Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

(1)

i

ANALISIS STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA TARI TIBET PADA

BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN

在棉฀藏族舞蹈的฀构、功能、意฀分析( zai mián lán zàngzú wǔdǎo de

jiégòu, gōngnéng, yìyì fēnxī)

SKRIPSI SARJANA OLEH :

JULI VERONIKA SITOMPUL 110710027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

MEDAN


(2)

i

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tujuan penelitian dalam ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari eksistensi Tari Tibet di Kota Medan, yaitu: (a) struktur pertunjukan tari Tibet, (b) fungsi tari Tibet, dan (c) makna (bahasa dan budaya) tari Tibet. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan berupa: wawancara, observasi, perekaman pertunjukan tari, dan pengamatan terlibat, dan studi kepustakaan. Informan yang didapat di lapangan berjumlah enam orang, terdiri dari satu orang ketua Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya, satu orang guru tari, dan empat orang penari tari Tibet tersebut yang aktif. Penelitian ini menggunakan tiga teori utama untuk mengkaji tiga rumusan masalah. Untuk mengkaji struktur pertunjukan tari digunakan teori kinesiologi dalam etnokoreologi. Untuk mengkaji fungsi digunaklan teori fungsionalisme oleh Malinowski, dan untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik oleh Barthes. Temuan saintifik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) struktur Tari Tibet terdiri dari tiga ragam gerak, yaitu฀柏悠฀跨腿, ฀步฀฀, 跨腿踏步蹲 yang mengekspresikan hewan yak dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen, yang didukung oleh busana, properti tari, tata rias yang kas budaya Tibet; (b) fungsi Tari Tibet sebagai sarana sosial, stimulan, komunikasi, pengungkapan emosional, hiburan, dan pengintegrasian masyarakat; (c) makna budaya Tari Tibet adalah ucapan rasa syukur masyarakat Tibet atas hasil panen, makna-makna bahasa yang ditemukan di Medan adalah menggunakan bahasa Mandarin (bukan bahasa Tibet), yang terdiri dari istilah untuk pakaian, kegiatan masyarakat, penghormatan dalam gerak, dan lain-lain.


(3)

ii

ABSTRACT

This bachelor’s thesis entitled Analysis of Structure, Function, and Meaning of Tibet Dance in Medan City Tionghoa Culture. The aim of this research in the context writing this bachelor’s thesis is to know three aspects of Tibet Dance existention in Medan City, there were: (a) dance performance structure, (b) functions, and (c) the meaning of linguistic and cultural.

In this research I uce qualitative method and the writing in descriptive patterns. The methods to gathering the data do in field works, and then applied in: interview, observation, recording the dance performance, observe as participant observer, and library research. I use six key informants in the context of filed work, and they are: one the head of Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya (The Group of Wijaya Extended Family), one of them the dance teacher, four dancers of Tibet Dance.

This research use three main theory to analyze three research question problems. To analyze dance performance I use kinesiology theory from ethnochoreology disciplines. Then, to analyse dance funtions I use functionalism they from Malinowski. Beside that, to analyse the linguistic and cultural meanings I us Barthes’s semiotic theory. The scientific products of this research were: (a) the Tibet Dance structure shape by three kinds of body movement, which expressed the yak animal behavior and as a chanting thanks to the God, which give them agricultural harversting products, this dance developed by costume, dance properties, make-up, which exprerssed Tibetan culture identity; (b) the functions of Tibet Dance as social mediums, stimulance, communication, emotional expressed, entertainment, and integration of the Tibetan society; (c) the cultural meaning of Tibet Dance are the chanting thanks to the God in the harvesting context, and the language maning of this dance in Medan Tionghoa society are based on Mandarin language which expressed the costume, society activities, honour in the gesture, and so on.


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang terus menyertai saya sejak sampai detik ini, serta limpahan kekuatan yang begitu besar sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet

pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Skripsi ini merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:

1. Yang terhormat, Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Yang terhormat, Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A, selaku Ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Yang terhormat, Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, Msi selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Yang terhormat, Drs.Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan waktunya


(5)

iv

dengan penuh kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis untuk pengerjaan skripsi ini.

5. Yang terhormat, Vivi Andryani Nasution,S.S.,MTCSOL selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan waktunya dengan penuh kesabaran untuk membimbing dan membantu penulis untuk pengerjaan skripsi ini khususnya skripsi berbahasa Mandarin.

6. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra Cina, yaitu : Chen Shu Shu laoshi, Yu Xueling laoshi, Shenmi laoshi, Wang Tian Tian laoshi, Liu Feng laoshi selaku dosen-dosen Jinan University, Guangzhou, Hanban Republik Rakyat Cina (RRC) yang selama ini telah bersabar mengajarkan ilmunya kepada penullis.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen Program Studi Sastra Cina yang telah mendidik dan menuangkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan, dan tidak lupa kepada kakak Endang yang sabar mengurus proses administrasi untuk menyeleaikan skripsi ini.

8. Teristimewa buat yang saya cintai dan sayangi orangtuaku, alm.Roberth Sitompul dan Ibunda Timurlan pangaribuan atas pengertian dan motivasi mama yang tak pernah putus-putus selama pengerjaan skripsi ini. Secara khusus terima kasih buat doa-doa mama yang selalu setia mendoakan sehingga penulis mendapat kekuatan dan penghiburan diri dari Tuhan. Terima kasih atas didikan luar biasa mama dan bapak kepada saya.

9. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara-saudara penulis yang sangat penulis sayangi yaitu abang Jhony Sitompul, kakak Novita


(6)

v

Agustina br.Sitompul,Am.Keb beserta abang Ir.Edison Simangunsong, kakak Martini Elisabeth br.Sitompul,Am.Keb beserta abang Briptu Frans Hutabarat, abang Freddy Fransisco S.Com, serta keponakan saya Larisha Dewani, Chris Fernandez, Grace Cheryl, Gwynetha. Terima kasih buat doa kalian semua sehingga membuat semangat bagi penulis.

10. Terima kasih kepada Beasiswa Karya Salemba Empat dan Beasiswa Indofood Sukses Makmur buat finansial selama penulis menduduki perkuliahan.

11. Yang selalu memberikan warna bagi hari-hariku dalam perkuliahan yaitu teman-temanku yang kusayangi : dokter muda Sane Simanjuntak, Letda.Furkan, Johanes, April, Amnesty, Riwan, Sri, July Dianita, Octavia, Diah, Doharni, Simon, Suryani,Anastasya.

12. Rekan-rekan mahasiswa/i Sastra Cina (2011) dan adik-adik ’12-14’ yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah menjalin tali silahturahmi yang baik selama masa perkuliahan.

Atas semuanya ini penulis tidak dapat membalas segala jasa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis hanya bisa mendoakan dan memohon kepada Tuhan semoga diberikan balasan yang jauh melebihi dari bantuan yang telah diberikan. Amin.

