Sistem Silvikultur Rehabilitasi di Hutan Rawa Gambut
41
Departemen Kehutanan
telah mengeluarkan
Peraturan Menteri
Kehutanan No. P.30Menhut2005 tentang Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah
Kering dan atau Hutan Alam Tanah BasahRawa. Maksud dari peraturan tersebut adalah: 1 Mendorong pengelola KPHK dan atau pemegang IUPHHK pada hutan
alam untuk dapat melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya serta berbasis kinerja dan
2 Diperolehnya acuan untuk memilih dan menerapkan sistem silvikultur yang tepat, efisien dan sesuai dengan kondisi spesifik KPHK atau IUPHHK pada hutan alam
tanah kering dan atau hutan alam tanah basahrawa. Sedangkan tujuannya adalah diperolehnya hutan yang secara ekologis sehat dengan struktur tegakan yang stabil
agar dapat menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitasnya, secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan fungsi perlindungan
dan sosial yang optimal sesuai kebutuhan masyarakat, modal kapital dan tenaga kerja.
Dengan peraturan tersebut pengelola KPHK atau IUPHHK dapat memilih sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik ekosistem hutannya dan menjamin
kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan. Sistem silvikultur yang dipilih dan diterapkan harus memenuhi 4 prinsip yang merupakan satu kesatuan utuh, meliputi:
1.
Kesesuaian dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya. 2.
Pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap nilai-nilai sumberdaya hutan.
3. Pertimbangan biaya dan manfaat ekonomi; dan
4. Kesesuaian dengan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan.
Untuk memenuhi empat prinsip sebagaimana dimaksud, maka sistem silvikultur yang dipilih harus memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari.
Sedangkan pemilihan, penetapan dan penerapan sistem silvikultur yang dipilih harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Penamaan sistem silvikultur yang akan dipilih dan diterapkan mengacu pada
metode pemanenan dan teknik penanaman atau pengayaan tegakan yang akan dilakukan.
2. Mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi maka dalam satu KPHP
atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur. 3.
Pemilihan dan
penerapan sistem silvikultur
untuk kepentingan khusus
disesuaikan dengan rancangan teknis yang disusun bersama Rimbawan Kompeten.
4. Rancangan sistem silvikultur diusulkan setelah mendapat persetujuan dari
Rimbawan Kompeten dan diajukan kepada Direktur Jenderal.
42
5. Direktur Jenderal menetapkan sistem silvikultur untuk setiap KPHP atau
IUPHHK, setelah mendapat rekomendasi dari Tim Evaluasi. 6.
Prosedur penetapan sistem silvikultur diatur lebih lanjut dalam Pedoman Pelaksanaan Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering dan
atau Hutan Alam Tanah BasahRawa dengan peraturan Direktur Jenderal.
Dalam rangka implementasi keputusan tersebut Fakultas Kehutanan IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan mengadakan Lokakarya
Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi pada tanggal 22 Agustus 2008. Hal ini juga sejalan dengan PP No 62007 dan PP No.
32008 selain Permenhut No. P302005. Penerapan multisistem silvikultur ini bukan sebagai dalih mengubah hutan alam baik yang masih utuh atau sudah terganggu
yang beragam jenis menjadi hutan tanaman monokultur, tetapi tetap mempertahankan mosaik kondisi terakhir dan dikembangkan untuk meningkatkan produktivitasnya
dengan penanaman. Oleh karena itu deliniasi makro dan mikro setiap unit pengelolalaan IUPHHK atau KPHP sangat diperlukan untuk menetapkan kawasan
mana yang masih produktif untuk penerapan sistem silvikultur TPTI dan mana yang tidak produktif untuk dilakukan sistem silvilkultur yang lain Istomo, 2009.
Untuk kawasan yang tidak produktif hutan sekunder, belukar atau bekas kebakaran dapat diterapkan sistem silvikultur yang lain seperti Istomo, 2009 :
1. Sistem Tebang Jalur dan Tanam Indonesia TJTI atau sekarang dikembangkan
menjadi TPTII Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif yang lebih dikenal dengan nama SILIN, yaitu membuat jalur-jalur penanaman secara intensif
dengan jenis komersial lokal, dimana ramin merupakan prioritas utama.
2. Pada areal yang relatif terbuka belukar atau bekas kebakaran, termasuk areal
eks-PLG dikembangan penanaman multistrata dan multidaur. Strata pertama dan tahap pertama ditanam pohon pioner cepat tumbuh setempat seperti
Combretocarpus rotundus, Shorea balangeran, Camnosperma spp. dan lain- lain dalam jalur. Selanjutnya jika pohon-pohon pioner tersebut telah tumbuh
dalam jalur berikutnya dapat ditanam ramin dan jenis komersial lainnya.
3. Alternatif lain dapat dikembangkan pola agroforestry dengan tanaman buah-
buah dan getah seperti karet, jelutung, rotan, durian, dimana ramin sebagai tanaman pokok hutan.
Pola pengembangan sistem silvikultur rehabilitasi tersebut saat ini harus menjadi prioritas dan harus dikaji terus menerus untuk mengembalikan produktivitas hutan
rawa gambut yang terus merosot. Dengan merehabilitasi hutan rawa gambut dan memprioritaskan
jenis ramin
sebagai tanaman
pokok diharapkan
dapat menyelamatkan
ramin dari
kepunahan sekaligus
mempertahankan dan
mengembangkan ramin sebagai jenis unggulan di hutan rawa gambut.
43