Hubungan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam.

(1)

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknik purposive samplingpada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan

Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00. Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasi Spearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.


(2)

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRACT

This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's

control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis proposed was that is a negative correlation between working parent’s control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this

research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception

and adolescent’s sexual behavior (r-0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was accepted, in which the higher the parental control get thelower adolescent’s sexual behavior become.


(3)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Catarina Chandra Cinitya

109114083

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO

ACCEPTANCE.

A HARD VALUE TO ACCEPT.

---STOP COMPLAINING,


(7)

v

Hasil karya puncak perjuangan menjadi sarjana ini saya persembahkan untuk: F. A. Didi Soedarnadi Susana Endang Susilowati Antonius Adityo Ariwibowo Bonifasius Bondan Budiarto papa, mama, kedua masku, keluarga dan teman-teman lain


(8)

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PENGAWASAN ORANG TUA BEKERJA DAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI BATAM

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk melihat hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di Batam. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berusia 11-21 tahun yang belum menikah di kota Batam dan memiliki kedua orang tua yang bekerja. Peneliti menggunakan teknikpurposive sampling pada penelitian ini. Subjek terdiri dari 253 remaja yang bersekolah di beberapa SMP, SMA/SMK, dan salah satu kampus di Batam. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala persepsi pengawasan orang tua dan skala perilaku seksual. Koefisien relibilitas skala persepsi pengawasan orang tua sebesar 0,901 dan skala perilaku seksual sebesar 0,972 yang dihitung menggunakan Alpha Cronbach melalui SPSS for Windows 16.00.

Teknik analisis data menggunakan pengujian korelasiSpearman’s Rho.Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja (r -0,238, sig 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian ini diterima, dimana semakin tinggi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja.


(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN WORKING PARENT'S CONTROL

PERCEPTION AND ADOLESCENT’S SEXUAL BEHAVIOR IN BATAM

Catarina Chandra Cinitya

ABSTRACT

This research was a correlational quantitative study that aims to examine the correlation between working parent's control perception and adolescent’s sexual behavior in Batam. The hypothesis

proposed was that is a negative correlation between working parent's control perception and

adolescent’s sexual behavior in Batam. Subjects in this research were unmarried adolescents within 11-21 years old who have working parents. The researcher used purposive sampling in this research. Subjects were students who study in some Junior High School, Senior High School/Vocational High School, and one of the campuses in Batam. The instruments in this research were parental control perception scale and sexual behavior scale. The reability coefficient of parental control perception scale was 0,901 and sexual behavior scale was 0,972. These numbers were the result of calcullation using Alpha Cronbach through SPSS for Windows 16.00. The data analize technique used in this research was Spearman's Rho. The result shows that there was a significant negative correlation and between working parent's control perception

and adolescent’s sexual behavior (r -0,238, sig 0,000). This shows that the hypothesis was

accepted, in which the higher the parental control get the lower adolescent’s sexual behavior

become.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan penyertaan-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kepala Program Studi Psikologi. Terimakasih atas dukungan dan perhatian yang bapak berikan kepada kami para mahasiswa tingkat akhir.

3. Ibu (Alm.) Dra. Lusia Pratidarmanastiti M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan dukungan, nasihat serta perhatian kepada penulis dari awal kuliah. Maafkan telah membuat ibu lelah menunggu saya dan teman-teman untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang bersedia membimbing dan memberikan perhatian kepada penulis. Terimakasih ibu sudah mendukung dan mengingatkan saya untuk mengerjakan.

5. Para dosen penguji skripsi saya, Bapak Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. Terimakasih atas revisi dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

6. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si yang penulis kagumi, terimakasih atas ilmu serta kesempatan untuk dapat belajar banyak hal dari ibu. Terimakasih juga karena bersedia bertanya dan mengingatkan mengenai penelitian ini.


(13)

xi

7. Bapak dan ibu dosen beserta staff karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Bu Nanik, akhirnya saya selesai lho, hehehe.

8. Bapak/ibu kepala sekolah SMP Katolik Yos Sudarso, SMA Katolik Yos Sudarso, SMP Kristen Immanuel, SMA Kristen Immanuel, SMA Kartini, dan SMK Kartini. Terimakasih atas ijin dan waktu yang diberikan untuk mengambil data di sekolah yang bapak/ibu pimpin.

9. Papa, mama, mas Adit dan mas Boni. Terimakasih atas dukungan papa mama dari jauh dan kerelaan menanti Catrin selesai kuliah. Terimakasih juga mas Adit dan mas Boni bersedia menjaga adik kecilmu ini, hehehe.

10. Om, tante, sepupu-sepupu penulis di Yogya, terutama tante Tien dan om Koen. Makasih ya om dan tante sudah menjadi bapak dan ibu pengganti di sini, makasih sudah bersedianilikidanngopeniponakan :p

11. Mas Yohanes Sanjaya yang bersedia menemani dan mendengarkan keluhan peneliti dari awal peneliti kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini. Makasih ya nyo, masih banyak keluhan dan cerita-cerita yang akan kamu dengar, hehe. 12. Ninda, Dian, Helen, Sandi, Vica, Bibin, dan Agnes. Teman-teman peneliti yang selalu memberikan semangat, dukungan, membantu dan bersedia direpoti selama pembuatan skripsi ini.

13. Luna, Yutti, Vian dan Ellak. Teman-teman seperjuangan yang memberikan dukungan moral serta mendengarkan curhatan peneliti. Sekarang giliranmu, cah! Hahaha.

14. Gregorius Aji Maundri, Raymondus Tri Hardianto, dan Eko Sularsono. Terimakasih masih menyemangati dan mengingatkan peneliti walau jauh.


(14)

xii

15. Teman-teman “Pejuang yang tertinggal” dan teman-teman angkatan 2010 lainnya, terimakasih sudah saling mengingatkan. Ayo, terus berjuang!

16. Terimakasih juga untuk bantuan yang diberikan kepada peneliti oleh tante Kiki dan lainnya yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Mohon maaf apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan skripsi selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak. Terimakasih.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016

Penulis, Catarina Chandra Cinitya


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14


(16)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI ... 16

A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja...16

1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua...18

2. Komponen Pengawasan Orang Tua ... 20

3. Orang Tua Bekerja ... 22

4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja...………...24

B. Perilaku Seksual ...25

1. Pengertian Perilaku Seksual... 25

2. Bentuk Perilaku Seksual ... 26

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual ... 28

4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual ... 30

C. Remaja... 31

1. Pengertian Remaja ... 31

2. Aspek Remaja ... 33

D. Dinamika Hubungan Pengawasan Orang Tua Bekerja dan Perilaku Seksual Remaja ... 39

E. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III: METODE PENELITIAN... 46

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 46

B. Variabel Penelitian ... 46

C. Definisi Operasional ... 47


(17)

xv

2. Perilaku Seksual ... 48

D. Subjek Penelitian ... 48

E. Metode Pengambilan Sampel ... 49

F. Metode Pengumpulan Data ... 49

1. Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja ... 50

2. Skala Perilaku Seksual ... 52

G. Validitas, Seleksi Aitem dan Reliabilitas ... 54

1. Seleksi Aitem ... 54

2. Validitas Alat Tes... 58

3. Realibilitas ... 59

H. Metode Analisis Data ... 60

I. Prosedur Pengambilan Data ... 61

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Pelaksanaan Penelitian ... 63

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 64

C. Deskripsi Data Penelitian ... 66

1. Analisis Data Penelitian ... 67

2. Analisis Tambahan Data Penelitian ... 70

D. Hasil Penelitian... 78

1. Uji Asumsi ... 78

2. Uji Hipotesis ... 80

E. Pembahasan ... 81


(18)

xvi

A. Kesimpulan ... 88

B. Keterbatasan Penelitian ... 88

C. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Sebelum

Uji Coba)... 50

Tabel 3.2. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorabledanUnfavorable... 51

Tabel 3.3. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Sebelum Uji Coba)... 55

Tabel 3.4. Sistem Skoring untuk PernyataanFavorable... 53

Tabel 3.5. Pemberian Bobot untun Setiap Perilaku Seksual ... 54

Tabel 3.6. BlueprintSkala Persepsi Pengawasan Orang Tua Bekerja (Setelah Uji Coba)... 56

Tabel 3.7. BlueprintSkala Perilaku Seksual (Setelah Uji Coba) ... 57

Tabel 4.1. Data Usia Subjek Penelitian... 65

Tabel 4.2 Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 65

Tabel 4.3. Data Pendidikan Subjek Penelitian ... 65

Tabel 4.4. Data Tempat Tinggal Subjek Penelitian ... 66

Tabel 4.5. Data Status Berpacaran Subjek Penelitian ... 66

Tabel 4.6. Deskripsi Data Penelitian ... 67

Tabel 4.7. Deskripsi Data Penelitian Perilaku Seksual ... 68

Tabel 4.8. Data Pasangan Perilaku Seksual Subjek Penelitian ... 69


(20)

xviii

Tabel 4.10. Tabel Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 73

Tabel 4.11. Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 76

Tabel 4.12. Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 79

Tabel 4.13. Hasil Uji Linearitas Hubungan Antar Variabel... 80


(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Diagram Data Penelitian Menurut Jenis Kelamin... 72 Gambar 4.2. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Jenis

Kelamin ... 72 Gambar 4.3. Diagram Data Penelitian Menurut Tingkat Pendidikan ... 74 Gambar 4.4. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Tingkat

Pendidikan... 75 Gambar 4.5. Diagram Data Penelitian Menurut Status Berpacaran ... 77 Gambar 4.6. Diagram Data Penelitian Perilaku Seksual Menurut Status


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Uji Coba... 97 Lampiran 2. Skala Penelitian ... 108 Lampiran 3. Reliabilitas Skala Persepsi Pengawasan Orang Tua... 118 Lampiran 4. Relibilitas Skala Perilaku Seksual ... 123 Lampiran 5. Uji Asumsi: Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 126 Lampiran 6. Uji Hipotesis ... 128


(23)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki penduduk kurang lebih 213 juta jiwa. Survey Antar Sensus Badan Pusat Statistik tahun 2005 menyebutkan bahwa ada sekitar 80 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan remaja dan anak (BPS, 2005). Anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa merupakan aset yang sangat penting untuk memajukan sebuah negara. Remaja diharapkan nantinya mampu membangun bangsa dan negaranya menjadi lebih baik.