Medan, 8 Oktober 2015


(7)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 18

1.3 Tujuan Penelitian ... 19

1.4 Manfaat Penelitian ... 19

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 19

1.4.2 Manfaat Praktis ... 20

1.5 Batasan Masalah ... 21

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 22

2.1 Konsep ... 23

2.1.1 Kebudayaan ... 23

2.1.2 Masyarakat Tionghoa ... 24

2.1.3 Tari ... 24

2.1.4 Tari Tibet ... 26

2.1.5 Buddha Lamaistik ... 27

2.2 Landasan Teori ... 29

2.2.1 Teori Kinesiologis Struktur tari dan Musik ... 29

2.2.2 Teori Fungsionalisme ... 32

2.2.3 Teori Semiotik ... 34

2.3 Tinjauan Pustaka ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Metode Penelitian ... 39

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.2.1 Wawancara ... 43

3.2.2 Observasi ... 44

3.2.3 Studi Kepustakaan ... 44

3.3 Data dan Sumber Data ... 45

3.4 Teknik Analisis Data ... 46


(8)

vii

BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA

DI KOTA MEDAN ... 48

4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia ... 48

4.2 Masyarakat Tionghoa di Indonesia ... 50

4.3 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan ... 53

4.4 Agama Buddha ... 57

4.5 Sistem Kemasyarakatannya ... 58

4.6 Sistem Kesenian ... 59

4.7 Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ... 60

BAB V STRUKTUR, FUNGSI, DAN MAKNA TARI TIBET ... 62

5.1 Struktur Tari Tibet ... 62

5.1.1 Ragam dan Pola Gerak ... 63

5.1.2 Kostum dan Tata Rias ... 80

5.1.2.1 Kostum dan Properti ... 81

5.1.2.1.1 Kostum dan Asesoris Penari Perempuan . 81 5.1.2.2.2 Kostum dan Asesoris Penari Laki-Laki ... 83

5.1.2.2 Tata Rias ... 84

5.2 Fungsi Tari Tibet ... 86

5.2.1 Fungsi Sosial ... 87

5.2.2 Fungsi Stimulan ... 88

5.2.3 Fungsi Komunikasi ... 88

5.2.4 Fungsi Emosional ... 89

5.2.5 Fungsi Hiburan ... 89

5.2.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 89

5.3 Makna Tari Tibet ... 90

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 96

6.1 Simpulan ... 96

6.2 Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN ... 102

Daftar Informan ... 102

Daftar Pertanyaan ... 104

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.4 Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ... 47


(9)

viii

Gambar 4.2 Peta Distribusi Daerah Asal Leluhur Tionghoa-Indonsesia ... 53

Gambar 5.1.2.1 Kostum dan Properti Penari Perempuan untuk Tari Tibet .. 83

Gambar 5.1.2.2 Kostum dan Properti Penari Laki-laki untuk Tari Tibet ... 84

Gambar 5.3.1 Gerakan Pembuka开头฀作 ... 91

Gambar 5.3.2 Gerakan Lengan Panjang฀袖฀作 ... 92

Gambar 5.3.3 Gerakan Tubuh Miring ke Depan 前฀身体฀作 ... 92

Gambar 5.3.4 Gerakan membentangkan lengan dan kaki 手臂和脚฀作 ... 93

Gambar 5.3.5 Gerakan Lingkaran圈儿฀作 ... 94

Gambar 5.3.6 Gerakan Melompat跳฀฀作 ... 94


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.3 Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan tahun 2000 55 Tabel 5.1 Uraian Ragam dan Pola Gerak tari tibet ... 64


(11)

i

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tujuan penelitian dalam ini adalah untuk mengetahui tiga aspek dari eksistensi Tari Tibet di Kota Medan, yaitu: (a) struktur pertunjukan tari Tibet, (b) fungsi tari Tibet, dan (c) makna (bahasa dan budaya) tari Tibet. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang ditulis secara deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan berupa: wawancara, observasi, perekaman pertunjukan tari, dan pengamatan terlibat, dan studi kepustakaan. Informan yang didapat di lapangan berjumlah enam orang, terdiri dari satu orang ketua Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya, satu orang guru tari, dan empat orang penari tari Tibet tersebut yang aktif. Penelitian ini menggunakan tiga teori utama untuk mengkaji tiga rumusan masalah. Untuk mengkaji struktur pertunjukan tari digunakan teori kinesiologi dalam etnokoreologi. Untuk mengkaji fungsi digunaklan teori fungsionalisme oleh Malinowski, dan untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik oleh Barthes. Temuan saintifik yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (a) struktur Tari Tibet terdiri dari tiga ragam gerak, yaitu฀柏悠฀跨腿, ฀步฀฀, 跨腿踏步蹲 yang mengekspresikan hewan yak dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen, yang didukung oleh busana, properti tari, tata rias yang kas budaya Tibet; (b) fungsi Tari Tibet sebagai sarana sosial, stimulan, komunikasi, pengungkapan emosional, hiburan, dan pengintegrasian masyarakat; (c) makna budaya Tari Tibet adalah ucapan rasa syukur masyarakat Tibet atas hasil panen, makna-makna bahasa yang ditemukan di Medan adalah menggunakan bahasa Mandarin (bukan bahasa Tibet), yang terdiri dari istilah untuk pakaian, kegiatan masyarakat, penghormatan dalam gerak, dan lain-lain.


(12)

ii

ABSTRACT

This bachelor’s thesis entitled Analysis of Structure, Function, and Meaning of Tibet Dance in Medan City Tionghoa Culture. The aim of this research in the context writing this bachelor’s thesis is to know three aspects of Tibet Dance existention in Medan City, there were: (a) dance performance structure, (b) functions, and (c) the meaning of linguistic and cultural.

In this research I uce qualitative method and the writing in descriptive patterns. The methods to gathering the data do in field works, and then applied in: interview, observation, recording the dance performance, observe as participant observer, and library research. I use six key informants in the context of filed work, and they are: one the head of Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya (The Group of Wijaya Extended Family), one of them the dance teacher, four dancers of Tibet Dance.

This research use three main theory to analyze three research question problems. To analyze dance performance I use kinesiology theory from ethnochoreology disciplines. Then, to analyse dance funtions I use functionalism they from Malinowski. Beside that, to analyse the linguistic and cultural meanings I us Barthes’s semiotic theory. The scientific products of this research were: (a) the Tibet Dance structure shape by three kinds of body movement, which expressed the yak animal behavior and as a chanting thanks to the God, which give them agricultural harversting products, this dance developed by costume, dance properties, make-up, which exprerssed Tibetan culture identity; (b) the functions of Tibet Dance as social mediums, stimulance, communication, emotional expressed, entertainment, and integration of the Tibetan society; (c) the cultural meaning of Tibet Dance are the chanting thanks to the God in the harvesting context, and the language maning of this dance in Medan Tionghoa society are based on Mandarin language which expressed the costume, society activities, honour in the gesture, and so on.


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa. Tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara. Di Indonesia, selain ditemukan kebudayaan suku-suku pribumi,1 dapat ditemukan juga kebudayaan dari suku pendatang dunia seperti Arab, Tionghoa, dan suku lainnya (Hoed, 2011:198). Dengan keanekaragaman suku yang ada di Indonesia, maka semakin banyak pula ragam kebudayaannya.2

1

Dalam disiplin ilmu antropologi, istilah pribumi ini lebih sering disebut sebagai natif (unsur serapan yang berasal dari kata dalam bahasa Inggris native). Pada konteks sosiopolitis di Indonesia, kata pribumi dan nonpribumi dalam beberapa dekade belakang ini sudah agak ditinggalkan, dan gantinya adalah kata warga negara Indonesia (WNI) saja. Namun istilah etnik natif atau suku tempatan (setempat) masih digunakan secara mel;uas secara kultural di Indonesia. Hal ini berpa ekspresi sejarah bangsa ini. Bagaimanapun di wilayah tertentu di Indonesia ini perlu diberikan kekuasaan budaya bagi etnik setempat sebagai tuan rumah, dalam kopnteks integrasi Negara Kesatuan Republiok Indonesia. Pendatang tidak semena-mena terhadap kebudayaan setempat, dan suku setempat tidak pula tertutup kepada para pendatang.

