Perkembangan Ekonomi Makro Regional
25
mencapai 27.819 ribu kwh atau meningkat 6,41. Peningkatan terutama terjadi untuk konsumen rumah tangga. Sementara data kredit yang
disalurkan perbankan ke sektor ini di Provinsi Bengkulu mengalami sedikit penurunan dibanding triwulan sebelumnya dari Rp319 juta menjadi Rp315
juta.
Grafik 1.15. Indikator Sektor Listrik, Gas dan Air di Provinsi Bengkulu
Konsumsi Listrik
200 205
210 215
220 225
230
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6
2007 2008
2009 22
23 24
25 26
27 28
29 30
Jml. Pelanggan ribu orang, axis kiri Konsumsi juta KWh, axis kanan
Kredit Sektor Listrik, Gas, Air juta Rp
250 350
450 550
650 750
850 950
1,050 1,150
4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 2006
2007 2008
2009 -100
-50 50
100 150
gYOY
Sumber : Bank Indonesia dan PLN Bengkulu, diolah
1.3. Perkembangan Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
Indikator kesejahteraan petani sebagaimana tergambar melalui indikator nilai tukar petani NTP di triwulan I sampai dengan bulan April 2009 cenderung
meningkat. Peningkatan NTP ini dapat menggambarkan bahwa secara relatif tingkat kesejahteraan hidup petani semakin membaik. Dibanding triwulan sebelumnya,
terlihat adanya perubahan NTP dari 102,04 menjadi 103,65 atau naik 1,38. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan indeks harga yang diterima petani terkait dengan
hasil produksinya. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh mulai membaiknya harga komoditas perkebunan utama seperti karet dan kelapa sawit.
Perkembangan Ekonomi Makro Regional
26
Grafik 1.16.
Perkembangan Indeks Nilai Tukar Petani di Provinsi Bengkulu
113.53 119.03
109.06 110.04
102.04 102.24
103.65
95 105
115 125
Jan Feb Mar Apr
Mei Jun
Jul Agt
Sep Okt Nov
Des Jan
Feb Mar Apr Mei
2008 2009
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu; diolah
BOKS 1 HASIL QUICK SURVEY
DAMPAK KRISIS EKONOMI GLOBAL TERHADAP KINERJA UMKM DI PROVINSI BENGKULU
Krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat memberikan dampak negatif terhadap kondisi ekonomi dan prospeknya di
berbagai negara termasuk Indonesia. Provinsi Bengkulu juga terkena imbas dari krisis ini yang ditandai dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di triwulan I tahun 2009 dari
4,98 di triwulan sebelumnya yoy menjadi 4,06. Selain itu, krisis ini juga berdampak pada menurunnya harga komoditas primer seperti kelapa sawit dan karet.
Menurunnya harga jual komoditas perkebunan yang merupakan komoditas andalan daerah tersebut dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas sektor UMKM.
Sementara peran UMKM cukup penting kontribusinya dalam perekonomian. Menurut data BPS 2007, secara nasional peran UMKM dari sisi penciptaan PDB memberikan
kontribusi sebesar 53,60 dan dari sisi penyerapan tenaga kerja memberikan kontribusi mencapai 92,46. Atas dasar itulah maka Bank Indonesia melakukan quick survey untuk
mengetahui bagaimana dampak krisis ekonomi global yang sedang terjadi terhadap kinerja UMKM.
Survei dilakukan dengan metode purposive random sampling kepada 25 pelaku usaha mikro, kecil dan menengah yang terdapat di Kota Bengkulu, Kab. Bengkulu Utara,
Kab. Rejang Lebong dan Kab. Bengkulu Selatan. Responden terbagi atas 4 sektor yaitu 1 pertanian termasuk subsektor perkebunan, peternakan, perikanan; 2 industri
pengolahan; 3 perdagangan, hotel dan restoran; serta 4 pengangkutan dan komunikasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai profil responden,
berikut ini adalah karakteristik dari UMKM yang menjadi responden :
96 responden telah beroperasi antara 4 tahun hingga lebih dari 10 tahun, hanya 4 yang baru beroperasi selama 1-3 tahun.
