yaitu antara lain pencegahan kesehatan mental masyarakat community planning mental health, kesehatan mental masyarakat secara nasional national mental
health, social worker and child welfare kesejahteraan anak dan pekerja social, serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi administrative and civil
law. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan
pada penguatan sumber daya yang ada didalam masyarakat community crime prevention. Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime
prevention antara lain: a.
Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang;
b. Pembinaan tenaga kerja;
c. Pendidikan;
d. Rekreasi;
e. Pembinaan mental melalui agama;
f. Desain tata ruang fisik kota.
Program-program dari community crime prevention ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Community organization
Universitas Sumatera Utara
Tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan kejahatan. Kerjasama ini juga dibina
melalui sekolah-sekolah local, tempay-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi
dalam suatu pergaulan yang positif;
2. Community defence
Program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan. Strategi yang digunakan adalah pencegah
kejahatan melalui mendesain lingkungan dan organisasi pengawasan masyarakat melaui neighbourhood watch.
3. Order maintenance
Pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan perilaku kasar dijalanan.
4. Risk based program
Program ini menggunakan pendekatan untuk mencari factor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko
dan menyediakan upaya pencegahan khusus bagi mereka.
5. Community development
Universitas Sumatera Utara
Strategi yang digunakan adalah membangun kembali tatanan kehidupan social, fisik dan perekonomian lingkungan tempat tinggal.
6. Structural change
yang dibangun adalah perubahan yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi terjadinya kejahatan.
120
a.
Ada keterpaduan integralitas antara politik criminal dan politik social;
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:
b. Ada keterpaduan integralitas antara upaya penanggulangan kejahatan dengan
penal dan nonpenal.
Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan social atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan factor-faktor
kriminogen dan victimogen.
121
120
Ibid.
121
Barda Nawawi Arief,2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana PerkembanganPenyususan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, hlm. 4.
Kelemahan dari pendekatan dalam merumuskan strategi pencegahan kejahatan sampai saat ini adalah penekanan yang dititikberatkan pada offender-
oriented prevention. Padahal, perumusan atas dasar dimensi yang berbeda, yaitu victim-oriented prevention, tidak kalah pentingnya. Tipologi pencegahan lain yang
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pencegahan individual individual prevention. Bentuknya antara lain system
alarm kendaraan, system alarm rumah, CCTV, pengawal pribadi dan sebagainya;
2. Pencegahan masyarakat societal prevention yang dapat berupa siskamling
swakarsan sebagaimana dikembangkan oleh POLRI dan lainnya.
122
Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi
berdasarkan pendekatan pada : a.
Aspek Konflik kebudayaan yang terdapat dalam system social bersangkutan.
123
Teori ini dikemukakan oleh Thorsten Sellin dalam bukunya yang berjudul Culture Conflict and Crime. Sellin menyatakan bahwa terdapat suatu Conduct
norm norma tingkah laku yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Norma tingkah laku ini bertujuan untuk mendefenisikan tingkah laku apa yang
dianggap pantas normal dan apa yang dianggap tidak pantas abnormal. Sellin mengunggkapkan bahwa dikalangan pakar sosiologi belum punya
formula yang tepat untuk memberi arti konflik budaya ini. Konflik budaya ini bisa saja dihasilkan proses perkembangan suatu budaya, bisa juga karena
perkembangan masyarakat, atau bisa juga dihasilkan dari hasil migrasi conduct norms dari suatu budaya yang kompleks ke wilayah budaya lainnya.
122
Ibid., hlm. 86.
123
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, UMM Press, Malang, hlm. 104
.
Universitas Sumatera Utara
Sellin menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para imigran disebabkan oleh:
a. Adanya konflik antara norma prilaku yang lama dan norma prilaku yang baru;
b. Perpindahan situasi dan kondisi lingkungan desa ke kingkungan perkotaan;
c. Transisi dari kehidupan masyarakat homogeny yang terorganisir kepada
masyarakat heterogen yang tidak terorganisir.
124
b. Teori Anomi
Teori Anomi, pertama kali dikemukakan oleh Emile Durkheim 1858-1917 sebelum akhir abad ke-19. Durkheim mengenalkan istilah “Anomi”, yang
diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat didalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar-standar yang
mengatur kehidupan”. Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan social yang cepat
mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan
norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan social yang tanpa norma anomie.