Setiap suku ini memiliki kesenian, dan kesenian mereka pun memiliki genre-genrenya tersendiri pula, baik itu seni rupa, tekstil, anyaman, kerajinan, tembikar,

2

Istilah nusantara dan Indonesia memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan. Dalam sejarah peradaban di kawasan ini, istilah nusantar awal kali digunakan oleh Panglima Perang Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, untuk menyebutkan pulau-pulau yang berada di antara dua benua (Asia dan Asutralia) dan dua samudera, Samudera Pasifik (Lautan Teduh) dan Samudera Hindia (Samudera Indonesia). Istilah ini dibangun dari dua kata dasar yaitunusa yang artinya pulau-pulau dan antara yang artinya di antara. Sedangkan istilah Indonesia, awal kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan sosial Inggris yang bernama James Richradson Logan tahun 1850-an. Ia menggunakan istilah ini berdasarkan kata bentukan dari dua kata yaitu Indie (wilayah jajahan Belanda) dan nesos (yang artinya pulau-pulau). Kemudian istilah ini sangat populer digunakan oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia di awal abad ke-20 yang kemudian diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kini istilah ini selain merujuk kepada pengertian kultural juga merujuk kepada sebuah negara bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang berdasarkan ideologi Pancasila, dan landasan kontutisionalnya Undang-undag Dasar 1945. Selain itu bangsa Indonesia dibentuk berdasarkan perbedaan dalam satu kesatuan yang disebut dengan bhinneka tunggal ika. Sistem pemerintahannya adalah demokrasi presidensial, yang menganut sistem otonomi daerah. Kini bangsa Indonesia memiliki penduduk lebih kurang 250 juta jiwa, dengan wilayahnya yang terbendatng dari Sabang (di barat) sampai Merauke (di timur), Pulau Miangas (di utara) dan Pulau Rote (di selatan) (Lihat Takari dkk. 2008).


(14)

2

sastra, pertunjukan, musik, tari, dan lainnya. Termasuk dalam skripsi ini adalah Tari Tibet yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

Budaya atau kebudayaan berasal dari yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia (Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Sedangkan kata budaya (culture) ini, padanannya dalam bahasa Mandarin berasal dari dua huruf yakni 文化 (wénhuà). Lebih rinci lagi pengertian wénhuà ini dalam Kamus Bahasa Mandarin Modern (฀代฀฀฀典) dijelaskan sebagai

berikut,“人฀在社会฀史฀展฀程中所฀造的物฀฀富和精神฀富的฀和,

特 指 精 神 ฀ , 如 文 学 , ฀ ฀ , 教 科, 学 等” [artinya: keseluruhan kekayaan material, dan kekayaan immaterial yang diciptakan oleh umat manusia dalam proses sejarah berkembangnya masyarakat. Kekayaan immaterial adalah karya sastra, seni, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain].

Cina merupakan salah satu negara yang memiliki kebudayaan yang beranekaragam. Cina dikenal sebagai bangsa dengan peradaban yang begitu tinggi. Masyarakat dunia mengenal nilai-nilai budaya Cina sebagai sesuatu yang terus-menerus berkembang. Salah satu contoh yaitu tari. Seni tari memiliki sejarah selama ribuan tahun dan sangat terkenal di dalam peradaban masyarakat Cina.


(15)

3

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar atau learned action (Koentjaraningrat, 2005:25). Lebih jauh lagi Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur (isi) kebudayaan yaitu: bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979:203-204). Selain itu kebudayaan dapat berwujud: gagasan (ide), aktivitas, dan artefak (benda-benda).

Dalam rangka melihat isi dan wujud budaya dalam Tari Tibet, maka dapat dilacak melalui unsur budaya seni. Tari Tibet diekspresikan melalui gerakan-gerakan yang mengandung unsur keindahan (estetika) dan filsafat hidup orang-orang Tibet. Tarian ini mengandung unsur budaya seperti sistem religi (Budha Lamaistik), bahasa Tibet (dan juga Mandarin), sistem mata pencaharian (yaitu bertani dan kemudian pada masa panen melalukan ritual bersyukur kepada Tuhan), organisasi sosial (masyarakat agraris), dan lain-lainnya. Selain itu, dilihat dari aspek wujud budaya, maka di dalam Tari Tibet ini terkandung aspek gagasan atau ide kebudayaan, kegiatan tari itu sendiri, serta artefak-artefak seperti: kostum tarian, tata rias, properti tari, panggung atau tempat pertunjukan, musik pengiringnya, dan lain-lain. Dengan demikian Tari Tibet merupakan ekspresi budaya melalui seni (tari dan musik).

Tari Tibet adalah salah satu tari yang hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Tari ini secara difusi (persebaran) berasal dari wilayah Negara Republik Rakyat Cina yaitu kawasan


(16)

4

Tibet. Tarian ini mengekspresikan kebudayaan orang-orang Tibet yang bersyukur kepada Tuhan pada saat mereka usai melakukan panen hasil pertanian, terutama gandum. Jadi mengkaji keberadaan Tari Tibet ini tidak dapat dilepaskan dari sudut budaya yang lebih luas dan holistik. Tari Tibet adalah sebuah tarian yang berasal dari provinsi Xizang, Qinghai, Gansu, Sichuan dan Yunnan, yang dalam dalam bahasa Mandarin tari Tibet (฀ 庄) artinya merayakan panen raya serta kebahagiaan dan kemujuran. Pada masa awalnya, pertunjukan tari Tibet ini diadakan sebagai pertunjukan untuk acara doa ucapan syukur orang Tibet saat masa panen menjelang musim gugur.

Tarian ini merupakan wujud untuk mengekspresikan emosi mereka dan sukacita dalam bentuk menari dan menyanyi, tetapi juga merupakan komunikasi dengan para dewa untuk memperoleh panen berlimpah dan perlindungan. Tarian Tibet ini ada yang terlihat sangat riang gembira, ada pula yang sangat anggun, dan ada pula yang ditarikan dengan gerakan santai. Mereka saling bergandengan tangan membentuk suatu lingkaran besar sambil menari sepuas hati dan itulah yang disebut tarian guōzhuāng (锅庄).

Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti. Pertama, keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya dan sebagainya). Kedua, karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa seperti tari, lukisan, ukiran, dan sebagainya. Ketiga, kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa).


(17)

5

Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5).

Tibet merupakan daerah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan peternak, dan Tibet dipimpin oleh seorang Dalai Lama yang merupakan reinkarnasi Avalokitesvara. Tibet meupakan tempat lahirnya biksu-biksu, sehingga mayoritas penduduknya beragama Buddha.

Tarian Tibet ini merupakan bentuk ucapan syukur atas hasil pertanian mereka, maka dalam tarian Tibet ini orang-orang Tibet meminum arak qingke, yaitu arak yang terbuat dari gandum yang dicampur dengan mentega, dan mereka menggunakan kostum yang terbuat dari sutra yang hanya digunakan ketika pesta tarian Tibet. Kostum tarian Tibet ini memiliki banyak warna seperti warna putih, coklat, dan biru. Bagi orang Tibet warna pada kostum tersebut merupakan simbol yaitu warna putih yang merupakan simbol kecerdasan, warna coklat mengandung arti keberanian dan keteguhan hati sedangkan warna biru mengartikan belas kasih.

