Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar

(1)

STUDY OF FAT CRYSTALLIZATION PROPERTIES OF CRUDE PALM OIL

Hanna Mery Aulia, Nur Wulandari

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering

and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX

220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 856 92225790, e-mail: hanna_mery@yahoo.com

ABSTRACT

Indonesia is the biggest crude palm oil (CPO) producer in the world. Study on fat crystallization of CPO is needed to improve the knowledge of CPO handling during storage and transportation. The aim of this study is to characterize fat crystallization properties of CPO related to storage and transportation. Solid fat content (SFC) of CPO were decreased in higher temperature. After four weeks storage, SFC of CPO were increased at 20 ºC and 25 ºC, but were decreased at 30-40 ºC. CPO crystallized in slow cooling rate (0.2 ºC/minute) had higher SFC, meanwhile CPO crystallized in faster cooling rate (0.5 ºC/minute and 1 ºC/minute) had lower SFC. CPO which crystallized under slow cooling resulted higher Avrami constant (k) and lower Avrami exponent (n) than CPO which crystallized under fast cooling. The Avrami constant on cooling rate 0.2 ºC/minute, 0.5ºC/minute, and 1 ºC/minute were 0.013, 0.003, and 0.002 respectively. CPO which crystallized under fast cooling had higher induction time and crystallization half time. The Avrami exponent on cooling rate 0.2 ºC/minute, 0.5 ºC/minute, and 1 ºC/minute was 1.614, 2.032, and 2.170 repectively. Faster crystallization occured on higher shear rate. CPO which crystallized under higher shear rate had longer induction time than lower shear rate.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO)terbesar

di dunia. Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat setiap tahunnya. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan bahwa volume ekspor CPO Indonesia tahun 2010 mencapai 15.656.349 ton, naik 0.8% dibanding ekspor 2009 yang sebesar 15.528.851 ton. Dengan meningkatnya volume ekspor CPO Indonesia, maka upaya penanganan CPO selama penyimpanan dan transportasi perlu terus dilakukan agar daya saing CPO Indonesia semakin meningkat.

Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam proses penyimpanan dan transportasi CPO adalah terjadinya kristalisasi lemak. Proses kristalisasi lemak pada CPO mengakibatkan terbentuknya fraksi stearin dengan titik leleh tinggi dan fraksi olein dengan titik leleh rendah. Komposisi CPO terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh yang mengakibatkan minyak sawit akan mengalami kristalisasi pada suhu rendah dan terpisah menjadi fraksi stearin dan olein (Deffense 1985).

Kristalisasi lemak merupakan salah satu parameter penting dalam rekayasa proses penyimpanan dan transportasi CPO. Kristalisasi lemak pada CPO terjadi apabila suhu transportasi atau penyimpanan tidak sesuai yang membuat lemak pada CPO memadat dan kemudian membentuk kristal. Suhu penyimpanan dan transportasi yang dipilih harus dapat meminimalkan pembentukan kristal dan kerusakan mutu CPO.

Codex Alimentarius Commision (CAC) (2005) merekomendasikan suhu maksimal dalam

transportasi CPO sebesar 55 ºC dan suhu penyimpanan maksimal 40 ºC. Hal ini menyebabkan perlu adanya pemanasan dari proses penyimpanan sebelum transportasi. Pembentukkan kristal lemak selama proses penyimpanan dan transportasi menggunakan pipa akan merugikan. Kristal lemak yang terbentuk selama transportasi akan menyumbat pipa sehingga laju alirnya akan terhambat. Proses pemanasan perlu dilakukan agar kristal lemak yang terbentuk meleleh sehingga laju alir CPO kembali lancar. Proses pemanasan untuk melelehkan kristal lemak memerlukan energi dan biaya tambahan. Untuk mengefisiensikan pemanasan dan meminimalkan kristal yang terbentuk diperlukan informasi yang cukup mengenai kristalisasi lemak pada CPO.

Kristalisasi lemak terjadi pada proses pendinginan lemak hingga mencapai suhu tertentu saat terbentuk kristal. Kristalisasi lemak dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pembentukan nuklei dan perkembangan kristal (Ariana & Purboyo 1995). Lemak yang mengalami kristalisasi membentuk molekul/atom yang rigrid, beraturan (highly ordered) dan berbentuk tiga dimensi

(Nawar 1985).

Kristalisasi lemak merupakan proses yang kompleks. Parameter-parameter proses seperti

suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et

al. 1989). Tinjauan terhadap beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang kristalisasi

minyak/lemak menunjukkan bahwa proses kristalisasi minyak/lemak sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, laju pendinginan, serta gaya geser yang diterapkan.

Penelitian yang terkait dengan sifat kristalisasi minyak sawit telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Graef et al. (2008; 2009), Braipson dan Gibon (2007); serta Tarabukina et al.


(3)

2

telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO), sedangkan penelitian

mengenai karakteristik kristalisasi CPO belum banyak dilakukan.

Miskandar et al. (2003) serta Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa adanya

komponen minor atau kotoran yang terdapat di dalam minyak sawit kasar sangat besar pengaruhnya pada proses kristalisasi yang terjadi, sehingga fenomena kristalisasi antara minyak sawit yang telah mengalami pemurnian sangat berbeda dengan yang terjadi pada minyak sawit kasar. Dengan demikian, kajian sifat kristalisasi yang fokus pada sampel CPO perlu dilakukan.

Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap sifat kristalisasi lemak pada CPO. Parameter-parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak yaitu suhu, laju pendinginan, dan

shear rate akan dikaji pada pada penelitian ini.

B.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan memperoleh data dan informasi lengkap mengenai karakteristik

kristalisasi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO), beserta parameter kinetika

kristalisasinya.

C.

MANFAAT

Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah dapat dikembangkannya teknik kendali kristalisasi selama penyimpanan dan transportasi CPO berdasarkan data dasar yang diperoleh.


(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

MINYAK SAWIT KASAR/ CRUDE PALM OIL (CPO)

1. Botani Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis

golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit (Elaies guinneensis Jacq)

adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis yang dikenal sebagai penghasil minyak nabati ini berasal dari Benua Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali kelapa sawit tumbuh (Lubis 1992).

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 15 ºLintang Utara- 15 ºLintang Selatan pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut (Lubis 1992). Curah hujan minimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1000-1500 mm/tahun dan terbagi rata sepanjang tahun. Suhu optimum pertumbuhan tanaman kelapa sawit sebesar

26 oC dengan kelembaban rata-rata 75%. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada

bermacam-macam tanah, dengan syarat gembur, aerasi dan drainase baik, dan kaya akan humus pada pH optimum 5.5-7 (LITPAN 1992).

Menurut Naibaho (1998), tanaman kelapa sawit sudah mulai menghasilkan buah pada usia 24-30 bulan dan mencapai puncaknya setelah 12-15 tahun. Buah yang pertama keluar masih dinyatakan dalam buah pasir yang memiliki arti belum dapat diolah dalam pabrik karena masih mengandung kadar minyak yang rendah. Buah sawit berukuran kecil antara 12-18 gram/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari 10-18 butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk tandan.

Saat ini terdapat empat tipe atau varietas kelapa sawit yang biasa ditanam oleh petani ataupun perusahaan sawit. Menurut Ketaren (2005), keempat varietas tersebut dibedakan

berdasarkan ketebalan tempurung seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit.

Tipe Tebal Tempurung (mm)

Macrocarya >5

Dura 3-5

Tenera 2-3

Pisifera <2

Sumber : Ketaren (2005)

Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu eksokarp, mesokarp, dan endokarp.

Penampang melintang buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Menurut Naibaho (1998), hasil utama dari buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit. Minyak sawit terdapat pada bagian mesokarp, sedangkan minyak inti sawit terdapat pada bagian endokarp. Minyak sawit dan minyak inti sawit terbentuk setelah 100 hari setelah penyerbukan dan berhenti setelah 180 hari atau setelah minyak dalam buah sudah jenuh. Pembentukan minyak akan berakhir jika tandan yang bersangkutan telah terdapat buah yang membrondol.


(5)

4

Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit.

Penggunaan kelapa sawit sangat luas, yaitu 90% digunakan untuk bahan pangan dan 10% untuk bahan non-pangan. Komponen dalam minyak sawit yang digunakan sebagai bahan pangan adalah minyaknya, baik minyak sawit maupun minyak inti sawit.

2. Teknologi Produksi CPO

Pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO melalui beberapa stasiun proses, yaitu: a. Stasiun penerimaan buah (fruit reception)

Stasiun ini berfungsi menerima buah sawit yang telah dipanen dari kebun. Pada stasiun ini dilakukan penimbangan terhadap buah sawit. Untuk menghindari kerusakan akibat penimbunan tandan buah segar (TBS), maka TBS harus segera diproses (Corley & Tinker 2003)

b. Stasiun perebusan (sterilizer)

Buah yang telah ditimbang selanjutnya direbus dengan menggunakan uap panas. Proses sterilisasi umumnya dilakukan pada bejana tekan horizontal (Basiron 2005). Proses sterilisasi dilakukan dengan uap bertekanan 3 kg/cm2 pada suhu 143 ºC selama satu jam

(Basiron 2005 dan Corley & Tinker 2003). Perebusan yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan kadar minyak dan pemucatan kernel, namun perebusan yang terlalu cepat menyebabkan buah tidak dapat rontok dari tandannya. Tujuan perebusan pada tahapan produksi CPO adalah mematikan enzim lipase yang menyebabkan kenaikan asam lemak bebas (ALB), mempermudah pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang, memperlunak buah sehingga mempermudah saat proses penebahan, dan mengkoagulasikan protein sehingga memudahkan saat pemurnian minyak (Basiron 2005).

c. Stasiun penebahan (threshing station)

Buah yang telah distrerilisasi selanjutnya dikirim ke stasiun penebahan untuk dipisahkan dari tangkainya (Corley & Tinker 2003). Menurut Basiron (2005) ada dua metode pemisahan buah dari tangkai, yaitu dengan getaran dan pukulan. Namun saat ini pemisahan buah dari tangkainya sudah menggunakan drum yang berputar dengan kecepatan 20-25 rpm.

Brondolan buah sawit yang keluar dari bagian bawah drum ditampung oleh sebuah conveyor

lalu diangkat dengan fruit elevator untuk dikirim ke bagian digesting dan pressing.

d. Stasiun kempa (pressing station)

Pada stasiun ini daging buah dan biji diekstrak atau diperas sehingga menghasilkan minyak. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 90-100 ºC selama 20 menit (Basiron 2005).

Mesokarp

Tempurung


(6)

5 e. Stasiun pemurnian minyak (clarification station)

Minyak kasar hasil pengepresan mengandung 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan (Basiron 2005). Menurut Corley dan Tinker (2003) proses pemurnian minyak bertujuan mendapatkan kadar air, kadar kotoran, dan ALB yang sesuai dengan standar. Tahapan proses di stasiun klarifikasi adalah tahap penyaringan crude oil dengan vibrating screen, tahap pemisahan minyak pada tangki, tahap pemurnian minyak, tahap pengambilan

minyak dari sludge, dan tahap pengurangan kadar air.

