah terdapat pada sampel CPO C. Untuk CPO di Indonesia, standar kandungan ALB-nya ditetapkan maksimal 5%. Kandungan ALB kelima sampel CPO tersebut sudah cukup baik, hanya satu sampel yaitu sampel CPO A yang memiliki kadar asam lemak bebas diatas standar SNI. Perbedaan kandungan ALB pada sampel CPO tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi kematangan buah sawit saat dipanen, efektivitas pengolahan, dan lama waktu penimbunan. Kandungan ALB pada lima sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kandungan Asam lemak bebas CPO 5.8

3.88 4.6 3.84 4.58

0 1 2 3 4 5 6 7

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

as am l e m ak b e b as (% ) Sampel CPO


(22)

3. Bilangan iod

Bilangan iod digunakan untuk mengukur derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh dapat diadisi oleh senyawa iod sehingga menghasilkan senyawa dengan ikatan jenuh. Semakin tinggi bilangan iod maka semakin banyak ikatan rangkap yang diadisi dan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan minyak tersebut. Penetapan bilangan iod dilakukan dengan menambahkan iod secara berlebih ke dalam sampel minyak. Kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat sehingga iod yang digunakan untuk mengadisi minyak dapat diketahui jumlahnya (Kusnandar 2010). Reaksi adisi ikatan rangkap asam lemak oleh senyawa iod pada penelitian ini menggunakan larutan KI 10% sebagai carrier. Reaksi yang terjadi dalam penentuan bilangan iod dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Reaksi penentuan bilangan iod

Asam lemak penyusun CPO didominasi oleh asam lemak jenuh (50% ) dan asam lemak tidak jenuh (50%). Asam lemak jenuh penyusun CPO terdiri dari asam palmitat (C16:0) dengan komposisi 44.02% dan asam stearat (C18:0) dengan komposisi sekitar 4.54%. Sedangkan asam lemak tidak jenuh terdiri dari asam oleat (C18:1) yang terdapat sekitar 39.15% dan asam linoleat (C18:2) sekitar 10.2% (Basiron 2005). Dengan komposisi asam lemak yang seperti ini menyebabkan bilangan iod CPO berada dikisaran 50-55 g iod/100 g sampel.

Tingkat ketidakjenuhan suatu minyak sangat menentukan kondisi minyak pada suhu ruang. Minyak dengan ketidakjenuhan yang tinggi akan berwujud cair pada suhu ruang. Sebaliknya minyak dengan ketidakjenuhan yang rendah cenderung berbentuk padat suhu ruang (Patterson 2009). CPO memiliki tingkat ketidakjenuhan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah sehingga pada suhu ruang CPO akan berbentuk semipadat dan cenderung lebih tahan terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lain (Basiron 2005).

Metode yang sering digunakan dalam menentukan bilangan iod ada dua, yaitu metode Hanus dan metode Wijs. Dalam penelitian ini digunakan metode Wijs. Kusnandar (2010) menyatakan bahwa ada sedikit perbedaan hasil yang diperoleh dengan kedua metode ini, akan tetapi variasi perbedaan ini tidak lebih besar dari variasi bilangan iod dalam minyak itu sendiri. Namun pada kenyataannya metode Wijs memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode Hanus.

Hasil analisis dari lima sampel CPO menunjukkan bahwa bilangan iod dari kelima sampel CPO yang dianalisis menunjukkan jumlah bilangan iod berkisar antara 50.38-54.15 g iod/100 g sampel. Standar CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006 menetapkan standar bilangan iod untuk CPO sebesar 50-55 g iod/100 sampel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai bilangan iod lima sampel CPO yang dianalisis masih memenuhi standar bilangan iod berdasarkan SNI 01-2901-2006. Hasil analisis bilangan iod sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 9.


