Wawancara dan Survey Lapangan

7 Kajian lapangan dilakukan dengan survey pada perusahaan pemegang IUPHHKHPH yang masih aktif mengelola hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan dan pihak-pihak yang telah melakukan kegiatan rehabilitasi di hutan rawa gambut dalam rangka PHPL, khususnya pengembangan ramin, baik secara perseorangan, kolaborasi perusahaan swasta. Kajian lapangan dilakukan secara purposive. Lokasi yang dipilih adalah PT. Diamond Raya Timber di Riau, serta unit pengembangan dan rehabilitasi hutan rawa gambut di dekat Taman Nasional TN Sebangau di Kalimantan Tengah. Tujuan dan target survey lapangan adalah validasi dan verifikasi kendala dan permasalahan dalam pencapaian PHPL berdasarkan acuan peraturan-perundangan yang berlaku dan hasil-hasil evaluasi pelaksanaannya. Sesuai dengan acuan sistem silvikultur TPTI di hutan rawa gambut Keputusan Dirjen PH No. 564KptsIV- BPHH1989 dan Keputusan Dirjen PH No. 24KptsIV-set96, validasi dan verifikasi dilakukan sesuai tahap-tahap pelaksanaan TPTI yaitu: 1. Penataan areal kerja PAK 2. Inventarisasi tegakan sebelum penebangan ITSP 3. Pembukaan wilayah hutan PWH 4. Penebangan 5. Pembebasan 6. Inventarisasi Tegakan Tinggal ITT 7. Pengadaan bibit 8. Penanamanpengayaan 9. Pemeliharaan tahap pertama 10. Pemeliharaan lanjutan 11. Perlindungan dan penelitian Survey lapangan dilakukan melalui cek dokumen, wawancara dan pengukuran di lapangan sesuai fokus permasalahan yang telah diperoleh dari hasil telaah pustaka. Pengukuran langsung di hutan terutama difokuskan untuk aspek kelestarian produksi yaitu meliputi kondisi hutan primer ITSP, kondisi hutan bekas tebangan ITT dan hasil penanaman dan pemeliharaan hutan bekas tebangan serta uji lacak balak. Kegiatan survey lapangan ini sekaligus dilakukan validasi dan verifikasi pelaksanaan PHPL di hutan rawa gambut dengan menggunakan kriteria dan indikator Departemen Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795Kpts-II2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan. Bahan-bahan yang digunakan dalam wawancara dan survey lapangan meliputi kuisioner, tally sheet, bahan dan alat serta tabel kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari, menurut SK Menteri Kehutanan No. 4795Kpts-II2002. 8