Mead (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari anak menuju dewasa. Otto Rank menyebutkan bahwa pada masa remaja terdapat perubahan kehendak yang cukup drastis dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Sarwono, 2012). Remaja mengalami perubahan kehendak yang tadinya masih bergantung pada orang lain saat masa kanak-kanak menuju kemandirian di masa dewasa. Pada tahap ini remaja sedang mencari pedoman atau nilai-nilai baru yang dapat dianutnya menuju kehidupan dewasa. Remaja cenderung ingin meninggalkan pedoman atau nilai yang dianutnya pada masa kanak-kanak, akan tetapi mereka belum memiliki pedoman yang baru untuk kehidupan dewasanya (Sarwono, 2012).

Seorang remaja akan mencari pedoman baru untuk hidupnya dari lingkungannya. Lingkungan yang paling dekat dengan remaja adalah


(24)

lingkungan keluarga. Secara jelas Reiss (dalam Lestari, 2012) mengatakan bahwa keluarga merupakan kelompok kecil yang termasuk dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi berikutnya.

Orang tua sebagai sosok orang yang lebih dewasa di dalam keluarga turut mengambil andil menemani remaja dalam mencari pedoman hidupnya yang baru. Ellis, Thomas, dan Rollins (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa dukungan orang tua adalah interaksi orang tua yang dapat ditunjukkan melalui perawatan, kehangatan, persetujuan, dan perasaan positif yang diberikan orang tua ke anak. Dukungan orang tua dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dukungan instrumental dan dukungan emosi. Dukungan instrumental merupakan dukungan orang tua berupa sarana dan prasarana yang diberikan orang tua untuk mendukung proses belajar dan tumbuh kembang anak. Dukungan emosi adalah perilaku fisik maupun non-fisik yang ditunjukkan orang tua. Dukungan emosi dapat ditunjukkan dengan menunjukkan afeksi atau komunikasi yang positif dan terbuka kepada anak. Kehadiran orang tua dapat membuat anak merasa nyaman, diterima dan diakui sebagai individu (Lestari, 2012). Kehadiran dan dukungan orang tua ini dapat juga memenuhi kebutuhan remaja akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan.

Setiap orang khususnya remaja berkeinginan mendapatkan kasih sayang dari setiap orang yang dikenalnya, terutama orang tua. Kebutuhan akan kasih sayang ini sangat dibutuhkan oleh remaja karena remaja merasa mendapatkan penghargaan dan penerimaan sosial. Penghargaan dan penerimaan sosial pada


(25)

remaja dapat meningkatkan kepercayaan diri remaja. Apabila remaja memiliki rasa percaya diri, remaja juga akan mampu menerima dan menyayangi dirinya sendiri. Kemampuan remaja untuk menyayangi dirinya sendiri ini dapat membantu remaja membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Remaja yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan merasa gagal dan tidak berdaya. Kegagalan yang dialami remaja ini dapat menyebabkan remaja berperilaku menyimpang agar mendapatkan penghargaan (Panuju dan Umami, 1999).

Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja ini disebut juga sebagai

Juvenile Delinquency. Kartono (2011) mengatakan bahwa juvenile delinquency adalah kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak muda. Kartono (2011) menyebutkan kenakalan remaja ini merupakan gejala patologis secara sosial yang disebabkan pengabaian oleh lingkungan sosialnya. Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2012) menyatakan suatu perbuatan dikatakan delinkuen jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat dimana seseorang tinggal. Kenakalan remaja yang bertentangan ini menyebabkan keresahan di lingkungan masyarakat. Remaja yang melakukan kenakalan dianggap tidak mampu memahami dan mentaati norma yang berlaku di masyarakat. Padahal salah satu tugas perkembangan remaja adalah mampu memperlihatkan tingkah laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, dimana remaja dapat menghormati dan mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungannya. Selain itu, remaja


(26)

juga diharapkan mampu mengadopsi norma masyarakat yang berlaku untuk menjadi pedoman hidupnya yang baru dalam bertingkah laku.

Angka kenakalan remaja di Indonesia akhir-akhir ini meningkat cukup drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari BKKBN online tanggal 11 Desember 2006 yang dikutip oleh Nugroho (2010), hasil survei Pusat Kesehatan Masyarakat UI mengatakan dari 170 SMA yang diteliti, 25% responden menyatakan hubungan seks boleh saja dilakukan dengan pasangan asal disertai perasaan suka sama suka, 3% responden mengaku pernah melakukan hubungan seks dengan kekasihnya, 35% remaja pria menyatakan tidak perlu lagi mempertahankan keperjakaannya, dan 10% remaja wanita juga menyatakan tidak perlu lagi mempertahankan keperawanannya. BKKBN

online tahun 2008 (dalam Nugroho, 2010) juga mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia di kota-kota besar telah melakukan hubungan seks pra nikah. Nugroho juga mengutip penelitian yang dilakukan Annisa Foundation (2006) bahwa 42,3% remaja melakukan hubungan seks pertama kali saat duduk di bangku SMP-SMA (BKKBNonlinedalam Nugroho 2010).

Tingginya angka remaja yang melakukan seks bebas ini diperkuat juga oleh data yang dimiliki oleh Dr. Boy Abidin, SpOG (dalam Nugroho, 2010) yang berpraktik di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading Jakarta. Data menunjukkan bahwa 3,2% siswi hamil di luar nikah karena diperkosa, 12,9% siswi hamil di luar nikah karena hubungan seks atas dasar suka sama suka, 45,2% siswi hamil di luar nikah karena tidak menduga akan hamil, dan 22,6% siswi menjalani seks bebas. Data ini secara tidak langsung menunjukkan juga


(27)

bahwa remaja belum memahami akibat dari perilaku seks bebas yang dilakukan, yaitu salah satunya kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa remaja Indonesia belum mampu menjalankan salah satu tugas perkembangan remajanya dengan baik. Remaja belum mampu menghormati dan mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, dimana perilaku seks bebas bukanlah perilaku yang mencerminkan budaya timur.

Kenakalan remaja banyak ditemukan khususnya di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya media yang memudahkan budaya asing masuk ke Indonesia dan juga fasilitas yang diberikan oleh orang tua maupun pemerintah setempat (Panuju dan Umami, 1999). Budaya asing masuk dengan mudahnya ke Indonesia melalui berbagai media, seperti misalnya film, buku, maupun internet. Sebagian besar remaja yang hidup di perkotaan besar menghabiskan banyak waktunya untuk berselancar di internet, mulai dari mencari berita mengenai dalam maupun luar negeri, mengunduh lagu barat terbaru, sampai mengobrol dengan teman dalam maupun luar negeri melalui aplikasi chatting di kehidupan sehari-harinya (Budhyati, 2012).

Budhyati (2012) menyebutkan macam-macam perilaku kenakalan remaja yang dipengaruhi media internet antara lain perkelahian akibat dari kecanduan

game online bertema kekerasan, membolos sekolah karena bergadang kecanduan game online, perkataan kasar dan tidak senonoh di media sosial, pemalsuan identitas di media sosial, penculikan yang berkedok pertemuan dengan teman media sosial di dunia nyata, penipuan dengan memasang iklan


(28)

jual beli barang, berbohong kepada orang tua untuk mendapatkan biaya membeli pulsa modem atau ke warnet, dan perbuatan asusila sebagai akibat dari melihat gambar atau video porno di internet.

Budhyati (2012) menyebutkan beberapa upaya untuk mengatasi kenakalan remaja, diantaranya upaya preventif, tindakan kuratif, dan pembinaan agama bagi remaja. Upaya preventif dapat dilakukan oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah. Keluarga sebagai lingkungan yang terdekat dengan remaja dapat memberitahu dampak positif dan negatif dari penggunaan internet, mengusahakan untuk menyediakan internet di rumah dengan meletakkan komputer di tempat yang mudah diawasi dan memblokir situs yang dianggap tidak layak, memberitahu situs-situs yang menarik untuk usianya, mengawasi perubahan perilaku remaja dan membangun komunikasi yang tepat, serta membatasi durasi penggunaan internet dan mengarahkan untuk menggunakan internet dengan positif.

Sekolah sebagai lingkungan pendidikan dapat memberitahu juga mengenai dampak positif dan negatif penggunaan internet, menyediakan fasilitas internet di sekolah dengan memblokir situs-situs yang tidak layak untuk anak didiknya, mengarahkan pembelajaran melalui e-learning, e-mail,

dan thinkquest, serta guru juga dapat turut aktif di jejaring sosial untuk mengawasi anak didiknya dalam bergaul di internet. Pemerintah dan masyarakat juga memegang peranan penting untuk mengatasi kenakalan remaja, misalnya dengan memberlakukan dengan tegas peraturan perundang-undangan tentang penggunaan media informasi dan komunikasi, menutup


(29)

situs porno di dalam maupun luar negeri, izin operasional warnet dibatasi, setiap warnet diharuskan memilikisoftwareanti pornografi, serta razia berkala dan pengawasan langsung dari masyarakat terhadap keberadaan warnet.