Responden sebagian besar tidak berbadan hukum 84 atau merupakan perusahaan
perseorangan, 8 merupakan koperasi dan sisanya 4 berbentuk Perseroan Terbatas PT dan CV.
Omzet responden sebagian besar 56 beromzet kurang atau sama dengan Rp300
juta pertahun. Berikutnya 32 respoden memiliki omzet lebih besar dari Rp300 juta
hingga Rp2,5 miliar dan sisanya beromzet Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar pertahunnya.
52 responden melakukan penjualan kepada konsumen langsung, 36 responden
melakukan penjualan produknya ke perusahaan lainnya dan 8 responden mengirimkan produknya untuk di ekspor ke luar negeri melalui pengumpul. Hanya
4 responden menjual produknya ke konsumen lainnya seperti koperasi.
Dalam melakukan pembiayaan usaha, 37 responden memperoleh pembiayaan dari modal sendiri dan dalam persentase yang sama melakukan pinjaman ke lembaga non-
bank. Sebanyak 21 responden mendapatkan pembiayaan dari pinjaman bank, berikutnya 3 responden mendapatkan pembiayaan dari pinjaman
saudaratemanrentenir, dan sisanya mendapatkan pembiayaan dari sumber lainnya seperti dari PUAP Hibah Departemen Pertanian.
A. Persepsi Terhadap Krisis Ekonomi Global
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa hampir seluruh responden mengetahui adanya krisis ekonomi global. Dari responden yang telah mengetahui adanya krisis, 49
menyatakan bahwa krisis telah dimulai sejak 4-6 bulan yang lalu, 38 menyatakan krisis dimulai sejak 7-12 bulan yang lalu, dan sisanya menyatakan krisis telah dimulai lebih dari
satu tahun yang lalu.
Grafik 1. Periode Dimulainya Krisis Grafik 2. Rentang Waktu Krisis
4-6 Bulan Lalu
49 7-12 Bulan
Lalu 38
1 Tahun Lalu
13 1-2 Tahun
Lagi 25
2 Tahun Lagi
8
1-6 Bulan Lagi
46 7-12 Bulan
Lagi 21
Sebagian besar responden juga menunjukkan optimisme yang cukup tinggi bahwa krisis akan segera berakhir. Hal ini terlihat dari besarnya responden 46 yang
menyatakan bahwa krisis akan berakhir dalam 1-6 bulan kedepan. Sementara responden
lainnya cukup pesimis dimana 25 responden menyatakan krisis akan berakhir dalam 1-2 tahun kedepan.
Selain itu dalam memandang krisis yang terjadi saat ini, 67 menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini memiliki dampak yang lebih kecil dibanding krisis yang terjadi di
tahun 1997. Sebanyak 29 responden menyatakan bahwa krisis saat ini lebih berdampak dibanding krisis tahun 1997, dan sisanya menyatakan tidak tahu.
B. Dampak Krisis Ekonomi Global
Responden survei umumnya menyatakan telah terkena dampak krisis keuangan global yang sedang terjadi. Hal ini terlihat dari 68 responden yang menyatakan terkena
dampak krisis. Responden yang tidak mengalami dampak krisis umumnya beralasan bahwa harga produk mereka relatif masih stabil dan tidak mengalami penurunan yang
berarti. Selain itu, meskipun daya beli konsumen mereka mulai menurun namun penjualan mereka masih ditolong dengan bertambahnya jumlah konsumen.
Bagi responden yang mengalami dampak krisis, besaran dampak krisis yang mereka rasakan umumnya bersifat sedang dimana 65 responden yang terkena dampak
menyatakan hal tersebut. Sementara 20 responden mengalami dampak yang cukup berat dan sisanya hanya berdampak ringan terhadap usaha responden.
