2. Pertanggung jawaban Tindak Pidana
Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah
diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hokum pidana
ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea. Asas ini tidak tersebut dalam hokum tertulis tapi
dalam hokum yang tidak tertulis yang juga di Indonesia berlaku. Hokum pidana fiscal tidak memakai kesalahan. Di sana kalau orang telah melanggar ketentuan, dia
diberi pidana denda atau rampas.
38
a. Menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicela verwijtbaarheid.
Menurut Van Hamel, kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsure-
unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hokum Schuld is de verantwoordelijkheid rechtens.
Kesalahan dapat dilihat dari 2 dua sudut yaitu:
38
Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 153.
Universitas Sumatera Utara
b. Menurut hakikatnya ia adalah hal daapt dihindarkannya vermijdbaarheid
perbuatan yang melawan hokum.
39
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti yang luas, yaitu:
1. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat;
2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau
kesalahan dalam arti sempit culpa;
3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Dari yang diatas tersebut pada butir 3 dapat dilihat kaitan antara kesalahan dan melawan hokum. Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hokum.
Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hokum tanpa adanya kesalahan.
Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya.
Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hokum.
40
Eksistensi pertanggungjawaban dapat diawali dengan kata pertanggungjawaban, yang kata dasarnya adalah tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib untuk
menanggung segala sesuatu kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan. Sedangkan pertanggungjawaban berarti perbuatan bertanggung jawab, sesuatu yang
39
Ibid.
40
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 130.
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan
terbukti bersalahdapat dicela. Jadi, yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah dikenakannya penderitaan yang sengaja dibebankan oleh Negara
kepada seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dipersalahkan atau dapat dicela. Sehingga dijalaninya pidana oleh seseorang yang bersalah karena
telah melakukan tindak pidana merupakan wujud tanggung jawab pidana yang harus diterima. Setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya
harus dipidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan
hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat sanksi pidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya
tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar pidana pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana dapat
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dihukum karena perbuatannya tersebut.
Dalam Syari’at Islam, unsure pertanggung jawaban pidana adalah:
a. Adanya perbuatan yang dilarang;
b. Dilakukan dengan kemauan sendiri;
c. Pelaku mengetahui perbuatan dan akibat perbuatan.
41
41
Ibid, hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
KUHP menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila ia melakukan tindak pidana dengan kesengajaan atau kealpaan. Pada
prinsipnya, perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa
suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.
Undang-undang Terorisme merumuskan kesalahan dalam arti sempit yaitu adanya kesengajaan dan kealpaan secara lengkap. Dengan kata lain Undang-
undang Terorisme mengatur tindak pidana terorisme yang dilakukan dengan cara sengaja maupun kealpaan.
Pasal-pasal yang secara tegas merumuskan kata “dengan sengaja” ditegaskan dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8 huruf c, huruf e, huruf f, huruf I, huruf m, dan huruf
n, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 22. Sedang kata “karena kealpaan” dirumuskan secara tegas dalam pasal 8 huruf d, dan huruf g.
42
Dalam hal pertanggungjawaban pidana unsure yang paling fundamental adalah unsure kesalahan, sebab seseorang atau kelompok tidak dapat dikenakan suatu
pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Kaitannya dengan tindak pidana terorisme tentunya kesalahan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap
ketentuan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme berarti perbuatan yang melanggar hokum pidana terorisme. Untuk mengetahui
42
Ibid, hlm. 117.
Universitas Sumatera Utara
tentang pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan terorisme paling tidak kita harus paham dan mengerti tentang hirarki organisasi terorisme.
43
Sementara itu dalam konteks hukum pidana, kesalahan terdiri dari 2 dua yaitu:
44
1. Kesengajaan dolusopzet
Dalam bahasa Belanda disebut “Opzet” dan dalam bahasa Inggrisnya disebut “intention” yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “sengaja” atau
“kesengajaan”.
Menurut Prof. Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai berikut “opzet” dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong
oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Alasan mengartikan sengaja dalam peristiwa pidana sebagai niatitikad yang diwarnai sifat melawan hukum dan
dimanifestasikan dalam bentuk sikap tindak, ialah karena:
a. Perumusan itu hanya terbatas pada perbuatan melanggar hukum, yang
berlangsung ditujukan pada dasarnya; b.
Untuk niat sebagai suatu bagian dari proses psikis merupakan kejadiankeadaan yang tak dapat dilihat atau dipegang yang mempunyai bentuk variasi dan dapat
43
Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 96.
44
A. Fuad Usfa dan Tongat, loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
berkembang dan menyempit tergantung pada budaya lingkungan serta kepribadian orangnya.
45
Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 tiga bentuk kesengajaan opzet, yaitu:
46
1. Kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk
Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai maksud seperti yang
dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan
perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi.
47
Pada contoh diatas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya disebut dengan motif. Adapun “maksud”, adalah kehendak A untuk melakukan
perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini menghilangnya nyawa B. sengaja
sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti. contoh sebagai berikut: A bermaksud membunuh B yang
menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.
48
45
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, op. cit., hlm. 51.
46
Laden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 15.
47
Andi Hamzah, loc. Cit.
48
Laden Marpaung, loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti opzet als zekerheidsbewustzijn
Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan sutatu akibat tertentu. Tetapi disamping akibat yang
dituju teersebut si pelaku insyaf menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan untuk mencapaimenimbulkan akibat lain yang tidak dikehendaki.
Dengan demikian dalam hal ini perbuatan si pelaku tersebut telah menimbulkan dua akibat, yaitu:
a. Akibat yang tertentu yang merupakan tujuan si pelaku
b. Akibat lain yang dilarang dan diancam dengan hukuman, oleh karena itu
yang pastiharus timbul dengan dilakukannya perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentun itu
c. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan.