Teori Merton, ada dua komponen didalam masyarakat yang menentukan terjadinya ketertiban, yaitu: tujuan bersama dalam masyarakat the same goals
124
Ibid., hlm. 109-110.
Universitas Sumatera Utara
in society dan sarana atau alat yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut acceptable means.
Merton menekankan pengaruh struktur social sebagai factor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak
dicapai dengan sarana yang dugunakan dalam mencapai tujuan tersebut.
125
1. Conformity merupakan perilaku yang terjadi manakah tujuan dan cara yang
sudah ada di masyarakat diterima dan melalui sikap seseorang memperoleh keberhasilan.
Marton mengemukakan 5 lima bentuk kemungkinan pengadaptasian yang dapat terjadi didalam setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan
tujuan yang sudah membudaya goals dan tata cara yang sudah melembaga means, yaitu:
2. Innovation, terjadi manakala seseorang terlalu menekankan tujuan yang
membudaya tanpa menginternalisasikan norma-norma kelembagaan yang mengatur tata cara untuk pencapaian tujuan yang membudaya.
3. Ritualism, pada umumnya merupakan kecenderungan yang terjadi pada
kelompok “lower-middle class”. 4.
Retreatism, mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan kemasyarakatan, termasuk antara lain penyalahgunaan narkotika.
125
Kusno Adi, op. cit., hlm.106-107.
Universitas Sumatera Utara
5. Rebellion, merupakan perjuangan yang terorganisasi ditujuan untuk
melakukan perubahan-perubahan kondisi social, ekonomi, politik, dengan maksud untuk “introduce a social structure in which the cultural standards
of success would be sharply mdified and provision would be made for a closer correspondence between merit, effort and reward”.
126
c. Teori Differential Association
Teori ini dikemukakan Edwin H. Sutherlan dalam dua versi yaitu pertama tahun 1939 dan versi kedua tahun 1947. Menurut Sutherlan, perilaku criminal
merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan social dan tidak diwariskan dari orang tua.
Menurut Sutherlan bahwa perilaku criminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku criminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari
tingkah laku criminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Ketika tingkah laku criminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk:
a. Teknik-teknik melakukan kejahatan;
b. Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-
rasionalisasi dan sikap-sikap. Asosiasi differensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya,
prioritasnya dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku criminal melalui asosiasi dengan pola-pola tingkah laku criminal dan anti criminal
126
Ibid., hlm. 112.
Universitas Sumatera Utara
melibatkan setiap mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku criminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-
nilai umum, tingkah laku criminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan- kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non criminal juga
ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.
127
d. Teori Sub Budaya Sub Culture
Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen yang digunakan dalam kerangka menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku dikalangan remaja Amerika,
yang bercirikan gang-gang jalanan. Cohen ingin menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku kejahatan di daerah kumuh slum. Cohen menyatakan
bahwa perilaku kejahatan dikalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai-
nilai kelompok kelas menengah yang mendominasikan budaya Amerika. Hal ini mengakibatkan kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya
yang disebut “status frustration”. Akhirnya para pemuda kalangan bawah ini melibatkan diri dalam gang-gang dan berperilaku menyimpang yang sifatnya
tidak bermanfaat non-utilitirian, dengki malicious dan jahat negativistic.
128
1. Criminal subculture, bentuk-bentuk perilaku geng yang ditujukan
untuk kepentingan pemebuhan uang atau harta benda. Sub budaya yang mungkin terjadi menurut Cloward Ohlin dikelompokkan
menjadi 3 tiga bentuk yaitu:
127
Mahmud Mulyadi, op. cit., hlm. 107109.
128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Conflict subculture, bentuk geng yang berusaha mencari status
dengan menggunakan kekerasan. 3.
Retreatist subculture, bentuk geng dengan ciri-ciri penarikkan diri dari tujuan dan peranan konvensional dan kemudian mencari
pelarian dengan menyalgunakan obatnarkotika atau sejenisnya.