Penggunaan internet yang tidak disaring ini dapat menggeser nilai-nilai atau norma yang berlaku di masyarakat. Salah seorang Guru Bimbingan Konseling di SMA Bopkri Dua Yogyakarta (wawancara pribadi, Maret 2014) mengatakan sekarang ini ada pergeseran norma masyarakat di mata remaja. Beliau mengatakan banyaknya warung kopi di Yogyakarta menjadi salah satu contoh pergeseran norma masyarakat. Remaja yang berada di warung kopi untuk menongkrong bersama teman-temannya pada malam hari seharusnya berada di dalam rumah untuk belajar. Beliau juga mengatakan bahwa kontrol orang tua yang lemah dapat menjadi salah satu penyebab remaja berada di warung kopi pada malam hari.

Arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang membuat remaja mulai mengenal rokok, narkoba, terlibat banyak tindakan kriminal bahkan berujung pada kenakalan remaja prostitusi. Hal-hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya dasar-dasar agama, kurangnya kasih sayang orang tua, kurangnya pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman yang tidak sebaya, peran dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang berdampak negatif serta kebebasan yang berlebihan. Remaja secara tidak langsung mendapat imbas dari globalisasi yang negatif terutama bila tidak diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua. Teknologi yang semakin canggih memudahkan masuknya informasi-informasi melewati


(30)

internet. Informasi-informasi yang masuk melalui internet ini dapat juga berupa eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual yang didapatkan melalui media ini dapat mendorong remaja untuk melakukan aktivitas seksual secara sembarangan seperti misalnya menyimpan dan menyebarkan foto maupun video yang membuat remaja lebih cepat matang secara seksual dan mencari penyaluran seksual yang salah. Remaja dengan rasa ingin tahu yang tinggi serta dorongan seks yang tinggi akibat terpapar media bebas menjadikan remaja mencari penyaluran hasrat seksualnya, terlibat pergaulan bebas dan gaya pacaran yang melampaui batas (Nasution, 2016).

40% remaja telah melakukan hubungan seks pra nikah bahkan sekitar 25% anak-anak berusia 15-24 tahun di Batam berpotensi mengidap HIV/AIDS (Nursali, 2015). Fenomena seks bebas di kalangan remaja Batam ini memunculkan beberapa istilah bagi remaja khususnya remaja putri, yaitu Bisa Pakai (BP atau lebih terkenal dengan singkatan BisPak) dan Barang Batam (BB) (“Cewek BP dan BB”, 2011). BP dan BB adalah julukan untuk remaja putri Batam yang menyediakan jasa berhubungan seksual. Remaja putri yang diberi julukan BP atau BisPak menjajakan seks kepada teman seumurannya dan tarif mereka tidaklah mahal, asalkan mereka senang dibawa jalan-jalan ke lokasi-lokasi yang menyenangkan, misalnya mall atau pantai. Julukan Barang Batam atau BB diberikan kepada remaja putri yang menjajakan seks untuk para pejabat, oknum aparat, pengusaha maupun om-om yang mencari kepuasan seksual. Remaja putri yang dijuluki BB ini terorganisir melalui beberapa EO (Event Organizer). Remaja putri yang menjadi BB ini tarifnya


(31)

lebih mahal dibanding yang menjadi BP atau BisPak, mereka dapat meminta brang-barang berharga yang mereka inginkan, seperti handphone terbaru ataupun parfum mahal. Alasan kebanyakan remaja putri yang menjadi BB dan BP dikarenakan mereka tergiur dengan iming-iming hadiah atau barang-barang yang akan mereka dapatkan (“Cewek BP dan BB”, 2011). Remaja-remaja putri tersebut mengatakan bahwa uang jajan yang diberikan oleh orang tua mereka dirasa tidak mampu memenuhi keinginan-keinginan mereka, sehingga mereka tergiur untuk menjadi BP maupun BB untuk mendapatkan keinginan mereka.

Kapolresta Batam, Kombes Asep Safrudin mengatakan bahwa ditemukannya beberapa orang anak di bawah umur yang ikut dalam jaringan PSK online di Batam (Purniawan, 2015). Tarif yang mereka dapatkan juga cukup menggiurkan, yaitu sekita 1 juta untuk sekali booking, dimana sang mucikari mengambil 400 ribu untuk kantongnya sendiri dan sisanya untuk si pekerja seks komersial tersebut. Banyaknya PSK di Batam menjadikan Batam termasuk dalam salah satu dari empat kota wisata seksual di Indonesia yang diminati oleh turis asing, selain Bogor, Singkawang dan Cikarang (“Empat Kota di Indonesia”, 2014).

Tingginya angka PSK di Batam juga memicu tingginya angka pengidap HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat sejak tahun 1992 hingga Oktober 2014 tercatat 3.477 penderita HIV dan 1.510 diantaranya sudah berkembang menjadi AIDS di Batam (Riezky, 2014). Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Batam sendiri mengatakan data dari tahun 2012 hingga Oktober


(32)

2014 tercatat 581 orang terjangkit HIV, 252 orang diantaranya positif AIDS dan sudah ada 110 orang yang meninggal dunia akibat AIDS di Batam (Mesakh, 2014).

Selain tingginya angka seksualitas di Batam, masyarakat yang tinggal di kota Batam juga memiliki tingkat biaya hidup yang besar. Tingginya kebutuhan atau biaya hidup di kota industri ini menuntut kedua orang tua untuk bekerja demi menghidupi keluarganya. Pada zaman sekarang ini, tidak hanya ayah saja yang bekerja, melainkan ibu juga bekerja demi terpenuhinya kebutuhan hidup keluarganya yang semakin besar. Kesibukan dan ketidakhadiran kedua orang tua di rumah ini dapat mendorong anak menjadi delinkuen. Sudarsono (2012) mengatakan bahwa kenakalan remaja dapat disebabkan oleh keluarga yang berantakan atau broken home. Broken home

menurut Sudarsono adalah struktur keluarga yang sudah tidak lengkap lagi yang dikarenakan salah satu atau kedua orang tua meninggal, perceraian orang tua, maupun ketidakhadiran orang tua dalam waktu yang cukup lama. Sudarsono (2012) juga menyebutkan mengenaibroken home semuyang sering terjadi di mayarakat sekarang ini. Broken home semu terjadi di struktur keluarga yang masih lengkap, hanya saja karena kesibukan masing-masing anggota keluarga terutama orang tua membuat orang tua tidak memberikan perhatian ke anak-anaknya.

Ketidakhadiran atau tidak adanya pengawasan dari orang tua ini dapat menjadi salah satu penyebab munculnya kenakalan remaja. Shanty, Suyahmo, dan Sumarto (tanpa tahun) menyebutkan kenakalan remaja disebabkan


(33)

kurangnya waktu orang tua yang dikarenakan kesibukan orang tua bekerja sehingga orang tua tidak memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan remajanya, orang tua juga tidak memberikan pengawasan terkait pergaulan remajanya. Orang tua cenderung tidak membatasi dan tidak memberikan aturan khusus mengenai pergaulan anaknya sehingga remaja cenderung bebas melakukan kegiatan apapun bersama dengan teman-temannya. Kesibukan orang tua dan tidak adanya pengawasan dari orang tua maupun saudara ini membuat peran orang tua dalam mencegah kenakalan remaja menjadi kurang efektif. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja pada keluarga buruh pabrik di Kudus adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal, pengaruh teman sepermainan, dan kesenangan, kepuasan, rasa penasaran, serta rasa bangga yang dimiliki remaja ketika melakukan kenakalan.

Kesibukan dan ketidakhadiran orang tua ini juga menjadi salah satu faktor kesenjangan nilai antar generasi. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Alfarista, Wantiyah, dan Rahmawati (2013) dimana 62,7% remaja mengatakan bahwa internet merupakan sumber informasi mengenai perilaku seksual yang paling sering digunakan oleh remaja. Sebanyak 69,1% remaja mengatakan alasan mereka memilih internet karena informasi dapat dengan mudah didapatkan melalui media tersebut. Internet sebagai media sumber informasi remaja mengenai seksualitas ini menjadi salah satu contoh keadaan yang kurang ideal. Internet sebagai sumber informasi yang banyak diakses ini juga menunjukkan kurangnya pengaruh orang tua dalam memberi informasi mengenai seksualitas kepada remaja.


(34)

Responden dari Zuhri dan Herlina (2008) mengatakan bahwa remaja merasa kurang nyaman jika bertanya mengenai seksualitas kepada orang tua mereka. Orang tua sebagai orang dewasa dalam lingkungan keluarga seharusnya menjadi sumber informasi bagi anak-anaknya. Akibatnya nilai-nilai yang seharusnya diturunkan oleh orang tua menjadi tidak tersampaikan. Pergeseran nilai ini membuat remaja tidak lagi menganut nilai-nilai baik yang dianut oleh orang tuanya.