(23)

Gambar 9. Bilangan iod sampel CPO

4. Analisis karoten

CPO umumnya mengandung 500-700 ppm karoten. Selain sebagai pemberi warna, karoten juga berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh serta berfungsi sebagai prekursor

vitamin A khususnya dalam bentuk β-karoten (Mustapa et al. 2010). Codex Alimentarius Commission (2003) yang digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional menetapkan bahwa persyaratan kadar karoten CPO berkisar antara 500-2000 ppm sebagaimana tercantum dalam Codex Standar for Named Vegetables Oil CODEX STAN 210. Sementara itu Badan Standardisasi Nasional (BSN) selaku organisasi yang menetapkan standar di Indonesia belum mencantumkan standar kandungan karoten pada CPO.

Gambar 10 menunjukkan kandungan karoten yang terdapat pada lima sampel CPO yang dianalisis. Dari data yang diperoleh terdapat variasi nilai karoten CPO yang berkisar antara 428.28-815.56 ppm. Kandungan karoten tertinggi dimiliki oleh sampel CPO A dengan kandungan karoten sebesar 815.56 ppm dan sampel yang mengandung karoten terendah adalah sampel CPO C dengan kandungan karoten 428.28 ppm. Sedangkan CPO B, D, dan E masing-masing memiliki kandungan karoten 772.43 ppm, 668.31 ppm, dan 500.95 ppm. Dari kelima sampel tersebut terdapat satu sampel yang mengandung kadar karoten di bawah kadar karoten CPO yang ditetapkan oleh CODEX(2003).

Gambar 10. Kandungan karoten sampel CPO 50.38 51.3 50.79 52.47 54.15

0 10 20 30 40 50 60

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

b il an gan yo d iu m Sampel

815.56 772.43

428.28 668.31 500.95 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

K ar o te n (p p m ) Sampel


(24)

3.11

1.68 1.34

3.06

2.15

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

D

O

B

I

Sampel

Perbedaan kandungan karoten pada masing-masing sampel tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: varietas kelapa sawit, tingkat kematangan buah kelapa sawit, dan pemanasan di unit proses pengolahan kelapa sawit. Selain itu, infrastruktur kebun kelapa sawit yang tidak baik dan cuaca buruk menyebabkan buah kelapa sawit tidak langsung diolah menjadi CPO dapat menurunkan kandungan karoten CPO (Hasibuan & Harijanto 2008).

Penyimpanan CPO ditangki timbun yang terlalu lama juga dapat menyebabkan penurunan kandungan karoten yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena pada tangki timbun tidak bisa dihindari pemanasan yang berulang-ulang pada saat loading ke truk pengangkut dan kapal. Padahal karoten relatif lebih cepat terdegradasi dengan pemanasan yang berlebihan serta pemanasan yang berulang (Hasibuan & Harijanto 2008).

5. DOBI (Deterioration of Bleachability Index)

DOBI adalah angka perbandingan serapan CPO pada panjang gelombang 446 nm dan 269 nm (Gee 2005). Angka DOBI dapat digunakan sebagai indikator kerusakan CPO akibat oksidasi. Selain itu angka DOBI ini juga digunakan oleh industri yang akan mengolah CPO menjadi minyak goreng untuk menentukan jumlah bleaching earth yang akan digunakan untuk pemucatan CPO sehingga menghasilkan warna yang dapat diterima oleh konsumen minyak goreng (Lin 2004).

Berdasarkan nilai DOBI, CPO dapat dikelompokkan menjadi lima kelas. CPO dengan angka DOBI < 1.68, termasuk ke dalam CPO yang memiliki kualitas buruk. Sementara itu CPO dengan angka DOBI antara 1.78 – 2.30 memiliki mutu yang kurang baik. Kemudian CPO dengan angka DOBI 2.30 – 2.92 mengindikasikan bahwa CPO ini memiliki mutu cukup baik. Angka DOBI 2.93 – 3.23 memperlihatkan indikasi CPO dengan mutu baik, dan angka DOBI di atas 3.24 berarti CPO memiliki kualitas yang sangat baik. Sementara itu negara tujuan ekspor menetapkan angka DOBI CPO yang dapat diterima harus memiliki angka DOBI lebih besar atau sama dengan 2.8 (Anonim 2004). Di Indonesia sendiri standar mengenai mutu CPO belum memasukkan nilai DOBI sebagai salah satu parameter dalam menentukan kualitas CPO.

Hasil analisis dari kelima sampel CPO yang diuji menunjukkan nilai DOBI seperti pada Gambar 11. Dari hasil analisis didapat nilai DOBI berkisar antara 1.34–3.11. Hanya ada dua CPO yang memenuhi standar nilai DOBI yaitu sampel CPO A dan CPO D.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai DOBI antara lain: (1) kualitas buah, menyangkut kondisi buah saat dipanen apakah masih dalam kondisi utuh atau banyak mengalami luka karena benturan saat pemanenan, (2) derajat kematangan buah sawit, (3) kondisi saat proses pengolahan buah sawit menjadi CPO, (4) selang waktu antara pemanenan dengan sterilisasi buah sawit, dan (5) suhu serta kondisi penyimpanan CPO (Lin 2004).


(25)

B.

PENENTUAN TAHAP FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR

Proses fraksinasi minyak sawit kasar menghasilkan dua produk utama, yaitu olein dan stearin yang bisa digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, dan shortening.

Kondisi proses fraksinasi melibatkan pengaturan suhu, agitasi, kontrol waktu kristalisasi, dan metode separasi yang digunakan. Keberhasilan proses fraksinasi sangat ditentukan oleh parameter tersebut. Keterbatasan peralatan dilaboratorium mengakibatkan kesulitan selama penelitian untuk melakukan kontrol terhadap parameter tersebut secara keseluruhan.

Pada penelitian ini, ada tiga proses yang dilakukan untuk memperoleh proses fraksinasi yang menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang diharapkan. Proses tersebut adalah Proses I, II, dan III. Langkah-langkah yang dilakukan dan kondisi tiap proses dijelaskan dibawah ini.

a. Proses I

Pada proses I tahap kristalisasi dilakukan dengan mula-mula sampel CPO dipanaskan dalam wadah logam berukuran 2 liter sampai suhu CPO 70 °C sambil diaduk menggunakan agitator dengan kecepatan tertentu. Setelah suhu mencapai 70°C pemanasan dihentikan. Wadah logam yang berisi CPO tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berukuran lebih besar (semacam baskom) yang telah berisi air dan ditambahkan es agar suhu air konstan pada suhu 5 °C sambil dilakukan pengadukan terhadap CPO dengan agitator. Kondisi ini dipertahankan sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Setelah suhu CPO mencapai 15 °C dilakukan separasi menggunakan kain saring.

Proses I tidak menghasilkan olein maupun stearin. Produk yang dihasilkan masih berupa CPO namun memiliki viskositas yang tinggi. Kegagalan mungkin disebabkan karena waktu fraksinasi yang tidak mencukupi. Menurut Timms (1997) waktu kristalisasi pada proses fraksinasi pada umumnya dilakukan selama 10-30 jam. Sedangkan waktu kristalisasi Proses I tidak mencapai 10 jam. Salah satu kesulitan pada tahap ini yaitu diperlukannya banyak es untuk menurunkan suhu CPO. Disamping itu saat proses kristalisasi dilakukan, tidak semua bagian CPO yang mendapatkan suhu rendah hal ini disebabkan wadah kristalisasi yang cukup tebal dan kemungkinan suhu rendah hanya pada CPO yang paling dekat dengan dinding wadah. Karena proses I ini tidak menghasilkan olein seperti yang diharapkan maka proses I tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang akan digunakan untuk menghasilkan olein dan stearin.

b. Proses II

Karena proses I tidak menghasilkan olein dan stearin maka dilakukan uji coba proses fraksinasi selanjutnya. Proses fraksinasi yang dicobakan tetap berdasarkan prinsip dalam proses fraksinasi yaitu kristalisasi dan separasi.