129
e. Teori Differential Opportunity Structure
Teori ini dikemukakan oleh Cloward dan Ohlin yang dibangun atas dua asumsi, yaitu:
a. Bahwa terhalangnya aspirasi dibidang perekonomian yang disebabkan oleh
kemiskinan sehingga secara umum menjadikan perasaan frustasi; b.
Bahwa frustasi ini mendorong kearah terjadinya kenakalan dalam konteks gang khusus, yang sifat kejahatannya secara alami bervariasi sesuai dengan
struktur dan nilai konvensional dalam lingkungan pemuda. Peyimpangan di wilayah perkotaan merupakan akibat dari adanya perbedaan
yang dimiliki oleh pemuda untuk mencapai tujuan, baik yang sifatnya sah ataupun tidak sah. Bila kesempatan untuk memperoleh sesuatu secara legal
terhalang, maka kejahatan kemungkinan besar terjadi dan bila kejahatan tidak terjadi, kecenderungan keterlibatan dalam penggunaan narkoba dan kekerasan
akan terjadi.
130
129
Kusno Adi, op. cit., hlm. 110.
130
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya pencegahan dan penanggulangan teroris di Indonesia pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Terungkapnya jaringan terorisme termasuk tertangkapnya tokoh-tokoh utama
teroris. 2.
Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menanggulangi aksi teroris. 3.
Meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman teroris secara keseluruhan.
Arah kebijakan yang akan ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan koordinasi dan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan
dan menanggulangan teroris. 2.
Memperkuat kesatuan anti terror dalam mencegah, menindak dan mengevakuasi aksi teroris.
3. Melaksanakan penegakan hukum penanggulangan teroris berdasarkan prinsip
demokrasi dan HAM yang terbebas dari unsur diskriminasi dan pendiskreditan. 4.
Peningkatan operasional penggulangan aksi teroris melalui penangkapan tokoh- tokoh utama pelaku teroris.
5. Peningkatan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi aksi-aksi teroris.
131
131
http:www.interpol.go.ididkejahatan-transnasionalterrorisme72-pencegahan-dan- penanggulangan-terorisme
, diakses tgl 03 Nopember 2010, jam 19.30 Wib.
Universitas Sumatera Utara
Terorisme sebagai bentuk ancaman non tradisional tidak dapat dihadapi dengan teori-teori Clausewitz, Jomini atau pendekatan dan pola-pola konvensional
lainnya. Terorisme harus dihadapi dengan counter-terrorism. Dalam hal ini kunci keberhasilan terletak pada keikutsertaan seluruh bangsa untuk memeranginya.
Disadari bahwa terorisme merupakan isu yang sangat sensitive.
Langkah-langkah Penanganan Terorisme yaitu:
1. Perang melawan teroris merupakan kebutuhan mendesak dan dilaksanakan
untuk melindungi kedaulatan NKRI dan keselamatan warga negara Indonesia serta warga Negara lain yang berada di Indonesia sebagaimana diamanatkan
dalam Pembukaan UUD 1945. 2.
Dalam pelaksanaan pemberantasan terorisme, tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak melanggar hak asasi manusia.
3. Dalam penggunaan kekuatan pertanahan, yakni TNI untuk menumpas
terorisme, tidak bersifat diskriminatif, dalam arti bahwa siapapun yang melakukan perbuatan teror akan dihadapi tanpa melihat latar belakang etnis,
agama atau golongannya. 4.
Terorisme yang bersifat internasional maupun local atau yang saling berkolaborasi, dalam mengatasinya dilakukan melalui upaya secara terpadu dan
terkoordinasi secara lintas instansi dan linbtas Negara. 5.
Ancaman terorisme dapat bersifat domestic maupun lintas Negara, sehingga penangganannya perlu kerja sama dengan Negara-negara lain. Dalam
memerangi terorisme, kerjasama pertahanan yang telah dilaksanakan mencakup
Universitas Sumatera Utara
kerjasama intelijen dan kerjasama tersebut akan tetap dilanjutkan dimasa-masa mendatang.
6. Dalam melaksanakan pokok-pokok kebijakan diatas, secara konkrit penanganan
ancaman terorisme dapat bersifat preemptif, preventif dan represif.
