Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja

2. Komponen Pengawasan Orang Tua

Crouter dan Head dalam Lippold, 2013 mengatakan bahwa ada empat komponen penting dalam pengawasan orang tua. Komponen- komponen pengawasan orang tua tersebut, yaitu usaha aktif orang tua untuk mengawasi, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi, dan pengetahuan orang tua. Lippold 2013 dalam penelitiannya merumuskan komponen pengawasan orang tua hanya dua, yaitu: a. Pengetahuan Orang Tua Lippold 2013 mengatakan bahwa usaha aktif orang tua, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi berguna mengatasi masalah perilaku remaja jika ketiga hal tersebut mengarah pada pengetahuan orang tua. Pengetahuan orang tua yang dimaksud di sini adalah pengetahuan orang tua mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak remajanya. Crouter dan Head dalam Lippold, 2013 mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya. Usaha aktif orang tua untuk mengawasi remaja ini menjadi tidak berguna ketika orang tua hanya bertanya tetapi tidak mendengarkan jawaban yang diberikan remaja atau juga ketika remaja menghindari pengawasan dari orang tuanya. Usaha aktif orang tua yang tidak meningkatkan pengetahuan orang tua ini akan terkesan melindungi remajanya sehingga membuat remaja merasa terkekang atau diawasi. Pengetahuan orang tua yang sebenarnya tidak selalu bertujuan sebagai pengawasan yang bersifat melindungi atau mengekang remaja. b. Kualitas Hubungan Orang Tua dan Remaja Darling dan Steinberg dalam Lippold, 2013 mengatakan bahwa kualitas hubungan orang tua dan anak juga mendukung pengaruh tindakan orang tua pada perilaku remaja. Hubungan yang hangat dan mendukung akan membuat orang tua lebih mendengarkan remaja ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai kegiatannya. Hubungan yang hangat dan mendukung ini juga meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya dalam suasana lingkungan yang positif dalam keluarga. Stattin dan Kerr dalam Bacchini, 2011 juga menyetujui bahwa pengawasan yang efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa terhadap anak. Pengawasan orang tua tidak hanya berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak, melainkan juga dukungan dari keluarga yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga Ceballo dalam Bacchini, 2011. Menurut Garbarino dalam Bacchini, 2011 kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan dukungan keluarga yang membantu remaja untuk mengatasi pengalaman emosi negatif yang mereka dapatkan. Kerr dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lippold, 2013 menemukan bahwa hubungan antara keterbukaan dan pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang. Kehangatan dan dukungan keluarga ini juga memberikan kenyamanan untuk bercerita dan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang yang perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini akan membuat remaja berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak diinginkan.

3. Orang Tua Bekerja

Bureau of Labor Statistics dalam Papalia, 2008 menyebutkan bahwa hampir dua dari tiga keluarga di Amerika Serikat yang memiliki anak usia di bawah 18 tahun merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan. Santrock 2014 juga mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ayah saja yang bekerja di dalam keluarga, tetapi banyak juga para ibu yang ikut bekerja. Fenomena ibu bekerja ini menimbulkan pertanyaan alasan ibu bekerja yang akhirnya dibahas oleh Jones, McGrattan, dan Manuelli dalam Papalia, 2008. Jones, McGrattan, dan Manuelli dalam Papalia, 2008 menemukan bahwa alasan wanita juga ikut bekerja adalah meningkatnya biaya hidup; adanya perubahan dalam perceraian, keamanan sosial, peraturan perpajakan; adanya perubahan sikap terhadap peran jender; ketersediaan tabungan pekerja untuk peralatan rumah tangga; mengurangi jurang pendapatan antara laki-laki dan wanita; serta keinginan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. a. Pengaruh Orang Tua Bekerja Kedua orang tua yang sama-sama bekerja memiliki tantangan yang memunculkan keuntungan dan kerugian tersendiri Papalia, 2008. Dampak positif yang dapat diperoleh jika kedua orang tua bekerja antara lain: 1 Pemasukan dari kedua pihak meningkatkan status ekonomi keluarga. 2 Relasi yang lebih setara antara suami ayah dan istri ibu 3 Kesehatan yang lebih baik untuk kedua pasangan. 4 Harga diri yang lebih besar bagi keduanya. 5 Relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya. Dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi adalah: 1 Munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga. 2 Kemungkinan adanya rivalitas antar pasangan. 3 Konflik orang tua dan anak yang meningkat akibat tekanan fisik dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja. Ibu yang merasa memiliki beban berlebihan cenderung kurang memperhatikan dan menerima anaknya sehingga seringkali anak menunjukkan masalah perilakunya. Ketika ibu merasa tertekan, akan ada kecenderungan meningkatnya ketegangan antara ayah dan anak. 4 Orang tua bekerja harus mempertimbangkan mengenai jadwal dan stres kerja sebagai efek dari bekerja Santrock, 2014. Situasi kerja yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika berada di rumah. Selain itu, situasi ini juga dapat membuat pengasuhan ataupun pengawasan orang tua terhadap anak menjadi kurang efektif.

4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Monitoring Orang Tua

Bekerja Persepsi menurut Huffman, Verno, dan Vernoy 2000 merupakan sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, menginterpretasikan sebuah data atau stimulus yang diterima menjadi sebuah representasi mental yang berguna bagi dunia. Walgito 2010 mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang terintegrasi di dalam individu dimana individu mengorganisasikan, menginterpretasikan stimulus yang diterima melalui indera. Persepsi ini membantu individu menyadari keadaan sekitar maupun keadaan dirinya sendiri. Persepsi ini bersifat individual. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir dan pengalaman individu yang berbeda dengan individu lainnya. Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja adalah proses seorang remaja untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan tindakan kontrol yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan anak remajanya. Tidak hanya orang tua yang memegang peranan penting dalam pengawasan orang tua, melainkan remaja juga memiliki peran penting dalam memilah informasi mana yang akan mereka beritahukan kepada orang tua.