B.

SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT

1. Sifat Kimia Minyak Sawit

Menurut Naibaho (1998) tanaman kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak nabati, yaitu minyak sawit dan minyak inti sawit. Kedua jenis minyak tersebut mempunyai

perbedaan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 2. Minyak sawit merupakan hasil ekstraksi

daging buah (mesokarp) dari tanaman Elaeis guinneensis. Minyak inti sawit merupakan hasil

pengepresan endokarp dari tanaman Elaeis guinneensis.

Tabel 2 Sifat fisiko kimia minyak sawit kasar dan minyak inti sawit

Sumber : Ketaren (2005)

Bilangan Iod menggambarkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak yang dihitung berdasarkan perbandingan asam lemak jenuh dan tidak jenuh penyusun lemak tersebut. Data

pada Tabel 2 menunjukan bilangan Iod minyak sawit dan minyak inti sawit adalah 48-56 dan

14-20 g Iod/100 g minyak. Perbedaan ini terjadi karena asam lemak penyusun kedua minyak tersebut berbeda. Asam lemak dominan penyusun minyak sawit adalah 47% asam palmitat dan 41% asam oleat (Basiron 2005). Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun minyak sawit menyebabkan bilangan Iod minyak sawit berkisar 48-56 g Iod/100 g minyak. Minyak inti sawit tersusun atas 48% asam laurat, 16% asam miristat, dan 15% asam oleat (Pantrazis & Basiron 2002). Asam lemak dominan penyusun minyak inti sawit adalah asam laurat yang merupakan asam lemak jenuh. Hal inilah yang menyebabkan bilangan Iod minyak inti sawit rendah yaitu berkisar 14-20 g Iod/100 g minyak.

Menurut Ketaren (2005), bilangan penyabunan adalah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan sejumlah minyak. Bilangan penyabunan dinyatakan dalam miligram kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Kalium hidroksida akan bereaksi dengan asam lemak membentuk garam asam lemak. Bilangan penyabunan minyak sawit lebih rendah daripada bilangan penyabunan minyak inti sawit karena pada minyak sawit terdapat komponen yang tidak tersabunkan. Menurut Lin (2002) dalam minyak sawit terdapat komponen yang tidak dapat disabunkan seperti sterol, pigmen, dan hidrokarbon.

CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh menyebabkan CPO lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lainnya dan CPO berwujud semisolid

Sifat Minyak Sawit Minyak Inti Sawit

Bobot jenis pada suhu kamar 0.900 0.900-0.913

Indeks bias D (40 ºC) 1.4565-1.4585 1.495-1.415

Bilangan Iod (g Iod/100 g minyak) 48-56 14-20


(7)

6

pada suhu ruang (Basiron 2005). Menurut Rohani et al. (2006), komponen utama dalam CPO

adalah triacylglicerol (TAG) yaitu sebesar 95%. TAG merupakan kombinasi dari gliserol dan

tiga asam lemak. Komposisi asam lemak dan TAG penyusun minyak sawit dapat dilihat pada

Tabel 3 dan Tabel 4

Tabel 3 Asam lemak penyusun minyak sawit.

Jenis asam lemak Komposisi (%)

Asam kaprat (C10:0) 1-3

Asam laurat (C12:0) 0.1-1

Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5

Asam palmitat (C16:0) Asam palmitoleat (C16:1)

41.8-46.8 0.1-0.3

Asam stearat (C18:0) 4.2-5.1

Asam oleat (C18:1) 37.3-40.8

Asam linoleat (C18:2) 9.1-11.0

Asam linolenat (C18:3) 0-0.6

Asam arakhidonat (C20:0) 0.2-0.7

Sumber : Basiron (2005)

Tabel 4 Komposisi TAG penyusun minyak sawit

Jenuh 1 ikatan ganda 2 ikatan ganda 3 ikatan ganda 4 ikatan ganda

[%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b]

MPP 0.29 MOP 0.83 MLP 0.26 MLO 0.14 PLL 1.08

PMP 0.22 MPO 0.15 MOO 0.43 PLO 6.59 OLO 1.71

PPP 6.91 POP 20.02 PLP 6.36 POL 3.39 OOL 1.76

PPS 1.21 POS 3.5 PLS 1.11 SLO 0.60 OLL 0.56

PSP 0.12 PMO 0.22 PPL 1.17 SOL 0.30 LOL 0.14

PPO 7.16 SPL 0.10 OSL 0.11

PSO 0.68 POO 20.54 OOO 5.38

SOS 0.15 SOO 1.81 OPL 0.61

SPO 0.63 SPO 1.86

OSO 0.81

Lainnya 0.16 0.34 0.19 0.15 0.22

Total 9.15 33.68 34.01 34.01 5.47

M : asam lemak miristat P: asam lemak palmitat S: asam lemak stearat O: asam lemak oleat L : asam lemak linolenat

Sumber : Gee (2007)

CPO memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada minyak sawit sebesar 41.8-46.8%, sedangkan asam oleat sebesar 37.3-240.8% (Basiron 2005). Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64 ºC (Belitz & Grosch

1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi.

Asam oleat adalah asam lemak tidak jenuh dengan rantai panjang C18 dan memiliki dua ikatan

rangkap. Titik cair oleat adalah 14 ºC (Ketaren 2005). TAG dominan penyusun minyak sawit adalah POP dengan titik leleh 38 ºC (Smith 2001). Setiap TAG memiliki titik leleh tertentu yang bergantung pada derajat kejenuhan dan panjang rantai asam lemak penyusunnya.


(8)

7 Selain kandungan asam lemak terdapat juga komponen minor pada minyak sawit yang mempengaruhi kualitasnya. Kandungan komponen minor pada CPO dapat dilihat pada

Tabel 5. Kandungan komponen minor mempunyai peranan penting dalam kestabilan minyak

walaupun kandungannya hanya 1%. Faktor lain yang menentukan kualitas minyak sawit adalah bau, flavor, dan warna. Menurut Ketaren (2005), asam lemak dan TAG tidak berwarna. Bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh gugus beta ionone dari karotenoid. Bau menyimpang pada minyak sawit terbentuk akibat kerusakan asam lemak rantai pendek.

Tabel 5 Kandungan komponen minor pada CPO

Komponen minor Kandungan (ppm)

Karoten 500-700

Tokoferol dan tokotrienol 600-1000

Sterol 326-527

Ubiquinone 10-80

Squalene 200-500

Phospolipid 5-130

Triterpene alkohol 40-80

Metil sterol 40-80

Alifatik alkohol 100-200

Sumber : Lin (2002)

CPO mempunyai warna merah yang diakibatkan oleh adanya karotenoid. CPO mengandung 500-700 ppm karotenoid (Basiron 2005). Karotenoid yang terdeteksi terdiri dari

α-karoten, -karoten, dan likopen dalam jumlah yang sedikit sekali (Muchtadi & Sugiyono

1992). Karotenoid sangat larut dalam minyak. Bila minyak dihidrogenasi maka warna merah dari karotenoid akan berkurang. Karotenoid memiliki sifat tidak stabil pada suhu tinggi. Pada minyak sawit, kandungan karotenoid jarang dihilangkan sepenuhnya karena merupakan pro vitamin A (Winarno 1992). Menurut Hartley (1987) terdapat dua jenis warna buah sawit yang berbeda, satu berwarna merah dan lainnya berwarna oranye. Kedua warna buah tersebut memberikan kandungan karoten yang berbeda. Pada buah yang berwarna merah, total karoten di dalam mesokarp kering berkisar 207 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak berkisar 2560 ppm, sedangkan untuk buah yang berwarna oranye, total karoten di dalam mesokarp hanya 89 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak hanya 1100 ppm.

Perbedaan lain antara minyak sawit dengan minyak nabati lainnya adalah adanya kandungan tokoferol dan tokotrienol. Menurut Law dan Thiaharajan (1989), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E) ditemukan dalam produk minyak sawit berkisar dari 600-1000 ppm dengan komposisi 83% tokotrienol dari total vitamin E. Menurut Basiron (2005) kandungan tokoferol dan tokotrienol pada minyak sawit yang telah dimurnikan akan berkurang sebesar 50%. Tokoferol dan tokotrienol sangat penting bagi kesehatan karena befungsi sebagai antioksidan alami (pengikat radikal bebas).

2. Sifat Fisik Minyak Sawit

Sifat fisik minyak sawit yang penting untuk diketahui antara lain densitas, indeks refraktif, slip melting point (SMP), dan solid fat content (SFC). Menurut Winarno (1992),

SMP merupakan suhu saat minyak atau lemak berubah wujud dari padat menjadi cair. Titik leleh minyak atau lemak ditentukan oleh ada tidaknya ikatan rangkap pada asam lemak


(9)

8 penyusunnya. Komposisi asam lemak pada CPO beraneka ragam yang masing-masing memiliki titik leleh berbeda-beda sehingga titik leleh CPO merupakan suatu kisaran.

Menurut Lin (2002), SFC merupakan jumlah kandungan lemak padat yang terdapat pada suatu lemak. Lemak padat dihasilkan dari proses kristalisasi. Nilai SFC sering digunakan untuk menggambarkan daya oles (spreadability) suatu bahan pangan pada suhu tertentu.

Karakteristik fisik minyak sawit yang diteliti oleh Lin (2002) dan Basiron (2005) tersaji pada

Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik fisik minyak sawit

Karakteristik Kisaran Rata-rata

Indeks Refraktif (50 ºC) 1.4544-1.4550(a) 1.4548(a)

1.455-1.456(b) 1.455(b)

Densitas (50 ºC) 0.8896-0.8910(a) 0.8899(a)

0.888-0.889(b) 0.889(b)

Slip Melting Point (ºC) 32-40

(a)

31.1-37.6(b) 34.2(b)

Solid Fat Content (SFC)

5 ºC 50.7-68(b) 60.5(b)

10 ºC 46.1-60.8(a) 53.7(a)

40.0-55.2(b) 49.6(b)

15 ºC 33.4-50.8(a) 39.1(a)

27.2-39.7(b) 34.7(b)

20 ºC 21.6-31.3(a) 26.1(a)

14.7-27.9(b) 22.5(b)

25 ºC 12.1-20.7(a) 16.3(a)

6.5-18.5(b) 13.5(b)

30 ºC 6.1-14.3(a) 10.5(a)

4.5-14.1(b) 9.2(b)

35 ºC 3.5-11.7(a) 7.9(a)

1.8-11.7(b) 6.6(b)

40 ºC 0.0-8.3(a) 4.6(a)

0.0-7.5(b) 4(b)

45 ºC 0.7(b)

Sumber : (a)Lin (2002) (b)Basiron (2005)

SFC menunjukkan banyaknya kandungan lemak padat pada suatu lipid. Menurut Basiron (2005), kandungan TAG menentukan SFC CPO. Pada suhu 10 ºC, SFC CPO mencapai 50% dan

akan berkurang menjadi separuhnya saat suhu 20 ºC. Penambahan 10% diacylgliserol (DAG) akan


(10)

9

C.