Pada proses II ini tahap kristalisasi dilakukan dengan memanaskan CPO pada erlenmeyer sampai suhu 50 °C. Setelah suhu mencapai 50 °C erlenmeyer yang berisi CPO dimasukkan ke dalam pendingin yang bersuhu 20 °C selama 6 jam. Setelah 6 jam dalam pendingin, sampel CPO yang membeku kemudian dibiarkan semalaman dalam suhu ruang sehingga terlihat fraksi olein terpisah dengan fraksi stearin dalam erlenmeyer. Kemudian dilakukan tahap separasi dengan kertas Whatman dengan bantuan penyaring vakum.

Hasil yang diperoleh setelah dilakukan penyaringan pada proses II ini yaitu olein berwarna merah dan stearin berwarna kuning. Namun mutu olein yang dihasilkan tidak stabil. Olein yang disimpan semalaman akan berubah membentuk dua fase dalam wadah


(26)

penyimpanan. Fase yang mengendap diperkirakan stearin yang masih terdapat dalam olein. Hal ini tidak inginkan karena mengindikasikan olein masih tercampur dengan stearin dan memberikan kenampakan visual yang kurang baik.

Kegagalan dalam proses II ini dapat disebabkan karena laju pendinginan yang terlalu cepat. CPO yang bersuhu 50 °C dan langsung dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 20 °C mengakibatkan laju pendinginan yang cepat. Laju pendinginan yang cepat akan menghasilkan kristal yang berukuran kecil dan seragam. Kristal seperti ini mengakibatkan kesulitan dalam tahap separasi sehingga olein yang dihasilkan tidak memiliki mutu yang baik (Che & Swe 1995). Selain itu proses penyimpanan CPO selama semalaman pada suhu ruang setelah proses kristalisasi mengakibatkan kristal yang terbentuk menjadi rusak, sehingga sulit untuk melakukan separasi.

Secara umum proses II yang dicobakan belum memberikan hasil yang baik sehingga proses II ini tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk menghasilkan olein dan stearin.

c. Proses III

Proses III ini didisain dengan memodifikasi proses fraksinasi yang dilakukan Zaliha et al. (2004). Suhu kristalisasi yang dipilih yaitu 12 °C dengan mempertimbangkan suhu terendah yang dapat dicapai oleh alat pendingin yang terdapat di laboratorium.

Proses III ini juga dilakukan dengan memvariasikan waktu kristalisasi yaitu selama 16, 24, dan 48 jam dan kemudian dipilih waktu kristalisasi yang memberikan karakteristik olein terbaik. Sampel CPO dalam erlemeyer 250 ml mula-mula dipanaskan hingga suhu 50 °C dengan menggunakan hotplate. Setelah suhu 50 °C tercapai, dilakukan penurunan suhu CPO dengan laju 5 °C/30 menit sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Penurunan suhu ini dilakukan dalam waterbath. Setelah selesai proses penurunan suhu sampel CPO kemudian dimasukkan dalam refrigerator yang bersuhu 12 °C, tahapan ini disebut kristalisasi. Waktu kristalisasi dilakukan pada 3 waktu berbeda, yaitu 16, 24, 48 jam. Setelah selesai tahap kristalisasi maka dilanjutkan ke tahap separasi menggunakan kertas saring Whatman dengan bantuan penyaring vakum. Setelah diperoleh fraksi olein, dilakukan analisis terhadap olein untuk menentukan metode dengan waktu yang tepat untuk menghasilkan olein dengan karakter terbaik.

Proses III secara keseluruhan menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang baik secara visual serta stabil dalam penyimpanan suhu ruang. Untuk memperoleh kondisi proses terbaik maka dilakukan analisis terhadap olein yang dihasilkan dari masing-masing waktu kristalisasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis bilangan iod dan kandungan karoten. Proses fraksinasi yang menghasilkan olein dengan bilangan iod dan kandungan karoten tertinggi dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk fraksinasi selanjutnya.

Hasil analisis bilangan iod dan kandungan karoten olein yang dihasilkan pada proses III dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil analisis olein Proses III Waktu kristalisasi

(jam)

Bilangan iod (g iod/100 g)

Kadar karoten (ppm)

16 59.66 536.24

24 59.65 473.46


(27)

Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa proses fraksinasi yang menghasilkan olein dengan karakter terbaik yaitu waktu fraksinasi proses III dengan lama waktu kristalisasi 16 jam. Proses fraksinasi tersebut menghasilkan olein dengan rata-rata bilangan iod sebesar 59.66 g iod/100 g sampel dan kadar karoten oleinnya rata-rata 536.24 ppm. Dari data tersebut akhirnya dipilih metode fraksinasi proses III dengan waktu kristalisasi 16 jam. Diagram alir proses fraksinasi terpilih tersebut dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.

Gambar 12. Diagram alir proses fraksinasi CPO terpilih

Proses fraksinasi terpilih tersebut dilakukan secara manual dengan memanfaatkan peralatan yang ada di laboratorium. Skala kerja fraksinasi metode terpilih tersebut hanya dalam skala kecil dengan volume sampel CPO 250 ml, dimana penurunan suhu dilakukan pada waterbath berukuran kecil. Pada Gambar 13 terlihat kondisi CPO setelah pemanasan, dimana pemanasan dilakukan di atas hotplate dan sampel ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml.

Gambar 13. CPO setelah pemanasan 50 °C CPO

Pemanasan sampai suhu 50 0C

Pendinginan sampai 15 0C dengan laju 5 0C/30 menit

Kristalisasi pada suhu 12 0C selama 16 jam

Separasi/pemisahan

Olein Stearin


(28)

Setelah dipanaskan CPO tersebut kemudian didinginkan dengan laju penurunan suhu 5 °C/30 menit dalam waterbath (Gambar 14). Asmaranala (2004) melakukan fraksinasi NDRPO skala pilot plan dengan laju penurunan suhu yang bervariasi. Penurunan suhu pertama dilakukan dengan laju 13.33 °C/jam. Penurunan suhu ini dilakukan selama 3 jam dari suhu 75 °C sampai menjadi 35 °C. Penurunan suhu kedua dilakukan dengan laju 6.67 °C/jam selama 3 jam dari suhu 35 °C sampai menjadi 15 °C.

Sampel CPO yang telah mencapai suhu 15 °C kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 12 °C selama 16 jam dan dihasilkan CPO yang berbentuk kristal. Gambar 15 menunjukkan CPO setelah dikristalisasi.

Gambar 14. Penurunan suhu CPO dalam waterbath

Gambar 15. CPO setelah proses kristalisasi dan siap untuk diseparasi

Hasil dari proses kristalisasi tersebut kemudian diseparasi menggunakan penyaring vakum seperti pada Gambar 16 berikut. Proses separasi ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk 250 ml sampel CPO yang sudah dikristalisasi dibutuhkan waktu minimal 4 jam untuk memisahkan olein dengan stearinnya.


(29)

Gambar 16. Proses separasi

Asmaranala (2010) melakukan fraksinasi Neutralized Deodorized Red Palm Oil (NDRPO) dengan alat fraksinasi skala pilot plan. Alat tersebut dilengkapi dengan agitator yang bekerja selama proses kristalisasi. Kristal CPO yang dihasilkan tidak terlalu keras sehingga dapat dialirkan melalui pipa plastik dengan bantuan pompa sentrifugal ke dalam alat pemisah. Berbeda dengan proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini, pada proses tersebut tidak dilengkapi agitator sehingga mengakibatkan kristal yang terbentuk sangat keras dan mengakibatkan sulitnya pemisahan olein dan stearin selama proses separasi. Dapat dikatakan bahwa proses agitasi mempengaruhi kristal yang dihasilkan dari proses kristalisasi.