Grafik 3. Terkena Dampak Krisis Grafik 4. Besarnya Dampak Krisis
Ya 68
Tidak 32
15 65
20 10
20 30
40 50
60 70
80
Ringan Sedang Berat
Dalam hal pembiayaan, akses responden dalam melakukan pinjaman ke perbankan saat ini dibanding dengan saat dimulainya krisis Agustus 2008 relatif tetap.
Sebanyak 52 responden menyatakan hal tersebut sedangkan 43 responden justru menyatakan lebih mudah dan hanya 5 responden yang menyatakan sulit. Sebagian
besar responden yang saat ini telah menjadi debitur menyatakan bahwa pada saat krisis ini mereka belum mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran kredit. Hanya 29
responden yang menyatakan mengalami kendala pembayaran kredit. Pengaruh krisis keuangan atas perolehan omzet dan keuntungan responden
umumnya berbeda. Terdapat responden yang melaporkan terjadinya kenaikan omzet dan keuntungan pasca krisis namun tidak sedikit yang menyatakan adanya penurunan.
Namun jika dirata-ratakan, sebagaimana tabel di bawah, omzet dan keuntungan responden mengalami penurunan. Omzet menurun 4 dari rata-rata Rp374.486.544
menjadi Rp359.498.544 sedangkan keuntungan menurun 18 dari rata-rata Rp63.728.202 menjadi Rp52.267.162. Hal ini dikonfirmasi oleh uji Wilcoxon yang
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara omzet dan keuntungan UMKM pada masa sebelum dan sesudah krisis. Penurunan omzet dan keuntungan umumnya
dialami oleh pengusaha yang bergerak di subsektor perkebunan yang disebabkan oleh menurunnya harga komoditas kelapa sawit dan karet di saat krisis terjadi.
Tabel 1. Ringkasan Kondisi Keuangan, Kapasitas Produksi dan Tenaga Kerja Responden Sebelum dan Setelah Krisis
Rata-Rata No.
Keterangan Sebelum Krisis
Setelah Krisis
1. Omzet perbulan Rp
374.486.544 359.498.544
2. Keuntungan perbulan Rp
63.728.202 52.267.162
3. Kapasitas Produksi
97 97
4. Jumlah Tenaga Kerja orang
16 19
Sebaliknya, rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan responden pasca krisis justru mengalami kenaikan. Jika sebelum krisis rata-rata tenaga kerja yang digunakan
berjumlah 16 orang maka setelah krisis meningkat menjadi 19 orang. Tercatat hanya satu responden yang mengalami pengurangan tenaga kerja dikarenakan kontrak karyawan
yang tidak diperpanjang, sedangkan responden lainnya umumnya meningkat maupun tetap. Adapun rata-rata kapasitas produksi responden sebelum maupun setelah krisis
adalah tetap yaitu sebesar 97. Pasca krisis, kondisi keuangan responden saat ini terbilang tetap. Sebanyak 48
responden menyatakan bahwa kondisi keuangannya saat ini relatif tetap. Sedangkan 32 responden mengungkapkan bahwa kondisi keuangan usaha mereka saat ini
semakin ketat setelah terjadinya krisis ini. Selanjutnya 20 responden yang mengatakan kondisi keuangan mereka saat ini justru semakin longgar.
C. Respon dan Ekspektasi
Respon yang dilakukan pelaku UMKM dalam menghadapi krisis keuangan yang mereka hadapi umumnya adalah melakukan efisiensi dan mencari segmen pasar baru.
38 responden melakukan efisiensi usaha dan 28 responden berusaha meningkatkan penjualan melalui pencarian pasar baru. Selain itu, para pelaku UMKM berusaha untuk
memaksimalkan produk yang dihasilkan dan meningkatkan servis penunjang. Responden umumnya tidak mengambil respon pengurangan tenaga kerja sebagaimana terlihat
bahwa hanya 8 responden yang merencanakan pengurangan tenaga kerja dan selebihnya tidak memilih opsi tersebut.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BOKS 2 HASIL LIAISON TRIWULAN II 2009
Kegiatan Liaison selama Triwulan II-2009 dilakukan terhadap usaha di subsektor perdagangan besar eceran dan subsektor perikanan. Dipilihnya subsektor perdagangan
besar eceran karena subsektor ini merupakan subsektor terbesar di Provinsi Bengkulu dengan sumbangan mencapai 18,7 dari produk regional domestik bruto PDRB.