KRISTALISASI LEMAK

1. Mekanisme Kristalisasi Lemak

Pada proses pengolahan produk pangan berbasis lemak, sangat penting untuk mengontrol kristalisasi lemak untuk mendapatkan jumlah, ukuran, polimorfisme, dan fase dispersi kristal yang diinginkan. Pada produk pangan berbasis lemak, kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh kristalisasi TAG, namun kristalisasi komponen lemak lainnya yaitu

DAG, monoacylglicerol (MAG), dan fosfolipid juga turut berperan besar.

Menurut Winarno (1992), bila suatu lemak didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul dalam lemak, sehingga jarak antar molekul lebih

kecil. Jika jarak antar molekul tersebut mencapai 5Ǻ, maka akan timbul gaya tarik menarik

antar molekul. Akibat adanya gaya ini, radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal.

Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan

bentuk struktur kristalin produk berlemak. Menurut Lawler dan Dimick (2002), proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan

dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga akan terjadi pembentukan inti

(nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth).

Menurut Metin dan Hartel (2005), driving force untuk terjadinya kristalisasi adalah

adanya perbedaan suhu aktual (T) di bawah suhu titik leleh (melting temperature, Tm) TAG.

Pada lemak alami, terjadi interaksi yang kompleks diantara campuran TAG dengan jenis asam lemak dan titik leleh yang berbeda. Hal ini menyebabkan lemak alami memiliki kisaran titik leleh yang lebar. Beberapa peneliti menggunakan titik leleh TAG tertinggi sebagai acuan driving force kristalisasi. Bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari

komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG, yang dikenal dengan kandungan lemak padat (solid fat content/SFC).

Menurut Lawler dan Dimick (1998), saat bulk minyak dikristalisasi, massa minyak

tidak terkristalisasi secara serempak. Pada kenyataannya, kristalisasi dimulai pada sisi-sisi tertentu saat suhu mencapai tingkat yang mampu membentuk inti kristal. Dengan demikian, saat lemak yang dilelehkan mengalami pendinginan, akan terbentuk produk dengan tekstur granular akibat kristalisasi yang terjadi secara bertahap (gradual) pada setiap gliserida.

Kristalisasi pada lemak alami diawali dengan pembentukan kristal yang tipis dan

berupa platelet yang cukup panjang, dan dilanjutkan dengan agregasi kristal lemak

membentuk spherulites dari ukuran beberapa mikron hingga 300 mm. Bila kristalisasi terjadi

sangat lambat, kristal spherulites yang sangat besar akan terbentuk. Sebaliknya, pendinginan

yang cepat pada suhu rendah akan menghasilkan kristal yang halus dan acak. Dengan demikian, laju pendingian merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan mikrostruktur kristal lemak (Metin & Hartel 2005).

Menurut Richard et al.(2000), lemak yang telah dilelehkan memiliki kecenderungan

untuk mengingat struktur dan bentuk kristal sebelum dilelehkan. Untuk menghilangkan ingatan tersebut, lemak harus dipanaskan pada suhu 30 oC di atas titik lelehnya.


(11)

10

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kristalisasi Lemak

Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak juga akan mempengaruhi kinetika kristalisasinya. Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak meliputi komposisi TAG, laju pendinginan, agitasi, suhu kristalisasi, dan komponen minor pada lemak.

a. Laju Pendinginan (Cooling Rate)

Kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan. Pendinginan cepat menyebabkan nukleasi terjadi pada suhu yang lebih rendah dibanding dengan pendinginan lambat. Laju pendinginan juga berpengaruh pada laju nukleasi, yang mempengaruhi ukuran kristal. Pendinginan cepat sampai suhu rendah menyebabkan laju nukleasi cepat dan mengakibatkan pembentukan kristal kecil. Ketika lemak didinginkan dengan lambat, kristal terbentuk dengan ukuran yang lebih besar. Laju pendinginan juga mempengaruhi mikrostruktur kristal (Metin & Hartel 2005)

Pada laju pendinginan cepat, akan terbentuk kristal-kristal lemak yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi

terlalu rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang ada di sekelilingnya (Che & Swe 1995).

Menurut Lawson (1995), ketika MAG didinginkan secara cepat, kristal pertama

yang terbentuk adalah bentuk α. Bentuk kristal ini akan berubah secara irreversible

menjadi bentuk ‟ yang lebih stabil. Pada akhirnya kristal ‟ akan berubah menjadi

bentuk kristal yang merupakan bentuk kristal paling stabil.

Pada proses pendinginan minyak dan lemak yang dilakukan secara mendadak, terjadi pembentukan kristal campuran dari TAG yang bertitik leleh tinggi dan rendah (Man et al. 1989). Di lain pihak, pendinginan cepat yang dibantu dengan proses

pengadukan menyebabkan terjadinya kristalisasi TAG bertitik leleh tinggi dan rendah

pada waktu yang bersamaan (Borwanker et al. 1992). Pengadukan dan agitasi juga dapat

memperlunak tekstur produk dan menurunkan kadar lemak padat (solid fat content/SFC)

selama penyimpanan (Herrera & Hartel 2000).

b. Komponen Minor

Menurut Metin dan Hartel (2005), komponen minor yang dapat mempengaruhi kristalisasi lemak adalah lemak yang lebih polar seperti DAG, MAG, asam lemak bebas, fosfolipid, dan sterol. Kehadiran komponen ini mempercepat proses kristalisasi lemak tetapi pada keadaan lain dapat menghambat.

Adanya komponen-komponen pengotor lain selain lemak (impurities), akan

berpengaruh terhadap terjadinya kristalisasi (Miskandar et al. 2003). Menurut Timms

(1997), adanya kotoran dalam minyak biasanya menyebabkan penurunan laju nukleasi. Diasumsikan bahwa kotoran tersebut mengotori sisi pertumbuhan kristal pada inti kristal. Sejumlah kecil pengotor dapat menurunkan laju nukleasi hingga beberapa kali lipat.

Metin dan Hartel (2005) menyebutkan bahwa adanya pengotor pada crude oil akan

mempercepat terjadinya kristalisasi lemak. Dengan demikian proses kristalisasi CPO akan berlangsung lebih kompleks dibandingkan kristalisasi RBDPO. Menurut Siew dan Ng (1996), kristalisasi RBD olein ditentukan oleh adanya perbedaan titik leleh dari komponen TAG maupun adanya gliserida parsial lain seperti DAG dan MAG.


(12)

11

c. Komposisi TAG

Lemak alami mengandung beberapa jenis TAG dengan asam lemak yang berbeda panjang rantainya, dan derajat kejenuhannya. Basiron (2005) mengemukakan bahwa minyak sawit mengandung kombinasi asam-asam lemak dengan panjang rantai dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda, dan di dalamnya terkandung TAG dengan titik leleh yang rendah dan tinggi. Kristalisasi minyak sawit pada pendinginan yang terkontrol diikuti dengan proses separasi akan menghasilkan fase cairan bertitik leleh rendah (olein), dan fase padat bertitik leleh tinggi (stearin), dengan rasio olein terhadap stearin sekitar 7:3 (Ong et al. 1995).

CPO mengandung 4-8% DAG, yang dapat membentuk campuran eutectic

dengan TAG, yang menghasilkan kadar padatan yang rendah dan dapat memperlambat laju kristalisasi. MAG dalam CPO kurang dari 1% dan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap proses kristalisasi (Basiron 2005).

d. Agitasi

Kecepatan pengadukan umumnya mempengaruhi nukleasi dan pertumbuhan kristal. Namun, pengaruh laju pengadukan sangat kompleks karena terkadang sulit untuk mengetahui perbedaan pengadukan dan laju pendinginan pada kristalisasi. Menurut Metin dan Hartel (2005), agitasi menaikkan nukleasi karena adanya mekanisme penggangguan

terhadap supply energi. Laju pendinginan lambat dan agitasi lambat pada lemak

menghasilkan kenaikan sejumlah kristal sehingga cakupan pelelehan meningkat. Laju agitasi tinggi menghasilkan laju kristalisasi yang tinggi pula dan kristal lemak yang kecil.

e. Suhu Kristalisasi

Parameter yang paling penting dalam mempengaruhi kristalisasi lemak adalah suhu kristalisasi dimana lemak membeku di bawah titik lelehnya. Ketika suhu kristalisasi dinaikkan, maka suhu nukleasi meningkat dan waktu induksi untuk kristalisasi bertambah. Pada lemak alami dimana panjang rantai asam lemaknya berbeda, kristal lemak dapat terbentuk jika panjang rantai dan titik lelehnya berdekatan (Metin & Hartel 2005).

3. Kinetika Kristalisasi Lemak

Pengetahuan mengenai kinetika kristalisasi lemak penting untuk menentukan parameter proses (suhu kristalisasi dan laju pendinginan) yang tepat agar dihasilkan produk dengan jumlah, ukuran, dan polimorfisme kristal lemak yang diinginkan. Pemodelan kinetika kristalisasi lemak telah dilakukan, yaitu model Avrami dan model Fisher-Turnbull. Model Fisher-Turnbull melihat nukleasi berdasarkan pada perubahan energi (Metin & Hartel 2005).

Menurut Himawan et al. (2006), model Avrami banyak digunakan untuk melihat kinetika

kristalisasi lemak saat isotermal. Model Avrami menggambarkan laju kristalisasi dan mekanisme pembentukan inti kristal lemak (nucleation). Menurut Metin dan Hartel (2005),

persamaan Avrami (Persamaan 1), banyak digunakan untuk menggambarkan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal lemak.

1− � = exp[−���] (1)


(13)

12

F adalah fraksi kristal yang terbentuk selama waktu kristalisasi t (menit), k adalah

laju kristalisasi konstan yang ditentukan terutama oleh suhu kristalisasi, dan n adalah

eksponen Avrami.

Eksponen Avrami (n) adalah fungsi dari dimensi pertumbuhan kristal, dan

menggambarkan mekanisme nukleasi dan pertumbuhan kristal secara detail (Tabel 7). Metin

dan Hartel (1998) menggunakan model persamaan Avrami untuk melihat kinetika kristaliasi lemak pada cocoa butter,lemak susu, dan milk fat fraction. Eksponen Avrami (n) untuk cocoa butter,lemak susu, dan milk fat fraction masing-masing bernilai 4,3, dan 2. Nilai eksponen

Avrami (n) bernilai 4, 3, dan 2 menunjukkan pembentukan inti secara heterogenous nucleation,

instantaneous nuclei, dan high nucleation rate.

Tabel 7. Hubungan antara mekanisme pertumbuhan kristal lemak dengan eksponen Avrami

(n)

Mekanisme pertumbuhan kristal Nilai konstanta n**

Polyhedral Plate-like

Silinder

4 3 2 ** n = indeks persamaan Avrami.

Sumber : Toro et al. (2002).

Nilai k secara langsung berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t1/2). Laju kristalisasi (k) sangat dipengaruhi oleh suhu kristalisasi. Menurut Martini et al.(2002), suhu

kristalisasi yang tinggi menyebabkan driving force kristalisasi rendah sehingga laju kristalisasi

rendah. Selain itu, laju kristalisasi mempunyai hubungan terbalik dengn waktu induksi dan waktu setengah kristalisasi. Waktu induksi merupakan waktu ketika fraksi kristal yang terbentuk bertambah secara cepat dari fraksi kristal awal (Metin & Hartel 1998). Waktu setengah kristalisasi (t1/2) menunjukkan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk

membentuk 50% fraksi kristal (Martini et al. 2002).

4. Polimorfisme Lemak

Pada minyak alami banyak terkandung berbagai jenis TAG dengan panjang asam lemak dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda. Perbedaan komposisi ini menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang sangat kompleks. Dalam pembentukan latis (lattice)

kristal, molekul TAG dapat mengalami beberapa bentuk kristal yang sangat ditentukan oleh kondisi proses, dan fenomena ini dikenal dengan polimorfisme (Metin & Hartel 2005). Sifat kristalisasi TAG yang mencakup laju kristalisasi, ukuran kristal, morfologi, dan total kristalinitas dipengaruhi oleh polimorfisme. Polimorfisme dipengaruhi oleh struktur molekul TAG, dan faktor eksternal seperti suhu, tekanan, laju kristalisasi, adanya pengotor, dan laju geser.

Menurut Metin dan Hartel (2005) terdapat tiga kategori bentuk polimorfik lemak

yaitu α, dan . Bentuk α paling tidak stabil dengan titik leleh dan panas laten peleburan

paling rendah, sedangkan bentuk bersifat paling stabil. Setiap polimorfik memiliki short

spacings atau spasi pendek (jarak antara gugus asil paralel pada TAG), sifat dan ukuran yang

berbeda, yang dapat digunakan untuk membedakan bentuk polimorfik berdasarkan pola difraksi sinar X (Tabel 8).


(14)

13

Tabel 8 Identifikasi bentuk polimorf lemak berdasarkan analisis difraksi sinar X pada spasi

pendek (short spacings), sifat, dan ukuran.

Bentuk

polimorf Sel unit

(a) Garis dan spasi pendek

(Ǻ)(a) Sifat

(b) Ukuran

(µm)(b)

α Heksagonal Satu garis tebal dan sangat

lebar pada 4.15 Rapuh, transparan,

pipih

5

„ Ortorombik Dua garis tebal pada 4.2

dan 3.8 Jarum halus 1

Triklinik Sebuah garis tebal pada 4.6 Besar-besar

dan

berkelompok

kadang-kadang 100 Sumber : (a)Metin dan Hartel (2005) (b) Fenema (1976) dalam Winarno (1992)

Metin dan Hartel (2005) mengemukakan bahwa bentuk polimorfik yang paling tidak stabil biasanya terbentuk lebih dahulu pada lemak cair yang lewat dingin karena energi permukaannya yang lebih rendah. Laju transformasi polimorfik pada lemak alami yang

mengandung banyak TAG berjalan sangat lambat. Bentuk α terjadi saat lemak mengalami

pendinginan cepat, dan segera berubah menjadi bentuk . Bentuk  dan dapat bertahan

pada waktu yang cukup panjang (beberapa jam atau hari). Untuk beberapa lemak tidak

terjadi perubahan dari bentuk menjadi seperti yang terjadi pada lemak sawit. Menurut

Sato dan Ueno (2005), perubahan bentuk polimorfisme dari α menjadi yang paling stabil

terjadi secara irreversible. Laju perubahan polimorfisme yang terbentuk sangat bergantung

pada waktu dan suhu. Laju perubahan polimorfisme kristal lemak dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2 Laju perubahan polimorfik kristal lemak (Marangoni & McGauley 2003)

Setiap lemak atau minyak mempunyai bentuk polimorf kristal lemak yang berbeda-beda.

Menurut Marangoni dan McGauley (2003), cocoa butter mempunyai enam bentuk kristal lemak

yaitu , α, ‟2, ‟1, 2, dan 1 dengan titik leleh dan kestabilan yang meningkat. Menurut Sato dan Ueno (β005), bentuk polimorfik kristal lemak yang pada minyak sawit ada tiga, yaitu α, ‟, dan

dengan kestabilan yang meningkat. Bentuk α dan ‟ terbentuk pada laju pendinginan cepat, sedangkan bentuk terbentuk pada laju pendinginan lambat. Menurut O‟Brien (β009), bentuk polimorfik yang dominan pada minyak sawit adalah ‟.


(15)

14

D.

KRISTALISASI MINYAK SAWIT

Menurut Smith (2001), komposisi minyak sawit yang terdiri dari beraneka ragam TAG membuat minyak sawit tidak mengkristal pada suhu tertentu. Parameter untuk melihat terjadinya

kristalisasi lemak pada minyak sawit salah satunya adalah solid fat content (SFC). SFC merupakan

jumlah kandungan lemak padat pada suatu lipid. Nilai SFC mempunyai hubungan terbalik dengan suhu yang berarti semakin tinggi suhu akan menghasilkan SFC yang semakin kecil. Kurva

hubungan suhu dengan SFC RBDPO ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3 Kurva hubungan suhu dengan SFC pada sampel RBDPO (Smith 2001)

Tarabukina et al. (2009) telah melakukan pengujian profil kristalisasi lemak RBDPO

dengan menggunakan instrumen Differential Scanning Calorimetry (DSC) pada beberapa laju

pendinginan (10, 5, dan 0.5 oC/menit). Laju pendinginan ternyata berpengaruh nyata terhadap

entalpi kristalisasi dan waktu terjadinya kristalisasi tahap pertama. Melalui Gambar 4 dapat

diketahui bahwa pada laju pendinginan yang lambat akan terjadi peningkatan suhu peak

kristalisasi.

Gambar 4 Termogram DSC pada pendinginan CPO dari 70 oC hingga -30 oC pada beberapa

laju pendinginan (-10, -5, dan -0.5 oC/menit). Berat masing-masing sampel 11.1,

9, dan 11.4 mg (Tarabukina et al. 2009).

Pengaruh laju pendinginan terhadap sifat kristalisasi CPO telah dikaji oleh Chong et al.


(16)

15 sensitivitas tinggi. Pengujian dilakukan pada laju pendinginan 0.1 dan 0.4 °C/menit, dari titik lelehnya hingga suhu -20 °C, untuk mengetahui bentuk penataan TAG sebagai fungsi dari suhu dan perlakuan panas. Pada laju pendinginan lambat, TAG CPO mengkristal secara bertahap dalam 2 struktur lamellar dengan panjang ikatan rangkap dua 41.9 Å dan panjang ikatan rangkap tiga 6β.8 Å yang menumpuk, yang menunjukkan tipe kristal ‟. Hasil tersebut berkorelasi dengan dua

puncak eksotermik pada suhu 26 and 8 °C. Pada CPO terjadi transisi tak dapat balik kristal ‟ 

yang ditentukan oleh waktu. Proses ini terjadi pada suhu yang rendah, namun hanya terjadi pada

populasi TAG yang sangat sedikit. Pemanasan bertahap pada laju pemanasan 1 °C/min menunjukkan tidak adanya penataan ulang struktur kristalin saat belum mencapai suhu pelelehan akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar sistem berada pada kondisi ekuilibrium.

Chong et al. (2007) juga mengemukakan bahwa kristalisasi CPO pada 0.4 oC/menit

menunjukkan pembentukan struktur-struktur tambahan. Terdapat temuan yang tidak diduga yaitu adanya dua garis yang terkait dengan struktur 2L (bilayered) dan titik isobestic pada 4.42 Å.

Dengan analisis yang sangat hati-hati, kedua garis tersebut dapat dipisahkan, dan keberadaan

keduanya terkait dengan fenomena epitaxy/eutectic, yang ditunjukkan dengan munculnya susunan

3L (trilayered) pada waktu yang sama dengan saat rusaknya susunan 2L dan saat terjadinya titik isobestic. Munculnya bentuk kristal dan ‟ secara bersamaan pada suhu yang tinggi

menunjukkan bahwa seluruh sistem tersebut tidak berada dalam domain tiga fase, tetapi lebih

menyerupai tiga fase (kristal + ‟ + cairan) dimana tidak seluruh molekul TAG dapat tepat

tersusun ke dalam struktur tunggal ‟. Hal ini sepertinya terkait dengan terjadinya pemisahan fase

granular seperti yang terjadi pada margarin.

Vuillequez et al. (2010) telah mempelajari pengaruh laju perubahan suhu (q = -0.5

°C/menit hingga -50 °C/menit) terhadap pembentukan fase RBDPO pada suhu rendah, dengan menggunakan analisis kalorimetri dan optik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laju pendinginan merubah polimorfisme TAG. Diperoleh dua fraksi yaitu fraksi cair dan fraksi padat yang mengandung fraksi cair TAG. Laju sentrifugasi dalam pemisahan fraksi olein dan stearin tidak berpengaruh pada jumlah fraksi yang diperoleh. Fraksi padat RBDPO lebih sensitif terhadap pengaruh laju pendinginan. Dengan mengubah laju pendinginan q, diketahui bahwa q = -3

oC/menit menjadi batas antara laju pendinginan lambat dan laju pendinginan cepat. Pada laju

pendinginan lambat, TAG memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. Sebaliknya pada laju pendinginan cepat, TAG tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur diri dalam konformasi

yang lebih stabil. Hasil mikrograf menunjukkan bahwa kristal yang dihasilkan berupa spherulites,

dengan ukuran kristal berbeda pada laju pendingian yang berbeda.

Graef et al. (2008) telah mengembangkan metode reologi baru untuk memantau

terjadinya kristalisasi RBDPO pada gaya geser tertentu. Metode tersebut dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap 1 berupa pemberian gaya geser pada waktu tertentu dan kristalisasi dimonitor dengan mengukur viskositas terukur sebagai fungsi waktu isotermal. Pada tahap 2, gaya geser dihentikan dan osilasi diterapkan selama 30 detik dan dicatat sudut modulus dan fasenya. Sudut modulus dan fase tersebut dicatat sebagai karakteristik sampel yang dikristalisasi pada gaya geser dan waktu tertentu. Prosedur ini dilakukan pada beberapa waktu pemberian gaya geser di tahap pertama, dan sudut modulus kompleks dan fase diplotkan sebagai fungsi waktu isotermal pada beberapa gaya geser yang berbeda. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan data kristalisasi yang diperoleh dari time resolved X-ray diffraction and polarized light microscopy.

Selain itu Graef et al. (2009) juga telah mempelajari pengaruh gaya geser terhadap sifat

polimorfik dan pengembangan mikrostruktur selama proses kristalisasi RBDPO (Gambar 5).


(17)

16 kristalisasi primer. Selain itu, adanya perlakuan gaya geser yang mengawali tahap kristalisasi statis juga sangat berpengaruh pada pengembangan mikrostruktur kristal RBDPO.

Gambar 5 Viskositas terukur RBDPO pada kristalisasi selama 30 menit pada beberapa laju

geser dan suhu kristalisasi 25 oC (Graef

et al. 2008).