Proses fraksinasi yang dilakukan oleh Asmaranala (2010) dilakukan dengan memanaskan sampel NDRPO hingga suhu 75 °C dan diholding selama 15 menit. Jika dibandingkan dengan proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini, dimana pemanasan dilakukan sampai suhu 50 °C tanpa holding, proses tersebut menggunakan suhu pemanasan awal yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal itu dapat berpengaruh terhadap kandungan karoten yang terdapat pada fraksi olein yang dihasilkan. Pemanasan pada suhu tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat mendegradasi karoten yang terdapat pada sampel. Gross (1991) mengatakan bahwa laju oksidasi karotenoid dapat meningkat dengan peningkatan suhu. Kondisi fraksinasi NDRPO yang dilakukan oleh Asmaranala (2010) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kodisi fraksinasi NDRPO skala pilot plan

Kodisi Parameter kondisi

Laju perubahan suhu Waktu Kecepatan agitasi

Pemanasan hingga 75°C 1.50°C/menit 30 menit 30 rpm

Holding pada 75°C - 15 menit 30 rpm

Pendinginan hingga 35°C -13.33°C/jam 3 jam 8 rpm

Holding pada 35°C - 3 jam 8 rpm

Pendinginan hingga 15°C -6.67°C/jam 3 jam 8 rpm

Holding pada 15°C - 6 jam 8 rpm

Separasi Manual


(30)

C.

ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN

Sampel CPO yang sudah dianalisis kemudian difraksinasi masing-masing menghasilkan olein dan stearin. CPO C tidak difraksinasi karena memiliki kualitas yang kurang baik berupa kadar kotoran yang tinggi. Sedangkan CPO D tidak mencukupi jumlahnya untuk difraksinasi. Sebagai pengganti CPO C dipilih minyak sawit merah (SawitA). Hasil fraksinasi CPO A kemudian disimbolkan sebagai olein A dan stearin A begitu seterusnya sampai sampel CPO E. Untuk hasil fraksinasi minyak sawit merah (SawitA) disimbolkan dengan olein F dan stearin F.

Parameter karakteristik yang dianalisis meliputi bilangan iod, slip melting point, dan kadar karoten. Parameter ini dipilih karena dianggap mampu sebagai indikator mutu olein dan stearin hasil fraksinasi dan juga mampu menunjukkan efektivitas fraksinasi.

1. Bilangan iod

Olein dan stearin memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh asam lemak penyusunnya. Asam lemak penyusun olein didominasi oleh asam lemak tak jenuh sedangkan asam lemak penyusun stearin didominasi oleh asam lemak jenuh oleh karena itu olein memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibanding stearin. Menurut Basiron (2005) asam lemak penyusun olein terdiri dari asam oleat (C18:1) sekitar 40.7% sampai 43.9%, asam linoleat (C18:2) sekitar 10.4% sampai 13.4% dan asam palmitat (C16:0) sekitar 37.9% sampai 41.7%. Sedangkan asam lemak penyusun stearat terdiri dari asam palmitat (C16:0) sekitar 47.2% sampai 73.8%, asam oleat (C18:1) sekitar 15.6% - 37.0%, dan asam stearat (C18:0) sekitar 4.4% - 5.6%.