Untuk memayungi instrument-instrumen Negara yang involve dalam penanganan terorisme, pemerintah telah menetapkan sejumlah perangkat hukum.
Dinataranya, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Kemudian diikuti dengan dua Inpres yakni Inpres No. 4 dan 5 Tahun 2002. Inpres No. 4 Tahun 2002 menugaskan Menkopolkam untuk merumuskan
kebijakan terpadu pemberantasan terorisme, serta menyusun langkah-langkah operasional yang meliputi penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian,
penyelesaian dan segala tindakan hukum. Sedangkan Inpres No. 5 Tahun 2002, menugaskan Kepala BIN untuk melakukan pengkoordinasian pelaksanaan
operasional kegiatan intelijen seluruh instansi lainnya sehingga terwujud satu kesatuan masyrakat intelijen yang mampu bekerja secara efektif dan efesien.
132
a. Mengambil tindakan efektif bagi pencegahan dan penghukuman terorisme yang
mempunyai karakter internasional; Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism 1937
b. Prinsip hokum internasional bahwa setiap Negara harus menahan diri dari setiap
tindakan yang mendorong terjadinya terorisme terhadap Negara lain;
132
Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 140-141.
Universitas Sumatera Utara
c. “acts of terrorism” adalah tindakan penjahat yang diarahkan kepada suatu
Negara yang diperhitungkan untuk membuat keadaan teror a state of terror dalam pikiran orang-orang tertentu, kelompok orang atau public umumnya;
d. Tindakan terorisme:
1. Setiap tindakan sengaja yang mengakibatkan kematian atau membahayakan
fisik atau hilangnya kebebasan pada: Kepala Negara, suami atau istrinya, pejabat public;
2. Perusakan sengaja tempat-tempatharta publ;ik;
3. Perusakan tempat-tempat penting : gudang senjata atau bahan berbahaya.
Terorisme adalah kejahatan yang dapat diekstradisi. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected
Persons including Diplomatic Agents 1973.
e. Semua Negara diminta untuk mencegah dan menghukum pelaku kejahatan
terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional termasuk pejabat diplomatic.
133
Non penal lebih menitik beratkan pada pencegahan dan penangkalan atau upaya preventif yaitu:
134
1. Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api.
2. Peningkatan pengamanan terhadap system transportasi.
3. Peningkatan pengamanan sarana public.
133
Ibid., hlm. 185.
134
Ali Masyhar, op. cit., hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
4. Peningkatan pengamanan terhadap system komunikasi.
5. Peningkatan pengamanan terhadap VIP.
6. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas diplomatic dan kepentingan asing.
7. Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi serangan teroris.
8. Peningkatan pengamanan terhadap fasilitas internasional.
9. Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit
menjadi bom. 10.
Pengetatan pengawasan perbatasan dan pintu-pintu ke luar masuk. 11.
Pengetatan pemberian dokumen perjalanan paspor, visa dan sebagainya. 12.
Harmonisasi kebijakan visa dengan Negara tetangga. 13.
Penertiban pengeluaran kartu tanda penduduk dan administrasi kependudukan. 14.
Pengawasan kegiatan masyarakat yang mengarah pada aksi teror. 15.
Intensifikasi kegiatan pengamanan swakarsa. 16.
Kampanye anti terorisme melalui media massa meliputi: a.
Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap aksi teroris. b.
Sosialisasi bahaya terorisme dan kerugian akibat tindakan teror. c.
Penggunaan public figures terkenal untuk mengutuk aksi teroris. d.
Pemanfaatan eks pelaku teroris yang telah sadar dalam kampanye anti terorisme.
e. Penggunaan wanted poster dan dipublikasikan.
f. Pemanfaatan mantan korban aksi terorisme untuk menggubah empati dan
solidaritas masyarakat agar bangkit melawan terorisme. 17.
Penyelenggaraan pelatihan pers yang meliput berita tentang aksi terorisme.
Universitas Sumatera Utara
18. Pelarangan penyiaran langsung wawancara dengan teroris.
19. Pelarangan publikasi naskah-naskah dan pernyataan-pernyataan para teroris.
135
Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini,
penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan :
1. Strategi Jangka Pendek