Kesibukan orang tua bekerja serta tidak adanya pengawasan dari orang tua ini membuat remaja mengurus dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Dwyer, Richardson, Hansen, Sussman, Brannon, Dent, dan Flay di San Diego dan Los Angeles (1990) menemukan bahwa ada sekitar 67,8 % pelajar kelas 8 yang mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan dari orang tua selama beberapa waktu dalam satu minggu, 23,5 % yang mengurus diri selama 1 sampai 4 jam per minggu, 15,7 % yang mengurus diri selama 5 sampai 10 jam per minggu, dan 28,6 % yang mengurus diri selama lebih dari 11 jam per minggu. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa pelajar yang mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan orang tua lebih dari 11 jam per minggu memiliki kecenderungan untuk merasa marah, memiliki masalah keluarga, mengalami stres, menganggap teman sebagai sumber utama yang mempengaruhinya dan menghadiri pesta 1,5 sampai 2 kali lebih tinggi.

Richardson, Radziszewska, Dent, dan Flay (1993) yang melakukan penelitian di Los Angeles dan San Diego memiliki hasil penelitian yang hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan


(35)

bahwa remaja yang tidak diawasi oleh orang dewasa di rumah lebih memiliki kemungkinan masalah perilaku dibandingkan yang mendapat pengawasan dari orang dewasa. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dari orang tua tidak begitu saja menaikkan risiko perilaku bermasalah pada remaja jika orang tua secara konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja. Risiko masalah perilaku pada remaja akan semakin meningkat jika remaja tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua dan orang tua tidak secara konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.

Berdasarkan penelitian-penelitan sebelumnya yang dilakukan di Los Angeles dan San Diego tersebut peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan pengawasan yang dilakukan oleh kedua orang tua bekerja di kota besar dengan perilaku seksual remajanya. Peneliti ingin melakukan penelitian ini di Indonesia karena peneliti melihat di budaya barat yang mementingkan kemandirian anak saja pengawasan orang tua masih menjadi sebuah masalah pemicu kenakalan remaja, bagaimana dengan Indonesia yang mengganggap bahwa penting bagi orang tua untuk membangun hubungan dengan anak.

Peneliti ingin melakukan penelitian ini khususnya di kota Batam. Hal ini dikarenakan Batam merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia berdasarkan survey BPS tahun 2007 (Aufa, Masbar, dan Nasir, 2013). Batam dengan biaya hidupnya yang tinggi menuntut kedua orang tua untuk bekerja demi mencukupi biaya hidup keluarga. Tuntutan orang tua untuk bekerja ini memungkinkan orang tua sibuk bekerja dan tidak memiliki


(36)

waktu untuk mengawasi anak remajanya sehingga peneliti di sini ingin meneliti persepsi remaja mengenai pengawasan dari orang tuanya.

Batam yang terkenal dengan biaya hidup yang tinggi dan angka seksualitas serta HIV/AIDS yang juga tinggi membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Batam. Peneliti juga melihat belum banyak penelitian mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas di Batam, selama ini peneliti hanya menemukan informasi mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas melalui opini atau tulisan di blog maupun berita.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang sudah dijabarkan di atas, maka peneliti merumuskannya sebagai: “Apakah ada hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja danperilaku seksual remaja di Batam?”

C. Tujuan Penelitian

Peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja di kota Batam.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya di bidang Psikologi Perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan seksualitas remaja dan pengawasan orang tua.


(37)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada orang tua bekerja dan menjadi bahan pertimbangan mengenai pengawasan orang tua terhadap anaknya agar dapat mencegah tingginya perilaku seksual remaja Indonesia saat ini. Penelitian ini juga dapat menjadi acuan informasi bagi keluarga, sekolah atau lembaga terkait lainnya untuk saran penggunaan waktu luang remaja yang tidak terarah.


(38)

16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja

Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua. Kamus Bahasa Indonesia (dalam Lestari, 2012) menyebutkan pengasuhan merupakan berbagai hal mengenai mengasuh. Lestari (2012) mengatakan bahwa mengasuh memiliki makna menjaga / merawat / mendidik, membimbing / membantu / melatih, memimpin / mengepalai / menyelenggarakan. Kata asuh sendiri sering dimaknai bersama kata asah dan asih (asah-asih-asuh). Asah atau mengasah diartikan sebagai melatih agar kemampuan seseorang yang dilatih dapat meningkat. Asih atau mengasihi diartikan sebagai menyayangi. Rangkaian kata asah-asih-asuh ini diartikan Lestari (2012) bahwa pengasuhan yang sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak yang dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang dari orang tua.

Pengasuhan yang dilakukan orang tua ini juga memiliki stres pengasuhan. Stres pengasuhan ini sendiri terjadi saat pelaksanaan tugas pengasuhan anak. Penyebab stres pengasuhan ini dapat dilihat melalui pendekatan PCR ( parent-child-relationship). Pendekatan PCR ini membantu kita melihat stres pengasuhan yang muncul dari tiga komponen yaituparent / orang tua, child / anak, dan relationship / hubungan orang tua dan anak. Gejala stres pengasuhan yang muncul jika dilihat dari pendekatan ini adalah menurunnya ekspresi kehangatan, meningkatnya metode pendisiplinan yang keras, kurang


(39)

konsistennya perilaku pengasuhan, dan menarik diri sepenuhnya dari peran pengasuhan (Lestari, 2012).

Ada dua dimensi dalam pengasuhan, yaitu demandingness dan

responsiveness. Demandingness berkaitan dengan tuntutan serta harapan orang tua ke anak, disiplin, supervisi dari orang tua dan upaya orang tua menghadapi masalah perilaku anak. Responsiveness berkaitan dengan tanggapan orang tua ketika membimbinga anak, ketegasan sikap orang tua, pengaturan diri, dan pemenuhan kebutuhan khusus anak. Kombinasi dari

demandingnessdan responsivenessini memunculkan empat gaya pengasuhan yang dicetuskan oleh Baumrind (dalam Lestari, 2012). Baumrind menyebutkan gaya pengasuhan tersebut antara lain permissive, rejecting-neglecting, authoritarian, dan authoritative. Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif cenderung memberi banyak kebebasan pada anak dan memaklumi segala perilaku anak serta kurang menuntut tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak. Orang tua yang tidak peduli (rejecting-neglecting) cenderung memberikan kebebasan yang berlebihan ke anak dan tidak ada sama sekali tanggapan dari orang tua terhadap perilaku-perilaku anak. Gaya pengasuhan otoriter (authoritarian) dilakukan orang tua yang ingin membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku anak agar sesuai dengan aturan standar yang diterapkan orang tua. Gaya pengasuhan yang dianggap paling baik adalah gaya pengasuhan otoritatif (authoritative), dimana orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional dan memberikan penjelasan mengenai aturan yang diberlakukan. Orang tua dengan gaya pengasuhan


(40)

otoritatif ini mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri.

Beberapa peneliti membedakan antara praktik pengasuhan dan gaya pengasuhan. Darling dan Steinberg (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa gaya pengasuhan merupakan konteks yang mempengaruhi kesediaan anak untuk melakukan sosialisasi, sedangkan praktik pengasuhan berkaitan dengan akibatan pada perilaku anak. Dishion dan McMahon (dalam Lestari, 2012) mengkonsepkan praktik pengasuhan sebagai relasi yang dinamis yang mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial, dengan kualitas relasi orang tua dan anak. Lestari (2012) sendiri merangkum bentuk-bentuk perilaku pengasuhan orang tua anak adalah kontrol dan pemantauan; dukungan dan keterlibatan; komunikasi; kedekatan; dan pendisiplinan.

1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua

Montemayor (2001) mendefinisikan pengawasan sebagai aktifitas yang memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas yang dilakukan, dan teman-temannya (Lestari, 2012). Lestari (2012) sendiri menganggap pengawasan merupakan salah satu cara orang tua untuk mengembangkan kontrol pada anak. Diclemente, Wingwood, Crosby, Sionean, Cobb, Harrington, dan Oh (2001) mengatakan bahwa hal penting dari pengawasan orang tua adalah persepsi remaja terhadap pengetahuan orang tua mereka mengenai dengan siapa dan dimana remaja menghabiskan waktu ketika remaja tidak berada di rumah ataupun di sekolah. Kerr (dalam Lippold, 2013) menambahkan bahwa pengawasan


(41)

orang tua merupakan sebuah proses yang menggambarkan keaktifan orang tua untuk memantau remajanya, seperti mengumpulkan informasi mengenai remaja dan supervisi orang tua. Kerr juga menambahkan bahwa remaja juga merupakan hal penting dalam proses pengawasan orang tua, dimana remaja dapat memutuskan informasi apa saja yang akan mereka beritahukan kepada orang tuanya.

Dishion dan McMahon (dalam Bacchini, 2011) mendefinisikan pengawasan orang tua sebagai perilaku-perilaku orang tua yang melibatkan perhatian ke remajanya dan mencari tahu dimana remajanya berada, aktivitas remaja dan adaptasi remaja. Stattin dan Kerr (dalam Bacchini, 2011) menambahkan pengawasan yang efektif adalah pengawasan yang dihubungkan dengan kualitas komunikasi orang tua dan anak serta melibatkan lebih dari sekedar kontrol yang bersifat memaksa pada perilaku remaja. Pengawasan yang dilakukan orang tua ini juga membantu menciptakan keseimbangan di dalam hubungan keluarga dan dukungan dalam hubungan orang tua dan anak (Ceballo dalam Bacchini, 2011).

Berdasarkan teori di atas, peneliti menyimpulkan pengawasan orang tua bekerja merupakan tindakan kontrol yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan anak remajanya.