Pengaruh gaya geser terhadap kristal lemak yang terbentuk pada sampel RBDPO juga

diamati oleh Graef et al. (2009) secara mikroskopi dengan mikroskop polarisasi cahaya (polarized

light microscope/PLM) (Gambar 6). Pada laju geser yang semakin meningkat (1, 10 dan 100 s-1)

yang diterapkan selama 30 menit, dan dilanjutkan proses kristalsasinya selama 30 menit berikutnya, akan dihasilkan ukuran kristal yang lebih besar. Agregat kristal pada laju geser yang lebih besar juga dihubungkan dengan kristal-kristal baru yang berperan dalam membentuk struktur jaringan lemak padat.

Gambar 6 Bentuk kristal lemak RBDPO yang dipotret menggunakan mikroskop polarisasi

cahaya yang dikristalisasi pada suhu 25 oC selama 60 menit pada beberapa laju

geser (g) 1 s-1, (h) 10 s-1, dan (i) 110 s-1 (Graef


(18)

17

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional Indonesia Jakarta (CPO A), PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Banten (CPO B), PTPN XIII Perkebunan Gunung Meliau Kalimantan Barat (CPO C), dan PTPN XIII Perkebunan Ngabang Kalimantan Barat (CPO D), dan PT. Wilmar Internasional Riau (CPO E). Bahan lain yang digunakan dalam analisis kimia adalah n-heksana, larutan NaOH 0.1 N, ethanol 95%, indikator fenolftalein, kristal kaliumhidrogenftalat (KHP), sikloheksana, larutan Wijs, larutan KI 15%, larutan Na2S2O7 0.1 N,

indikator pati, dan air destilata.

Peralatan yang digunakan untuk mengukur karakteristik kristalisasi lemak CPO adalah

Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 untuk mengukur kadar

lemak padat (solid fat content/SFC), Haake Viscometer RV20 (Karlsruhe, Jerman) untuk

menerapkan shear rate, serta mikroskop polarisasi Olympus CX untuk mengamati mikrostruktur

kristal lemak. Peralatan yang digunakan untuk analisis kimia adalah oven, penyaring vakum, spektrofotometer, gelas piala, buret, erlenmeyer, pipet mohr, dan labu takar.

B.

METODE PENELITIAN

Sifat kristalisasi lemak CPO dipelajari melalui empat tahap penelitian, yaitu (1) analisis mutu dan profil SFC CPO, (2) kajian perubahan nilai SFC selama penyimpanan, (3) kajian pengaruh laju pendinginan terhadap SFC kinetika kristalisasi dan mikrostruktur kristal lemak, dan (4) kajian pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap kinetika kristalisasi lemak.

1. Analisis Mutu dan Profil SFC CPO

Kajian analisis mutu CPO ditujukan untuk mengetahui kualitas lima CPO berdasarkan parameter yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006. Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, diharapkan komposisi kimia dan kondisi kristal lemak di dalamnya belum mengalami perubahan akibat terjadinya pelelehan dan kristalisasi lemak yang berulang.

Analisis mutu CPO yang digunakan dilakukan berdasarkan atribut mutu yang ditetapkan dalam standar spesifikasi CPO menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-2901-2006yang mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran (maksimal

0.5%), kadar asam lemak bebas (sebagai asam palmitat, maksimal 0.5%), dan bilangan Iod (50-55 g Iod/100 g).

Salah satu parameter sifat fisik yang penting dalam mempelajari kristalisasi lemak adalah nilai solid fat content (SFC) atau kandungan lemak padat. Profil SFC CPO pada

beberapa suhu diukur berdasarkan metode IUPAC 2.150 ex 2.323 1987 untuk non tempering

fat menggunakan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Bruker Minispec 100 NMR Analyzer

(Gambar 7). Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu dilakukan pretreatment. Prosedur

stabilisasi atau pretreatment sangat menentukan jumlah dan tipe kristal lemak yang terbentuk


(19)

18

Gambar 7 Nuclear Magnetic Resonance (NMR) yang digunakan untuk mengukur

kandungan lemak padat (SFC) CPO.

Sampel CPO diisikan ke dalam tabung NMR setinggi + 2.5 cm. Sebelum dianalisis,

sampel CPO dipanaskan pada suhu 80 oC selama 30 menit agar meleleh sempurna untuk

meyakinkan homogenitasnya. Kemudian sampel yang telah meleleh dipertahankan pada suhu 60 oC selama 5 menit. Selanjutnya sampel disimpan pada suhu 0 oC selama 60 menit.

Sebelum dilakukan pengukuran SFC, sampel dipertahankan dulu pada masing-masing suhu pengukurannya selama 30-35 menit. SFC sampel CPO diukur pada suhu yang berbeda yaitu

pada kisaran suhu 5 oC hingga suhu saat SFC bernilai 0%, dengan kenaikan suhu pada setiap

pengukuran sebesar 5 oC, yaitu suhu 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 , dan 60 ºC. Pengujian profil

SFC CPO dilakukan secara triplo.

2. Kajian Perubahan Nilai SFC selama Penyimpanan

Menurut Brulenno et al. (2003), nilai SFC pada produk berlemak akan berubah

selama penyimpanan akibat pengaruh suhu dan lama penyimpanan. Pengujian terhadap perubahan SFC CPO selama penyimpanan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan fraksi lemak padat CPO selama penyimpanan akibat pengaruh suhu dan waktu penyimpanan. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap perubahan SFC CPO dipelajari dalam

penelitian ini dengan mensimulasikan kondisi penyimpanan sesuai dengan rekomendasi Codex

Alimentarius Commision (CAC) (2005).

Sampel CPO (CPO A) dimasukkan ke dalam tabung NMR setinggi + 2.5 cm. Sampel dipanaskan sampai 55 ºC dengan kenaikan suhu 5 ºC/hari. Setelah sampel mencapai suhu 55 ºC, sampel tersebut disimpan pada suhu 20, 25, 30, 35, dan 40 ºC selama 4 minggu. Sampel diukur nilai SFC-nya setiap minggu. Pengujian perubahan SFC terhadap suhu dan waktu penyimpanan dilakukan secara duplo.

3. Kajian Pengaruh Laju Pendinginan terhadap Nilai SFC, Kinetika Kristalisasi, dan

Mikrostruktur Kristal Lemak.

Menurut Wiking et al. (2009), salah satu parameter yang mempengaruhi kristalisasi

lemak adalah laju pendinginan. Laju pendinginan mempengaruhi kinetika kristalisasi dalam hal

mekanisme pembentukan nuklei dan laju kristalisasi (Campos et al. 2002). Pada penelitian ini

ingin diketahui pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC CPO, kinetika kristalisasi lemak, dan mikrostruktur kristal lemak

Sampel CPO (CPO A) sebelumnya dimasukkan ke dalam tabung NMR setinggi

+2.5 cm. Sampel tersebut kemudian dipanaskan dalam water bath hingga mencapai suhu saat

SFC bernilai 0% yaitu suhu 55 ºC selama 30 menit. Selanjutnya suhu water bath diturunkan

kembali dengan laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 ºC/menit dan kemudian diukur nilai SFC-nya


(20)

19 dipertahankan hingga diperoleh nilai SFC tetap. Pengukuran SFC dilakukan setiap 2 menit sekali. Pengujian pengaruh laju pendinginan terhadap kristalisasi lemak dilakukan secara triplo

Kinetika kristalisasi dipelajari menggunakan model Avrami dengan parameter laju kristalisasi (k) dan koefisien Avrami (n) (Metin & Hartel 2005). Nilai n dan k dihitung dari

bentuk linier persamaan Avrami (Persamaan 2), sebagai slope dan intercept pada ln t = 0. F

adalah fraksi kristal yang terbentuk selama waktu kristalisasi t (menit).

ln⁡(−ln 1− � = ln � +�[ln � ] (2)

Nilai k secara langsung berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t1/2). Waktu

setengah kristalisasi dihitung dengan persamaan Arhenhius.

(t1/2)n= 0.693/k (3)

Menurut Martini et al. (2002), nilai fraksi kristal ditentukan saat SFC pada waktu

tertentu dinormalisasi dengan nilai SFC maksimal yang diperoleh pada kondisi percobaan tersebut. Untuk memperoleh parameter yang memberikan ketepatan yang tinggi pada persamaan Avrami, digunakan analisis regresi linier.

Untuk mengetahui morfologi dan distribusi ukuran kristal lemak sampel CPO yang terbentuk selama perlakuan, dilakukan pengamatan kristal lemak di bawah mikroskop sinar

polarisasi (polarized light microscopy) sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Martini et

al. (2002).

Sampel CPO yang telah mengalami laju pendinginan tertentu dan telah mencapai suhu kristalisasi isotermal (25 ºC) diteteskan di atas kaca preparat. Kaca preparat yang telah berisi sampel disimpan pada ruangan yang bersuhu 25 ºC selama 25 menit. Setelah itu kaca preparat diletakan di bawah mikroskop polarisasi cahaya untuk melihat pembentukan kristal lemak. Kaca preparat didiamkan kembali pada suhu 25 ºC tanpa diangkat dari mikroskop polarisasi cahaya selama 10 menit. Pengamatan kristal lemak dilakukan pada menit ke-35 untuk melihat pertambahan jumlah dan perubahan ukuran kristal lemak.

4. Kajian Pengaruh Laju Pendinginan dan Shear Rate terhadap Kinetika Kristalisasi

CPO akan mengalami perubahan proses kristalisasi akibat adanya pengaruh shear rate

selama transportasi. Sifat kristalisasi lemak selama transportasi ditentukan oleh laju

pendinginan dan shear rate. Untuk mengkaji kedua faktor tersebut, dilakukan pengujian

dengan pendekatan sesuai kondisi transportasi, yang dicobakan dengan menggunakan Haake

Rotoviscometer RV20 (Gambar 8).

Gambar 8 Haake Rotoviscometer RV 20 yang digunakan untuk menerapkan perlakuan laju


(21)

20 Sampel CPO dipanaskan dari suhu 25 oC sampai suhu 55 ºC pada

shear rate 5 s-1

dengan laju kenaikan suhu 1ºC/menit. Selanjutnya suhu sampel dipertahankan selama 10 menit

dan kemudian diturunkan suhunya hingga mencapai suhu kristalisasi 25 oC, dengan perlakuan

laju pendinginan dan shear rate tertentu. Setelah mencapai 25 ºC, suhu sampel dipertahankan

selama 60 menit untuk melihat fenomena kristalisasi yang terjadi melalui pengamatan kenaikan nilai viskositas terukur. Perlakuan laju pendinginan dan shear rate yang diterapkan dapat

dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perlakuan pengaruh laju pendinginan dan laju geser terhadap proses kristalisasi

Perlakuan Laju pendinginan Shear rate (s-1)

1 1 40

2 1 100

3 1 400

4 0.5 40

5 0.5 100

6 0.5 400

7 0.2 40

8 0.2 100

9 0.2 400

C.