Codex Alimentarius Commision (CAC) (2003) menetapkan bilangan iod untuk olein lebih besar dari 56 g iod/100 g sedangkan bilangan iod stearin ditetapkan lebih kecil dari 48 g iod/ 100 g. Berdasarkan hasil analisis terhadap olein dan stearin dari hasil fraksinasi CPO seperti pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa bilangan iod olein berkisar antara 57.75-60.02 g iod/100 g. Sedangkan bilangan iod stearin berada pada kisaran 34.95-42.32 g iod/100 g. Nilai bilangan iod untuk olein dan stearin dari hasil fraksinasi NDRPO yang dilakukan Asmaranala (2010) sebesar 54.85 g iod/100 g dan 48.18 g iod/100 g. Nilai bilangan iod olein tersebut lebih kecil dari nilai bilangan iod olein dari proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini dan nilai bilangan iod stearinnya lebih besar dari bilangan iod stearin yang dihasilkan dari proses fraksinasi terpilih. Nilai bilangan iod baik untuk olein maupun stearin sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Codex (2003). Disamping itu dapat dikatakan bahwa olein dan stearin dari hasil fraksinasi telah memiliki kemurnian yang cukup baik.

Gambar 17. Bilangan iod olein dan stearin

59.66 57.91 60.02 57.75

38.99 36.68 42.32 34.95

0 10 20 30 40 50 60 70

A B E F

B il an gan yo d iu m Sampel Olein Stearin


(31)

2.

Slip melting point

Asam lemak penyusun olein terdiri dari asam lemak tidak jenuh oleh karena itu olein memiliki titik leleh yang relatif rendah. Sebaliknya asam lemak penyusun stearin didominasi oleh asam lemak jenuh sehingga memiliki titik leleh yang lebih rendah dibanding titik leleh olein. Olein berbentuk cair pada suhu ruang dan stearin berbentuk padat.

Berdasarkan hasil analisis, nilai slip melting point (SMP) olein lebih rendah dibanding nilai SMP stearin. Hal ini dipengaruhi derajat kejenuhan asam lemak penyusun olein dan stearin. Olein memiliki derajat kejenuhan yang lebih rendah sehingga nilai SMP-nya rendah sebaliknya stearin memiliki derajat kejenuhan yang lebih tinggi sehingga SMP-nya tinggi. Olein mengandung asam oleat (C18:1) lebih banyak dan asam palmitat (C16:0) lebih sedikit dibanding dengan stearin. Nilai SMP stearin berkisar antara 50.33-52°C. Sedangkan nilai SMP olein berkisar antara 18.33-24°C. Nilai SMP fraksi olein dan stearin dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 18. Nilai slip melting point olein dan stearin

Standar Codex Alimentarius Commission (CAC) (1999) menetapkan nilai SMP olein maksimal 24 °C dan nilai SMP stearin minimal 44 °C. Hal ini berarti fraksi olein dan stearin yang diperoleh dari fraksinasi terpilih masih memenuhi standar CAC (1999) dan memiliki mutu yang baik ditinjau dari segi kemurniannya.

3. Kadar karoten

Muchtadi (1992) menjelaskan bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu 60 °C dan reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan.

Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan asam lemak lebih muda menerima radikal bebas apabila dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi (Muchtadi 1992).

Suhu maksimal yang digunakan selama fraksinasi adalah 50 °C, suhu tersebut tidak menyebabkan kerusakan yang terlalu besar terhadap karoten yang terdapat pada olein. Penurunan kadar karoten kemungkinan disebabkan oleh oksidasi karena oksigen yang terlarut dalam CPO selama fraksinasi.

Berdasarkan hasil analisis terhadap kandungan karoten dari hasil fraksinasi CPO dapat dilihat bahwa kandungan karoten pada olein lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan

18.33 24 22.33 20

51 52 50.33 51

0 10 20 30 40 50 60

A B E F

S u h u C ) Sampel Olein Stearin


(32)

karotenoid pada stearin. Hal ini disebabkan karena karoten diduga lebih bersifat polar daripada trigliserida. Asam lemak tidak jenuh mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh sehingga karoten yang mempunyai ikatan rangkap lebih mudah larut dalam olein yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (Casiday & Frey 2001). Kandungan karoten dari empat sampel olein berkisar antara 438.31 -536.24 ppm sedangkan kandungan karoten pada stearin berkisar antara 215.24-276.13 ppm. Olein hasil fraksinasi NDRPO yang dilakukan oleh Asmaranala (2010) mengandung total karoten 382.60 ppm sedangkan total karoten stearin nya sebesar 276.08 ppm. Dengan demikian total karoten olein yang diperoleh dari fraksinasi CPO dengan metode terpilih lebih tinggi dibanding total karoten olein dari hasil fraksinasi yang dilakukan oleh Asmaranala (2010).