Orang-orang Tibet membajak sawah mereka menggunakan hewan yak (semacam sapi khas Tibet), hewan ini sangat kuat sehingga masyarakat menggunakan untuk mengangkat barang-barang mereka melewati pendakian gunung. Motif gerakan Tari Tibet ini diambil dari gerakan hewan seperti hewan yak, karenanya tarian ini banyak gerakan lompatan-lompatan

Dalam tarian Tibet ini terefleksi secara mendalam cara hidup tradisional orang-orang Tibet yang unik. Ciri yang paling istimewa dari gaya tarian ini adalah tubuh yang miring ke depan, ditemani juga oleh lompatan yang terus-menerus dari


(18)

6

lutut si penari, selain itu ciri unik yang lain yaitu sering membentangkan lengan dan kaki secara bersamaan serta gerakan dengan kibasan lengan panjang, gerakan ini merupakan simbol kedewasaan dan kegagahan suku Tibet itu sendiri.

Untuk mengetahui lebih dalam, penulis melakukan suatu penelitian ilmiah yang memfokuskan tulisan ini pada struktur, fungsi, dan makna Tari Tibet.

Menurut Bapak Sutrisno Tari Tibet ini merupakan suatu tarian tentang daerah dan budaya Tibet, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Dari struktur Tari Tibet ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan gerak tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Tionghoa gerakan tari selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu menggambarkan makna yang terkandung pada Tari Tibet. Biasanya menceritakan sifat manusia hubungannya dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya.

Tari Tibet ditarikan oleh laki-laki dan perempuan yang komposisi penarinya berjumlah 4 orang atau lebih. Tarian ini sebagai bentuk hiburan yang biasanya dipertunjukan pada festival, acara pernikahan, maupun pada hari besar perayaan Tionghoa.

Kostum penari Tari Tibet ini dipesan langsung dari negara Cina, yaitu kostum penari perempuan白的฀衫/bái de chènshān (baju lengan panjang putih) ,฀裙/cháng qún (rok ren ba),฀帽子/yuán màozi (topi bulat),耳฀Ěrhuán (anting), dan฀的袜子hóng de wàzi (stoking merah),鞋xié (sepatu), sedangkan


(19)

7

kostum laki-laki ฀的฀衫/hóng de chènshān (baju lengan panjang merah), ฀฀ 子/cháng kùzi (celana panjang), 鞋子/xiézi (sepatu boot).

Dalam sebuah tarian, peranan musik sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Menurut Soedarsono (1986:109) dikatakan bahwa musik dalam tari bukan hanya sekedar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang secara langsung dapat mendukung dan memperkuat sajian tari. Begitu juga dalam penyajian tari Tibet lagu pengiring dalam tarian Tibet ini berjudul 快฀的฀฀/kuàilè de nuò sū.

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya, yang dipimpin oleh Bapak Indra Wahidin. Beliau juga adalah ketua dewan kehormatan Indonesia Tionghoa Sumatera Utara sekaligus Ketua DPP Indonesia Tionghoa. Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ini berada di Jalan Mahoni, no.9 kecamatan Medan Timur. Lokasi penelitian ini ditetapkan karena pertunjukan tari Tibet di Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya ini masih dianggap fenomenal dan tetap dilestarikan.

Adapun ilmu yang penulis gunakan dalam mengkaji keberadaan Tari Tibet ini adalah: ilmu budaya (antropologi) dan bahasa, sebagai ilmu utama yang penulis pelajari di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara selama ini. Kedua ilmu utama ini dibantu dengan ilmu etnokoreologi dan etnomusikologi. Untuk itu perlu penulis jelaskan secara umum ilmu-ilmu tersebut.

Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya


(20)

8

membantu kita memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh masyarakat yang berbeda. Di Inggris, bidang antropologi budaya awalnya disebut sebagai antropologi sosial. Bidang ini berkaitan dengan kajian budaya yang berhubungan dengan struktur sosial, agama, politik, dan berbagai faktor lainnya. Ruang lingkup bidang antropologi sangat luas. Berbagai perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan tercermin dalam adat, tingkah laku (prilaku), dan bahasa. Berbagai perubahan ini secara bersama-sama mengungkapkan gambaran terhadap budaya masyarakat tertentu, yang disebut sebagai budaya.

Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara, observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer), pendekatan emik dan etik, dan lainnya.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor. Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang, penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya manusia.


(21)

9

Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya digunakan untuk mengkaji Tari Tibet dalam konteks kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ilmu ini juga digunakan untuk membantu mengkaji sejauh apa fungsi sosiobudaya tari ini di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa baik itu yang etniknya: Hokkian, Kwong Fu, Hakka, Khek, dan lainnya. Demikian pula bagaimana secara budaya tarian ini tumbuh dan berkembang di kawasan Tibet di Republik Rakyat Cina.

Selanjutnya yang dimaksud bahasa dan ilmu bahasa adalah sebagai berikut. Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna, sehinga seringkali membingungkan. Untuk jelasnya perhatikan pemakaian kata bahasa dalam kalimat-kalimat berikut.

1. Dika belajar bahasa Inggris, Nita belajar bahasa Jepang. 2. Manusia mempunyai bahasa, sedangkan binatang tidak. 3. Hati-hati bergaul dengan anak yang tidak tahu bahasa itu! 4. Dalam kasus itu ternyata lurah dan camat tidak mempunyai

satu bahasa yang sama.

5. Katakanlah dengan bahasa bunga.

6. Pertikaian itu tidak bisa diselasaikan dengan bahasa militer. 7. Kalau dia memberi kuliah bahasanya penuh dengan kata

daripada dan akhiran -ken.

8. Kabarnya, Nabi Sulaiman mengerti bahasa semut.

Kata bahasa pada kailmat (1) jelas menunjuk pada bahasa tertentu. Jadi, menurut peristilahan de Saussure adalah sebuah langue. Pada kalimat (2) kata


(22)

10

bahasa menunjuk bahasa pada umumnya. Jadi suatu langage. Pada kalimat (3) kata bahasa berarti sopan-santun. Pada kalimat (4) kata bahasa berarti 'kebijaksanaan dalam bertindak. Pada kalimat (5) kata bahasa berarti 'maksud-maksud dengan bunga sebagai lambang'. Pada kalimat (6) kata bahasa berarti 'dengan cara'. Pada kalimat (7) kata bahasa berarti ujaran, yang sama dengan parole. Yang terakhir, pada kalimat (8) kata bahasa berarti hipotesis. Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan hanya pada kalimat (1), (2), dan (7) saja kata bahasa itu digunakan secara harfiah, sedangkan pada kalimat lain digunakan secara kias. Dengan demikian, yang dimaksud bahasa adalah suatu lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sekaligus sistemis. Yang dimaksud dengan sistemis adalah bahwa bahasa itu bukan suatu sistem tunggal, melainkan terdiri pula dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem semantik =definisi+ilmu+bahasa).

Ilmu bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua. Lingutsik modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai sifat khas makhluk manusia,


(23)

11

seperti dalam ucapan "manusia memiliki bahasa, binatang tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias. Bahasa sebagai objek kajian linguistik adalah seperti yang digunakan pada kalimat (1), kalimat (2), dan kalimat (7). Pada kalimat (1) bahasa sebagai langue, pada kalimat (2) bahasa sebagai langage, dan kalimat (7) bahasa sebagai parole.

Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata, yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.


(24)

12

Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna 'sebabkan jadi', perpanjang berarti 'sebabkan sesuatu menjadi panjang'. Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti 'menjadikan sahabat'. Di sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif. Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot 'perbesar'. Jelas di situ ada morfem kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti 'besar'. Dengan membandingkan ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda. Ataupun dalam bahasa lain. begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu pula nama ilmu ini, linguistik, biasa juga disebut linguistik umum.


(25)

13

Ilmu bahasa atau linguistik umum ini penulis pergunakan untuk mengkaji ekspresi kebahasaan yang terkandung di dalam pertunjukan Tari Tibet di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Satu di antara ekspresi kebahasaan dalam Tari Tibet adalah pada terminologi 白 的衬衫 (bái de chènshān). Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai baju lengan panjang putih. Dalam konteks sosiolinguistik, bái de chènshān adalah busana tradisional suku Tibet, berlengan panjang, longgar, tanpa saku, dan berwarna putih, yang dapat dikategorikan sebagai pakaian adat Tibet, yang penuh dengan makna-makna kebudayaan. Lengan yang panjang melambangkan kegagahan suku Tibet. Selanjutnuya, warna putih adalah lambang dari kesucian hati yang menggunakannya. Jadi sifat gagah dan suci diekspresikan di dalam pakaian ini.

Seterusnya untuk mengkaji struktur, fungsi, dan makna Tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan, yang merupakan media seni gerak yang distilisasi, penulis menggunakan disiplin ilmu yang disebut etnokoreologi. Lebih rinci, yang dimaksud dengan etnokoreologi adalah sebagai berikut.

Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and


(26)

14

spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan


(27)

15

budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang. Hal-hal ini terjadi pula di dalam Tari Tibet yang menjadi fokus kajian penulis di dalam skripsi ini.

Untuk mengkaji musik iringan Tari Tibet penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).3

3

Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.


(28)

16

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan


(29)

17

Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.4

4

Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’:


(30)

18

Hal-hal di atas menarik perhatian peneliti untuk meneliti dan melihat pertunjukan tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di kota Medan. Di mana semua komponen tari menjadi bahan penelitian yang menarik untuk dibahas. Jadi dalam hal ini penulis akan mengangkat dan menganalisis suatu penampilan tari Tibet melalui gerakan tari tersebut. Penulis juga tertarik untuk meneliti fungsi dan makna tari Tibet, dengan latar belakang diatas penulis membuat judul penelitian ini Analisis Struktur, Fungsi, dan Makna Tari Tibet pada Budaya Masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana struktur Tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan?

2. Sejauh apa fungsi Tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan?

3. Bagimana makna (bahasa dan budaya) yang terkandung di dalam Tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan?

Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.


(31)

19

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini diselaraskan dengan tiga rumusan masalah di atas, yaitu sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui struktur tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui sejauh apa fungsi tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

3. Untuk mengetahui bagaimana makna (bahasa dan budaya) yang terkandung di dalam Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap analisis struktur, fungsi, dan makna tari Tibet pada budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medalah adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menambah wawasan tentang struktur, fungsi, dan makna tari Tibet bagi masyarakat Tionghoa.

2. Sebagai materi keilmuan baik dari ilmu budaya, bahasa, dan seni yang dapat dipergunakan dalam rangka pengembangan disiplin bahasa dan Sastra Cina, khususnya di Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara medan.


(32)

20

3. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang, dengan latar belakang, tema, dan kajian yang berkait dengan penelitian yang peneliti lakukan ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menambah pengetahuan penulis, serta masyarakat Indonesia, tentang bagaimana struktur, fungsi, dan makna tari Tibet di Kota Medan serta keberadaannya di Indonesia sehingga mampu menarik perhatian masyarakat luas untuk lebih mengenal kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, baik kebudayaan “asli” (natif) dari Indonesia maupun kebudayaan etnis dunia yang kemudian berintegrasi menjadi bahagian tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia, khususnya budaya Tionghoa di Indonesia.

Selain itu juga, penulis berharap penelitian dapat dijadikan rujukan untuk penelitian-penelitian yang akan datang ataupun sebagai bahan pelajaran muatan lokal. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menerapkan kembali (revitalisasi) kesenian tari Tibet dalam masyarakat sehingga kelestariannya tetap terjaga.


(33)

21

1.5 Batasan Masalah

Masyarakat Tionghoa memiliki banyak kebudayaan seni yang sudah berakulturasi dengan Indonesia, termasuk dalam jenis-jenis tari Tionghoa yang ada di Indonesia dan masing-masing memiliki sejarah serta cerita tersendiri di dalamnya. Begitu juga dengan jenis tari-tarian Tonghoa yang beranekaragam. Oleh karena sudah adanya akulturasi,5

Batasan di atas selaras dengan sistem tata kelola pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumatera Utara adalah sebagai sebuah provinsi, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Selanjutnya, Kota Medan adalah sebuah wilayah administratif pemerintahan kota yang dipimpin oleh seorang wali kota. Baik gubernur maupun walikota adalah diplih secara demokratis lima tahun sekali, dalam negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

maka banyak pula perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pertunjukan tari Tibet di di Indonesia. Maka untuk menghindari batasan yang terlalu luas, peneliti mencoba membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada kajian struktur, fungsi, dan makna tari Tibet di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

5

Yang dimaksud dengan akulturasi adalah proses bercampurnya dua kebudayaan atau lebih dalam satu genre, yang menghasilkan sebuah genre baru tanpa hilangnya identitas atau jatidiri dari masing-masing kebudayaan yang bercampur tadi. Sebagai contoh budaya pertunjukan dangdut di Indonesia merupakan hasil dari proses akulturasi antara musik dan tari Melayu, Arab, India, Eropa, dan etnik-etnik natif seperti jaipongan Sunda, Jawa, Batak, Aceh, Minangkabau, dan lain-lainnya.


(34)

22

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab II ini, penulis memaparkan konsep, landasan teori, dan tinjauan pustaka, yang digunakan yang berkaitan dengan topik penelitian, rumusan masalah, dan rujukan-rujukan saintifik dalam skripsi sarjana ini. Tujuannya adalah untuk memperjelas baik itu konsep mapun teori, serta bahan-bahan kepustakaan yang digunakan di dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini konsep yang penulis gunakan adalah mencakup: (a) kebudayaan, (b) masyarakat Tionghoa, (c) tari, (d) Tari Tibet, dan (e) Budha Lamaistik. Selanjutnya teori yang penulis gunakan untuk mengkaji tiga rumusan masalah adalah tiga teori juga. Untuk mengkaji struktur tari dan musik iringan tari digunakan teori kinisiologis struktur tari dalam disiplin etnokoreologi dan etnomusikologi. Untuk mengkaji fungsi Tari Tibet dalam budaya masyarakat Tionghoa di Kota Medan, digunakan teori fungsionalisme dari disiplin ilmu budaya (antropologi budaya), khususnya yang dikemukakan oleh Radcliffe-Brown dan Malinowski. Untuk mengkaji makna (bahasa dan budaya) digunakan teori semiotik. Berikut adalah penjelasan konsep dan teori tersebut


(35)

23

2.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989:33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2.1.1 Kebudayaan

Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam sekitarnya.


(36)

24

2.1.2 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7. Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga Tionghoa yang mulai bermigrasi ke Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai utara Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara India dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan Cina, berasal dari kata 中 ฀ zhōnghuá, dalam bahasa Mandarin dilafalkan sebagai Tionghoa.

Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.

2.1.3 Tari

Di dalam kebudayaan Cina dijumpai beberapa jenis atau genre tarian. Di antaranya adalah tari tradisional, tari Xuanzi, tari Reba, tari Guozhuang, dan lain-lainnya.

Tarian tradisional Cina 中 国 ฀ ฀ 舞/zhōngguó chuántǒng wǔdǎo adalah

tarian tradisional dalam adat warisan masyarakarat Cina, yang awalnya adalah ritual pemujaan dan penghormatan kepada Dewa Mitologi Cina. Tarian Cina merupakan salah satu cabang dari seni yang menggunakan tubuh sebagai media pertunjukan. Tarian Cina memiliki gerakan tarian yang kaya, dapat mengekspresikan berbagai perasaan manusia, baik itu berupa senang, sedih,


(37)

25

gembira, marah, suka, duka, risau serta watak dan adegan cerita dari tokoh pemeran sipil maupun militer. Tarian Cina dalam pertunjukan sendratarinya masih terdapat bagian performa tarian. Performa tarian ini berbeda dengan pertunjukan pada drama, teater dan pertunjukan opera. Perferma tarian Cina menggunakan perpaduan ekspresi dan gerakan anggota tubuh, ditampilkan secara maksimal. Berikut ini tarian Cina berdasarkan etnis dan daerah.

Di Tibet ada beberapa jenis tarian. Salah satu di antaranya yaitu tarian etnis Lisu, tarian ini dibuat dengan meniru gerak-gerik kambing, tarian ini ekspresi kecintaan etnis Lisu terhadap alam dan kehidupan mereka.

Tarian Xuanzi, 玄子的舞蹈/xuánzi de wǔdǎo ini dan dipersembahkan oleh kaum pria dan wanita dengan diiringi irama musik tradisional Cina dan Tibet. Tarian Xuanzi merupakan tarian yang menggambarkan perasaan penduduk lokal setelah makan dan bekerja.

Tarian Reba, ฀ 吧 的 舞 蹈/rè ba de wǔdǎo tarian ini terkenal di kota Tacheng, sebuah kota kecil di Kabupaten Otonom Etnis Lisu Weixi provinsi Yunnan China. Tarian Reba dipersembahkan saat merayakan perayaan keagamaan, memohon keselamatan penduduk desa kepada Buddha saat kejadian bencana alam dan serangan wabah. Tarian Reba dibagi sebagai tiga jenis tarian, yaitu tarian Reba klasik, tarian seniman di jalan, dan tarian persembahan komersial.

Tarian Guozhuang, ฀ 庄 的 舞 蹈/guōzhuāng de wǔdǎo sebuah tarian di mana penarinya menggunakan pakaian ran ba. Ran ba adalah mantel panjang


(38)

26

berwarna menyolok merah dan putih.Ran ba dirajut dari benang wol murni, khusus dipakai untuk menghadiri pesta tarian Tibet.

2.1.4 Tari Tibet

Tari Tibet berasal dari 5 provinsi di Cina yaitu: Tibet, Yunnan, Qinghai, Gansu, dan Sichuan. Tari Tibet merupakan tarian tradisonal masyarakat Tionghoa yang sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Tibet yang menjadi topik penulisan ini, yaitu di Kota Medan, mengalami perubahan-perubahan karena faktor ekologi budaya di Indonesia pada umumnya dan Kota Medan secara khusus.

Berbicara tari Tibet pada masa awalnya dulu, terbentuk karena cara hidup tradisional orang-orang Tibet yang unik secara mendalam terefleksi dalam tarian mereka. Ciri yang paling istimewa dari gaya tarian ini adalah tubuh yang miring ke depan, ditemani juga oleh lompatan yang terus menerus dari lutut si penari. Awalnya digunakan untuk ucupan syukur masyarakat Tibet atas hasil panen mereka.

Tari Tibet ini berkembang di kota Medan, ditarikan oleh kaum perempuan dan laki-laki. Menurut informasi dari nmarasumber yaitu bapak Sutrisno, tari Tibet adalah tarian yang mencerminkan keadaan daerah Tibet tersebut dan lebih menceritakan budaya Tibet.

Tari ini biasanya dibawakan oleh 4 orang penari maupun lebih. Tarian ini bisa ditarikan oleh perempuan dan laki-laki, namun gerakan penari perempuan lebih anggun sedangkan gerakan penari laki-laki lebih tegas. Tari Tibet tampil sebagai hiburan dalam segala aktivitas masyarakat seperti pesta perkawinan, acara


(39)

27

festival maupun kegiatan sosial lainnya seperti acara bazar. Tari Tibet yang dipakai di Perhimpunan Keluarga Besar Wijaya sudah diperbaharui dan dikreasikan kembali.

Gerakan Tari Tibet ini meniru gerakan hewan Yak, yang mencerminkan masyarakat Tibet yang kuat sehingga gerakan tari Tibet ini banyak gerakan-gerakan lompatan. Serta lagu pengiring dalam tarian Tibet ini adalah lagu tradisional daerah yaitu 快฀的฀฀kuàilè de nuò sū.

2.1.5 Buddha Lamaistik

Agama Buddha masuk ke Tibet pada abad kedelapan setelah perkembangan pemikiran sejarah Buddha di India pada tahun 500 sebelum Masehi. Sejak saat itu, pengajaran turun-temurun dilakukan, hal ini adalah salah satu cara bagi penganut Buddha Tibet mengikuti praktik agama seperti pada zaman Buddha Gautama masih hidup.

Pada umumnya orang-orang Tibet lebih menyukai metode pemerintah kependetaan, upacara religius dan rumusan magis. Maka tidak heran bila Lamaisme adalah suatu agama yang memenuhi untuk rakyat Tibet karena tiap-tiap orang menemukan jawaban yang diperlukan ketika mengalami kebingungan dengan berhubungan dengan Dewata sambil mengucapkan kata-kata suci tanpa henti yakni Om Mani Padme Hum. Bagi rakyat Tibet, kata-kata itu merupakan mantra yang berkuasa, suatu rumusan magis yang memberikan jasa ke arah kesempurnaan dan mayoritas para rahib menerima hal ini sebagai suatu simbol yang mereka pegang dengan samar-samar suatu isyarat pencerahan yang mereka


(40)

28

cari dan dalam pencarian ini dipisahkan sebagian kecil dari dan di atas perjuangan insani.

Orang-orang Tibet sangat mempercayai adanya reinkarnasi atau penjelmaan kembali. Dalai Lama yang dalam bahasa Tibet berarti samudera kebijaksanaan dipercayai sebagai inkarnasi Avalokitesvara. Pembahasan mengenai Buddhisme Tibet oleh L.Austine Waddell dalam bukunya The Buddhism of Tibet or Lamaism memaparkan tentang agama Buddha pada awalnya di Tibet dengan cara pemujaan mistik, simbol, dan mitos, serta hubungannya dengan Buddhisme India. Karena masuknya agama Buddha ke Tibet salah satunya berasal dari India. Dari sekte Buddha Mahayana yang berkembang yakni Tantra sampai perubahan dalam Buddisme primitif menuju Lamaisme.

Dalai Lama pertama merupakan titik awal sejarah adanya gelar dan kepercayaan-kepercayaan seputar dalai lama sebagai inkarnasi Avalokitesvara, sedangkan Dalai Lama ke-14 berhubungan dengan modernitas dan kemajuan jaman serta invasi Cina di Tibet. Dalai lama adalah kepala pemerintahan Tibet dan kepala Tibetan Buddhism. Para dalai lama memerintah di Tibet sampai Republik Rakyat China.