METODE ANALISIS

1. Kadar Air (BSN 2006)

Kadar air dianalisis berdasarkan SNI 01-2901-2006 tentang minyak sawit kasar dan dihitung sebagai berat yang hilang setelah contoh uji dipanaskan pada suhu 103±2 ºC selama 3 jam atau 130±2 ºC selama 30 menit. Mula-mula cawan alumunium dikeringkan pada oven 103±2 ºC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Minyak yang akan menjadi sampel uji dilelehkan pada suhu 50 ºC sambil diaduk hingga rata. Minyak tersebut lalu ditimbang 5-10 g dan dimasukkan dalam cawan alumunium. Cawan yang berisi sampel dipanaskan dalam oven 103±2 ºC selama 3 jam, kemudian segera dimasukkan ke dalam desikator dan didinginkan selama 15 menit. Setelah dingin, cawan tersebut ditimbang sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

− ( 1− 2)

� 100 %

Keterangan :

W : bobot contoh sebelum dikeringkan (g)

W1 : bobot contoh dan cawan sesudah dikeringkan (g)

W2 : bobot cawan kosong kering (g)

2. Kadar Kotoran (BSN 2006)

Pengujian kadar kotoran dianalisis berdasarkan SNI 01-2901-2006 tentang minyak sawit kasar dengan menggunakan contoh uji hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui beratnya. Alat penyaring (kertas Whatman No. 41) dicuci menggunakan pelarut n-heksana lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ºC selama 30 menit. Setelah dikeringkan kertas Whatman No. 41 didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 50


(22)

21 mL pelarut ditambahkan ke dalam sampel uji dan dipanaskan pada penangas air, sambil digoyang-goyangkan sampai minyak larut semua. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan alat penyaring. Pencucian dilakukan beberapa kali dengan menggunakan pelarut sampai kertas Whatman No. 41 bersih dari minyak. Kertas Whatman No. 41 kemudian dikeringkan ke dalam oven suhu 103±2 ºC selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Kertas Whatman No. 41 kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar kotoran dihitung dengan rumus :

− ( 1− 2)

� 100

Keterangan :

W : bobot contoh (g)

W1 : bobot alat penyaring setelah dikeringkan (g)

W2 : bobot alat penyaring kering (g)

3. Kadar Asam Lemak Bebas (BSN 2006)

Kadar asam lemak bebas dianalisis berdasarkan SNI 01-2901-2006 tentang minyak sawit kasar dan dihitung sebagai persentase berat (b/b) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam CPO dimana berat molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 256 (sebagai asam palmitat). Sampel yang akan diuji dipanaskan pada suhu 60-70oC dan diaduk hingga

homogen. Sampel sebanyak 5 g dilarutkan dalam 50 mL ethanol 95% yang telah dinetralkan lalu dipanaskan sampai suhu 40 ºC. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan indikator fenolftalein 1% sebanyak 1-2 tetes. Larutan tersebut dititrasi menggunakan NaOH 1N sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda yang stabil minimal 30 detik. Asam lemak bebas dinyatakan sebagai asam palmitat dihitung dengan rumus :

Kadar ALB (%) = 25.6x�x

Keterangan :

V : volume titrat yang digunakan (mL)

N : normalitas larutan titrat (N)

W : berat contoh (g)

25.6 : konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat

4. Bilangan Iod

Bilangan Iod dianalisis berdasarkan SNI 01-2901-2006 tentang minyak sawit kasar dan dinyatakan sebagai gram Iod yang diserap per 100 g minyak. Mula-mula sampel yang

akan diuji dilelehkan pada suhu 60-70 oC sambil diaduk hingga rata. Contoh uji tersebut lalu

ditimbang sebanyak 0.4-0.6 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup asah 250 mL. Sebanyak 15 mL sikloheksana dan 25 mL larutan Wijs ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer yang berisi sampel tersebut dikocok dan disimpan dalam ruang gelap selama 30 menit, kemudian ditambahkan 10 mL larutan KI 10% dan 50 mL air suling ke dalam sampel. Sampel dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Sebanyak 1-2 mL indikator pati 1% ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan titrasi dilanjutkan sampai larutan berwarna bening. Perhitungan bilangan Iod berdasarkan perhitungan di bawah ini:


(23)

22 Bilangan Iod = 12.69 � ( 2− 1)

Keterangan

N : normalitas larutan natrium tiosulfat 0.1 N (N)

V2 : volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (mL)

V1 : volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan contoh (mL)

W : berat contoh (g)

12.69 : konstanta untuk menghitung bilangan Iod.

5. Analisis Statistik

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dilakukan uji secara statistik.

Pengujian statistik menggunakan program SPSS 16.0 dengan uji Pearson correlation two

tailed untuk mengetahui korelasi antar faktor, ANOVA one way, dan ANOVA univariate

untuk mengetahui perbedaan karakterisitik pada setiap perlakuan. Setelah diketahui perbedaannya maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan apakah terdapat perbedaan nyata pada tiap sampel (Lea et al. 1997).


(24)

23

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

ANALISIS MUTU CPO

CPO merupakan minyak nabati berwarna jingga kemerah-merahan yang diperoleh dari

hasil pengempaan (ekstraksi) daging buah tanaman Elaeis guinneensis (BSN 2006). Mutu CPO

ditentukan oleh karakteristik kimia dan fisik. Karakteristik kimia yang dikaji pada penelitian ini sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 meliputi kadar kadar air dan kotoran, kadar asam lemak bebas (ALB), dan bilangan Iod, sedangkan karakteristik fisik yang dikaji adalah profil solid fat content (SFC) CPO. Selain itu juga dilakukan analisis korelasi antara

karakteristik kimia dengan nilai SFC yang didapatkan. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sifat kimia suatu minyak dengan profil SFC-nya. Bilangan Iod dan ALB memiliki hubungan terbalik dengan SFC (Basiron 2005; Foubert et al.

2004). Menurut Metin dan Hartel (2005) kadar kotoran memiliki hubungan searah terhadap SFC.

1. Analisis Mutu Kimia CPO

Kualitas CPO ditentukan oleh beberapa parameter yaitu kadar air dan kotoran, kadar ALB, dan bilangan Iod. Mutu CPO di Indonesia diatur dalam SNI 01-2901-2006

tentang minyak sawit kasar. Hasil pengujian mutu CPO tersaji pada Tabel 10 dengan data

lengkap pada Lampiran 1.

Tabel 10 Hasil analisis mutu lima CPO dari beberapa lokasi di Indonesia

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

Sumber : *BSN (2006)

Hasil analisis mutu kimia CPO pada Tabel 10 menunjukkan semua sampel CPO

yang dianalisis tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 tentang minyak sawit kasar. Hal ini diakibatkan oleh proses produksi yang tidak terkontrol dan adanya penimbunan CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu CPO.

Uji statistik ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat

apakah terdapat perbedaan karakteristik mutu kimia antar sampel CPO yang digunakan. Hasil

ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kelima

sampel memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik dari kelima sampel CPO dimungkinkan akibat perbedaan kematangan buah saat pemanenan dan proses produksi yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan.

Sampel CPO Parameter

Kadar air & kotoran (%) ALB (%) Bilangan Iod (g/100g)

A 0.33(a) 5.80(a) 50.38(a)

B 0.68(b) 3.88(b) 51.30(ab)

C 0.67(b) 3.84(b) 52.47(b)

D 0.67(b) 4.58(c) 54.15(c)

E 5.39(c) 4.60(c) 50.79(a)


(25)

24 Kadar air merupakan persentase kandungan air dengan kandungan bahan kering pada suatu bahan. Kadar kotoran merupakan jumlah bahan-bahan yang tidak larut dalam minyak seperti mineral. Kadar air dan kadar kotoran disebut juga sebagai kadar kemurnian

CPO. Hasil pengujian kadar air dan kadar kotoran pada Tabel 10 menunjukkan kadar air dan

kadar kotoran setiap sampel CPO bervariasi dan hanya CPO A saja yang memenuhi standar dalam SNI 01-2901-2006. Banyaknya sampel CPO yang tidak memenuhi syarat diakibatkan oleh pemanenan buah sawit yang dilakukan saat lewat matang dan kontaminasi dari tangki penyimpanan atau alat pengolahan minyak sawit. Buah yang dipanen saat lewat matang akan memiliki kadar air yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kotoran pada CPO terjadi akibat adanya kontaminasi dari tangki penampungan CPO. CPO C memiliki kadar air dan kadar kotoran tertinggi yaitu 4.84%. Kadar air dan kadar kotoran yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan CPO. Kadar air yang tinggi akan memicu terjadinya reaksi hidrolisis yang menghasilkan ALB pada CPO. Mineral seperti Cu dan Fe dapat mengkatalisis reaksi oksidasi lemak sehingga akan terbentuk senyawa peroksida yang akan menyebabkan ketengikan pada minyak (CAC 2005).

Asam lemak bebas (ALB) merupakan salah satu parameter kerusakan pada produk minyak atau lemak. Hasil analisis menunjukkan kelima sampel CPO tidak memenuhi standar ALB yang ditetapkan dalam SNI 01-2901-2006 yaitu batas maksimal ALB pada CPO adalah 0.5%. Namun ALB dari CPO tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI CPO sebelum revisi 2006 (SNI 01-2901-1992) yaitu maksimal 5% dan hanya CPO A yang melebihi 5%.

Nilai ALB yang tinggi menandakan minyak atau lemak sudah mengalami kerusakan. ALB terbentuk ketika asam lemak terpisah dari TAG, DAG, atau MAG akibat

adanya reaksi kimia atau enzimatis (Rohani et al. 2006). Menurut Codex Alimentarius

Commision (CAC) (2005) nilai ALB yang tinggi diakibatkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi

hidrolisis dipicu oleh adanya air dalam minyak. Hidrolisis lemak akan menghasilkan gliserol dan ALB yang menyebabkan ketengikan pada minyak. Proses reaksi hidrolisis TAG dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Reaksi hidrolisis menghasilkan Asam Lemak Bebas (ALB) (Ketaren 2005)

Proses tahapan sterilisasi pada produksi CPO dilakukan dengan suhu 135 ºC. Proses tersebut bertujuan mematikan enzim lipase sehingga kenaikkan ALB akibat reaksi enzimatis

dapat dicegah (Rohani et al. 2006). Kenaikan ALB juga diakibatkan oleh suhu penyimpanan

yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kematangan buah saat pemanenan sangat menentukan ALB dan rendemen yang dihasilkan. Apabila buah dipanen pada saat belum masak maka


(26)

25 akan menghasilkan ALB dan rendemen yang rendah. Pemanenan yang dilakukan saat buah lewat masak akan menghasilkan ALB dan rendemen yang tinggi.

Bilangan Iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak atau minyak. Menurut Ketaren (2005) bilangan Iod menyatakan jumlah gram Iod yang digunakan untuk mengadisi 100 gram lemak/minyak. Bilangan Iod ditentukan dengan perbandingan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun suatu lemak atau minyak. Komposisi minyak sawit kasar terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh (Basiron 2005). Oleh karena itu bilangan Iod pada minyak sawit adalah 50-55 g Iod/100 g sampel (BSN 2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima sampel CPO mempunyai bilangan Iod yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam SNI.

