Teori Retributif Upaya Pemerintah Meminimalisir Aksi Terorisme Melalui Pendekatan Hukum Dan Sosio Kultural Di Indonesia

a. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; b. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional. 89 Usaha menemukan alas philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum pidana saat ini. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, dan social defence. 90

1. Teori Retributif

Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally justified” pembenaran secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila didalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Niger Walker mengemukakan bahwa aliran retributive ini terbagi menjadi dua macam yaitu teori retributive murni dan teori retributive tidak murni. Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: 89 Ibid. 90 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 68. Universitas Sumatera Utara a. Retributivist terbatas the limitating retributivist, yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku; b. Retributivst yang distribusi retribution in distribution, yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah. 91 Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus berancang dengan pandangan pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi. Teori retributive ini berpandangan, selama kita membatasi sanksi dalam hukum pidana pada orang-orang yang telah melakukan pelanggaran kejahatan dan tidak membenarkan sanksi ini digunakan pada orang yang bukan pelanggar maka harus diperhatikan prinsip retribusi yang menyatakan bahwa: “Masyarakat tidak berhak menerapkan tindakan yang tidak menyenangkan pada seseorang yang bertentangan dengan kehendak kecuali bila ia dengan sengaja melakukan sesuatu yang dilarang”. 92 1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak Menurut Romli Atmasasmita mempunyai tujuan pembenaran sebagai berikut: 91 Ibid, hlm. 71. 92 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 92. Universitas Sumatera Utara dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alas an untuk memudah tidak menghargai hokum. Tipe aliran retributive ini disebut vindicative; 2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe aliran ini disebut fairness; 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran ini disebut proportionality. 93

4. Teori Deterrence