(42)

2. Komponen Pengawasan Orang Tua

Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa ada empat komponen penting dalam pengawasan orang tua. Komponen-komponen pengawasan orang tua tersebut, yaitu usaha aktif orang tua untuk mengawasi, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi, dan pengetahuan orang tua. Lippold (2013) dalam penelitiannya merumuskan komponen pengawasan orang tua hanya dua, yaitu:

a. Pengetahuan Orang Tua

Lippold (2013) mengatakan bahwa usaha aktif orang tua, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi berguna mengatasi masalah perilaku remaja jika ketiga hal tersebut mengarah pada pengetahuan orang tua. Pengetahuan orang tua yang dimaksud di sini adalah pengetahuan orang tua mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak remajanya. Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya.

Usaha aktif orang tua untuk mengawasi remaja ini menjadi tidak berguna ketika orang tua hanya bertanya tetapi tidak mendengarkan jawaban yang diberikan remaja atau juga ketika remaja menghindari pengawasan dari orang tuanya. Usaha aktif orang tua yang tidak meningkatkan pengetahuan orang tua ini akan terkesan melindungi


(43)

remajanya sehingga membuat remaja merasa terkekang atau diawasi. Pengetahuan orang tua yang sebenarnya tidak selalu bertujuan sebagai pengawasan yang bersifat melindungi atau mengekang remaja.

b. Kualitas Hubungan Orang Tua dan Remaja

Darling dan Steinberg (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa kualitas hubungan orang tua dan anak juga mendukung pengaruh tindakan orang tua pada perilaku remaja. Hubungan yang hangat dan mendukung akan membuat orang tua lebih mendengarkan remaja ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai kegiatannya. Hubungan yang hangat dan mendukung ini juga meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya dalam suasana lingkungan yang positif dalam keluarga. Stattin dan Kerr (dalam Bacchini, 2011) juga menyetujui bahwa pengawasan yang efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa terhadap anak.

Pengawasan orang tua tidak hanya berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak, melainkan juga dukungan dari keluarga yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga (Ceballo dalam Bacchini, 2011). Menurut Garbarino (dalam Bacchini, 2011) kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan dukungan keluarga yang membantu remaja untuk mengatasi pengalaman emosi negatif yang mereka dapatkan. Kerr (dalam


(44)

Lippold, 2013) menemukan bahwa hubungan antara keterbukaan dan pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang. Kehangatan dan dukungan keluarga ini juga memberikan kenyamanan untuk bercerita dan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang yang perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini akan membuat remaja berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak diinginkan.

3. Orang Tua Bekerja

Bureau of Labor Statistics (dalam Papalia, 2008) menyebutkan bahwa hampir dua dari tiga keluarga di Amerika Serikat yang memiliki anak usia di bawah 18 tahun merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan. Santrock (2014) juga mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ayah saja yang bekerja di dalam keluarga, tetapi banyak juga para ibu yang ikut bekerja. Fenomena ibu bekerja ini menimbulkan pertanyaan alasan ibu bekerja yang akhirnya dibahas oleh Jones, McGrattan, dan Manuelli (dalam Papalia, 2008). Jones, McGrattan, dan Manuelli (dalam Papalia, 2008) menemukan bahwa alasan wanita juga ikut bekerja adalah meningkatnya biaya hidup; adanya perubahan dalam perceraian, keamanan sosial, peraturan perpajakan; adanya perubahan sikap terhadap peran jender; ketersediaan tabungan pekerja untuk peralatan rumah tangga;


(45)

mengurangi jurang pendapatan antara laki-laki dan wanita; serta keinginan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

a. Pengaruh Orang Tua Bekerja

Kedua orang tua yang sama-sama bekerja memiliki tantangan yang memunculkan keuntungan dan kerugian tersendiri (Papalia, 2008). Dampak positif yang dapat diperoleh jika kedua orang tua bekerja antara lain:

1) Pemasukan dari kedua pihak meningkatkan status ekonomi keluarga.

2) Relasi yang lebih setara antara suami (ayah) dan istri (ibu) 3) Kesehatan yang lebih baik untuk kedua pasangan.

4) Harga diri yang lebih besar bagi keduanya.

5) Relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya. Dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi adalah: 1) Munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga. 2) Kemungkinan adanya rivalitas antar pasangan.

3) Konflik orang tua dan anak yang meningkat akibat tekanan fisik dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja. Ibu yang merasa memiliki beban berlebihan cenderung kurang memperhatikan dan menerima anaknya sehingga seringkali anak menunjukkan masalah perilakunya. Ketika ibu merasa tertekan, akan ada kecenderungan meningkatnya ketegangan antara ayah dan anak.


(46)

4) Orang tua bekerja harus mempertimbangkan mengenai jadwal dan stres kerja sebagai efek dari bekerja (Santrock, 2014). Situasi kerja yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika berada di rumah. Selain itu, situasi ini juga dapat membuat pengasuhan ataupun pengawasan orang tua terhadap anak menjadi kurang efektif.

4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja

Persepsi menurut Huffman, Verno, dan Vernoy (2000) merupakan sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, menginterpretasikan sebuah data atau stimulus yang diterima menjadi sebuah representasi mental yang berguna bagi dunia. Walgito (2010) mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang terintegrasi di dalam individu dimana individu mengorganisasikan, menginterpretasikan stimulus yang diterima melalui indera. Persepsi ini membantu individu menyadari keadaan sekitar maupun keadaan dirinya sendiri. Persepsi ini bersifat individual. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir dan pengalaman individu yang berbeda dengan individu lainnya.

Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja adalah proses seorang remaja untuk memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan tindakan kontrol


(47)

yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan anak remajanya. Tidak hanya orang tua yang memegang peranan penting dalam pengawasan orang tua, melainkan remaja juga memiliki peran penting dalam memilah informasi mana yang akan mereka beritahukan kepada orang tua.

B. Perilaku Seksual

1. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seks, baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis (Sarwono, 2012). Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan aktivitas yang melibatkan tubuh dalam ekspresi erotis atau perasaan kasih sayang, perilaku seksual ini dapat melibatkan repoduksi atau hanya stimulasi sensual. Sarwono (2012) menyebutkan bahwa objek seksual ini tidak hanya orang lain, melainkan dapat juga berupa khayalan atau diri sendiri. Peneliti sendiri menarik kesimpulan bahwa perilaku seksual merupakan kegiatan fisik yang bersifat erotis yang didorong oleh hasrat seksual. Perilaku seksual ini dapat dilakukan dengan pasangan ataupun hanya diri sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat seksual secara jasmaniah.


(48)

2. Bentuk Perilaku Seksual

Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) membagi bentuk perilaku seksual menjadi 2 bagian, yaitu perilaku seksual yang dilakukan oleh diri sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

a. Diri Sendiri 1) Masturbasi

Masturbasi merupakan salah satu ekspresi seksual seseorang yang tidak melibatkan orang lain. Masturbasi ini disebut juga sebagai merangsang seksual diri sendiri (Sexual Self-Stimulation).

Seseorang yang melakukan masturbasi mendapatkan kepuasan seksual dengan menyentuh alat genitalnya, misalnya dengan guling, ataupun dildo.

b. Orang Lain

1) Foreplay

Foreplay merupakan kegiatan-kegiatan seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual sebelum bersenggama.

Foreplay dapat berupa berciuman sampai saling menyentuh alat kelamin. Dalam beberapa budaya, berciuman dan menyentuh alat kelamin ini tidak hanya ditujukan sebagaiforeplay, melainkan juga sebagai sebuah pengalaman atau kegiatan itu sendiri.

2) Kissing

Kissingatau berciuman merupakan salah satu caraforeplaydengan cara menyentuh pasangan dengan menggunakan bibir. Berciuman


(49)

identik dengan dua bibir yang saling bersentuhan. Ciuman dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Simple Kissing

Simple kissingdilakukan dengan mulut tertutup dan menyentuh bibir pasangan menggunakan bibir atau lidah. Simple kissing

ini dapat juga dilakukan dengan menggigit bibir bawah pasangan.

b) Deep Kissing

Deep kissing atau yang sering juga disebut French kiss. Deep kissing / French kiss ini dilakukan dengan mulut terbuka dan lidah masuk ke dalam mulut.

3) Touching

Menyentuh pasangan menggunakan tangan atau anggota tubuh lainnya dapat menaikkan gairah seksual seseorang, misalnya merangsang gairah seksual dengan memegang penis, vagina, atau area lainnya.

4) Stimulation of the Breasts

Merangsang payudara dapat meningkatkan gairah seksual untuk kedua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, kebanyakan laki-laki heteroseksual lebih memilih merangsang payudara wanita daripada payudaranya. Merangsang payudara ini dapat dilakukan menggunakan tangan ataupun mulut dan areanya biasanya payudara dan puting susu.


(50)

5) Oral-Genital Stimulation

Merangsang gairah seksual menggunakan mulut pada laki-laki disebut juga fellatio sedangkan pada perempuan disebut

cunnilingus. Fellatiodilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam mulut lalu melakukan gerakan naik turun, atau pun dengan menjilat penis dan buah zakar.Cunnilingus dilakukan dengan cara mencium atau menjilat vagina.

6) Sexual Intercourse

Sexual Intercourse atau bersenggama adalah kegiatan seksual dimana penis masuk ke dalam vagina.