2. Analisis Profil SFC CPO

SFC menunjukkan banyaknya kristal lemak dalam suatu lipid, yang dihitung sebagai fungsi dari suhu (Zaliha et al. 2003). Suhu pengukuran yang diterapkan adalah 5-60 oC untuk

mendapatkan nilai SFC hingga 0%. Pengukuran SFC CPO menggunakan lima sampel CPO dari beberapa daerah di Indonesia untuk mendapatkan kisaran nilai SFC CPO pada suhu

tertentu. Pengukuran SFC CPO menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR)

yang mengukur kandungan lemak padat berdasarkan kecepatan mobilitas elektron yang berbeda pada fase padat dan cair. Resonansi elektron akan menginduksi signal yang akan dipancarkan oleh alat NMR sehingga akan mewakili jumlah fase cair ataupun padat pada sampel (Satiawihardja et al. 2001).

Dalam analisis SFC, dilakukan proses pretreatment terlebih dahulu pada sampel

yang akan diujikan. Pada preatreatment atau prosedur stabilisasi, CPO terlebih dahulu

dipanaskan sampai 80 ºC selama 30 menit untuk meyakinkan homogenitasnya serta menghilangkan ingatan mengenai kristal dan disimpan pada suhu 0 ºC selama 60 menit untuk memastikan terbentuknya kristal lemak. CPO dipertahankan pada suhu pengukuran selama 30 menit. Hal ini dimaksudkan agar kristal yang terbentuk telah stabil.

Hasil pengujian pada Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC

CPO berbanding terbalik dengan suhu pengukuran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Salimon dan Abdullah (2009) bahwa semakin tinggi suhu pengukuran, maka nilai SFC akan menurun. Data mengenai nilai SFC selengkapnya dapat dilihat pada

Lampiran 3. Bentuk kurva profil SFC CPO yang didapatkan pada penelitian ini sesuai

dengan kurva SFC minyak sawit (RBDPO) oleh Smith (2001) (Gambar 2 ).


(27)

26

Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC kurang dari 10% pada

suhu di atas 40 ºC. Nilai SFC yang rendah menandakan bahwa kristal lemak pada CPO sudah meleleh akibat pengaruh suhu. Titik leleh merupakan faktor penting dalam kristalisasi lemak karena lemak akan mengkristal apabila suhu berada di bawah titik lelehnya. Titik leleh minyak sawit adalah kisaran dari nilai-nilai yang menunjukkan gliserida penyusunnya yang terdiri dari asam-asam lemak dengan titik cair yang berbeda (Satiawihardja et al. 2001).

Menurut Himawan et al. (2006), titik leleh minyak sawit adalah 40 ºC.

Hasil pengujian profil SFC minyak sawit pada penelitian ini menunjukkan nilai

yang berbeda dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2003). Perbedaan ini

diakibatkan kedua penelitian menggunakan sampel minyak sawit yang berbeda. Pada penelitian Zaliha et al. (2003) digunakan sampel refined bleached deodorized palm oil

(RBDPO) yang telah mengalami pemurnian, sedangkan pada penelitian ini menggunakan CPO yang masih menggandung kadar kotoran dan komponen minor. Menurut Metin dan Hartel (2005) adanya komponen minor dan kotoran pada minyak sawit kasar turut berperan dalam proses kristalisasi lemak pada CPO. Adanya kotoran mendukung terjadinya kristalisasi sehingga nilai SFC semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan nilai SFC pada penelitian yang dilakukan oleh Zaliha et al.(2003) pada suhu 40 ºC sudah mencapai 0%, sedangkan

pada penelitian ini masih berkisar 4.69-9.63%. Nilai SFC minyak sawit yang didapatkan pada penelitian ini cenderung sama dengan nilai SFC pada penelitian yang dilakukan oleh

Himawan et al. (2006) kecuali nilai SFC pada suhu 10 dan 15 ºC.

Tabel 11 Pengaruh perubahan suhu terhadap profil SFC CPO*

*Pengukuran dilakukan menggunakan lima sampel CPO

Faktor penting yang mempengaruhi nilai SFC salah satunya adalah slip melting point (SMP). SMP merupakan suhu saat lemak pada pipa kapiler mulai meleleh. Menurut

Goh dan Ker (1991), SMP lemak dapat ditentukan ketika SFC menunjukan nilai di bawah

5%. Data SFC pada Tabel 11 menunjukan penurunan nilai SFC hingga di bawah 5% terjadi

antara suhu 35-40 ºC yang menandakan SMP CPO 35-40 ºC. Kisaran SMP CPO yang didapatkan pada penelitian ini berada dalam kisaran SMP yang diteliti oleh Lin (2002). Lin (2002) menyebutkan SMP minyak sawit berkisar 32-40 ºC.

Suhu (ºC) Kisaran SFC (%) Rata-rata

5 48.03-50.44 49.02

10 43.17-46.98 45.15

15 32.45-38.45 35.65

20 23.81-30.08 27.18

25 14.55-20.16 17.41

30 9.13-14.63 11.78

35 6.36-11.43 8.36

40 4.59-9.36 6.76

45 4.53-7.85 5.81

50 4.11-7.18 5.22

55 4.06-7.01 4.88


(28)

27

Faktor lain yang mempengaruhi kristalisasi lemak adalah komposisi triacylglicerol

(TAG) pada suatu lemak atau minyak. CPO mengandung banyak TAG dengan asam lemak yang berbeda panjang rantainya, derajat kejenuhannya, dan letak gliserolnya (Basiron 2005). SFC pada suhu di atas 40 ºC sudah tidak mengalami penurunan yang besar karena asam lemak penyusun CPO telah meleleh. Asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dengan panjang rantai C16. Asam palmitat memiliki titik leleh yang tinggi yaitu 64 ºC

(Ketaren 2005). Hal inilah yang menyebabkan SFC CPO pada suhu 60 ºC berkisar 3.5-6.8% belum mencapai 0%.

3. Korelasi Mutu Kimia CPO dengan SFC CPO

Untuk mengetahui adanya hubungan antara mutu kimia dengan SFC dilakukan analisis Pearson correlation. Analisis Pearson correlation dilakukan untuk setiap parameter

kimia dengan nilai SFC pada suhu 25 ºC. Suhu 25 ºC dipilih karena analisis mutu kimia hanya dilakukan pada suhu ruang (25 ºC).

Hasil analisis Pearson correlation pada penelitian ini (Lampiran 4) menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara nilai SFC dengan bilangan Iod, kadar asam lemak bebas,

dan kadar air. Ada atau tidaknya korelasi antar kedua faktor ditentukan dengan nilai Pearson

correlation dan signifikansinya. Nilai Pearson correlation untuk bilangan Iod dengan SFC

bernilai 0.269 dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang menandakan korelasi antar kedua faktor tersebut cukup namun tidak signifikan. Kadar asam lemak bebas dengan SFC

mempunyai nilai Pearson correlation -0.328 dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang

berarti korelasi antar kedua fakor cukup dan berbanding terbalik namun tidak signifikan. Nilai Pearson correlation untuk kadar air dengan SFC bernilai 0.621 dengan signifikansi

lebih besar dari 0.05 yang berarti korelasi antara kedua faktor kuat namun tidak signifikan.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Basiron (2005) dan Foubert et al. (2004)

menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas dengan nilai SFC. Menurut Basiron (2005), bilangan Iod mempunyai korelasi negatif dengan SFC yaitu semakin rendah bilangan Iod maka nilai SFC akan semakin tinggi. Bilangan Iod yang rendah menandakan kandungan asam lemak jenuh lebih banyak daripada asam lemak tidak jenuh dalam suatu lemak. Asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi dibanding dengan asam lemak tidak jenuh. Rantai jenuh yang panjang memiliki konformasi goyang yang memanjang sehingga struktur ini dapat dikemas dengan cukup teratur seperti dalam

kristal (Hart 2003). Menurut Foubert et al. (2004), kandungan ALB yang tinggi

menyebabkan struktur lemak menjadi tidak beraturan dan memiliki titik leleh lebih rendah.

Selain itu Wright et al. (2000) juga menyebutkan adanya asam lemak bebas pada suatu lemak

menyebabkan titik lelehnya lebih rendah sehingga kandungan lemak padatnya lebih rendah. Pada penelitian ini tidak terlihat adanya korelasi antara bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas dengan SFC. Hal ini karena kisaran bilangan Iod yang digunakan pada penelitian ini kecil (50-55 g Iod/100 g sampel) sesuai dengan persyaratan SNI 01-2901-2006. Basiron (2005) menggunakan sampel dengan kisaran bilangan Iod yang lebih besar (24-50 g Iod/100 g sampel). Selain itu bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas yang bervariasi pada setiap sampel penelitian ini menyebabkan tidak dapat dilihatnya pengaruh dari salah satu faktor saja.

Hasil analisis Pearson correlation antara kadar kotoran dengan SFC menunjukkan

adanya korelasi antar keduanya. Pearson correlation yang bernilai 0.789 dengan signifikansi


(29)

28 semakin tinggi kadar kotoran maka nilai SFC akan semakin besar. Keberadaan kotoran dapat mempercepat terjadinya kristalisasi. Metin dan Hartel (2005) menyatakan adanya kotoran dapat mengurangi energi bebas untuk pembentukkan inti (nukleasi) sehingga nukleasi lebih

mudah terjadi. Kotoran akan menghubungkan fase padat dan fluida lewat jenuh

(supersaturated) sehingga terjadi interaksi yang menyebabkan terbentuknya inti kristal.

Berdasarkan hasil analisis korelasi yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terlihat adanya korelasi antara nilai SFC CPO dengan bilangan Iod, kadar asam lemak bebas, dan kadar air. Korelasi antara SFC CPO dengan mutu kimia hanya terlihat pada kadar kotoran. Kadar kotoran CPO mempunyai hubungan searah dengan nilai SFC CPO yang berarti semakin tinggi kadar kotoran akan menghasilkan nilai SFC yang semakin tinggi pula.

B.

PERUBAHAN SFC CPO SELAMA PENYIMPANAN

Penyimpanan CPO menyebabkan terjadinya perubahan pada karakteristik CPO. Menurut List et al. (2005) minyak yang disimpan pada suhu tinggi dalam waktu lama akan mengalami

penurunan mutu. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu tinggi dapat mempercepat

terjadinya kerusakan. Menurut Brulenno et al. (2003) nilai SFC pada produk berlemak juga akan

berubah selama penyimpanan. Pada tahap ini dikaji perubahan SFC CPO selama penyimpanan pada berbagai suhu.

Sampel yang digunakan pada tahap ini adalah sampel CPO A. Pemilihan CPO A didasarkan pada bilangan Iod CPO A yang paling rendah yaitu 50.38 g Iod/100 g sampel. Bilangan Iod yang rendah menandakan potensi pembentukan kristal lemak yang lebih banyak karena memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih banyak. Hal ini dapat mensimulasikan kondisi penyimpanan dan transportasi saat sampel CPO yang ditangani memiliki potensi kristalisasi yang tinggi.