49
Prof. Satochid Kartanegara, SH, memberi contoh sebagai berikut:
Kehendak A untuk membunuh B. dengan membawa senjata api, A menuju rumah B. akan tetapi ternyata setelah samapai dirumah B, C berdiri di depan B.
disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C berdiri didepan B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama
mengenai C dan kemudian B, hingga C dan B mati.
50
49
A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, hlm. 80-81.
50
Leden Marpaung, loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan dolus Eventualis
Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu
akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.
Lamintang menjelaskan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan dolus eventualis sebagai berikut:
“pelaku yang bersangkutan pada waktu itu melakukan perbuatannya untuk menimbulkan suatui akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari
kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jadi, jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi
kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan mempunyai suatu kesengajaan.”
51
Pasal 7 Pasal-pasal yang merumuskan kata “dengan sengaja” yaitu:
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut.
51
Leden Marpaung, op. cit., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut.
Pasal 8
Dengan sengaja terorisme terhadap pesawat udara dan bangunan serta perlengkapan untuk kepentingan pengamanan pesawat udara.
pasal 10 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya. Pasal 11
Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme. Pasal 12
Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan
sebagian atau seluruhnya. pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
Universitas Sumatera Utara
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun.
52
2. Kealpaan culpa
Arti kata culpa ini adalah kesalahan pada umumnya, akan tetapi “culpa” di dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis yaitu: suatu macam
kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi.
53
e. Kesengajaan,
Menurut doktrin, schuld yang sering diterjemahkan dengan “kesalahan” terdiri atas:
f. Kealpaan.
Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah kehendak, sedangkan “kealpaan” adalah tidak kehendak. Umumnya para pakar sependapat bahwa
“kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang
dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan.
54
3. Tidak adanya alasan pemaaf. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlaianan jenis dari pada kealpaan.
Dasarnya adalah sama, yaitu; 1. Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana;
2. Adanya kemampuan bertanggungjawab;
55
52
Mudzakkir, op. cit., hlm. 13
53
C.S.T. Kansil dan Christina S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 54.
54
Leden Marpaung, loc. Cit.
55
Moeljatno, loc. Cit.
Menurut Prof. Mr. D. Simons, menerangkan kealpaan ini sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Umumnya kealpaan itu jadinya terdiri dari dua bagian, yaitu berhati-hati melakukan sesuatu, disamping itu menduga akibat perbuatan. Tetapi meskipun sesuatu
perbuatan, dilakukan dengan berhati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa perbuatan itu mungkin akan timbul suatu
akibat yang dilanggar undang-undang. Kealpaan adalah pleh karena melakukan perbuatan itu, meskipun telah mengetahui
akibatnya. Dalam hal terakhir dalam sementara itu hanya dapat dianggap adanya tanggung jawab tentang kealpaan itu, kalau untuk melakukan perbuatan itu tak ada
alasan yang patut dan yang dibuat tidak hanya dapat menghindarkan akibat itu melainkan bagaimanapun juga harus mengelakkannya.
56
1. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat.
Culpa dibedakan menjadi culpa levissma dan culpa lata. Culpa levissma berarti kealpaan yang ringan,
sedangkan culpa lata adalah kealpaan besar, didalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari itu
dapat digambarkan bila seorang yang menimbulkan delik tanpa sengaja dan telah berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi walaupun demikian
akibatnya tetap timbul juga. Sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang bersikap tindak tanpa membayangkan akibat yang timbul, padahal ia harusnya
membayangkan. KUHP tidak menegaskan apa arti kealpaan. Sedang Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsure yaitu:
2. Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.
56
Leden Marpaung, op. cit., hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Van Hamel juga mengatakan bahwa culpa juga mempunyai dua syarat yaitu: 1.
Kurangnya pendugaan yang diperlukan. 2.
Kurangnya berhati-hatian yang diperlukan.
57
Kalau dasar adanya kealpaan adalah merupakan kelakuan terdakwa yang tidak menginsafi dengan kurang memperhatikan terhadap objek yang dilindungi oleh
hukum, maka dasar hukum untuk memberikan pidana terhadap delik culpa, berarti kepentingan peghidupan masyarakat, yang mengharapkan setiap anggota
masyarakat dalam melakukan perbuatan berusaha sedemikian rupa untuk memperhatikan kepetingan sesama anggota masyarakat, sehingga tidak
menimbulkan kerugian dan barang siapa tidak berbuat sebagai demekian harus bertanggungjawab dengan mendapat pidana.
Kealpaan yang merupakan perbuatan tidak dengan sengaja tidak diinsyafi akan tetapi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi oleh hukum,
atau tidak melakukan kewajiban yang haruskan oleh hukum, atau tidak mengindahkan larangan peraturan hukum, sebagai sebuah jenis kesalahan menurut
hukum pidana. Dengan demikian delik culpa pada dasarnya merupakan delik yang bagi pembuatnya mempunyai pertanggungjawaban yang berdiri sendiri.
Dibandingkan dengan bentuk kesengajaan, dapat dkatakan bahwa bentuk kealpaan itu merupakan jenis kesalahan yang mempunyai dasar yang sama dengan
bentuk kesengajaan yaitu harus terjadi perbuatan pidana perbuatan yang dilarang
57
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
dan diancam dengan pidana, dan harus adanya kemampuan bertanggungjawab dengan tanpa adanya alasan penghapus kesalahan berupa pemaaf.
58
karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak.
Pasal-pasal yang merumuskan dengan kata “karena kealpaan” sebagai berikut: Pasal 8 huruf d
karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat
untuk pengamanan penerbangan yang keliru. huruf g
59
2 Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
Sedangkan pasal 17 dan 18 mengatur pertanggungjawaban korporasi dalam hokum pidana Corporate criminal responsibility, yang meliputi badan hokum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain.
Rumusan pasal 17
1 Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi
danatau pengurusnya.