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual

Sarwono (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor remaja melakukan hubungan seks, yaitu:

a. Meningkatnya Libido Seksualitas

Remaja mengalami perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan libido seksualitas remaja. Dimana hasrat remaja ini perlu disalurkan dalam bentuk perilaku seksual tertentu.

b. Penundaan Usia Perkawinan

Seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, usia perkawinan menjadi tertunda karena adanya norma dan hukum yang berlaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia membuat tuntutan dari orang tua semakin tinggi juga. Orang tua menuntut anaknya untuk mencapai pendidikan yang tinggi, pekerjaan


(51)

yang baik, serta persiapan mental sebelum memasuki perkawinan. Ada juga undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai batasan usia perkawinan adalah yaitu Undang-Undang No. 1/1974 Pasal 7 ayat

1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16

tahun”.

J.T. Fawcett (1973) mengatakan beban (cost) dan hambatan (barriers) juga menjadi faktor tertundanya usia perkawinan dari sisi individunya. Perkawinan menjadi beban bagi individu karena hilangnya kebebasan dan mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban dan usaha, serta bertambahnya bebas ekonomi. Sedangkan yang dianggap hambatan adalah kebiasaan dan norma yang menyulitkan perkawinan, adanya piilihan lain selain menikah, hukum yang dianggap mempersulit perkawinan maupun perceraian, adanya keserbabolehan seksual, serta undang-undang yang membatasi usia minimum perkawinan.

c. Tabu atau Larangan

Seksualitas masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, dimana norma agama masih melarang seseorang melakukan hubungan seks pra nikah. Psikoanalisis melihat seksualitas dianggap tabu karena seks

merupakan dorongan yang bersumber dari “id”. Dorongan-dorongan


(52)

sehingga dorongan ini harus ditekan dan tidak boleh dimunculkan ke orang lain dengan tingkah laku terbuka.

d. Kurangnya Informasi tentang Seks

Seksualitas yang masih dianggap tabu ini juga berpengaruh pada sulitnya remaja atau bahkan orang tua untuk berdiskusi mengenai seksualitas. Remaja yang tidak mendapatkan penjelasan mengenai seksualitas dari orang tua maupun tenaga pendidik membuat remaja mencari informasi melalui media massa lain. Media massa ini dipilih karena mudahnya akses untuk mencari informasi, walaupun belum tentu informasi tersebut benar.

e. Pergaulan Semakin Bebas

Pada tahun 1987 pergaulan remaja antar jenis kelamin di Jakarta menunjukkan bahwa remaja dalam berpacaran selain berpegangan tangan dengan pacarnya, mereka juga berciuman, meraba payudara, memegang alat kelamin, serta berhubungan seks. Rex Forehand (dalam Sarwono, 2012) mengatakan bahwa pengawasan dari orang tua dibutuhkan agar dapat memantau pergaulan anak.

4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual

Berk (2012) mengatakan aktivitas seksual remaja seringkali dikaitkan dengan beberapa hal di bawah ini, yaitu:

a. Pengaruh perkembangan diri

Pengaruh perkembangan dari diri ini meliputi kontrol pribadi yang lemah dan pubertas dini.


(53)

b. Pengaruh keluarga

Kondisi keluarga yang mempengaruhi aktivitas seksual remaja meliputi perceraian keluarga, keluarga dengan orang tua tunggal, tinggal dengan keluarga besar, keterlibatan dalam aktivitas keagamaan, pengawasan lemah dari orang tua, hubungan komunikasi anak– orang tua yang buruk dan saudara yang aktif secara seksual.

c. Teman sebaya

Teman sebaya yang juga aktif secara seksual dapat memicu remaja untuk semakin melakukan aktivitas seksualnya.

d. Pendidikan

Prestasi buruk di sekolah dan kecenderungan untuk melakukan tindakan yang melanggar norma.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja merupakan periode transisi masa perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan-perubahan-perubahan yang dialami ini mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak dan kemandirian (Santrock, 2007).

World Health Organization atau WHO (dalam Sarwono, 2012) mengemukakan remaja adalah suatu masa dimana:


(54)

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola indentifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980: 9) WHO menetapkan batas usia remaja adalah 10–20 tahun, dimana usia 10-14 tahun merupakan remaja awal dan usia 15-20 tahun remaja akhir. Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (Sarwono, 2012). Sarwono sendiri mengatakan bahwa batasan usia remaja Indonesia adalah usia 11-24 tahun dan belum menikah. Hurlock (1955) menuliskan bahwa usia remaja dimulai dari usia 13 atau 14 tahun hingga 18 tahun. Papalia (2008) rentang usia yang lebih luas dari Hurlock, yaitu dimulai dari 11 atau 12 tahun hingga sekitar 20 tahun. Steinberg (2002) dan Santrock (2007) juga memiliki batasan usia yang hampir serupa dengan Papalia. Santrock (2007) menuliskan bahwa batasan usia remaja dimulai dari usia 10 tahun hingga 21 tahun, dimana pembagiannya adalah 10 –13 tahun termasuk remaja awal; 14 - 17 tahun adalah remaja pertengahan; dan 18 - 21 tahun termasuk remaja akhir. Steinberg (2002) juga memiliki pembagian usia remaja yang hampir sama dengan Santrock yaitu remaja awal 10 –13 tahun; remaja pertengahan 14


(55)

Berdasarkan teori-teori di atas, peneliti merumuskan remaja sebagai sebuah proses peralihan dan berkembangnya individu yang terkait dengan kondisi biologis, kognitif, psikologis, serta sosio ekonomi menjadi lebih mandiri. Peneliti juga mengambil batasan usia remaja rata-rata yang dikemukakan para ahli yaitu usia 11 tahun hingga 21 tahun dan belum menikah.

2. Aspek Remaja

Berk (2012) mengatakan bahwa ada beberapa aspek dalam perkembangan remaja yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

Meningkatnya hormon pertumbuhan dan hormon seks pada remaja membuat pertumbuhan badan remaja menjadi cukup pesat. Pertumbuhan fisik remaja ini berkaitan dengan pertumbuhan tubuh secara keseluruhan dan kematangan ciri seksual remaja. Pada remaja laki-laki, pertumbuhan tubuhnya meliputi pertumbuhan otot, ukuran tubuh, serta pembesaran dada sementara, sedangkan ciri seksualnya meliputi penis dan testis yang membesar, perubahan suara, pertumbuhan bulu ketiak, rambut wajah dan tubuh, serta mengalami keluarnya sperma untuk pertama kalinya yang disebutspermacheatau mimpi basah. Pada remaja perempuan, pertumbuhan fisik ini terlihat dengan menumpuknya lemak pada tubuh remaja dan mulai terbentuknya bentuk tubuh yang feminin. Ciri seksual pada remaja perempuan yang berkembang adalah pertumbuhan payudara, rambut


(56)

kelamin, bulu ketiak, berkembangnya payudara, rahim dan vagina menjadi matang, serta mengalami menstruasi (menarche) untuk pertama kalinya. Perubahan fisik pada remaja ini dapat menjadi pemicu ketertarikan antar lawan jenis.

Perkembangan fisik pada remaja ini dipengaruhi oleh status ekonomi sosial remaja, dimana remaja yang tinggal di lingkungan berkecukupan akan mengalami pubertas lebih awal. Perkembangan fisik remaja juga dipengaruhi oleh asupan gizi yang didapatkan remaja, keadaan konflik di keluarga, maupun berat badan yang dimiliki remaja, apakah remaja tersebut mengalami obesitas atau rajin berolahraga.

b. Perkembangan Kognitif

Piaget (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa remaja mulai memasuki tahap operasional formal, dimana remaja mulai berpikir abstrak, sistematis dan ilmiah. Perkembangan kognitif dimasa remaja menjadikan remaja mampu melakukan penalaran hipotetis deduktif, dimana remaja mencari kemungkinan-kemungkinan atau hipotesis dan mampu menarik kesimpulan dari masalah-masalah yang ditemuinya. Remaja juga memiliki kemampuan pemikiran proposisional, dimana remaja mampu mengevaluasi logika proposisi atau pernyataan verbal tanpa mengacu pada kenyataan.

Kemampuan remaja untuk merefleksikan pemikiran mereka sendiri, ditambah dengan perkembangan fisik dan psikologis, diyakini


(57)

Piaget menjadikan remaja lebih memikirkan diri mereka sendiri. Egosentrisme remaja ini memunculkan citra yang keliru dari remaja tentang hubungan antara diri dan orang lain. Elkind dan Bowen (dalam Berk, 2012) menyatakan distorsi kognitif yang pertama adalah

Imaginary Audience dimana remaja meyakini bahwa dirinya menjadi fokus perhatian orang lain dan semua orang memantaunya. Hal ini membuat remaja memperhatikan secara detail mengenai penampilan dirinya dan menjadi sensitif terhadap kritik publik. Distorsi kognitif yang kedua adalah Personal Fabel dimana remaja merasa dirinya penting dan istimewa karena remaja merasa diperhatikan oleh orang lain. Merasa dirinya menjadi orang yang penting dan istimewa ini membuat remaja menganggap dirinya berkuasa.