III. EVALUASI SISTEM SILVIKULTUR DI HUTAN RAWA GAMBUT BERDASARKAN KAJIAN PUSTAKA

3.1 Sistem Silvikultur Berdasarkan Peraturan dan Perundang-undangan

3.1.1 Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia

Tidak ada catatan resmi mengenai awal kegiatan eksploitasi hutan di Nusantara sebelum jaman penjajahan Belanda. Pada jaman kerajaan di Jawa, awal abad ke delapan hingga abad ke-16, telah dilakukan eksploitasi hutan untuk pembangunan kerajaan dan sarana ibadah. Jaman penjajahan Belanda diawali dengan kedatangan VOC pada tahun 1650. Pada masa inilah, eksploitasi hutan di Nusantara mulai tercatat Ngadiono, 2004. Sejarah kehutanan mencatat pengusahaan kehutanan di Sumatera telah dimulai sejak tahun 1870. Pengusahaan rawa gambut dilakukan dengan sistem panglong, yaitu menebang pohon meranti, punak dan kelat untuk kayu pertukangan. Eksploitasi hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada umumnya dilakukan dengan sistem limit diameter 50-60 cm tanpa perlakuan silvikultur Anonim, 1986. Pada zaman setelah kemerdekaan, pengusahaan hutan alam di luar Jawa dilakukan dengan sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam Soedarmo et al., 1956; PPHI, 1958. Untuk menjaga kelestarian hutan alam produksi di luar Jawa dilakukan penebangan secara selektif dengan rotasi 60 tahun Direktorat Pengusahaan Hutan, 1968. Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76KptsEKKU31969, eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih atau tebang habis. Tetapi untuk menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan secara tebang pilih, dan permudaan dilakukan secara alam dan buatan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Menurut Soerianegara 1971 karena hutan hujan tropika pada umumnya berkomposisi campuran serta banyaknya jenis-jenis pohon yang komersial terbatas, maka cara tebang pilih akan lebih umum dipakai. Untuk menjamin kelestarian produksi hutan harus ditentukan cara dan waktu penebangan dan permudaan hutan diatur dalam suatu sistem yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan keadaan hutan, baik komposisi, struktur maupun keadaan ekologisnya. Pemilihan dan penggunaan sistem silvikultur ditentukan oleh syarat-syarat penggunaan sistem masing-masing, 9 komposisi dan struktur hutan, sifat-sifat silvik dan jenis-jenis pohon, produktivitas dan nilai ekonomis hutan, cara penebangan, pembiayaan serta intensitas pengawasan. Mengingat keadaan hutan-hutan di Indonesia sangat bervariasi dari tempat ke tempat lain, pemilihan sistem silvikultur harus dilakukan dengan sangat seksama menurut kondisi hutan setempat dan intensitas bimbingan serta pengawasan pihak kehutanan dalam pelaksanaan eksploitasinya. Lebih lanjut Soerianegara 1971 menjelaskan bahwa karena di Indonesia waktu itu sedikit sekali pengalaman yang telah didokumentasikan dalam hal permudaan hutan alam hutan hujan tropika, maka hasil-hasil penelitian dan pengamalan di negara- negara tropika lain dipakai sebagai pertimbangan pemilihan sistem silvikultur di Indonesia seperti Modified selection system dan Malayan clear-felling over natural regeneration, sedangkan enrichment planting terutama digunakan dalam rangka restocking tegakan hutan sekunder. Pada tahun 1972 melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No 35KptsDD11972 lahirlah Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman- pedoman Pengawasannya. Tebang Pilih Indonesia TPI merupakan perpaduan sistem-sistem silvikultur berdasarkan i tebang pilih dengan batas minimum diameter tertentu 50 cm dengan rotasi tebang 35 tahun, ii penyempurnaan hutan dengan tanaman sulaman enrichment, dan iii pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu refining. Sistem silvikultur TPI ditetapkan dengan mempertimbangkan a azas kelestarian hutan b teknik silvikultur yang sesuai dengan keadaan tempat tumbuh dan tipe hutan, serta c sifat tumbuh jenis pohon tertentu. Sistem silvikultur TPI terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No 211970. Menurut Soerianegara 1992, limit batas diameter yang digunakan ialah lazim digunakan dalam eksploitasi hutan luar jawa. Rotasi siklus tebang ditentukan berdasarkan perkiraan bahwa riap diameter pohon pada tegakan bekas tebangan ialah 1 cm per tahun. Angka ini didasarkan pada suatu hasil penelitian pada hutan bekas tebangan di Sumatera Selatan yang dimuat dalam salah satu nomor Tectona, yang menyebutkan riap diameter 1,3 cm. Banyaknya pohon inti 25 pohon per hektar didasarkan pada perkiraan volume pohon Dipterocarpaceae berdiameter 70 cm minimal 5 m 3 , sehingga diperkirakan volume yang ditebang nanti minimal 25 x 25 m 3 ha atau 125 m 3 ha. Menurut Soerianegara 1992 tim penyusun TPI waktu itu telah menyadari ketidaksempurnaan dari naskah-naskah yang telah disusun itu, dan mengharapkan