Teori Semiotik Landasan Teori

3. Sentimen itu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat; 4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu; 5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya 1922: 233-234. Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada solidaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “...the social function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society as it constituted depends for its existence.” Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsionalisme struktural, ia mengatakan, “...bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada”.

2.2.2 Teori Semiotik

Universitas Sumatera Utara Teori Semiotik dikemukakan oleh Ronald Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu Semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu populer. Endaswara, 2008:64. Menurut Barthes dalam Kusumarini, 2006, “Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.” Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification,” mencakup denotasi makna sebenarnya sesuai kamus dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal. Di sinilah titik Universitas Sumatera Utara perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier- signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para mahkluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

2.3 Tinjauan Pustaka