Perasaan berkuasa ini memprediksikan penghargaan diri dan penyesuaian diri yang positif pada remaja. Merasa mampu dan merasa dirinya penting ini dapat membantu remaja menghadapi tantangan yang dihadapinya. Akan tetapi, perasaan remaja akan keunikan dirinya dapat berhubungan dengan perasaan depresi dan pikiran untuk bunuh diri, serta dapat menghambat terbentuknya hubungan akrab dan dukungan sosial. Merasa diri unik ini jika bertemu dengan kepribadian yang senang mencari sensasi akan membuat remaja semakin merasa dirinya istimewa dan kebal terhadap perilaku berisiko pada remaja. Remaja yang merasa diri unik dan senang mencari sensasi, menjadikan remaja cenderung lebih berani melakukan perilaku seksual berisiko,


(58)

lebih sering mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, serta melakukan tindakan yang lebih nakal dari teman-temannya (Grenee, dalam Berk, 2012).

c. Perkembangan Sosial

Erikson (dalam Berk, 2012) menyatakan bahwa identitas merupakan salah satu langkah penting remaja menuju sosok dewasa yang produktif dan berguna. Identitas ini merupakan pendefinisian mengenai dirinya sendiri. Remaja mengalami krisis identitas dalam proses pencarian identitasnya yaitu remaja mencoba banyak alternatif sebelum menetapkan nilai dan tujuan hidupnya. Setelah remaja menetapkan nilai dan tujuan hidupnya, identitasnya ini akan terus disempurnakan di masa dewasa saat orang menilai komitmen dan pilihannya dahulu. Erikson mengatakan konflik psikologis di masa remaja sebagai konflik identitas versus kegamangan peran. Konflik ini terjadi bila masyarakat membatasi remaja pada pilihan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan kemauan remaja.

Remaja mengalami perubahan konsep diri dalam memahami dirinya sendiri. Perubahan kognitif remaja membuat remaja mampu menggabungkan watak-watak yang mereka bangun ke dalam satu sistem yang rapi. Remaja kebanyakan lebih menekankan pada kebajikan sosial karena sifat-sifat ini mencerminkan kepedulian remaja terhadap hal-hal yang dinilai positif oleh orang lain. Perubahan pada


(59)

remaja tidak hanya terjadi pada perubahan konsep diri melainkan juga perubahan dalam penghargaan diri remaja.

Harga diri pada remaja akan meningkat jika remaja mampu menyesuaikan dirinya dengan baik. Remaja yang memiliki harga diri yang positif atau meningkat membuat remaja menjadi seorang yang optimis, memiliki kendali atas masa depan, percaya diri dan mampu mengatasi masalah hidup. Remaja yang memiliki harga diri positif juga menjadi lebih matang, merasa mampu, rupawan, dan lebih menarik dibanding dulu. Hal-hal ini yang membuat remaja mudah bergaul dan senang menjalin hubungan dengan teman sebaya. Remaja yang memiliki penghargaan diri rendah di bidang akademik akan cenderung cemas dan tidak fokus, serta hubungan remaja dengan teman sebaya yang negatif menjadikan remaja berpeluang memiliki kecemasan dan depresif. Sikap antisosial dan agresif pada remaja ini juga dapat disebabkan oleh ketidakpuasan remaja pada hubungannya dengan orang tua.

Identitas remaja ini dipengaruhi oleh teman sebaya, aktivitas sekolah dan komunitas, budaya dan sosial, serta rasa aman dari keluarga. Remaja yang merasa terikat pada orang tua tetapi juga bebas menyuarakan pendapat membuat mereka mampu mencapai identitas. Remaja yang tertutup memiliki ikatan erat dengan orang tua tetapi kurang memiliki kesempatan untuk berpisah baik-baik dengan orang tua. Reis (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa remaja terdifusi


(60)

melaporkan kurangnya dukungan dari orang tua serta kurangnya komunikasi yang hangat dan terbuka.

d. Perkembangan Moral

Kohlberg (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa dilema yang banyak ditemui adalah dilema untuk menaati nilai hukum dan dilema nilai hidup manusia. Kohlberg menekankan bahwa penentu kematangan moral adalah bagaimana individu bernalar bukan kandungan responnya. Kohlberg membagi menjadi tiga tingkat pemahaman moral, yaitu tingkat prakonvensional dimana ada dua tahap lagi, yaitu tahap orientasi hukuman dan ketaatan serta tahap orientasi tujuan instrumental. Tingkat kedua yaitu tingkat konvensional

yang dibagi menjadi tahap orientasi “anak baik” atau moralitas kerja sama antarpersonal dan tahap orientasi untuk memelihara tatanan sosial. Tingkat ketiga adalah tingkat pascakonvensional yang dibagi menjadi tahap orientasi kontrak sosial dan tahap orientasi pada prinsip etika universal. Pada masa remaja, tahap moralitas kerja sama antarpersonal dan tahap orientasi untuk memelihara tatanan sosial semakin meningkat. Menurut Kohlberg, remaja yang memiliki kematangan moral akan menyadari bahwa bersikap menurut keyakinan mereka sangat penting dalam menciptakan dan memelihara tatanan dunia sosial yang adil. Remaja yang tingkat kematangan moralnya lebih tinggi akan melakukan tindakan-tindakan prososial dan jarang sekali melakukan perilaku-perilaku antisosial.


(61)

D. Dinamika Hubungan Pengawasan Orang Tua Bekerja dan Perilaku Seksual Remaja

Erikson mendefinisikan remaja sebagai salah satu langkah penting remaja menuju sosok dewasa dan menemukan definisi mengenai dirinya sendiri (Berk, 2012). Remaja mengalami krisis identitas dimana remaja mencoba banyak alternatif sebelum menetapkan nilai dan tujuan hidupnya. Erikson menyebutkan konflik psikologis di masa remaja ini sebagai konflik identitas versus kegamangan peran. Konflik antara identitas dan kegamangan peran ini terjadi bila masyarakat membatasi remaja pada pilihan yang tidak sejalan dengan kemampuan dan kemauan remaja. Keinginan yang tidak sesuai antara keinginan masyarakat dan remaja ini membuat remaja bingung akan identitas diri dan perannya dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi pada masa remaja ini tidak hanya berkaitan akan perubahan konsep dirinya melainkan juga pada harga diri remaja.

Keluarga sebagai lingkungan pertama tempat remaja hidup memiliki tugas untuk membimbing anak remaja dalam mencapai nilai-nilai yang akan dianut oleh remaja di kemudian hari. Secara jelas Reiss (dalam Lestari, 2012) mengatakan bahwa keluarga merupakan kelompok kecil yang termasuk dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi berikutnya. Akan tetapi, seiring perjalanan waktu keluarga yang tinggal di kota besar mulai meninggalkan tugasnya untuk membimbing remajanya. Hal ini dikarenakan biaya hidup yang tinggi membuat kedua orang tua harus bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga (Papalia, 2008).


(62)

Pemasukan dari kedua orang tua ini dapat meningkatkan status ekonomi keluarga, dimana ibu bekerja membantu memberikan kekuatan ekonomi yang lebih bagi keluarga. Dampak-dampak positif lainnya yaitu penyetaraan relasi antara ayah dan ibu; tingkat kesehatan yang baik bagi ayah dan ibu; peningkatan harga diri bagi ayah dan ibu; serta relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya. Selain dampak positif, ada juga dampak yang buruk bagi keluarga jika kedua orang tua bekerja. Dampak buruk ini antara lain kemungkinan munculnya rivalitas antara ayah dan ibu; munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga; konflik antara orang tua dan anak yang meningkat dikarenakan tekanan fisik dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja; serta jadwal bekerja yang padat dan stres kerja sebagai efek dari kedua orang tua bekerja. Situasi kerja yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika berada di rumah (Santrock, 2014). Situasi tegang yang terjadi di rumah akibat kelelahan dan stres kerja orang tua ini dapat membuat pengasuhan atau pengawasan orang tua terhadap anak menjadi kurang efektif. Pengasuhan ini sendiri merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua. Bentuk-bentuk perilaku pengasuhan orang tua anak adalah kontrol dan pemantauan; dukungan dan keterlibatan; komunikasi; kedekatan; dan pendisiplinan.

Stattin dan Kerr (dalam Bacchini, 2011) menyetujui bahwa pengawasan atau kontrol yang efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa terhadap anak. Pengawasan orang tua yang dimaksud mencakup kualitas


(63)

hubungan orang tua dan anak serta pengetahuan orang tua akan kegiatan anaknya. Pengawasan orang tua ini tidak hanya berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak melainkan juga dukungan dari keluarga yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga (Bacchini, 2011). Kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan dukungan keluarga. Kehangatan dan dukungan keluarga ini dibutuhkan untuk menjalin keterbukaan dan rasa nyaman untuk bercerita antara orang tua dan anak sehingga dapat meningkatkan pengetahuan orang tua akan kegiatan remajanya. Kerr mengatakan bahwa hubungan antara keterbukaan dan pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang (Lippold, 2013). Kehangatan dan dukungan keluarga juga membuat orang tua lebih mendengarkan remaja ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai kegiatannya. Orang tua yang mau mendengarkan remajanya bercerita akan meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya dalam suasan lingkungan yang positif dalam keluarga.

Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya. Kehangatan dan dukungan yang didapatkan dari keluarga dapat membantu remaja untuk mengatasi pengalaman emosi negatif yang mereka dapatkan dan juga memberikan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang yang menaruh perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini


(64)

membuat remaja akan berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak diinginkan (Lippold, 2013). Berk (2012) juga menyebutkan bahwa kontrol diri yang kuat serta kualitas hubungan orang tua dan anak yang baik dapat menjadi salah satu faktor yang menekan angka remaja yang aktif secara seksual.