58
Bambang Poernomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 178.
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3 Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pasal 18 1 Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
2 Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- satu triliun rupiah.
3 Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Pasal 17 dan 18 termasuk menjelaskan bahwa disamping orang secara pribadi, kejahatan terorisme dapat juga dilakukan oleh badan hokum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain. Akan tetapi dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme ini tidak mengatur tentang
pertanggungjawaban pengurus dan pimpinan korporasi. Meskipun pasal 17 sudah menentukan pertanggungjawaban pengurus namun tidak disebutkan sanksinya.
Seharusnya pengurus korporasi sebagai pengambil keputusan juga dikenai pidana
Universitas Sumatera Utara
badan karena mengetahui dan memutuskan hal yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
60
1. Mengakui subyek hokum korporasi legal person, disamping pribadi alamiah
natural person. Dari perumusan Pasal 17 dan Pasal 18 tersebut diketahui bahwa undang-undang
terorisme:
2. Terorisme yang dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dijatuhkan kepada: a.
Korporasi saja; b.
Korporasi dan pengurusnya; dan c.
Pengurusnya saja. 3.
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh orang atau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama tidak hanya berdasarkan hubungan kerja, tetapi juga atas dasar hubungan lain. Korporasi sudah dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana
terorisme yang dilakukan oleh orangatau orang-orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama apabila dapat dibuktikan adanya hubungan kerja atau
hubungan lain.
60
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda yaitu paling banyak satu
triliun rupiah. Namun demikian korporasi juga dapat dibekukan atau dicabut aya izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.
61
Perkembangan korporasi sebagai subyek hokum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, dapat ditelusuri melalui tahap-tahap: 1.
Tahap pertama Pada tahap ini hokum pidana tidak mengenal korporasi sebagai pelaku tindak
pidana. Hal ini karena penolakan terhadap “collective responsibility” yang sewenang-wenang sebelum revolusi Prancis tahun 1789, sehingga muncullah
maxim “societas delinquere non potest” badan hokumperkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana.
2. Tahap kedua
Pada tahap ini korporasi sudah dikenal sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini karena pengaruh konsep pelaku fungsional functioneel daderschap. Namun
pada tahap ini, meskipun korporasi dapat melakukan tindak pidana , tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah anggota pengurus, asal dengan tegas
dinyatakan demikian dalam peraturan itu.
3. Tahap ketiga
61
Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia menghadang terorisme sebuah kritik atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 120.
Universitas Sumatera Utara
Tahap ini merupakan perkembangan dari tahap ketiga. Permintaan pertanggungjawaban disamping dapat dikenakan kepada pengurus, juga dapat
secara langsung kepada korporasi yang bersangkutan.
62
1. Liability based on fault atau kalau dalam hukum pidana geen straf zonder
schuld yang merupakan teori pertanggungjawaban yang tradisional. Bahwasanya dalam teori pertanggungjawaban pidana tersebut harus
diisyaratkan adanya kesalahan atau fault atau negligence atau schuld untuk dapat dipertanggungjawabkannya kepada seseorang.
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana paling tidak kita kenal 3 tiga teori pertanggungjawaban pidana yaitu:
Tetapi harus diingat pula terlebih dahulu orang yang bersangkutan harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum yang
berkaitan dengan kejahatan terorisme memenuhi unsue-unsur tindak pidana terorisme. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa untuk adanya strafvorusset
zungen syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung perbuatan pidana lalu
sesudahnya dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat. Liability based on fault hanya dapat dikenakan kepada orang dan tidak dapat dikenakan kepada
korporasi. strict liability dan vicarious liability.
2. Strict liability pertanggungjawaban langsung
62
Ali Masyhar, 2009, Op. Cit, hlm. 120-122.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai teori pertanggungjawaban strict liability Curzon dalam bukunya Criminal Law menyatakan bahwa penerapan strict liability bagi korporasi
didasarkan pada 3 tiga hal yaitu: a.
Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;
b. Pembuktian adanya unsure mens rea akan menjadi lebih sulit dalam
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; dan c.
Tingginya tingkat bahaya social yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.
3. Vicarious liability diartikan sebagai tanggung jawab terhadap perbuatan orang
lain dalam arti suatu perusahaan korporasi dapat bertanggungjawab untuk membayar ganti kerugian yang disebabkan karena perbuatan anggota korporasi
yang bertindak atas nama korporasi, makna korporasi tersebut yang membayar beban denda yang sebab anggota tersebut tidak akan mampu untuk membayar
jumlah yang sanagat banyak dalam tindak pidana terorisme denda paling banyak adalah satu triliun rupiah. Oleh karea itu, pembayaran ganti rugi
dibebankan pada perusahaankorporasi. Dalam hal ini, Vicarious liability hanya dibebankan pada tuntutan ganti rugi bukan berupa pidana penjara.
Untuk menerapkan Vicarious liability perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Bentuk pelanggaran tidak terlalu berat;
Universitas Sumatera Utara
b. Hanya diperbolehkan untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana
denda atau sanksi perdata dan bukan berupa pidana penjara; c.
Dapat diperkirakan adanya kesalahan akan tetapi sulit untuk dibuktikan.
63
3.Sanksi Pidana
Pidana dan tindakan maatregel tertmasuk sanksi dalam hukum pidana. Undang-undang KUHP tidak menyebut istilah maatregel tindakan. Jenis pidana
tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa,
memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, dan menyerahkan kepada orang tua Pasal 45 dan 46 KUHP.
64
Pidana berasal dari kata straf Belanda, yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan nestapa yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada
seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Hokum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hokum yang dilakukan.
Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting
antara hukum pidana dengan hukum pidana lainnya.
65
Jenis pidana teercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum diluar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu
menyimpang Pasal 103 KUHP. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok
63
Ibid.
64
Andi Hamzah, loc. Cit.