B. Perilaku Seksual 1. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seks, baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis Sarwono, 2012. Rathus, Nevid, dan Rathus 2007 mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan aktivitas yang melibatkan tubuh dalam ekspresi erotis atau perasaan kasih sayang, perilaku seksual ini dapat melibatkan repoduksi atau hanya stimulasi sensual. Sarwono 2012 menyebutkan bahwa objek seksual ini tidak hanya orang lain, melainkan dapat juga berupa khayalan atau diri sendiri. Peneliti sendiri menarik kesimpulan bahwa perilaku seksual merupakan kegiatan fisik yang bersifat erotis yang didorong oleh hasrat seksual. Perilaku seksual ini dapat dilakukan dengan pasangan ataupun hanya diri sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat seksual secara jasmaniah.

2. Bentuk Perilaku Seksual

Rathus, Nevid, dan Rathus 2007 membagi bentuk perilaku seksual menjadi 2 bagian, yaitu perilaku seksual yang dilakukan oleh diri sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan. a. Diri Sendiri 1 Masturbasi Masturbasi merupakan salah satu ekspresi seksual seseorang yang tidak melibatkan orang lain. Masturbasi ini disebut juga sebagai merangsang seksual diri sendiri Sexual Self-Stimulation. Seseorang yang melakukan masturbasi mendapatkan kepuasan seksual dengan menyentuh alat genitalnya, misalnya dengan guling, ataupun dildo. b. Orang Lain 1 Foreplay Foreplay merupakan kegiatan-kegiatan seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual sebelum bersenggama. Foreplay dapat berupa berciuman sampai saling menyentuh alat kelamin. Dalam beberapa budaya, berciuman dan menyentuh alat kelamin ini tidak hanya ditujukan sebagai foreplay, melainkan juga sebagai sebuah pengalaman atau kegiatan itu sendiri. 2 Kissing Kissing atau berciuman merupakan salah satu cara foreplay dengan cara menyentuh pasangan dengan menggunakan bibir. Berciuman identik dengan dua bibir yang saling bersentuhan. Ciuman dibagi menjadi dua, yaitu: a Simple Kissing Simple kissing dilakukan dengan mulut tertutup dan menyentuh bibir pasangan menggunakan bibir atau lidah. Simple kissing ini dapat juga dilakukan dengan menggigit bibir bawah pasangan. b Deep Kissing Deep kissing atau yang sering juga disebut French kiss. Deep kissing French kiss ini dilakukan dengan mulut terbuka dan lidah masuk ke dalam mulut. 3 Touching Menyentuh pasangan menggunakan tangan atau anggota tubuh lainnya dapat menaikkan gairah seksual seseorang, misalnya merangsang gairah seksual dengan memegang penis, vagina, atau area lainnya. 4 Stimulation of the Breasts Merangsang payudara dapat meningkatkan gairah seksual untuk kedua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, kebanyakan laki-laki heteroseksual lebih memilih merangsang payudara wanita daripada payudaranya. Merangsang payudara ini dapat dilakukan menggunakan tangan ataupun mulut dan areanya biasanya payudara dan puting susu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 Oral-Genital Stimulation Merangsang gairah seksual menggunakan mulut pada laki-laki disebut juga fellatio sedangkan pada perempuan disebut cunnilingus. Fellatio dilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam mulut lalu melakukan gerakan naik turun, atau pun dengan menjilat penis dan buah zakar. Cunnilingus dilakukan dengan cara mencium atau menjilat vagina. 6 Sexual Intercourse Sexual Intercourse atau bersenggama adalah kegiatan seksual dimana penis masuk ke dalam vagina.

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual

Sarwono 2012 mengatakan bahwa ada beberapa faktor remaja melakukan hubungan seks, yaitu: a. Meningkatnya Libido Seksualitas Remaja mengalami perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan libido seksualitas remaja. Dimana hasrat remaja ini perlu disalurkan dalam bentuk perilaku seksual tertentu. b. Penundaan Usia Perkawinan Seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, usia perkawinan menjadi tertunda karena adanya norma dan hukum yang berlaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia membuat tuntutan dari orang tua semakin tinggi juga. Orang tua menuntut anaknya untuk mencapai pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang baik, serta persiapan mental sebelum memasuki perkawinan. Ada juga undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai batasan usia perkawinan adalah yaitu Undang-Undang No. 11974 Pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. J.T. Fawcett 1973 mengatakan beban cost dan hambatan barriers juga menjadi faktor tertundanya usia perkawinan dari sisi individunya. Perkawinan menjadi beban bagi individu karena hilangnya kebebasan dan mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban dan usaha, serta bertambahnya bebas ekonomi. Sedangkan yang dianggap hambatan adalah kebiasaan dan norma yang menyulitkan perkawinan, adanya piilihan lain selain menikah, hukum yang dianggap mempersulit perkawinan maupun perceraian, adanya keserbabolehan seksual, serta undang-undang yang membatasi usia minimum perkawinan. c. Tabu atau Larangan Seksualitas masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, dimana norma agama masih melarang seseorang melakukan hubungan seks pra nikah. Psikoanalisis melihat seksualitas dianggap tabu karena seks merupakan dorongan yang bersumber dari “id”. Dorongan-dorongan seksual ini bertentangan dengan moral yang ada di dalam “superego”,