Keluarga yang memiliki hubungan yang tegang, tidak adanya dukungan, tidak adanya rasa nyaman bercerita dan tidak adanya keterbukaan membuat kualitas hubungan orang tua dan anak buruk serta pengetahuan orang tua yang rendah akan kegiatan anaknya. Reiss (dalam Berk, 2012) mengatakan remaja yang kurang mendapatkan dukungan dari orang tua serta kurangnya komunikasi yang hangat dan terbuka cenderung menjadikan remaja menjadi sosok yang tertutup. Hal ini juga dapat membuat remaja merasa pengalaman yang didapatkannya tidak dimengerti oleh orang lain dan merasa tidak diperhatikan. Hal ini dapat menjadikan remaja memiliki sikap antisosial, agresif dan perilaku-perilaku tidak diinginkan lainnya agar mendapat perhatian dari orang tua.

Perasaan tidak dimengerti oleh orang lain ini juga membuat remaja merasa dirinya unik dan berbeda dari orang lain. Perasaan bahwa dirinya unik dan istimewa ini disebut Piaget sebagai distorsi kognitif fabel pribadi. Fabel pribadi atau merasa dirinya unik ini jika bertemu dengan kepribadian yang senang mencari sensasi, akan membuat remaja semakin merasa dirinya istimewa dan kebal terhadap perilaku berisiko remaja. Remaja yang merasa diri unik dan senang mencari sensasi, menjadikan remaja cenderung lebih


(65)

berani melakukan perilaku seksual berisiko, lebih sering mengkonsusmsi obat-obatan dan alkohol, serta melakukan tindakan yang lebih nakal dari


(66)

Pengawasan

Orang Tua

Pengawasan

Orang Tua

Tinggi

Hubungan Orang Tua - Anak Baik

Pengetahuan Orang Tua Tinggi

hangat dan mendukung Kenyamanan bercerita Keterbukaan berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak diinginkan. Perilaku tersebut seperti sikap anti sosial, agresif, konsumsi obat terlarang dan alkohol serta perilaku seksual berisiko.

Perilaku

Seksual

Rendah

Pengawasan

Orang Tua

Rendah

Kualitas Hubungan Orang Tua - Anak Buruk

Pengetahuan Orang Tua Rendah Hubungan tegang dan tidak mendukung Tidak nyaman bercerita Kurang terbuka Remajamenutup diri,merasa tidak ada yang

memperhatikandan

tidak ada yang mengerti. Hal ini membuat remaja cenderung melakukan perilaku yang tidak diinginkan agar diperhatikan. Perilaku tersebut seperti sikap anti sosial, agresif, konsumsi obat terlarang dan alkohol serta perilaku seksual berisiko.

Perilaku

Seksual


(67)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori di atas, hipotesis peneliti adalah terdapat hubungan negatif antara persepsi pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja. Semakin tinggi persepsi pengawasan orang tua maka semakin rendah perilaku seksual remaja. Semakin rendah persepsi pengawasan orang tua maka semakin tinggi pula perilaku seksual remaja.


(68)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja. Pendekatan kuantitatif menekankan analisis pada data numerikal yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2012). Studi korelasional mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain (Noor, 2011). Paling tidak terdapat dua variabel yang harus diukur sehingga dapat diketahui hubungannya. Variabel yang akan diukur dalam penelitian ini adalah persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja dan perilaku seksual remaja.

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: Variabel Tergantung : Perilaku Seksual Remaja

Variabel Bebas : Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orangtua Bekerja


(69)

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah konsep/variabel agar dapat diukur, dengan cara melihat pada dimensi (indikator) dari suatu konsep/variabel (Noor, 2011). Dimensi (indikator) dapat berupa perilaku, aspek, atau sifat/karakteristik. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Persepsi Remaja Pengawasan Orang tua Bekerja

Persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja adalah penilaian subjek mengenai tindakan kontrol yang dilakukan orang tua bekerja untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan subjek. Tindakan kontrol orang tua ini melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik. Persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja ini dilihat melalui skala dengan komponen pengawasan orang tua menurut Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013). Komponen pengawasan orang tua tersebut adalah pengetahuan orang tua dan kualitas hubungan orang tua dan anak.

Pengawasan orang tua yang didapatkan subjek dapat dilihat dari hasil skor skala persepsi remaja terhadap pengawasan orang tua bekerja. Subjek yang mendapat skor rendah menunjukkan bahwa subjek kurang mendapatkan pengawasan dari orang tua bekerja. Subjek dengan skor tinggi menunjukkan bahwa subjek mendapatkan pengawasan dari orangtua bekerja.


(70)

2. Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan laporan subjek mengenai kegiatan fisik yang bersifat erotis yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh subjek. Perilaku seksual ini dapat dilakukan subjek bersama pasangan ataupun hanya dirinya sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat seksual secara jasmaniah. Macam-macam perilaku seksual remaja dengan pasangan maupun dirinya sendiri diambil dari teori yang dikemukakan oleh Rathus, Nevid, dan Rathus (2007). Perilaku-perilaku seksual tersebut adalah masturbasi, simple kissing, deep kissing, touching, breast stimulation, oral-genital stimulation, dan sexual intercourse atau bersenggama.

Tinggi rendahnya perilaku seksual subjek dapat dilihat dari hasil skor pada skala perilaku seksual remaja. Skor yang tinggi pada skala perilaku seksual ini menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja tergolong tinggi. Skor rendah pada skala perilaku seksual menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja tergolong rendah.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah remaja usia 11 - 21 tahun yang belum menikah dan memiliki kedua orang tua bekerja di Kota Batam. Remaja yang dijadikan subjek penelitian dalam penelitian ini merupakan remaja yang pernah maupun belum pernah berpacaran. Peneliti juga meneliti subjek yang belum berpasangan dikarenakan perilaku-perilaku seksual


(71)

yang diteliti tidak hanya perilaku seksual bersama pasangan melainkan juga perilaku seksual dengan diri sendiri. Peneliti melakukan penelitian di kota Batam dikarenakan Batam merupakan salah satu dari empat kota yang dinyatakan sebagai kota tujuan wisata seksual oleh wisatawan asing di Indonesia. Tingginya angka HIV/AIDS serta ditemukannya remaja yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) juga menjadi alasan peneliti dalam menentukan subjek penelitian.

E. Metode Pengambilan Sampel

Peneliti menggunakan teknik purposive sampling pada penelitian ini. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel (Noor, 2011). Pertimbangan khusus tersebut ditentukan peneliti sesuai dengan kriteria subjek dalam penelitian ini. Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Remaja yang berusia 11–21 tahun dan belum menikah 2. Remaja dengan kedua orang tua bekerja

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala. Skala merupakan alat ukur psikologis yang disusun dari stimulus pertanyaan atau pernyataan untuk mengungkap atribut – atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan atau pernyataan yang diberikan


(1)

1. Realibilitas Skala Perilaku Seksual Remaja Sebelum Seleksi Aitem

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 50 100.0

Excludeda 0 .0

Total 50 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.967 14

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

Aitem_1 18.1200 73.944 .746 .965

Aitem_2 17.9600 68.366 .946 .961

Aitem_3 17.9400 69.445 .920 .962

Aitem_4 18.1600 71.525 .860 .963

Aitem_5 18.0400 68.774 .918 .962

Aitem_6 18.4800 83.602 .213 .972

Aitem_7 18.2800 75.349 .790 .965

Aitem_8 17.9400 68.833 .915 .962

Aitem_9 18.2800 75.879 .738 .966

Aitem_10 18.2000 73.959 .881 .963

Aitem_11 17.9400 72.384 .779 .965

Aitem_12 18.2800 75.349 .790 .965

Aitem_13 17.9400 72.098 .800 .964


(2)

125

2. Realibilitas Skala Perilaku Seksual Setelah Seleksi Aitem

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 50 100.0

Excludeda 0 .0

Total 50 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.972 13

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

Aitem_1 17.1000 73.439 .744 .971

Aitem_2 16.9400 67.853 .946 .967

Aitem_3 16.9200 68.932 .919 .968

Aitem_4 17.1400 71.021 .858 .969

Aitem_5 17.0200 68.265 .917 .968

Aitem_7 17.2600 74.768 .794 .971

Aitem_8 16.9200 68.320 .914 .968

Aitem_9 17.2600 75.298 .741 .972

Aitem_10 17.1800 73.416 .881 .969

Aitem_11 16.9200 71.871 .777 .971

Aitem_12 17.2600 74.768 .794 .971

Aitem_13 16.9200 71.585 .799 .970

Aitem_14 16.9200 68.687 .912 .968


(3)

Lampiran 5

Uji Asumsi:

Uji Normalitas dan

Uji Linearitas


(4)

127

1. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Total_PO Total_PS

N 253 253

Normal Parametersa Mean 75.95 28.87

Std. Deviation 9.426 7.003

Most Extreme Differences Absolute .057 .290

Positive .034 .285

Negative -.057 -.290

Kolmogorov-Smirnov Z .900 4.614

Asymp. Sig. (2-tailed) .393 .000

a. Test distribution is Normal.

2. Uji Linearitas

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Total_PS *

Total_PO

Between Groups

(Combined) 2497.120 45 55.492 1.165 .238

Linearity 371.366 1 371.366 7.794 .006

Deviation

from Linearity 2125.754 44 48.313 1.014 .456

Within Groups 9862.833 207 47.647

Total 12359.953 252


(5)

Lampiran 6


(6)

129

Correlations

Total_PO Total_PS Spearman's rho Total_PO Correlation Coefficient 1.000 -.238**

Sig. (1-tailed) . .000

N 253 253

Total_PS Correlation Coefficient -.238** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 253 253

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).