Demikian konsep-konsep yang penulis gunakan dalam rangka penelitian terhadap Tari Tibet ini. Kemudian diuraikan landasan teori yang digunakan di dalam penelitian ini.


(41)

29

2.2 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu pengetahuan.

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan adalah seperti teori yang akan diuraikan sebagai berikut.

2.2.1 Teori Kinesiologis Struktur Tari dan Musik

Dalam ilmu-ilmu tari, perkembangan kinesiologi terjadi hampir bersamaan dengan perkembangan ilmu induknya yaitu anatomi. Pada tahun 384--322 SM. dimulailah penulisan tentang bekerjanya otot-otot yang diarahkan pada analisis geometrik. Orang yang pertama-tama melakukan penyelidikan adalah Aristoteles yang sekarang dikenal sebagai bapak kinesiologi. Observasi yang dilakukannya menghasilkan ingatan, bahwa hewan yang bergerak mengadakan perubahan letak dengan jalan menekan kakinya pada apa yang diinjak, Ia pula yang pertama-tama mengkaji dan menulis tentang adanya proses yang begitu kompleks pada cara jalan manusia, yang ternyata terdiri atas gerakan berputar (rotasi) yang selanjutnya dirobah menjadi gerak lurus (translatasi). Peranan gaya-berat (gravitasi), hukum gerakan dan pengertian tentang pengumpil mulai dibicarakan. Dari urian di atas


(42)

30

dapat dilihat adanya kenyataan, bahwa seorang pelompat jauh akan dapat melompat lebih jauh lagi dengan membawa beban pada kedua tangannya bila dibandingkan dengan yang tanpa membawa beban. Seorang pelari akan lebih cepat larinya, bila ia mengayunkan lengannya, karena dengan demikian terjadi extensi lengan yang sakan-akan dapat menjadi sandaran terhadap tangan dan pergelangannya.

Pada tahun itu pula Archimedes memberikan andilnya dengan prinsip hidrostatikanya. yang sampai sekarang masih dipakai dalam kinesiologi renang dan perjalanan ruang angkasa.

Setelah itu Galen dalam karangannya “De Motu Musculorum” mengajukan pengertian tentang adanya otot-otot agonis dan antagonis dan mulai pula dipakai kata-kata “diarthrosis” dan “sinarthrosis” pada sistem persendian. Sesudah Galen perkembangan kinesiologi menjadi statis dan baru pada tahun 1452-1519 Leonardo da Vinci membangkitkan kembali dengan memberikan perhatiannya pada struktur tubuh manusia yang dihubungkan dengan penampilan atau peragaannya, dan hubungan antara pusat gravitasi dan keseimbangan tubuh serta pusat tumpuannya.

Alfonco Borelli pada tahun 1608--1679 mulai menggunakan formula matematika untuk memecahkan problema gerakan otot dan mulai mengadakan pembedaan antara berbagai macam kontraksi otot serta mengemukakan dasar-dasar innervasi resiprok. Karena pengkajiannya yang mendalam tentang problema gerakan tadi, maka Feindler (ahli kinesiologi masa kini) menyebutnya sebagai “bapak kinesiologi modern dalam sistem lokomotor.” Konsep Borelli ini


(43)

31

dikembangkan oleh Webers pada tahun 1836. Uraiannya didasarkan atas adanya observasi yang menyatakan bahwa sikap tegak tubuh disebabkan oleh adanya tegangan pada ligament dan hanya sedikit saja atau tidak adanya kerja otot sedangkan pada berjalan atau lari maka gerakan ke depan dari tungkai merupakan ayunan bandul yang disebabkan oleh adanya gravitasi. Keadaan ini menyebabkan gerakan jatuh ke depan dari badan yang selanjutnya disalurkan ke tungkai. Webers pula yang menyatakan, bahwa panjang otot akan berkurang pada waktu kontraksi dan tulang berperan sebagai pengumpil.

Isaac Newton pada tahun 1642--1727 memberikan dasar-dasar dinamika modern yang ternyata sangat penting artinya bagi perkembangan Kinesiologi. Dasar ini tertuang dalam “Hukum Newton.” Mulai tahun 1861--1917 dengan adanya perkembangan teknik fotografi Otto Fischer mengadakan studi eksperimental tentang cara manusia berjalan. Rudolf A.Fick sekitar tahun itu pula meneliti tentang sikap (postur) manusia dan mekanik gerakan sendi.

Kari Culmann 1821--1S81 seorang insinyur Jerman mengadakan analisa yang menghasilkan teori trakyektori untuk arsitektur tulang. Sejalan dengan kemajuan teknologi, maka sejak tahun 1912 telah dipakai alat-alat elektromyograf. cinematograf dan sekarang dengan elektronik stroboskop yang dapat mengambil gambaran dengan kecepatan l juta sekon yang merupakan alat pada dewasa ini yang sewajarnya dipakai dalam pendidikan olahraga. Selain pemakaian alat-alat baru tersebut diatas ternyata terjadi pula perubahan dalam pemikiran tentang bergeraknya manusia. Teori stimulus-respons yang dianut


(44)

32

sebelumnya telah ditinggalkan dan diganti dengan mekanisme servo maupun mekanisme umpan-balik (feedback).

Pada beberapa tahun sesudah Perang Dunia II berakhir, kecuali terlihat adanya perkembangan teknologi mulai terjadi pula adanya pendekatan-pendekatan secara multidisipliner antara ahli-ahli faal. anatomi, psikolog, teknik, seni tari, seni musik, dan lain-lainnya, yang pada akhirnya berhasil membuahkan suatu ilmu baru yang sebetulnya merupakan saudara kembar dari kinesiologi.

2.2.2 Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tari Tibet dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus


(45)

33

Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi


(46)

34

(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Dari teori Fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski itu, penulis berasumsi bahwa tari Tibet dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa pastilah berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga sosiobudaya ini pastilah mati atau menjelma dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan sosiobudya tari Tibet ini memainkan peran dalam konteks kesinambungan dan integrasi kebudayaan Tionghoa secara umum.

2.2.3 Teori Semiotik

Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam tari Tibet pada masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merefer pada ilmu tentangnya. Baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular (Endaswara, 2008:64).


(47)

35

Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.”

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian


(48)

36

berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,2003:912). Jadi, tinjauan pustaka yaitu hasil meninjau, pandangan, pendapat terhadap buku-buku maupun jurnal-jurnal yang sudah diselidiki atau dipelajari sebelumnya.

Skripsi Inovasi Gerak Si Menyon dalam Topeng Benjang menjadi Topeng Rehe Di Ujung Berung Bandung, Jawa Barat (Kiki Yovita, 2012). Dalam penelitian ini membahas tari Topeng Rehe yang merupakan inovasi dari Topeng Benjang; sebuah kesenian yang berasal dari Ujung Berung. Tari Topeng Rehe merupakan tari Jaipongan yang diciptakan oleh seorang penata tari Jaipongan bernama Gondo, di mana dalam proses penciptaannya Ia terinspirasi oleh seni Topeng Benjang yang di dalamnya terdapat tari yang yang menggunakan topeng dengan karakter Menyon. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dan lokasi penelitian ini dilakukan di kecamatan Ujung Berung, Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan november 2011. Penelitian ini berkontribusi dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada bentuk pertunjukan.

