Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia
9
komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan.
Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut
kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan dalam pelaksanaan eksploitasinya.
Lebih lanjut Soerianegara 1971 menjelaskan bahwa karena di Indonesia waktu itu sedikit sekali pengalaman yang telah didokumentasikan dalam hal permudaan hutan
alam hutan hujan tropika, maka hasil-hasil penelitian dan pengamalan di negara- negara tropika lain dipakai sebagai pertimbangan pemilihan sistem silvikultur di
Indonesia seperti Modified selection system dan Malayan clear-felling over natural regeneration, sedangkan enrichment planting terutama digunakan dalam rangka
restocking tegakan hutan sekunder.
Pada tahun
1972 melalui
Surat Keputusan
Direktur Jenderal
Kehutanan No 35KptsDD11972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman- pedoman Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia TPI merupakan perpaduan
sistem-sistem silvikultur berdasarkan i tebang pilih dengan batas minimum diameter tertentu 50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun, ii penyempurnaan hutan dengan
tanaman sulaman enrichment, dan iii pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu refining. Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan
mempertimbangkan a azas kelestarian hutan b teknik silvikultur yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta c sifat tumbuh jenis pohon
tertentu.
Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 211970. Menurut Soerianegara 1992, limit batas diameter yang digunakan ialah lazim
digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi siklus tebang ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan
ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona,
yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm
minimal 5 m
3
, sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal 25 x 25 m
3
ha atau 125 m
3
ha. Menurut Soerianegara 1992 tim penyusun TPI waktu itu telah menyadari
ketidaksempurnaan dari naskah-naskah yang telah disusun itu, dan mengharapkan
10
agar penerapan dari paraturan-peraturan eksploitasi itu diikuti dengan penelitian berikutnya yang hasilnya dapat memperbaiki peraturan yang ada.
Dengan makin banyaknya penelitian tentang TPI, maka Lokakarya Tebang Pilih Indonesia di Yogyakarta, 23-24 Juni 1980, telah mengeluarkan saran-saran untuk
penyempurnaan TPI Sastrosumarto, et al., 1980 dalam Soerianegara, 1992. Yang terpenting dalam penyempurnaan tersebut adalah batas diameter terendah pohon
dapat diturunkan sampai 20 cm, karena ternyata riap pohon berdiameter 10 cm keatas ialah lebih dari 1 cm per tahun.
Revisi pertama buku Pedoman Tebang Pilih Indonesia Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1980 menyangkut batas diameter tebangan, jumlah pohon inti yang
harus ditinggalkan, siklus tebangan dan jatah tahunan pada sistem silvikultur TPI. Dalam revisi pertama telah dilakukan penurunan batas diameter terendah dari pohon
inti untuk hutan alam campuran. Perubahan tersebut membedakan tipe hutan menjadi hutan alam campuran, hutan eboni campuran dan hutan ramin campuran. Khusus
untuk hutan ramin campuran, batas diameter tebang adalah 35 cm, jumlah minimal pohon inti 15 khusus untuk jenis pohon ramin, sisanya 10 batangha dari jenis pohon
perdagangan lainnya, diameter minimal pohon inti 20 cm, sikus tebang pohon inti 35 tahun dan jatah tebangan tahunan 135 x 80 massa tegakan.
Penyempurnaan sistem TPI selanjutnya dilakukan dengan pembentukan TimPanitia oleh Departemen Kehutanan yang hasilnya berupa Keputusan Menteri Kehutanan
No. 485Kpts-II1989 mengenai Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia, dan Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564KPTSIV-
BPHH1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI beserta Lampirannya.
Pada tanggal 9 Pebruari 2009 keluar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.11Menhut-II2009 tentang Sistem Silvikultur dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi IUPHHK - HP. Terdapat perubahan yang mendasar pada Sistem Silvikultur yang akan diterapkan. Sistem silvikultur yang dipilih
dan diterapkan berdasarkan umur tegakan dan sistem pemanenan hutan. Sistem Silvikultur berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan
seumur dan tidak seumur. Sedangkan berdasarkan pemanenan hutan terdiri dari sistem tebang pilih dan sistem tebang habis. Sistem silvikultur tegakan seumur
dilakukan melalui tebang habis dengan permudaan buatan THPB dan atau tebang habis dengan permudaan alam THPA. Sistem silvikultur tegakan tidak seumur
dilakukan melalui tebang pilih individu TPTI, tebang kelompok Tebang Rumpang dan sistem jalur TPTJ.
11