Sedangkan subsektor perikanan juga merupakan subsektor yang cukup besar porsinya dalam pembentukan PDRB di daerah ini. Untuk memperoleh gambaran dimaksud maka
dilakukan kunjungan wawancara terhadap enam pelaku usaha di di Kota Bengkulu, masing-masing 6 pelaku usaha di bidang perdagangan eceran yaitu penjualan mobil,
perdagangan eceran di pasar, penjualan barang elektronik dan penjualan barang farmasi di apotek serta 2 pelaku usaha di bidang perikanan penangkapan ikan di laut serta
budidaya ikan. Ringkasan hasil liaison triwulan ini disajikan sebagai berikut :
Volume penjualan domestik
pada triwulan ini secara umum mengalami penurunan, baik di subsektor perdagangan eceran maupun di subsektor perikanan. Kondisi ini
disebabkan oleh belum baiknya harga komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet yang merupakan produk unggulan Bengkulu. Pada usaha penangkapan ikan
penurunan penjualan ini juga akibat turunnya hasil tangkapan ikan dalam beberapa tahun ini. Proyeksi ke depan secara rata-rata harga jual akan membaik seiring dengan
perkiraan ekonomi pada tahun depan akan membaik. Hanya pada usaha penangkapan ikan yang menyatakan penjualan masih akan mengalami penurunan
sebagai akibat trend tangkapan ikan yang terus menurun.
Kondisi kapasitas
usaha seluruh contacts saat ini secara rata-rata diperkirakan
berada pada posisi 72, cenderung menurun dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini disebabkan oleh turunnya penjualan pada tahun ini.
Secara rata-rata ada penambahan
investasi dibandingkan dengan tahun lalu.
Investasi ini disumbangkan oleh perusahaan perdagangan otomotif dan perdagangan obat-obatan di apotek yaitu dalam bentuk perluasan lahan untuk bengkel body repair
dan pembukaan cabang apotek. Tahun depan investasi diperkiran cenderung stagnan, hanya ada rencana untuk penambahan kapasitas tambak pada usaha
budidaya perikanan.
Secara rata-rata, jumlah tenaga kerja
dinyatakan cenderung stagnan, baik untuk saat ini maupun proyeksi untuk tahun depan. Hal ini terkait dengan kondisi
perekonomian pada tahun depan masih diliputi ketidakpastian.
Tingkat upah
secara rata-rata pada subsektor perdagangan besar eceran mengalami kenaikan moderat dibandingkan dengan tahun lalu, mengikuti kenaikan
tingkat UMP. Sementara itu pada subsektor perikanan secara rata-rata justru mengalami penurunan
disebabkan turunnya biaya bagi hasil sebagai dampak turunya hasil tangkapan ikan. Sementara itu proyeksi ke depan tingkat upah tidak akan
mengalami kenaikan.
Rata-rata contacts menyatakan bahwa
harga jual
cenderung mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun lalu. Kenaikan ini terutama disumbang oleh usaha
perdagangan akibat kenaikan harga jual produk yang terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah seperti produk otomotif dan obat-obatan. Tahun depan secara umum
diperkiran harga jual cenderung masih akan mengalami kenaikan.
Margin usaha
, secara rata-rata di subsektor perdagangan besar eceran cenderung stabil. Naiknya harga pokok pembelian pada subsektor ini cenderung diikuti dengan
kenaikan harga jual sehingga margin usaha cenderung dapat dipertahankan. Sedangkan pada subsector perikanan hanya pada usaha penangkapan ikan yang
menyatakan terjadinya perununan margin usaha akibat jumlah tangkapan ikan yang semakin lama semakin berkurang.
Perkembangan Inflasi Daerah