65
Mohammad Ekaputra, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya menurut konsep KUHP baru, 2010, USU Press, Medan, hlm. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.
Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Sebagaimana telah disebutkan, Pasal 10 KUHP membedakan pidana atas pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara pidana pokok dengan pidana
tambahan adalah sebagai berikut: 1.
Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan imperative, sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Universitas Sumatera Utara
Sifat imperative ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, dimana dalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua
kemungkinan, yaitu: a.diancamkan satu jenis pidana pokok saja artinya hakim tidak bias
menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain; dan b.tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana
sifatnya adalah alternative, artinya hakim harus memilih salah satu saja misalnya: pasal 362, 364, 340 KUHP.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan berdiri sendiri, tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan
tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hokum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan pelaksanaan
executie.
66
Salah satu pidana pokok yang paling utama dalam KUHP Indonesia adalah pidana mati. Pidana mati seolah menjadi sanksi idola yang sampai sekarang masih
tetap dipertahankan. Dewasa ini terjadi diskursus mengenai masih perlu tidaknya pencantuman pidana mati dalam hukum pidana. Ada beberapa Negara yang telah
mencabut pidana mati dalam system hukum pidananya antara lain Venezuela,
66
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Columbia, Rumania, Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark dan bahkan Belanda juga telah mencabut pidana mati dalam WvS-nya.
67
1. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai, tetapi tujuan itu boleh menggunakan paksaan; Hal ini merupakan konsekuensi dari pemikiran bahwa tujuan pidana adalah
untuk meresosialisasikan si terpidana kepada masyarakat. Terpidana pada saatnya nanti akan dikembalikan ke tengah-tengah kehidupan masyarakat untuk menjadi
individu yang baik. Dalam konteks yang lebih jauh, bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah sebagai perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan social. Pencantuman pidana mati dianggap seolah memiliki standar ganda, karena lebih ditekankan pada sisi pembalasan, si terpidana tidak diberi
kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke masyarakat.
Pendapat yang dapat dikatagorikan masih menganggap perlunya sanksi pidana digunakan dalam penanggulangan kejahatan dikemukakan banyak ahli, antara lain
Roeslan Saleh. Roeslan Saleh mengemukakan 3 alasan perihal masih perlunya pidan dan hukum pidana yaitu:
2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama
sekali bagi si terhukum, dan dismaping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja;
67
Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme sebuah kritis atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di indoensia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si
pembuat, tetapi juga untuk mempengarui orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.
Konsep KUHP merumuskan ketentuan jenis pidana sebagai berikut:
68
1 Pidana pokok terdiri atas:
Pasal 65
a. Pidana penjara
b. Pidana tutupan
c. Pidana pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana kerja social.
2 Urutan pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 menentukan berat
ringannya pidana.
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternative.
Pasal 67
68
Ali Masyhar, op. cit., hlm. 132.
Universitas Sumatera Utara
1 Pidana tambahan terdiri atas:
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu danatau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim;
d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum
yang hidup.
2 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai
pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
3 Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat danatau
kewajiban menurut hukum yang hidup atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana. 4
Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
69
Setelah membahas jenis-jenis pidana yang dirumuskan dalam KUHP dan konsep KUHP, selanjutnya dibahas mengenai jenis pidana yang terumus dalam
Undang-undang Terorisme.
69
Ali Masyhar, op. cit., hlm. 133.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Terorisme pada prinsipnya mengikuti jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP, namun pidana tutupan tidak dirumuskan sebagai ancaman
dalam undang-undang terorisme. Disamping itu, tindak pidana terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berat bahkan tidak disepadankan dengan tindak pidana
biasa. Bahkan banyak dari pasal-pasalnya yang mengancam dengan pidana mati.
Ancaman pidana mati tersebut terumus dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 6 menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan
suasana teror dan korban bersifat missal; 2.
Pasal 8 kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan; 3.
Pasal 9 berkaitan dengan senjata api untuk melakukan tindak pidana terorisme;
4. Pasal 10 menggunakan senjata kimia dan komponennya untuk menimbulkan
terorisme; 5.
Pasal 14 merencanakanmenggerakkan orang lain untuk melakukan terorisme; 6.
Pasal 15 permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan terhadap tindak pidana terorisme.
70
Menurut E. Utrech, hukum penitensier merupakan sebagian dari hukum positif, yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi itu,
lamanya sanksi itu dirasakan oleh pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan. Sanksi hukuman maupun tindakan merupakan satu system dan
system inilah yang dipelajari oleh ilmu hukum penitensier. Menurut Ilmu
70
Ali Masyhar, op. cit., hlm. 137.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan Hukum Pidana, ada beberapa jenis system perumusan sanksi pidana strafsoort, yaitu:
a. System Perumusan TunggalImperatif
System perumusan sanksi pidana strafsoort bersifat tunggalimperative adalah system perumusan dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya
pidana untuk delik yang bersangkutan. Untuk itu, system perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara, kurungan dan pidana denda.
Menurut Barda Nawawi Arief, ada kelemahan yang utama apabila rumusan tunggal tersebut berupa pidana penjara. Diantara kelemahan dimaksud adalah:
a. System perumusan tunggal merupakan warisan peninggalan aliran klasik
yang ingin mengobyektifkan hukum pidana dan sangat membatasi kebebasan hakim dalam memilih dan menetapkan jenis pidana;
b. Tidak seiring dengan konsep system pemasyarakatan di Indonesia;
c. Kurang menunjang kecenderungan dewasa ini yang mengembangkan
kebijakan yang selektif dan limitative dalam penggunaan pidana penjara.
71
Walaupun mempunyai kelemahan utama, bukan berarti system perumusan tunggal tidak dapat diterapkan. Apabila system ini tetap digunakan, untuk
menghindari sifat kaku harus ada pedoman bagi hakim dalam menerapkan
71
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Pidana Perspektif Te oritis dan Praktis, P.T Alumni, Bandung, hlm. 293.
