Upaya Resosialisasi dan Rehabilitasi Pengembangan Infrastruktur Pendukung

e. Pengendalian kurikulum pendidikan terutama di bidang keagamaan untuk mencegah disusupkannya ideology keagamaan untuk mencegah dsusupkannya ideology-ideologi ekstrem-radikal dalam proses pendidikan.

d. Upaya Resosialisasi dan Rehabilitasi

1. Para pelaku teroris yang telah dicuci otaknya dengan ideology ekstrim atau radikal sehingga ekstrim pelaku dapat diresosialisasikan dan direintegrasikan ke dalam cara-cara berpikir normal kehidupan kemasyarakatan. 2. Perbaikan sarana prasarana serta fasilitas public yang rusak. 3. Normalisasi pelayanan public dan kegiatan masyarakat. 111

e. Pengembangan Infrastruktur Pendukung

1. Dukungan melalui bantuan internasional untuk pengadaan peralatan dan teknologi canggih untuk melawan terorisme bagi Polri, Intelijen, TNI dan fasilitas koordinasi. 2. Peningkatan kualitas SDM satuan-satuan pelaksana lapangan Polri, TNI, Intelijen serta instansi terkait lainnya. 3. Peningkatan kualitas SDM di jajaran penegak hukum penyidik-jaksa-hakim dalam proses peradilan terorisme agar setara dengan Negara-negara lain. 4. Pembangunan kapasitas organisasi lembaga koordinasi agar efektif dalam mengantisipasi perkembangan ancaman terorisme yang diperkirakan akan terus berlanjut. 111 Ibid,. hlm. 167-168. Universitas Sumatera Utara 5. Penetapan kelembagaan secara permanen dengan besaran organisasi sesuai skala perkembangan kegiatan pemberantasan terorisme dengan personil yang permanen pula. 6. Pengembangan jaringan kerja melalui kemitraan dengan instansi pemerintah dan lembaga non-pemerintah terkait dalam upaya pemberantasan terorisme. 7. Pengembangan kemitraan untuk kajian dan sosialisasi terorisme dengan lembaga akademik independen dan netral. 8. Pengembangan kemitraan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menumbuhkan partisipasi dalam memenangkan perang melawan ideology terorisme. 112 B. KEBIJAKAN NON PENAL NON PENAL POLICY Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. 113 a. Penerapan hukum pidana criminal law application; Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment; 112 Ibid., hlm. 168-169. 113 Ibid. Universitas Sumatera Utara c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa influencing views of society on crime and punishmentmass media. 114 Jadi, selain criminal law application kebijakan penal masih ada dan dimungkinkan prevention without punishment nonpenal. Untuk itu, perlu memperhatikan alternative-alternatif kebijakan lain yaitu pendekatan nonpenal. Pendekatan nonpenal dimaksudkan sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana nonpenal. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan nonpenal diorentasikan pada upaya-upaya untuk menangani factor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan. 115 a. Pencegahan primer primary prevention yang diarahkan baik pada masyarakat sebagai korban potensial maupun para pelaku-pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku potensial. Dalam meminjam terminology yang berlaku du dunia medis, Muladi membedakan berbagai tipologi tindakan pencegahan prevention without punishment. Tipologi-tipologi tersebut antara lain sebagai berikut: b. Pencegahan sekunder secondary prevention. Berbeda dengan yang pertama, pada bentuk pencegahan sekunder ini, tindakan diarahkan pada kelompok pelaku atau pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai 114 Barda Nawawi Arief, loc. Cit. 115 Ali Masyhar, op. cit, hlm. 171. Universitas Sumatera Utara contoh adalah dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan kejahatan pencurian kendaraan bermotor. c. Pencegahan tersier tertiary prevention. Dalam hal ini pencegahan diarahkan pada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya recidivist offender maupun recidivist victim. 116 Factor-faktor kondusif antara lain berpuat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi social yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Sehubungan dengan factor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan tersebut, Kongres PBB ke-8 dalam dokumen ACONF.144L.3 mengidentifikasikannya sebagai berikut: a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan kebodohan, ketiadaankekurangan perumahan yang layak dan system pendidikan serta latihan yang tidak cocok atau serasi; b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mampunyai prospek harapan karena proses integrasi social, juga karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan social; c. Mengendornya ikatan social dan keluarga; d. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beerimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 116 Ibid. Universitas Sumatera Utara e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian atau kelemahan di bidang social, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; f. Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan atau bertetangga; g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya, dilingkungan keluarga atau familinya, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya; h. Penyalahgunaan alcohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena factor-faktor yang disebut diatas; i. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; j. Dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap- sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap- sikap tidak toleran intoleransi. 117 Upaya nonpenal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan social dan lingkungan hidup yang sehat secara material dan immaterial dari factor-faktor kriminogen factor-faktor yang 117 Mahmud Mulyadi, op. cit, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara mendorong timbulnya tindak pidana-pen. Berdasarkan factor-faktor penyebab kejahatan secara umum dan motif-motif dilakukannya terorisme, dapat diambil kebijakan nonpenal guna menanggulangi tindak pidana terorisme. Kebijakan nonpenal tersebut terutama diarahkan pada: a. Pengentasan kemiskinan dan pengangguran terutama ditujukan pada pengangguran terpelajar; b. Meningkatkan kemakmuran dalam keadilan; c. Menekan laju peledakan penduduk; d. Mengurangi tingkat urbanisasi ke kota-kota atau Negara-negara lain; e. Memulihkan rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli; f. Pemotongan sel-sel dalam organisasi terorisme; g. Pendeteksian dini atas adanya ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada teror dan paham-paham fanatisme baru; h. Peningkatan kewaspadaan masyarakatan atas tindakan teror; i. Pengakomodasian dan pengembangan sikap toleran atas prinsip politik yang berbeda; j. Penghormatan dan menjamin kebebasan menjalankan keyakinan agama-nya. 118 118 Ali Masyhar, loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Tindakan-tindakan non-penal mempunyai kedudukan strategis, karena ia menggarap masalah-masalah atau kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Masalah strategis ini sangat mendapat perhatian dari kongres PBB keenam tahun 1980 mengenai Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Hal ini terlihat dari resolusi yang berhubungan dengan masalah Crime trends and crime prevention strategis. Beberapa pertimbangan menarik yang dikemukakan dalam resolusi, antara lain: a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas hidup yang pantas bagi semua orang the crime problem impedes progress towards the attainment of an acceptable quality of life for all people; b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab- sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime; c. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan social, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan kebodohan diantara golongan besar penduduk the main causes of crime in many countries are social inequality; racial and national discrimination, low standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population. 119 Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan prevention without punishment, 119 Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 35. Universitas Sumatera Utara yaitu antara lain pencegahan kesehatan mental masyarakat community planning mental health, kesehatan mental masyarakat secara nasional national mental health, social worker and child welfare kesejahteraan anak dan pekerja social, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi administrative and civil law. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada didalam masyarakat community crime prevention. Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime prevention antara lain: a. Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang; b. Pembinaan tenaga kerja; c. Pendidikan; d. Rekreasi; e. Pembinaan mental melalui agama; f. Desain tata ruang fisik kota. Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Community organization