74
9. Jumlah pohon inti untuk jenis ditebang paling sedikit 25 pohon per ha yang
merupakan pohon niagawi, sehat dan menyebar merata per ha. Sedangkan jumlah pohon inti ramin paling sedikit 3 pohon per ha, kelompok meranti
10 pohon sisanya jenis rimba campuran.
10. Jumlah pohon yang diijinkan untuk ditebang paling banyak adalah 25 pohon per
ha yang menyebar merata dan harus menyisakan paling sedikit 30 dari jumlah pohon yang dapat ditebang sebagai pohon induk. Pohon yang tidak ditebang
tersebut harus proporsional untuk jenis ramin, kelompok meranti dan rimba campuran.
11. Jika limit diameter tebangan ditetapkan 40 cm up, maka siklus tebangan
menjadi 40 tahun dan batas diameter pohon inti jenis niagawi 20-39 cm.
5.2. Rekomendasi
1. Penyempurnaan sistem silvikultur hutan rawa gambut perlu memperhatikan
kondisi hutan produksi di hutan rawa gambut saat ini, paling tidak ada empat tingkat degradasi hutan rawa gambut saat ini yaitu: 1 hutan primer, 2 hutan
bekas tebangan IUPHHK aktif, 3 hutan eks-HPH berupa hutan sekunder campuran 4 hutan eks-HPH berupa semak belukar.
2. Penyempurnaan sistem silvikultur TPTI untuk hutan rawa gambut harus
mencakup penentuan jumlah pohon inti jenis ditebang, proporsi pohon inti dan pohon ditebang setiap kelompok jenis, intensitas penebangan, struktur tegakan,
limit diameter tebangan dan siklus tebangan.
3. Kegiatan pemanenan di hutan rawa gambut hendaknya tetap menggunakan
sistem yang ramah lingkungan tanpa mengurangi asas efisensi dan efektivitas. Pengunaan alat-alat berat, seperti logfisher harus dihindari.
4. Penanaman, penyulaman dan penyiangan tanaman pada areal terbuka karena
penebangan seperti pada bekas jalan sarad, bekas penimbunan kayu dan bekas jalan rel harus tetap dilakukan.
5. Kegiatan pemeliharaan tegakan tinggal berkaitan dengan pengamanan areal
dari penyerobotan lahan, penebangan liar, pembuatan parit-parit liar serta perlindungan hutan dari ancaman kebakaran dan pemeliharan tata batas harus
dilakukan secara periodik.
75
DAFTAR PUSTAKA
Alrasyid, H. 2005. Kajian silvikultur ramin. Prosiding Semiloka Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama dengan ITTO PPD 8703 Rev.2F.
Alrasyid, H dan Soerianegara, I. 1978. Percobaan enrichment planting pohon ramin G. bancanus Kurz. pada areal bekas penebangan di komplek hutan Tekauk
Belanga, Kalimantan Barat. Laporan Penelitian No. 269. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Anonim. 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia, Jilid I. Departemen Kehutanan. Jakarta. Antara. 2009. Presiden diminta tentukan penyelesaian RTRWP Kalteng. Online http:
http:www.antara.co.idview?i=1202813792c=NASs= [diakses
1 Juni
2009 Aswandi. 2007. Model analisis sistem dinamika pertumbuhan dan pengaturan hasil
hutan rawa bekas tebangan di Riau. [jurnal]. Bogor. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.hal 243.
Bastoni. 1999. Uji coba penanaman dan pemeliharaan tanaman pengayaan enrichment planting pada areal bekas tebangan hutan rawa gambut di
sumatera selatan. Prosiding Ekspose BTR–P. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Balai Teknologi Reboisasi Palembang.
Bastoni. 2005. Kajian ekologi dan silvikultur ramin di Sumatera Selatan dan Jambi. Prosiding Semiloka Nasional Konservasi dan Pembangunan Hutan Ramin di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama dengan ITTO PPD 8703 Rev.2F.
Bismark, M., Wibowo, A., Kalima, T. dan Sawitri, R. 2006. Current Growing Stock of Ramin in Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Alternatif Kebijakan dalam
Pelestarian dan Pemanfaatan Ramin. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam bekerjasama dengan ITTO. Bogor, 22 Februari 2006.
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1980. Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur, Pelaksanaan dan Pengawasan. Publikasi No.
A. 56 Tahun 1980. Jakarta. Direktorat Bina Program Kehutanan. 1983. Potensi dan Penyebaran Kayu Komersil di
Indonesia. Ramin, Buku 3. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Kehutanan.