Universitas Sumatera Utara
system perumusan tunggal itu menjadi lebih fleksibel, lunak dan elastis. Konkretnya, adanya keleluasan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara
yang ditetapkan secara tunggal tersebut. Di dalam KUHP dikenal system perumusan tunggal berupa pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.
System perumusan tunggal yang hanya diancam dengan pidana penjara merupakan bentuk perumusan yang paling banyak digunakan yaitu sejumlah
395 kejahatan atau sekitar 67,29. Sedangkan, untuk tindak pidana diluar KUHP, system perumusan tunggal yang memuat ancaman pidana penjara
sekitar 20,37. Bagaimanakah konsep RUU KUHP Tahun 2006 mengambil sikap terhadap system perumusan tunggal? Pada dasarnya, konsep RUU KUHP
tetap mengakui eksistensi perumusan ini, seperti terlihat pada Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan
Negara, Pasal 212-218 untuk pidana penjara dan pasal 219 untuk pidana denda. Akan tetapi, terhadap kebijakan aplikatif system perumusan tunggal ini. Namun
konsep RUU KUHP telah memberikan pedoman pemidanaan kepada hakim, sehingga konsep mengambil sikap system perumusan tunggal yang diperlunak,
yang diformulasikan hasilnya menjadi lebih fleksibel dan elasitas.
72
b. Sistem Perumusan Altenatif
System perumusan alternative adalah system dimana pidana penjara dirumuskan secara alternative dengan jenis sanksi pidana lainnya; berdasarkan
urutan-urutan jenis snksi pidana dari terberat samapai teringan. Dengan demikian, hakim diberikan kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan
72
Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 295.
Universitas Sumatera Utara
dalam pasal yang bersangkutan. Pada umumnya, KUHP mengenal system perumusan alternative berupa ancaman pidana penjara dan pidana denda.
Menurut Barda Nawawi Arief, kecenderungan dan fakta yang disebabkan ada 2 dua aspek yaitu:
a. Ancaman pidana denda dalam KUHP pada umumnya relative ringan.
Maksimum pidana denda untuk kejahatan berkisar Rp. 900,00 yang dahulunya 60 gulden Rp. 150.000,00. Itupun hanya terdapat dalam dua pasal
yaitu pasal 251 dan pasal 403. Ancaman pidana denda yang paling banyak untuk kejahatan adalah sebesar Rp. 4.500,00.
b. Perubahan dan peningkatan ancaman pidana denda terhadap beberapa
kejahatan dalam KUHP dan terutama yang diluar KUHP, tidak banyak mempuyai arti karena tidak disertai dengan perubahan system keseluruhan
pelaksanaan pidana denda.
73
Perumusan system alternative diatur dalam tiga 3 pasal yaitu: a.
Pasal 6 Berupa pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun kepada setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan
73
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
b. Pasal 9
Dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun bagi setiap orang
yang secara melawan hukum memasukkan keindonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan,mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau
mengeluarkan ked anatau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud
untuk melakukan tindak pidana terorisme. c.
Pasal 14 Dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup bagi setiap orang yang
merencanakan danatau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme.
74
74
Lilik Mulyadi, op. cit., hlm. 17-18.
Perumusan alternative pada intinya mengandung pengertian bahwa hakim diberi kesempatan untuk memilih jenis pidana yang ditawarkan dicantumkan dalam pasal
yang bersangkutan. Meskipun demikian, kebebasan yang diberikan harus dalam rambu-rambu yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Berorientasi pada tujuan pemidanaan;
b. Lebih mengutamakan jenis pidana yang lebih ringan apabila pidana yang lebih
ringan tersebut sekiranya telah memenuhi tujuan pemidanaan.
75
Dalam perumusan ini, lamanya sanksi pidana strafmaat UU No. 15 Tahun 2003 menganut 2 dua system atau pendekatan yaitu:
a. System atau Pendekatan Absolut
Pendekatan Absolut adalah untuk setiap tindak pidana ditetapkan “bobotkualitas” nya sendiri-sendiri yaitu dengan menetapkan ancaman pidana
maksimum dapat ancaman minimumnya untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana ini dikenal dengan
sebutan “system indefinite” atau “system maksimum” dapat juga disebut dengan system atau pendekatan tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan
dalam perumusan KUHP berbagai Negara termasuk dalam praktik legislative di Indonesia.
76
75
Ibid.
76
Barda Nawawi Arief, loc. Cit.
System maksimum ini terlihat dari maksimum lamanya pidana kurungan dan pidana denda, dengan adanya perumusan kata-kata paling
lamapaling banyak. Pada hakekatnya, aspek ini terlihat pada pasal 18 ayat 2 UU No. 15 Tahun 2003 yang menentukan pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- satu triliun rupiah.
Universitas Sumatera Utara
Dianutnya system atau pendekatan absolut system maksimum mempunyai segi positif dan segi negative.
Menurut Collin Howard, segi positif adalah sebagai berikut: a.
Dapat menunjukkan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana; b.
Memberikan fleksibilitas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan; c.
Melindungi kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batas- batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan.
Menurut Collin Howard, ketiga aspek positif dari system maksimum diatas mengandung aspek perlindungan masyarakat dan individu. Aspek perlindungan
masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai symbol kualitas norma-norma sentral masyarakat yang terkandung dalam
perumusan delik bersangkutan. Aspek perlindungan individu terlihat dengan diberikannya kebebasan kepada hakim untuk memilih lamanya pidana dalam batas-
batas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. Sedangkan segi negative system maksimum adalah:
System maksimum akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Dalam setiap proses
kriminalisasi pembuat undang-undang selalu dihadapkan pada masalah pemberian
bobot dengan menetapkan kualifikasi ancaman pidana maksimumnya. Menetapkan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat
keseriusan atas suatu tindak pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai urutan-
Universitas Sumatera Utara
urutan tingkat atau gradasi nilai dari norma-norma sentral masyarakat dan kepentingan-kepentingan hukum yang akan dilindungi, menentukan gradasi
nilai dan kepentingan hukum yang akan dilindungi itu jelas bukan pekerjaan yang mudah.
77
b. System atau pendekatan relative
System atau pendekatan relative ialah bahwa untuk tiap tindak pidana tidak ditetapkan bobotkualitas maksimum pidana nya sendiri-sendiri, tetapi
bobotnya di “relative” kan yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk
tiap kelompok tindak pidana itu. UU No. 15 Tahun 2003 pada sanksi pidananya strafmaat juga menganut system determinate sentence berupa ditentukannya
batas minimum dan maksimumnya lamanya ancaman pidananya. Aspek ini terlihat dalam 10 buah pasal UU No. 15 Tahun 2003 yaitu pasal 6, pasal 8, pasal
9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 20, pasal 21, pasal 22. Apabila dirinci ketentuan sanksi pidana strafmaat UU No. 15 Tahun 2003 dengan
system determinate sentence bervariasi sebagai berikut: a.
Pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun pasal 22;
b. Pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas
tahun pasal 11, 12, 13, 20, 21;
77
Ibid., hlm. 311.
Universitas Sumatera Utara
c. Pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 20 dua puluh
tahun pasal 9; d.
Pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun pasal 6, 8, 10.
Berdasarkan identifikasi tersebut diatas, berarti Undang-undang Terorisme menganut 2 dua system perumusan yaitu:
1. Perumusan tunggal hanya diancam dengan satu pidana pokok; dan
2. Perumusan alternative.
78
BAB III
78
Ali Masyhar, op. cit., hlm. 139.
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi actual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre WTC di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak
menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk
memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan
diikuti terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184
orang dan melukai lebih dari 300 orang.Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara
langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme
itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP belum mengatur secara khusus serta
tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
1
Tindakan terorisme pada belakang ini, lebih sering dilakukan dengan cara tindakan peledakan bom yang banyak menelan korban dibanding terorisme melalui
cara teror psikis, sekalipun kedua tindakan terorisme merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan menelan korban. Dalam menghadapi ancaman maupun
perang melawan terorisme, pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan dengan mengorganisir seluruh kekuatan untuk lebih efektif dan efisien, dan melakukan
peningkatan setiap saat serta secara maksimal. Bukan hanya dalam menghadapi ancaman terorisme saja pemerintah harus lebih meningkatkan kewaspadaan, tetapi
juga pada penanggulangan dan perlindungan, teutama terhadap korban tindakan terorisme pemerintah berkewajiban untuk memberikan penanggulangan dn
perlindungan terorganisir dan secara maksimal, baik kesejahteraan, keamanan
1
http:www.scribd.comdoc4683235terorisme-,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB
Universitas Sumatera Utara
maupun secara hukum, karena dengan membantu dan merehabilitasi para korban, memperkecil rasa takut traumatis masyarakat disamping meningkatkan
kewaspadaan dan partisipasi masyarakat dalam melawan terorisme semakin meningkat.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban
manusia serta merupakan sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu Negara. Terorisme pada saat sekarang bukan saja merupakan sesuatu
kejahatan local atau nasional, tetapi sudah merupakan suatu kejahatan transnasional bahkan internasional. Terorisme yang sudah menjadi suatu kejahatan yang bersifat
internasional, banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.
Tindakan terorisme merupakan suatu tindakan yang terencana, terorganisir dan berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Tindakan teror bisa dilakukan dengan
berbagai macam cara sesuai kehendak yang melakukan, yakni teror yang berakibat fisik danatau non fisik psikis. Tindakan teror fisik biasanya berakibat pada fisik
badan seseorang bahkan sampai pada kematian, seperti pemukulanpengeroyokan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Non fisik psikis bisa dilakukan dengan
penyebaran isu, ancaman, penyendaraan, menakut-nakuti dan sebagainya. Akibat dari tindakan teror, kondisi korban teror mengakibatkan orang atau kelompok orang
menjadi merasa tidak aman dan dalam kondisi rasa takut traumatis. Selain berakibat pada orang atau kelompok orang, bahkan dapat berdampakberakibat luas
Universitas Sumatera Utara
pada kehidupan ekonomi, politik dan kedaulatan suatu Negara. Tindakan terorisme yang sulit terdeteksi dan berdampak sangat besar itu, harus mendapat solusi
pencegahan dan penanggulangannya serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
2
Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan
kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata
merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan
bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan
negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangkaterdakwa.
3
2
Mudzakkir,2008,Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi korban Terorisme, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,Jakarta, hlm. 6-7 .
Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau Negara sebagai
alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakn istilah positif untuk kombatan
mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan Negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang
dilakukan oleh ” teroris ” yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan kekerasan. Negara yang terlibat dalam
peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Lalu kemudian muncul istilah State Terorism, namun
3
http:www.TERORISMETERORISMEperpu 1_02.htm,diakses tgl 09 Februari 2010,jam 19.45WIB
Universitas Sumatera Utara
mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak
mengenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin, siapapun dapat diserang. Kebanyakan dari definisi
terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Maka dikatakan secara
sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas dendam dan motif-motif
berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Patut disadari bahwa terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi,
instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Oleh karena itu tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan.