Gambar 19. Kandungan karoten olein, stearin dan karoten awal

Recovery karoten digunakan untuk menghitung tingkat efisiensi proses fraksinasi dalam mempertahankan karoten pada produk fraksinasi. Recovery karoten merupakan perbandingan total karoten pada olein dan stearin dengan total karoten pada CPO awal sebelum fraksinasi. Nilai recovery karoten pada pada fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7. Recovery karoten pada proses fraksinasi

Sampel Recovery karoten (%)

A 56.76

B 51.97

E 74.52

F 62.00

Rata-rata 61.31

816

772

501 543

276 245 236 215

536

462 438 472

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

A B E F

To tal k ar o te n (p p m ) Sampel CPO Awal Stearin Olein


(1)

Lampiran 9. Hasil analisis bilangan iod stearin

Sampel

Berat sampel

(g)

Nomalitas V blanko (ml)

V sampel (ml)

Bilangan Iod

Rata-rata SD

Stearin A 0.2690 0.0978 23.45 15.10 38.52 38.99 0.66

0.2516 0.0978 23.45 15.45 39.46

Stearin B 0.2598 0.1000 23.65 15.80 38.34 36.29 2.89

0.2798 0.1000 23.65 16.10 34.24

Stearin E 0.2896 0.1000 23.65 14.15 41.63 42.32 0.97

0.2523 0.1000 23.65 15.10 43.00

Stearin F 0.2611 0.0978 23.45 16.45 33.27 34.95 2.37


(2)

Lampiran 10. Hasil analisis karoten olein

Sampel Berat

Sampel (g)

Absorbansi Karoten (ppm)

Rata-rata

1 2 1 2

Olein A 0.1066 0.596 0.598 535.34 537.13 536.24

Olein B 0.1207 0.580 0.586 460.11 464.87 462.49

Olein E 0.1062 0.504 0.504 438.31 438.31 438.31


(3)

Lampiran 11. Hasil Analisis karoten stearin

Sampel Berat

Sampel (g)

Absorbansi Karoten (ppm) Rata-rata

1 2 1 2

Stearin A 0.1179 0.343 0.337 278.56 273.69 276.13

Stearin B 0.1243 0.322 0.315 248.04 242.65 245.35

Stearin E 0.1074 0.266 0.263 237.15 234.47 235.81


(4)

Lampiran 12. Hasil analisis slip melting point olein

Sampel Slip melting point 1

Slip melting point 2

Slip melting pont

3 Rata-rata

Olein A 18 19 18 18.33

Olein B 24 24 24 24

Olein E 22 22 23 22.33


(5)

Lampiran 13. Hasil analisis slip melting point stearin Sampel Slip melting point

1

Slip melting point 2

Slip melting pont

3 Rata-rata

Sterain A 51 51 51 51

Stearin B 52 52 52 52

Stearin E 50 51 50 50.33


(6)

Lampiran 14. Recovery karoten proses fraksinasi terpilih Sampel Volume

CPO awal (ml) Volume olein (ml) Volume stearin (ml) Total karoten CPO Total karoten Olein Total karoten Stearin Recovery karoten (%)

A 250 180 70 204.000 96.480 19.320 56.76

B 250 180 70 193.000 83.160 17.150 51.97

E 250 170 80 125.250 74.460 18.880 74.52

F 250 175 75 135.750 82.600 1.575 62.00

Lampiran 15. Gambar pengukuran slip melting point

Lampiran 16. Gambar pipa kapiler pengukuran slip melting point

Lampiran 17. Gambar olein hasil fraksinasi