Tionghoa di distrik tambang-tambang emas lama di Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka, dan Belitung. Sejak akhir abad kesembilan belas, orang Hakka mulai bermigrasi ke Jawa Barat,
karena tertarik dengan perkembangan Kota Jakarta dan karena dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Tionghoa.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di Provinsi Kwangtung tinggallah orang-orang Kanton Kwong Fu. Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton
terkenal di Asia Tenggara sebagai buruh pertambangan. Mereka bermigrasi pada abad kesembilan belas ke Indonesia. Sebagian besar tertarik oleh tambang-tambang timah di Pulau
Bangka. Umumnya mereka datang dengan modal yang lebih besar dibanding orang Hakka dan mereka datang dengan keterampilan teknik dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia,
mereka dikenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik tokoh-tokoh besi, dan industri kecil. Orang Kanton ini lebih tersebar merata di seluruh kepulauan Indonesia dibanding orang
Hokkien, Kwong Fu, Teo-Chiu, atau Hakka. Jadi, orang Tionghoa merantau di Indonesia ini paling sedikitnya ada empat suku bangsa seperti terurai di atas 1982:347.
4.2 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Medan adalah kota terbesar keempat di Negara Kesatuan Republik Indonesia, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung. Medan adalah salah satu kota yang menjadi tujuan migrasi utama
orang-orang Tionghoa di Asia Tenggara. Mereka awalnya datang ke mari sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda terutama di perusahaan tembakau Deli.
Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang menjadi pusat perekonomian di kawasan pulau Sumatera. Medan dan Sumatera Utara memiliki komposisi penduduk yang
Universitas Sumatera Utara
heterogen. Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang
ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut:
“The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous that is, non-immigrant
population of the province into nine more narrowly defined ethnic groups suku- suku.”
Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat yaitu
mereka yang bukan imigran, yang biasa disebut dengan suku-suku. Di Medan dan sekitarnya seperti Belawan, Tanjung Morawa, Binjai, Batang Kuis,
orang-orang Cina lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan menyebutkan orang Cina, yang lebih menunjukkan makna
geografis. Namun dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Dari bahan-bahan literatur yang ada tahun dan jumlah yang pasti mengenai kapan
datangnya orang-orang Tionghoa ke Medan tidak dapat ditentukan secara pasti hingga sekarang ini. Karena tidak ada petunjuk yang nyata yang dapat dijadikan pegangan ke arah hal
tersebut. Di dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 4, juga disebutkan bahwa hubungan Cina dengan Indonesia sudah berlangsung kira-kira sejak abad ketujuh ENI 1989:133
Orang Belanda datang ke Indonesia pada sekitar abad keenam belas, ketika VOC Verenigde Oost Indische Company memonopoli perdagangan di Indonesia. Kemudian
berangsur-angsur menguasai wilayah Indonesia satu per satu. Tentang kedatangan orang- orang Cina pada abad ketujuh ini Dada Meuraxa ternyata pernah pula mencatatnya.
Universitas Sumatera Utara
Rahman, melalui skripsinya yang berjudul Masalah Pembauran Masyarakat Etnik Cina Di Kotamadya Medan, antara lain mencatat hal-hal kesejarahan sebagai berikut.
Pergantian dinasti yang terjadi di Negeri Cina menyebabkan pula adanya perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain, seperti pada masa kekuasaan
Dinasti Ming 1368-1644 yang berkuasa di Negeri Cina, yang tidak bermaksud untuk meluaskan teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya.
Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain, sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri Cina dengan daerah lain sangat
lancar sekali. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina.
Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari para raja Cina terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-
pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal- kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian Dinasti yang memegang
kekuasaan Negeri Cina dan timbul kegoncangan-kegoncangan sosial ekonomi hebat, karena lahan pertanian yang tidak memadai bagi penduduk, hingga telah banyak pula di antara orang-
orang di Negeri Cina yang menjadi imigran ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara, bahkan di Pulau Jawa sekalipun. Seorang dari mereka yang mengikuti perjalanan Laksamana Mahmud
Cheng Ho ke kepulauan Indonesia pada tahun 1416 mengatakan bahwa ia melihat banyak orang Cina yang menetap di sini.
Selanjutnya pada abad kesembilan belas, perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur berkembang dengan pesatnya. Jumlah tenaga buruh setempat hampir tidak
Universitas Sumatera Utara
mencukupi, bahkan hampir tidak ada. Maka didatangkanlah dalam jumlah yang banyak tenaga buruh Cina dari Singapura. Pada tahun 1870 perkebunan Tembakau Deli Maatschappij
1809 mendatangkan 4000 orang tenaga buruh Cina dari Singapura. Antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh Cina didatangkan dari Singapura dan
pulau Jawa ke Sumatera Timur, khususnya Tanah Deli Medan. Para buruh dari orang-orang Cina ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan. Lalu sebagian besar di antaranya
menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Medan, dan banyak pula di antaranya bekerja sebagai tukang maupun nelayan. Medan
sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang Cina, dengan memiliki pemuka- pemuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri, seperti pada tahun 1880,
sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapatinya kakaknya telah menjadi pemuka golongan masyarakat Cina di Medan dengan pangkat majoor. Ia meninggal pada
tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang Cina perantauan yang memiliki banyak harta di Medan, Jakarta, serta Singapura.
Demikian gambaran singkat tentang kedatangan orang-orang Cina ke Medan, yang sebagiannya sengaja didatangkan dari Singapura, Pulau Pinang dan Pulau Jawa untuk
dipekerjakan di perkebunan Tembakau Deli Maatschappij, dan sebagian lagi sebagai imigran. Tiga sebagian di antara mereka ini ada yang menetap di daerah ini, ada yang kembali ke
Republik Rakyat Cina. Namun sebagian besar menetap di daerah ini, dan sekaligus menjadi
warga Negara Republik Indonesia beserta keturunannya Rahman 1986: 32-33.
4.3 Sumpit