Skripsi Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat


(49)

37

Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan (Reni Yulyati, 2013). Dalam penelitian ini metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan perekaman. Penelitian difokuskan kepada bagaimana pertunjukan tari Galombang yang disajikan pada saat upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Adanya hubungan struktur tari, musik pengiring, dan fungsi sosial yang berhubungan dalam penyajiannya. Dalam proses meneliti gerak tari tersebut, penulis tidak terlalu memfokuskan secara detail pada gerak tari, dalam tulisan penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang. Penelitian ini berkontribusi menggunakan teori fungsionalisme untuk mengkaji fungsi tari dan struktur dalam sebuah tarian.

Skripsi Fungsi dan Struktur Tari Anak yang Diiringi Musik Sikambang dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah di Kecamatan Sibolga Kota (Evi Nenta Sipahutar, 2012). Penelitian ini membahas sejauh apa fungsi tari Anak dalam kebudayaan, terutama pada upacara adat perkawianan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, serta melihat bagaimana bentuk struktur dari tari Anak tersebut dalam upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Untuk mengkaji permasalahan diatas menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan kerja lapangan serta kerja laboratorium. Dengan tersedianya data serta narasumber dilokasi penelitian maka akan memungkinka studi ini dilakukan.

Tesis Tortor dalam Pesta Horja pada kehidupan Masyarakat batak Toba: Suatu Kajian Struktur dan Makna (Sannur D.F. Sinaga, 2012). Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam pesta Horja pada masyarakat Batak


(50)

38

Toba. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada pesta Horja di desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara. Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam pesta Horja tersebut.

Jurnal浅฀藏族舞蹈 qiǎn tán zàngzú wǔdǎo (周智慧, 2011). Penelitian ini menjelaskan bahwa tari Tibet adalah tarian yang bernyanyi dan menari. Tari Tibet menceritakan tentang sejarah Tibet, lingkungan geografis, pekerjaan, praktik keagamaan, dan faktor lainnya, sehingga pembentukan bentuk tarian yang berbeda dan memiliki pesona tarian yang unik.

Jurnal ฀฀藏族舞蹈的屈伸฀฀韵式 shì lùn zàngzú wǔdǎo de qūshēn chàndòng yùn shì (฀毛措,2012). Jurnal ini menganalisis gerakan tarian Tibet, irama, jenis, dan pelatihan. tarian Tibet menari diantara titik kekuatan lutut dan langkah biasa. Tarian Tibet ini memiliki daya tarik yang unik. Penelitian ini untuk perkembangan kesenian tari dan untuk melestarikannya.


(51)

39

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di Kota Medan, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian struktur, fungsi, dan makna tari Tibet dalam etnik Tionghoa melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan (Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara sistematis dan akurat mengenai fakta tari Tibet pada masyarakat Tionghoa. Denzin


(52)

40

dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to studycustoms and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920an dan 1930an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diuraikan berikut ini.


(53)

41

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik.

Dalam rangka penelitian terhadap analisis tari Tibet pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan ini, maka metode penelitian yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu dengan cara mengkaji struktur tari Tibet ini apa adanya. Kemudian menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian yang didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi, filsafat,dan budaya), juga ilmu-ilmu bantu lainnya.


(1)

30

这种动作是跳跃动作。藏族舞蹈的跳跃动作有意义是表达伸的崇拜,和表达藏族人自己的 娱乐。

5.7 图 跳跃动作

这种动作是问候动作。藏族舞蹈的问候的动作的意义是旨在尊重的观众。 5.8 图 问候动作


(2)

31

第五章、

结论

本 文 的 根 据 研 究 成 果 在 星 期 天

2015

3

15

日 可 以 断 定

:

藏 族 舞 蹈 的 结 构 有 三 个 基 本 动 作 是 : 悠颤胯腿 、趋步辗 转、胯腿 踏步蹲。 然后藏

族舞蹈的功能有六个:社会的功能、兴奋剂的功能、通信的功能、情感公开的功能、娱乐

的功能、社区整的功能。

最后藏族舞蹈的意义有七个部分就是:藏族舞蹈开头动作的意义是地球占领,舞员在台上后; 藏族舞蹈长袖动作的意义是成熟和勇气是藏族本身的象征;藏族舞蹈前倾身体动作的意义是西藏 人民日常活动的象征,从山河去取拿水时、到自己的家;藏族舞蹈手臂和脚动作的意义是藏族喜 马拉雅登山难度相关的箱柜;藏族舞蹈圈儿动作的意义是快递娱乐,唱歌跳舞与你的想法和感受 上的收获感恩节祝福西藏社会;藏族舞蹈跳跃动作的意义是表达对伸的崇拜,和表达藏族人自己 的娱乐;藏族舞蹈问候动作的意义是旨在尊重观众。


(3)

32

参考文献

[1] 华毛措.试论藏族舞蹈的屈伸颤动韵式[J].西藏大学学报, 2012年6月.

[2]黄优强.藏族锅庄舞发展研究[J].四川体育科学,2013年2月.

[3] 刘琳.民族舞蹈演练[M].陕西师范大学出版总社有限公司, 2011年11月.

[4]毛珊珊.谈藏族舞蹈风格特点极其在表演中的把握[J].开封教育学院学报, 2012 年6月.

[5] 肖灿.浅谈藏族舞蹈的主要表演形式[J]. 赤峰学院报, 2012年5月.

[6] 严军. 浅谈藏族舞蹈种类与风格[J].湖北省襄樊学院音乐学院,2011年4月.

[7] 周智慧.浅谈藏族舞蹈[J].河南广播电视大学,2011年4月.

[8] www.baidu.com


(4)

33

受访人员的个人信息

1. 姓名 :Indra Wahidin 年龄 :57岁

地址 :Jl. Saudara No. 39 Kompleks Citra Permai Indah Bandar Sono, Tebing Tinggi

工作担位 :Anggota DPP

2. 姓名 :Sutrisno 年龄 :22岁

地址 :Jl.Bridjen Katamso, gg.kasih no 1A 工作担位 :舞蹈老师

3. 姓名 :Michelle Cendana 年龄 :24岁

地址 :Komp. Cemara asri 工作担位 :舞员


(5)

34

年龄 :20岁

地址 :Jl. Bridjen Katamso 工作担位 :舞员

5. 姓名 :Christine 年龄 :24 岁 地址 :Jl.Sindoro 工作担位 :舞员

6. 姓名 :Levina 年龄 :20 岁

地址 :Jl.Yoserizal 工作担位 :舞员


(6)

35

致谢非常感谢Vivi老师、Julina老师、Kasa老师,Niza老师、Sheyla老师、Sheyra老师在 我大学的最后学习阶段毕业设计阶段给自己的指导,从最初的定题,到资料收集,到写作、修改, 到论文定稿,她们给了我耐心的指导和无私的帮助。为了指导我们的毕业论文,她们放弃了自己 的休息时间,她们的这种无私奉献的敬业精神令人钦佩,在此我向她们表示我诚挚的谢意。同时, 感谢我的家庭给我很大的鼓励和所有同学在这四年来给自己的指导和帮助,是他们教会了我专业 知识,教会了我如何学习,教会了我如何做人。正是由于他们,我才能在各方面取得显著的进步, 在此向他们表示我由衷的谢意。

在论文即将完成之际,我的心情无法平静,从开始进入课题到论文的顺利完成,有多少可 敬的师长、同学、朋友给了我无言的帮助,在这里请接受我诚挚的谢意!

罗妮恺