4
4
http:www.TERORISMEUPAYA PENCEGAHAN AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM « Politik, Sosial, Budaya Dan Gerakan Mahasiswa.htm,diakses tgl 03 februari
2010,jam 10.35WIB
Indonesia tergolong negara yang sering menjadi sasaran aksi terorisme. Dapat dilihat, sudah
beberapa kali terjadi aksi terorisme yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan nyawa. Pada saat ini, sasaran teroris yang terakhir kali adalah Hotel Ritz Carlton
dan JW Marriott. Besar kemungkinan akan ada aksi-aksi berikutnya di masa yang akan datang. Uniknya, pihak yang melancarkan aksi teror ini tidak pernah secara
eksplisit menyatakan motif di balik aksi mereka. Hal inilah yang menjadikan pekerjaan pemerintah relatif lebih sulit, sebab untuk menekan potensi terorisme,
mau tak mau langkah pertama adalah menemukan alasan di balik aksi tersebut. Setiap aksi terorisme disertai oleh alasan yang kuat, sebab aksi ini disertai dengan
pengorbanan materi dan nyawa. Jadi, mustahil bila aksi ini hanya iseng-iseng dari
Universitas Sumatera Utara
kelompok tertentu.Terdapat dua alasan utama yang mendasari munculnya aksi terorisme. Pertama, dorongan ideologi. Maka berwujud pada kebencian terhadap
pihak yang menindas kelompok mereka, serta pihak-pihak yang menghalangi usaha mereka untuk mencapai tujuan. Adapun arti ideologi dalam kehidupan mereka,
sehingga nyawapun rela dikorbankan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Parahnya, gerakan ini bukan hanya berskala nasional, tapi sudah berskala
internasional. Misalnya, kebencian Usama Bin Laden, yang mengaku mewakili umat Islam, terhadap Amerika Serikat AS mendorongnya untuk
mengumandangkan perang bagi apapun dan siapapun yang berbau AS. Perang ini dilancarkan ke seluruh dunia melalui jaringan-
jaringan yang tersebar di sejumlah negara.Bila demikian halnya, maka tugas pemerintah adalah memperketat keamanan, terutama yang menyangkut sasaran aksi
terorisme ini. Selain dorongan ideologi, aksi terorisme dapat pula terjadi karena alasan ekonomi. Tekanan ekonomi yang dialami oleh teroris, terutama bagi orang
yang melakukan bom bunuh diri, bisa menjadi latar belakang dipilihnya jalan untuk mengakhiri hidup.Mengetahui bahwa modus operandi dari aksi-aksi terorisme
adalah bom bunuh diri. Orang-orang yang melakukan aksi bom bunuh diri, terlebih dahulu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang membenarkan aksi tersebut. Peranan
orang yang melakukan bom bunuh diri ini sangatlah penting, sebab merekalah yang berkorban paling besar. Bila jaringan ini tidak bisa merekrut orang-orang yang
bersedia melakukan aksi tersebut, niscaya eksistensinya akan lenyap. Namun, alasan ekonomi ini tidak selalu berbentuk tekanan yang dialami oleh pelaku,
terutama yang melakukan bunuh diri, melainkan dapat pula berupa kesedihan
Universitas Sumatera Utara
terhadap masihnya banyak orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah, yang menganut sistem ekonomi, yang
tampaknya tidak membuat rakyat sejahtera. Latar belakang tersebut merupakan salah satu alasan gerakan teroris berbalik melawan pihak-pihak yang menyebabkan
ketertindasan rakyat. Diakui, tidak bisa meredam potensi yang pertama, tapi kita tetap bisa meredam potensi yang kedua. Caranya adalah dengan meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ini memang menjadi tugas berat pemerintah, untuk mengangkat 32,5 juta rakyat Indonesia yag hidup di bawah garis
kemiskinan menuju kehidupan yang layak. Apabila tetap diakui, terorisme belum tentu selesai bila urusan ekonomi sudah terpenuhi, tapi paling tidak salah satu
potensinya sudah diminimalkan.
5
5
Terorisme sebagai suatu fenomena kehidupan, nampaknya tidak dapat begitu saja ditanggulangi dengan kebijakan penal. Hal ini
karena, terorisme terkait dengan kepercayaanideology, latar belakang pemahaman politik dan pemaknaan atas ketidakadilan sosio-ekonomik baik local maupun
internasional. Oleh karena itu, perlu sebuah pendekatan kebijakan criminal yang integral dalam arti baik penal maupun nonpenal sekaligus. Oleh karena itu,
tertangkapnya para teroris tersebut maka telah terungkap fakta yang jelas dimana terorisme local telah mempunyai hubungan erat dengan jaringan terorisme global.
Timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa perang melawan teroris mengharuskan kita untuk melakukan sinergi upaya secara komprehensif dengan pendekatan multi-
agency, multi internasional dan multi nasional. Untuk itu perlu ditetapkan suatu
http:randikurniawan.blogspot.com200908meminimalisasi-potensi terorisme.html,diakses tgl 03 februari 2010,jam 10.35 WIB
Universitas Sumatera Utara
strategi nasional dalam rangka perang melawan terorisme.
6
B. PERMASALAHAN
Tujuan skripsi ini bermaksud untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan tugas akhir pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul “UPAYA PEMERINTAH MEMINIMALISIR AKSI TERORISME
MELALUI PENDEKATAN HUKUM DAN SOSIO-KULTURAL DI INDONESIA’’.
Sesuai dengan uraian Latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dikemukakan adalah:
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.
2. Bagaimana Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia. 3.
Bagaimana Penerapan Hukum dalam Tindak Pidana Terorisme studi putusan No. 2280Pid. B2004PN-Mdn.
C. TUJUAN dan MANFAAT PENULISAN
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan terorisme menurut berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ; 2.
Untuk mengetahui kebijakan penegak hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
6
Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui penerapan hukum dalam tindak pidana terorisme.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk:
1. Manfaat secara teroritis
Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi, kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang ilmu pengetahuan ilmu hukum
pidana. Pada umumnya dan tentang tindak pidana terorisme khususnya. Sehingga diharapkan skripsi ini dapat memperkaya pembendaharaan dan koleksi karya ilmiah
yang dengan hal tersebut.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk:
a. Memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang tindak pidana terorisme
kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkat kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme di
Indonesia. b.
Memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme dan melakukan terobosan serta inovasi-
inovasi dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk membantu memberikan pemahaman tentang efektifitas berbagai
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana terorisme agar aparat penegak hukum dan lembaga yang berwenang dapat meningkatkan
upaya penerapan undang-undang tersebut lebih efektif.
D. KEASLIAN PENULISAN
Topik permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena ketertarikan penulis akan para pelaku terorisme yang menjalani
hukumannya didalam Lembaga Pemasyarakatan, namun terorisme tersebut juga merupakan kekerasan terorganisasi yang menempatan kekerasan sebagai kesadaran.
Tentu saja hal ini banyak menimbulkan banyak pertanyaan khususnya bagi penulis sendiri dan untuk itu penulis membahas masalah ini dan berusaha untuk menjawab
segala pertanyaan dan disusun dalam bentuk skripsi.
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di kepustakaan Universitas Sumatera Utara, memang banyak judul skripsi yang
mengangkat masalah mengenai Terorisme namun belum ada yang membahas kebijakan kriminal dalam mencegah aksi terorisme dalam menindak pelaku
terorisme di Indonesia. Dengan demikian tentu saja pembahasannya juga berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertanggungjawabkan dari segi substansi.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 1. Pengertian Terorisme
Universitas Sumatera Utara
Hingga saat ini, defenisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan didalam peraturan perundang-
undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali mendeklarasikan”Perang melawan teroris” belum memberikan defenisi yang yang gamblang dan jelas
sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan defenisi
ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target meresponsi hak asasi
manusia HAM yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
Kata “teroris”pelaku dan terorisme aksi berasal dari kata latin’terrere’ yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa
menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian dihati dan pikiran korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada defenisi terorisme yang bisa diterima secara universal.
Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji terlebih dahulu terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga
maupun beberapa pakar ahli, yaitu :
a. Terorisme Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau
ancaman tindakan, dengan cirri-ciri :
Universitas Sumatera Utara
1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang , kerugian berat
terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi
kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik;
2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau
untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; 3.
Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, atau ideology; 4.
Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.
b. Menurut Konvensi PBB, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror tehadap orang-orang tertntu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
c. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau
ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan politik.
d. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan
membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit terhadap
orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban,
Universitas Sumatera Utara
rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
7
Sedangkan berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme
adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut
pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :
1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk
menciptakan ketakutan publik; 2.
Ditujukan kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;
3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;
4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara
yang sistematis dan terorganisir.
Sedangkan terdapat perbedaannya yaitu mengenai tujuan daripada gerakan terorisme bahwasanya ada yang mengecualikan selain dari tindakan pidana politik,
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan juga seperti yang ada dalam perpu terorisme yang telah berubah
menjadi undang-undang. Dari berbagai pengertian tersebut semua memasukkan apa yang disebut dengan unsure kekerasan.
7
Abdul Wahid, dkk, 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Penerbit PT. Rafika Aditama, Bandung, hlm. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
Teror sendiri memiliki defenisi umum dan hal itu sesuai dengan cirri utama diatas bahwasanya terorisme sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang
dilakukan untuk menciptakan rasa takut dikalangan sasaran, biasanya pemerintahan, kelompok etnis, partai politik dan sebagainya.
2. Karakteristik Terorisme
Menurut Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme ditinjau dari 4empat macam pengelompokan yaitu terdiri dari :
a. Karakteristik organisasi yang meliputi : organisasi, rekrtmen,pendanaan dan
hubungan internasional; b.
Karakteristik Operasi yang meliputi : perencanaan, waktu, taktik dan kolusi; c.
Karakteristik perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup;
d. Karakteristik sumber daya yang meliputi : latihankemampuan, pengalaman
perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.
Motif terorisme, teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat diklarifikasikan menjadi 3tiga katagori yaitu :
1. Rasional;
2. Psikologi;
3. Budaya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Terrorism Act 2000 UK, bahwasanya terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan cirri-ciri yaitu:
a. Aksi yang melibatkan kekeasan serius terhadap seseorang, kerugian berat
terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau
keselamatan publiktertentu bagi publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau menggangu system elektronik;
b. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk
mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; c.
Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideology; d.
Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.
Menurut Wilkinson Tipologi terorisme ada beberapa macam antara lain:
a. Terorisme Epifenomenal teror dari bawah dengan cirri-ciri tak rencana rapi,
terjadi dalam kontek perjuangan yang sengit; b.
Terorisme Revolusioner teror dari bawah yang bertujuan revolusi atau perubahan radikal atas system yang ada dengan konspirasi, elemen para militer;
c. Terorisme Sybrevolusioner teror dari bawah yang bermotifkan politis,
menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-
ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;
Universitas Sumatera Utara
d. Terorisme Represif teror dari atasterorisme Negara yang bermotifkan
menindas individu atau kelompok yang tak dikehendaki oleh penindas dengan cara likuidasi dengan cirri-ciri berkembang menjadi teror massa, ada aparat
teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, peyebaran rasa kecurigaan dikalangan rakyat, wahana untuk paranoia pemimpin.
Menurut pendapat James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai berikut:
a. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun
nonpolitis; b.
Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya maupun
sasaran non-sipil fasilitas militer, kamp militer c.
Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah Negara;
d. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum
internasional atau etika internasional.
8
Kalau melihat ciri-ciri terorisme yang terdapat undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 6 adalah bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja menggunakan kekeerasan atau ancaman kekeerasan menimbul suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersiifat masssal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya
8
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik
atau fasilitas internasional.
3. Bentuk-Bentuk Terorisme