Penyimpanan CPO dilakukan selama empat minggu pada suhu penyimpanan 20-40 ºC. CAC (2005) menetapkan suhu maksimal pada penyimpanan minyak nabati adalah 40 ºC. Sebelum disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan, CPO terlebih dahulu dipanaskan sampai suhu 55 ºC dengan kenaikan suhu 5 ºC/hari. Pemanasan hingga suhu 55 ºC sebelum penyimpanan dimaksudkan untuk mensimulasikan proses transportasi selama bongkar muatan CPO. CAC (2005) dan Naibaho (1998) menyatakan kenaikan suhu 5 ºC/hari untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada CPO.

Pemanasan sampai suhu 55 ºC menyebabkan CPO meleleh sehingga ketika CPO disimpan pada suhu penyimpanan 20-40 ºC terjadi pemisahan fase padat dengan fase cair pada CPO. Menurut Metin dan Hartel (2005), bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG. Fraksi cair disebut sebagai fraksi olein yang terdiri dari asam lemak tidak jenuh dengan titik leleh rendah, sedangkan fraksi padat disebut sebagai fraksi stearin yang terdiri dari asam lemak jenuh dengan titik leleh tinggi. Contoh terjadinya pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair pada CPO saat penyimpanan dapat dilihat


(30)

29

Gambar 11 Pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada CPO setelah empat minggu penyimpanan

pada suhu 40 ºC.

CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menunjukkan pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat. Hal ini karena semua fraksi pada CPO telah mengkristal pada suhu 20 dan 25 ºC. Menurut Gee (2007) titik leleh stearin adalah 46.60-53.80 ºC, sedangkan titik leleh olein adalah 24 ºC (BSN 1998). CPO yang disimpan pada suhu 30-40 ºC menunjukkan terjadinya pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat dengan fraksi cair berada di atas. Hal ini dikarenakan pada suhu penyimpanan tersebut hanya fraksi stearin saja yang mengkristal sedangkan fraksi olein belum mengkristal.

Komponen asam lemak penyusun CPO (Tabel 3) memiliki titik leleh yang berbeda-beda

bergantung pada tingkat kejenuhannya. Asam lemak kaprat dan asam lemak palmitoleat belum mengkristal pada suhu 35 ºC. Asam lemak kaprat (C10:0) memiliki titik leleh 31.5 ºC (Ketaren 2005) dan asam lemak palmitoleat (C16:1) memiliki titik leleh 33 ºC (Gunstone 1994). Selain asam lemak, TAG penyusun CPO juga turut berperan pada kristalisasi lemak pada CPO. Kompisisi TAG penyusun CPO (Tabel 4) memiliki titik leleh yang berbeda bergantung pada

panjang rantai dan tingkat kejuenuhan asam lemak penyusunnya. TAG POP memiliki titik leleh 38 ºC (Sato & Ueno 2005), POS, PSO, dan SPO memiliki titik leleh 37.8 ºC, PPO memiliki titik

leleh γ5 ºC, dan PLS memiliki titik leleh γ0 ºC (O‟Brien β009). Suhu yang lebih rendah

menyebabkan komponen TAG dan asam lemak penyusun CPO lebih banyak yang mengkristal. Hal inilah yang menyebabkan fraksi padat yang terbentuk pada suhu 30 ºC lebih banyak dibanding dengan fraksi padat pada suhu 40 dan 35 ºC.

Hasil pengujian perubahan SFC CPO selama penyimpanan menunjukkan korelasi dengan pembentukan fraksi cair. Perubahan nilai SFC selama penyimpanan pada beberapa suhu

penyimpanan dapat dilihat pada Tabel12. Data lengkap mengenai perubahan SFC CPO A selama

penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis SFC CPO pada Tabel 12

menunjukkan bahwa CPO yang disimpan pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai SFC yang lebih tinggi.

Tabel 12 Perubahan nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu.

Lama Penyimpanan (minggu)

Suhu Penyimpanan (ºC)

20 25 30 35 40

1 10.07 8.93 8.45 6.27 4.93

2 10.58 9.67 8.25 6.07 4.7

3 11.12 10.6 7.63 6.09 4.55

4 11.48 10.85 7.27 5.02 3.83

Fraksi cair


(31)

30 0 2 4 6 8 10 12

20 25 30 35 40

a a a a a ab b a a ab b c ab a ab b c b b b S F C ( % )

Suhu ( ºC)

1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu

Nilai SFC CPO meningkat selama penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tetapi menurun selama disimpan pada suhu 30-40 ºC. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Brulenno et al. (2003) yang menyatakan bahwa terjadi kristalisasi lemak selama penyimpanan

pada suhu rendah yang diamati dengan peningkatan SFC. Peningkatan nilai SFC CPO selama penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC akibat mengkristalnya fraksi olein. Kristal yang terbentuk semakin banyak dengan semakin lamanya penyimpanan.

Penyimpanan CPO pada suhu 30-40 ºC menyebabkan penurunan nilai SFC akibat adanya reaksi hidrolisis selama penyimpanan. Suhu optimum hidrolisis adalah 30-40 ºC (Saloko 2011).

Reaksi hidrolisis menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas (ALB). Gan et al. (2004)

menyebutkan terjadi peningkatan nilai ALB selama penyimpanan minyak sawit. Adanya ALB menyebabkan struktur kristal lemak tidak beraturan sehingga kristal lemak yang terbentuk sedikit yang berakibat nilai SFC semakin rendah (Foubert et al. 2004).

Penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menyebabkan pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair, tetapi hanya mempunyai nilai SFC yang berkisar berkisar 8.82-11.67%. Hal ini karena fraksi cair berada di dalam fraksi padat sehingga tidak menyebabkan pemisahan fraksi. Menurut Che dan Swe (1995) jika lemak mengandung kristal, struktur lemak akan menjadi padat sehingga kapiler antar kristal menyempit. Kapiler yang menyempit mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang berada di sekelilingnya.

Uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan signifikan dengan taraf kepercayaan 95% pada perubahan SFC CPO selama penyimpanan. Dengan uji Duncan data-data yang tidak berbeda signifikan akan berada pada subset yang sama, sedangkan data-data yang berbeda signifikan akan berada pada subset yang berbeda. Hasil ANOVA dengan

uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai SFC CPO berubah secara signifikan

pada minggu ketiga saat disimpan pada suhu 20 ºC, sedangkan saat disimpan pada suhu 25 ºC sudah berubah secara signifikan pada minggu kedua. Sampel CPO yang disimpan pada suhu 30-40 ºC berubah secara signifikan pada minggu keempat.

Gambar 12 Perubaban nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu penyimpanan

selama empat minggu.

Menurut Marangoni dan McGauley (2003) selama penyimpanan produk berlemak pada suhu rendah terjadi perubahan polimorfisme kristal lemak. Perubahan polimorfisme kristal lemak dapat dilihat dari peningkatan nilai SFC selama penyimpanan. Menurut Sato dan Ueno (2005) perubahan polimorfisme lemak dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Perubahan polimorfisme kristal lemak dapat terjadi melalui dua cara, yaitu solid-solid dan melt mediated transformation. Model


(1)

71 Lampiran 10. Model persamaan Avrami pada ketiga laju pendinginan.

A. Laju pendinginan 1 ºC/menit 1. Ulangan 1

2. Ulangan 2

B. Laju pendinginan 0.5 ºC/menit 1. Ulangan


(2)

72 Lampiran 10. Model persamaan Avrami pada ketiga laju pendinginan (lanjutan)

2. Ulangan 2

C. Laju pendinginan 0.2 ºC/menit 1. Ulangan 1

2. Ulangan 2


(3)

73 Lampiran 11. Data parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan yang

dipelajari melalui pengukuran SFC isotermal di suhu 25 ºC

Parameter U Laju pendinginan (ºC/menit)

0.2 0.5 1

avrami eksponen (n)

1 1.562 2.210 2.255

2 1.665 1.853 2.085

x 1.614 2.032 2.170

STDEV 0.073 0.252 0.120

konstanta avrami (k)

1 0.015 0.001 0.003

2 0.010 0.005 0.002

x 0.013 0.003 0.002

STDEV 0.003 0.003 0.001

waktu induksi (menit)

1 2 6 8

2 2 4 6

x 2 5 7

STDEV 0.00 1.41 1.41

SFC maksimum (%)

1 12.580 11.190 10.450 2 13.050 11.300 11.000 x 12.815 11.245 10.725

STDEV 0.332 0.078 0.389

waktu setengah kristalisasi (t1/2)

1 11.487 17.765 11.905 2 12.418 13.734 17.862 x 11.953 15.750 14.884


(4)

74 Lampiran 12. Data parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan dan shear rate yang dipelajari melalui pengukuran viskositas pada isotermal di suhu 25 ºC

Laju pendinginan (ºC/menit) Shear rate (S-1) Ulangan Waktu induksi (menit)

0.2

400

1 2

2 3

rata-rata 2.5

SD 0.71

100

1 9

2 10

rata-rata 9.5

SD 0.71

40

1 9

2 11

rata-rata 10

SD 1.41

0.5

400

1 12

2 11

rata-rata 11.5

SD 0.71

100

1 20

2 21

rata-rata 20.5

SD 0.71

40

1 20

2 22

rata-rata 21

SD 1.41

1

400

1 16

2 14

rata-rata 15

SD 1.41

100

1 19

2 22

rata-rata 20.5

SD 2.12

40

1 21

2 21

rata-rata 21


(5)

75 Lampiran 13. Hasil ANOVA univariate dengan uji lanjut Duncan pada pengaruh laju

pendinginan dan shear rate terhadap waktu induksi.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent

Variable:waktu_induksi

Source

Type III Sum of

Squares df Square Mean F Sig. Corrected Model 709.778a 8 88.722 63.88 0.00 Intercept 3842.722 1 3842.722 2.77E+03 0.00

shear_rate 220.778 2 110.389 79.48 0.00

laju_pendinginan 480.778 2 240.389 173.08 0.00 shear_rate *

laju_pendinginan 8.222 4 2.056 1.48 0.286

Error 12.5 9 1.389

Total 4565 18

Corrected Total 722.278 17

a. R Squared = .983 (Adjusted R

squared = .967)

waktu_induksi

Duncan

shear_rate N

Subset

1 2

400 S-1 6 9.6667

100 S-1 6 16.8333

40 S-1 6 17.3333

Sig. 1 0.481

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means

waktu_induksi

Duncan

laju_pendinginan N

Subset

1 2

0.2/menit 6 7.3333

0.5 C/menit 6 17.6667

1 C/menit 6 18.8333

Sig. 1 0.121

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 1.389. Between-Subjects Factors

Value Label N

shear_rate 1 40 S-1 6

2 100 S-1 6

3 400 S-1 6

laju_pendinginan 1 1 C/menit 6 2 0.5 C/menit 6 3 0.2/menit 6


(6)