BAB III. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA
Bab ini akan membahas mengenai kebijakan hukum pidana penal policy dan kebijakan non penal non penal policy.
BAB IV. PENERAPAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA TERORISME STUDI PUTUSAN NO. 2280Pid. B2004PN-Mdn.
Bab ini akan membahas mengenai putusan no. 2280Pid. B2004PN-Mdn yaitu kronologis, dakwaan, fakta hukum dan analisa kasus.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan penyimpulan dari seluruh bab-
bab yang terdapat dalam penulisan skripsi ini sebagai jawaban dari permasalahan dan kemudian dibuat saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap
permasalahan yang telah yang dikemukakan dalam skripsi ini.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA
A. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad ke- 19 dalam peraturan politik internasional. Terorisme pada awalnya
bersifat kecil dan local dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low
Universitas Sumatera Utara
intensity conflict, pada umumnya berkaitan erat dengan stabilitas domestic suatu Negara.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari
semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme
yang beroperasi diberbagai Negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu sama lain
baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur pendukung support infrastructure.
12
a. Melalui system evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP;
Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada Negara yang ingin dituduh mendung terorisme atau menjadi tempat
perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme. Tindak Pidana Terorisme merupakan tindak pidana murni mala perse yang
dibedakan dengan administrative criminal law mala prohibita. Kriminalisasi tindak pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hokum pidana dapat
dilakukan melalui banyak cara, seperti:
12
Moch. Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
b. Melaui system global melaui pengaturan yang lengkap diluar KUHP termasuk
kekhususan hokum acaranya; dan c.
System kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang “kejahatan terorisme”
Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis
dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau
menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas
umum, atau fasilitas internasional.
Pengertian yang berkaitan dengn terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwasanya terorisme adalah kekerasan terorganisir, menempatkan kekerasan
sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli bahwasanya kegiatan terorisme tidak
akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya, yaitu :
1. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk
menciptakan ketakutan publik; 2.
Ditujukan kepada Negara, masyarakat atau individu atau kelompok masyarakat tertentu;
Universitas Sumatera Utara
3. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga;
4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan dengan cara
yang sistematis dan terorganisir.
13
Menurut Wilkinson, sebagaimana dikutip oleh Goenawan Permadi, ada tiga jenis terorisme secara umum yaitu:
1. Terorisme Revolusioner yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis dengan
tujuan akhir untuk mewujudkan perubahan radikal dalam tatanan politik;
2. Terorisme Subrevolusioner yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk
menimbulkan perubahan dalam kebijakan publik tanpa mengubah tatanan politik;
3. Terorisme Represif yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk menekan atau
membelenggu individu atau kelompok dari bentuk-bentuk perilaku yang dianggap tidak berkenaan oleh Negara.
14
B. Tinjauan Yuridis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
1. Tindak Pidana Terorisme
Hukum Pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Hokum pidana Negara-negara Anglo
Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh
13
Ibid.
14
Ali Masyhar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme Sebuah kritik atas kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara