Persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak.

(1)

i

PERSEPSI ORANG TUA DAN GURU MENGENAI

PERILAKU SEKSUAL ANAK

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Arafiani Difka Putri

NIM: 089114102

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

Motto

“ Tidak ada impian yang tidak realistis, yang ada hanyalah kinerja yang tidak realistis” (Marwan Andy Kusumo Wibowo, S.Sos)


(5)

v

PERSEMBAHAN

Semua hasil kerja keras ini saya persembahkan untuk: Tuhan Yang Maha Esa

Marwan Andy Kusumo Wibowo, S.Sos tercinta Para dosenku

Teman-temanku tersayang

Dan seluruh pihak yang sudah mendorong saya untuk bisa menyelesaikan skripsi ini


(6)

(7)

vii

PERSEPSI ORANG TUA DAN GURU MENGENAI PERILAKU SEKSUAL ANAK

Arafiani Difka Putri

ABSTRAK

Orang tua dan guru sering merasa cemas terhadap perilaku seksual anak mereka, apakah perilaku tertentu adalah normal atau tidak. Sayangnya, informasi ilmiah tentang perilaku seksual anak dalam budaya Asia dirasa masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi awal terhadap perilaku seksual anak berdasarkan perspektif orang tua dan guru. Dengan menggunakan pendekatan adat, kuesioner terbuka dipakai untuk melihat perilaku seksual anak dari perspektif orang tua dan guru. Dua ratus tujuh belas orang tua dan guru menjawab kuesioner secara pribadi. Jawaban dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu perilaku seksual anak (misalnya bertanya tentang seksualitas, perilaku voyeuristik, minat pada seks lainnya, menyentuh yang lain alat kelamin, dll) (83,1%), pengetahuan tentang seksualitas (misalnya mengerti tentang identitas gender, mengerti tentang orang lain seks secara fisik menarik, dll) (5% ), perilaku yang berkaitan dengan seksualitas (2,9%), emosi yang berkaitan dengan seksualitas (2,4%), perilaku non-seksual (1,4%), konsekuensi dari perilaku seksual (0,4%), respon terhadap perilaku seksual (0,1%), dan lainnya (2,9%). Temuan ini memberikan informasi empiris tentang perilaku seksual anak berdasarkan perspektif orangtu dan guru di Indonesia. Hal ini dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang perilaku seksual anak dan latar belakang budaya, yang pada gilirannya dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana konteks budaya mempengaruhi persepsi tentang perilaku seksual anak.


(8)

viii

INDONESIAN PARENT AND TEACHER PERSPECTIVE ON CHILD SEXUAL BEHAVIOR

Arafiani Difka Putri

ABSTRACT

Frequently parents are anxious on their child sexual behavior, whether a certain behavior is normal or not. Unfortunately, there is lack of scientific information on child sexual behavior in Asian culture. This study aims at giving early information on child sexual behavior based on the perspective of parent and teacher. Using an indigenous approach, an open ended

questionnaire was employed to tap child sexual behavior from parent and teacher’s

perspective. Two hundred and seventeen parents and teachers answered the questionnaire privately. Answers could be categorized into some groups e.i. child sexual behavior (e.g.

asking about sexuality, voyeuristic behavior, interest in other sex, touching other’s genitalia,

etc) (83.1%), knowledge on sexuality (e.g. understood about gender identity, understood about

others sex’s physical appealing, etc) (5%), behavior related to sexuality (2.9%), emotion related to sexuality (2.4%), non-sexual behavior (1.4%), consequence of sexual behavior (0.4%), response to sexual behavior (0.1%), and others (2.9%). This finding gives an empirical information on child sexual behavior based on Indonesian parent and teacher perspective. It can provide a more complete picture of child sexual behavior and its cultural background, which in turn could give a better understanding on how the cultural context affects perceptions about child sexual behavior.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “PERSEPSI ORANG TUA DAN GURU MENGENAI PERILAKU SEKSUAL ANAK” dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik melalui bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan berkahnya melalui segala kesulitan dan bantuan yang diberikan-Nya. 2. Ibu Dekan Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing akademik.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, nasihat dan dorongan kepada penulis.

5. Dosen penguji atas kritik, saran, dan bimbingannya yang mendorong penulis untuk melakukan yang terbaik.


(11)

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ix

KATA PENGANTAR... x

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... ... 1

B. Rumusan Masalah... ... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 4

1. Manfaat Teoritis... 4


(13)

xiii

BAB II LANDASAN TEORI... 6

A. Persepsi ... 6

1. Definisi Persepsi... 6

2. Proses Persepsi... 7

3. Persepsi dan Budaya... 8

B. Orang Tua dan Guru... 10

1. Orang Tua... 10

2. Guru... 11

C. Anak... 12

1. Pengertian Anak... 12

2. Perkembangan Seksual Anak... 13

D. Perilaku Seksual Anak... 14

1. Seksualitas dan Nilai-Nilai... 14

2. Perilaku Seksual... 15

3. Perilaku Seksual Anak... 17

4. Jenis-jenis Perilaku Seksual Anak... 18

E. Persepsi Masyarakat Indonesia mengenai Seksualitas... 20

1. Sexual Knowledge... 21


(14)

xiv

3. Homosexuality and Bisexuality... 22

F. Persepsi Orang Tua dan Guru di Indonesia mengenai Perilaku Seksual Anak... 23

BAB III METODE PENELITIAN... 25

A. Metode Penelitian... 25

B. Jenis Penelitian...25

C. Fokus Penelitian... 25

D. Desain Penelitian... 26

1. Karakteristik Subjek... 26

2. Teknik Sampling... 26

3. Instrumen Penelitian... 26

4. Prosedur Pengambilan Data... 27

5. Analisis Data... 27

6. Kredibilitas... 28

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 29

A. Pelaksanaan Penelitian... 29

1. Persiapan Penelitian... 29

2. Pelaksanaan Penelitian... 30

B. Hasil Penelitian ... 32


(15)

xv

BAB V PENUTUP... 60

A. Kesimpulan... 60

B. Saran Penelitian... 61

DAFTAR PUSTAKA... 62


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis-jenis Perilaku Seksual Anak... 20

Tabel 2. Tema Open Coding...... 32

Tabel 3. Perilaku Seksual Anak Tanpa Pasangan (Solitary)... 40

Tabel 4. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Orang Dekat (Partner – Close People)... 43

Tabel 5. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Romantis (Partner Romantic Partner)... 45

Tabel 6. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Orang Asing (Partner – Strange People)... 47

Tabel 7. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Hewan (Partner – Animal)... 48

Tabel 8. Perilaku Anak terkait Seksualitas... 48

Tabel 9. Perilaku Non-Seksual... 50

Tabel 10. Pemahaman Anak terkait Seksualitas... 51

Tabel 11. Emosi Anak terkait Seksualitas... 51

Tabel 12. Reaksi terhadap Stimulus Seksual... 53


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Angket Terbuka ... 67 Lampiran 2. Data Perilaku Seksual Anak... 79


(18)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Orang tua dan guru merupakan pihak-pihak yang paling sering bersentuhan dengan anak. Mereka memiliki peran yang penting di dalam kehidupan anak. Kehangatan, keterbukaan dan penerimaan orang tua berpengaruh terhadap pembentukan perilaku dan karakteristik anak (Taris &Semin, 1998). Pada awal kehidupannya, perilaku anak terbentuk dari penerimaan serta modeling dari orang-orang terdekat (Santrock, 1995).

Keduanya merupakan pihak-pihak yang dapat menghabiskan waktu dengan anak lebih banyak dari pihak lainnya. Orang tua dapat menghabiskan waktu lebih dari 12 jam bersama anak, sedangkan guru dapat menghabiskan waktu hingga 8 jam sehari (Larsson, 2001). Oleh sebab itu, mereka menjadi pihak-pihak yang paling mudah mengobservasi perilaku anak (Kaeser, 2000).

Para orang tua dan guru seringkali mengeluhkan tatkala anak menunjukkan perilaku tertentu terkait seksualitas. Tidak jarang mereka juga memberikan hukuman terhadap anak karena merasa anak telah berperilaku yang tidak pantas.


(19)

“Anak lelaki saya (7) baru masuk SD tahun ini. Yang jadi masalah, saya pernah memergokinya sedang memegang-megang alat kelaminnya dan sepertinya dia menikmati hal itu. Saya kaget dan sempat memarahinya agar dia tidak melakukan hal itu lagi. Tapi saya jadi khawatir, kalau saya marahi, dia akan diam-diam melakukan hal itu lagi tanpa sepengetahuan saya” (Tabloid Nova, 21 November 2009)

Respon tersebut dapat muncul sebagai akibat dari adanya persepsi tertentu yang dimiliki orang tua dan guru mengenai seksualitas anak-anak. Orang tua dan guru menganggap bahwa anak-anak tidak seharusnya memiliki perhatian terhadap seksualitas. Oleh karena itu mereka seringkali menganggap sentuhan-sentuhan anak pada alat kelamin adalah hal yang tidak tepat (Kellog, 2004). Respon yang seringkali muncul adalah memarahi anak, menyuruh mereka untuk tidak melakukannya lagi, malu, atau melabeli anak sebagai “anak mesum”, atau “bermasalah”.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Postman, Bruner dan McGinnies, nilai-nilai yang dianut oleh seseorang dapat mempengaruhi persepi yang terbentuk (Vernon, 1962). Suatu kondisi dapat terlihat dan direspon berbeda oleh orang dengan nilai estetika, agama, sosial dan ketertarikan filosofis yang berbeda. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia dengan budaya, nilai kepercayaan dan nilai sosial tertentu mengenai seksualitas dapat berpengaruh terhadap persepsi mereka mengeai perilaku seksual anak.

Seksualitas adalah salah satu aspek normal dalam perkembangan anak. Seksualitas anak berkembang seiring dengan berkembanganya fisik serta kognitif anak. Anak mulai bmemiliki rasa ingin tahu mengenai tubuh


(20)

orang lain (Rathus, Nevid & Rathus, 2008). Selain itu, masa kanak-kanak adalah masanya bermain dan mengeksplorasi. Anak menjadi sangat penasaran kepada segala hal, termasuk tubuhnya dan tubuh orang lain (Trowell dalam Sandnabba, Mallin Wannos & Krook, 2003). Pada masa awal anak-anak, seorang anak juga mulai membangun identitas kelaminnya (Santrock, 1995).

Menurut Thigpen, Pinkston dan Mayefsky dalam Thingpen (2009) respon masyarakat mengenai perilaku seksual anak yang tidak tepat seperti pelabelan (mislabelling) kepada anak. Pada akhirnya dapat mengakibatkan kesalahan tritmen atau dalam jangka panjang, membuat anak mengalami tekanan sosial tertentu akibat label sex offender yang telah menempel pada dirinya. Oleh karena itu mereka tidak akan bereaksi berlebihan pada perilaku yang sebenarnya normal. Atau sebaliknya, bertindak permisif pada perilaku yang mengindikasikan adanya penyimpangan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu diadakan penelitian terkait persepsi orang tua dan guru terhadap perilaku seksual anak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pandangan orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak.

Subjek pada penelitian ini adalah para orang tua yang memiliki anak usia 4 hingga 12 tahun serta para pengajar anak usia 4 hingga 12 tahun. Batasan usia tersebut diambil melihat pada usia 4 tahun anak mulai


(21)

membangun identitas kelaminnya sebagai akibat dari perkembangan fisiologisnya (Kaeser, DiSalvo & Moglia, 2000).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak Indonesia?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah “Mengetahui persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak Indonesia.”

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi perkembangan, klinis, dan sosial khususnya terkait pandangan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia mengenai perilaku seksual anak.


(22)

2. Manfaat Praktis

Bagi para akademisi diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran pandangan masyarakat Indonesia mengenai perilaku seksual anak, sehingga apabila terdapat pandangan yang tidak tepat dapat ditindaklanjuti. Tindak lanjut yang dimaksud dapat berupa sosialisai lebih luas mengenai perilaku seksual anak atau dilakukan penelitian perilaku seksual anak Indonesia lebih lanjut.


(23)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi

1. Definisi Persepsi

Dunia dan hal-hal yang terjadi di sekitar manusia tidak memiliki makna intrinsik sampai seseorang memperhatikan dan memiliki keterikatan terhadap hal tersebut. Persepsi merupakan proses menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpreasi suatu objek, kejadian, situasi, dan aktifitas tertentu. Ketiganya merupakan proses yang terjadi dalam persepsi, dan bersifat saling melengkapi, serta berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena persepsi terjadi secara terus menerus dalam hidup manusia dan mempengaruhi perilaku manusia (Wood, 2009).

Proses seseorang mempersepsikan orang lain sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan ekspektasinya terhadap orang yang dituju. Seringkali, orang mempersepsikan apa yang ia harapkan untuk dipersepsikan.


(24)

2. Proses dalam Persepsi

Persepsi dapat terjadi melalui beberapa tahapan proses. Proses yang terjadi dalam persepsi adalah seleksi, pengorganisasian, dan terakhir adalah interpretasi makna. Proses ini dapat berlangsung secara simultan ataupun overlap (Martin & Nakayama, 2007; Kelly dalam Wood, 2009). 2.1. Seleksi

Pada tahap ini seseorang menaruh atau memfokuskan perhatiannya terhadap suatu hal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan fokus ini adalah sifat dari stimuli tersebut, kepekaan kita, serta variasi kejadian atau hal tersebut sehingga memaksa kita untuk memperhatikan. Selain itu, proses seleksi juga banyak dipengaruhi harapan, motivasi, atau kebutuhan dalam diri.

2.2. Pengorganisasian

Setelah proses seleksi, maka seseorang akan mengorganisasikan hasil seleksi tersebut agar menjadi bermakna baginya. Proses pengorganisasian yang paling umum dilakukan adalah memposisikan seseorang atau suatu hal sesuai dengan pengetahuan dan judgment kita. Misalnya, menilai seseorang pintar-tidak pintar, menarik-tidak menarik, atau menilai suatu hal baik-buruk, pantas-tidak pantas.


(25)

2.3. Interpretasi

Interpretasi merupakan proses pemberian makna dalam persepsi. Interpretasi bersifat subjektif karena pada prosesnya sangat dipengaruhi pengetahuan, motivasi, harapan dan karakter personal seseorang.

3. Persepsi dan Budaya

Lingkungan sosial budaya memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan persepsi seseorang (Martin & Nakayama, 2007). Budaya mengarahkan bagaimana suatu hal diorganisasi dan diinterpretasi dalam persepsi kita (West & Turner, 2009). Selain itu, budaya juga mengajarkan nilai-nilai mengenai hal apa saja yang dianggap berarti dan apa yang tidak. Pada akhirnya, seseorang akan membentuk pola persepsinya sendiri sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya tersebut. Contohnya adalah pada budaya Amerika individualisme, liberalisme, keterbukaan menjadi suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, sehingga orang terbiasa berkomunikasi secara terbuka. Kontak mata secara langsung ketika anak dan orang tua berkomunikasi adalah salah satu sikap yang penting untuk ditunjukkan. Hal tersebut menunjukkan kejujuran dan integrasi dalam komunikasi.

Hal ini berbeda dengan budaya Jepang yang komunal dan menjunjung tinggi perhargaan terhadap orang yang dituakan, membuat


(26)

kontak mata secara langsung ketika anak dan orang tua berkomunikasi adalah tidak sopan (Martin &Nakayama, 2007).

Budaya terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, pemahaman dan cara-cara menginterpretasi suatu hal yang dilakukan oleh sejumlah manusia dalam jumlah besar (Wood, 2009). Hal tersebut kemudian membentuk pola-pola asumsi pada setiap individu, dan pada akhirnya membentuk pikiran, perasaan serta perilakunya.

Terkait dengan seksualitas, Wood (2011) menyatakan bahwa seksualitas memiliki kaitan yang erat dengan budaya dan kepercayaan. Keduanya memiliki ciri khas masing-masing yang membuat perilaku seksual yang muncul dapat berbeda dari satu budaya ke budaya lain, dari satu kepercayaan dengan kepercayaan lain. Budaya mengajarkan nilai-nilai seksualitas, sikap dan perilaku seksual apa saja yang diterima, serta pengetahuan seksual apa yang berlaku di budaya tersebut. Budaya dan kepercayaan juga cenderung konstant dan tidak banyak perubahan dari waktu ke waktu (Thigpen, 2009; Wellings, 2006; Sandnabba, 2003).

Cara budaya mempengaruhi persepsi kita melalui 2 hal. Yang pertama adalah persepsi bersifat selektif, dan hal-hal yang seseorang pilih untuk perhatikan dipengaruhi oleh budaya. Yang kedua adalah pola-pola persepsi seseorang terbentuk akibat proses pembelajaran sebelumnya. Pada dasarnya manusia terlahir ke dunia tanpa adanya pemaknaan terhadap hal-hal apapun di sekitarnya. Budayalah yang mengajarkan pemaknaan atas


(27)

segala hal yang manusia alami. Pada akhirnya pemaknaan tersebut membentuk pola asumsi di dalam pikiran setiap individu dan mempengaruhi persepsinya (Samovar, Porter & McDaniel, 2010)

B. Orang Tua dan Guru

Orang tua dan guru sama-sama memiliki peran penting dalam pendidikan dan pengajaran anak. Sekolah dan rumah adalah 2 lingkungan yang berpengaruh banyak bagi anak (Larsson & Svedin, 2002).

1. Orang Tua

Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan anak. Eccles dalam Turner (2005) menyatakan bahwa pandangan orang tua terhadap anak mempengaruhi perilaku anak, dan pada akhirnya turut membangun pola persepsi pada anak. Hal ini terjadi karena persepsi orang tua akan mengarahkan perilakunya kepada anak, baik disadari maupun tidak. Contohnya adalah orang tua yang memiliki persepsi bahwa anak laki-laki lebih kuat secara fisik daripada anak perempuan, akan memperlakukan anak laki-laki lebih keras dan toleran terhadap sakit. Pada akhirnya, sang anak laki-laki akan berperilaku dan membangun persepsi bahwa dirinya lebih kuat dan tahan sakit dibanding anak perempuan.

Menurut Johnston (1996), persepsi orang tua mengenai anak banyak dipengaruhi oleh ekspektasi mereka bahwa anak seharusnya berperilaku seperti yang mereka yakini. Ekspektasi mereka terbentuk oleh pengalaman


(28)

hidup, pengetahuan yang dimiliki, serta penanaman nilai-nilai budaya tempat orang tua teresebut tumbuh.

Keluarga adalah unit terkecil tempat anak belajar mengenai segala hal, termasuk seksualitas. Orang tua memiliki tanggung jawab terbesar untuk mengarahkan kesehatan seksual anak (Carlson & Tanner, 2006). Menurut beberapa penelitian, pengetahuan seksualitas anak pertama adalah mengenai identitas gendernya, dan hal tersebut dilakukan melalui pembelajaran modeling atau identifikasi diri terhadap orang tua sejenis kelamin (Santrock, 1995).

Menurut Golden (dalam Carlson & Tanner, 2006), orang tua juga merupakan pihak pertama yang menyediakan pengetahuan dan sikap akan seksualitas. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana anak akan menyalurkan rasa ingin tahunya tentang seksualitas. Anak prasekolah belajar membentuk kelekatan dengan orang tua lawan jenis kelamin sambil mengidentifikasi diri dengan orang tua sejenis kelamin (Wong, Hockenberry-Eato, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2001).

2. Guru

Guru merupakan orang yang paling bertanggung jawab besar terhadap anak di lingkup sekolah. Seorang guru memiliki wewenang seutuhnya dalam menerjemahkan tujuan-tujuan pendidikan menjadi serangkaian teknis pengajaran kepada anak (Brophy dalam Berns, 2010). Guru memiliki tanggung jawab untuk menyediakan lingkungan yang tepat


(29)

untuk proses belajar anak. Seorang guru harus mampu menghadapi banyak anak sekaligus. Ia juga memiliki peran untuk membantu anak belajar berdinamika dalam kelompok, memecahkan masalah, serta berprestasi akademis (Bireda, 2011).

Di lingkungan sekolah, prestasi, motivasi, serta perkembangan karakter anak banyak dipengaruhi oleh sikap guru. Menurut Holliday (dalam Bireda, 2011), sebagaimana orang tua, persepsi guru berpengaruh sangat besar terhadap anak. Persepsi positif terhadap anak mempengaruhi bagaimana seorang guru akan bertutur kata, bersikap dan berpeilaku terhadap anak. Penghargaan, rasa ketertarikan, serta dukungan positif guru terhadap anak meningkatkan rasa percaya diri, rasa mampu, membangun karakterpositif anak, dan pada akhirnya adalah mencapai prestasi akademis (Berns, 2010).

C. Anak

1. Pengertian Anak

Anak adalah suatu periode yang terbentang setelah masa bayi berakhir dan sebelum masa remaja. Menurut Gunarsa dan Yulia (2008), masa anak-anak terbagi dalam 2 tahap, masa anak pra sekolah yaitu antara usia 4 hingga 6 tahun, dan masa anak sekolah yaitu antara usia 6 hingga 12 tahun. Pada masa anak-anak, individu bertumbuh dengan mempelajari dan mencoba untuk diterima oleh lingkungan.


(30)

2. Perkembangan Seksual Anak

Pada anak-anak usia awal, seksualitas mereka terbagi dalam 2 tujuan besar, self-stimulation dan self-curiosity/exploration. Sedangkan pada anak pra remaja (10-12 tahun), aktifitas seksual mereka lebih terarah dan bertujuan untuk bereksperimen dengan partner. Hal ini disebabkan karena siring dengan peribahan kognitif, sosial, fisik, dan psikologis. Pada usia tersebut terjadi perubahan hormonal yang cukup signifikan. Perubahan tersebut membuat mereka menjadi lebih menyadari posisi mereka sebagai sexual being. Pada masa pra remaja, laporan orang tua cenderung berkurang karena anak menjadi lebih tertutup akan seksualitasnya (McAnulty & Burnette, 2006).

2.1. Masa Anak Pra Sekolah

Pada masa ini, perkembangan seksualitas anak terlihat dengan cara anak membangun identitas jenis kelaminnya. Hal ini mulai terlihat dari usia 3 tahun. Santrock (1995) mengatakan bahwa anak membangun identitas gender nya melalui proses identifikasi dan atau belajar sosial. Menurut teori identifikasi, anak mempelajari identitas gendernya dengan meniru orang tua yang berjenis kelamin sama. Sedangkan teori belajar sosial mengatakan bahwa anak mempelajari hal tersebut melalui observasi, meniru, serta mekanisme hadiah dan hukuman atas perilaku gender yang sesuai atau tidak sesuai.


(31)

Seiring dengan semakin matangnya indera pendengaran, bicara, serta fungsi berpikir, kemampuan berkomunikasi anak secara lisan juga semakin berkembang. Perkembangan fisik, kognitif, serta derasnya arus informasi yang masuk, membuat anak-anak menjadi sangat komunikatif, penasaran dan sering bertanya banyak hal, salah satunya mengenai seksualitas (Gunarsa dan Yulia, 2008).

2.2. Masa Anak Sekolah

Pada masa ini mulai terjadi stereotip gender. Stereotip maskulinitas dan feminitas semakin meningkat di usia ini sehingga anak merasa lebih nyaman berteman dengan sesama jenis kelamin (Santrock, 1995). Selain itu anak mulai belajar membangun pola persepsi berbasis gender, seperti anak perempuan lebih kalem daripada anak laki-laki. Anak laki-laki lebih pintar olah raga daripada anak perempuan.

D. Perilaku Seksual Anak

1. Seksualitas dan Nilai-nilai

Seksualitas manusia mengacu kepada bagaimana manusia mengalami dan mengekspresikan dirinya sebagai makhluk seksual (Rathus, Nevid, & Rathus, 2008). Masyarakat kita merupakan masyarakat yang plural. Setiap masyarakat terbentuk oleh nilai-nilai


(32)

budaya, sosial, dan kepercayaan tertentu. Perilaku, sikap, serta pengalaman seksual seseorang sangat dipengaruhi tidak hanya oleh perubahan fisik dan hormon, tetapi juga tradisi budaya dan kepercayaan mereka.

Nilai-nilai masyarakat mempengaruhi sikap dan perilaku seksual mana saja yang legal dan sah dilakukan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai juga mempengaruhi pandangan seseorang mengenaui seksualitas itu sendiri.

2. Perilaku Seksual

Secara umum, perilaku seksual adalah segala aktifitas seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah, atau dilakukan atas dasar keinginan seksual. Perilakunya dapat sangat beragam, tetapi pada dasarnya adalah adanya stimulasi ke area seksual. Akan tetapi, definisi tersebut tidak seutuhnya berlaku pada perilaku seksual anak. Perilaku seksual secara umum terbagi ke dalam 2 dimensi dilihat dari aspek keterlibatan pasangan (Rathus, Nevid, & Rathus, 2008).

2.1. Perilaku Seksual Soliter (Solitary Sexual Behavior)

Perilaku seksual soliter merupakan berbagai macam aktifitas seksual tanpa melibatkan pasangan. Tujuan dari dilakukannya perilaku tersebut adalah selain untuk kesenangan, tetapi juga relaksasi, menghindari dosa (apabila pasangan legal tidak tersedia), menghindari


(33)

terjangkitnya pernyakit menular seksual, ataupun sekedar melepas bosan. Jenis aktifitasnya dapat sangat bergam. Masturbasi merupakan salah satu bentuk dari perilaku seksual soliter yang paling umum. 2.2. Perilaku Seksual dengan Pasangan (Partner Sexual Behavior)

Perilaku seksual yang melibatkan pasangan terdiri dari berbagai macam perilaku. Secara beruntut, perilaku seksual dengan pasangan terdiri dari beberapa episode :

a. Foreplay

Foreplay merupakan perilaku seksual non-koitus, seperti berciuman, cuddling, petting, sentuhan ke bagian tubuh atau kontak oral-alat kelamin. Pola serta durasi foreplay dapat beragam antara budaya tertentu.

b. Koitus (Sexual Intercourse)

Koitus merupakan perilaku seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan dengan cara memasukkan penis ke dalam vagina. Koitus dilakukan dapat dengan melalui tahap foreplay


(34)

3. Perilaku Seksual Anak

Menurut Kambouropoulos, Mitchell, Staiger, dan Tucci (2005), perilaku seksual anak merupakan proses pengumpulan informasi mengenai seksualitasnya. Anak mengeksplorasi tubuhnya dengan menyentuh dan melihat, serta membicarakan topik seksual. Selain itu, anak juga mempelajari peran jenis kelain dan perilaku berdasarkan jenis kelamin.

Sedangkan menurut Kellog (2004) perilaku seksual terdiri dari beragam aktivitas, termasuk di dalamnya menyentuh dan melihat alat kelamin, serta berbicara mengenai topik seksual. Perilaku seksual dapat melibatkan lebih dari satu anak, serta memiliki tipe dan frekuensi yang berbeda tergantung pada usia anak (Johnson, 1998).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual anak adalah segala bentuk pengumpulan informasi anak mengenai seksualitasnya. Anak menyentuh, melihat dan bertanya mengenai seksualitas. Perilaku seksual anak berkembang seiring bertambahnya usia. Sehingga jenis perilaku seksual yang muncul dan frekuensinya dapat berbeda-beda sesuai usia, dan jenis kelamin anak.


(35)

4. Jenis-Jenis Perilaku Seksual Anak

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Friedrich (1998), Larsson (2000), serta Lepage (2010), maka dapat diketahui jenis perilaku seksual anak yang terjadi adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Jenis-jenis Perilaku Seksual Anak

No Perilaku Seksual

1 ingin kontak tubuh setiap hari 2 menolak kontak tubuh

3 ingin terus dekat secara fisik (clinging) 4 malu ketika telanjang

5 berinisiatif memeluk orang dewasa yang bukan keluarga 6 mencoba menggunakan lidah ketika ciuman

7 berbicara tentang seks

8 menggunakan kata-kata berbau seksual

9 bereaksi kepada orang lain dengan kata-kata berbau seksual 10 melihat alat kelamin anak lainnya

11 mencoba melihat orang dewasa ketika tidak berpakaian 12 menunjukkan alat kelaminnya ke anak lain

13 mencoba mencopot baju anak lain 14 melihat gambar telanjang

15 malu ketika dilepas pakaiannya 16 bermain di luar rumah tanpa pakaian

17 menunjukkan alat kelaminnya ke orang dewasa 18 bermain dokter-dokteran

19 meniru hubungan seksual ketika bermain dengan boneka 20 meniru permainan seksual dengan anak lainnya


(36)

21 tertarik bermain seks dengan anak-anak

22 menggesekkan badan ke orang lain atau benda-benda 23 masturbasi dengan tangan

24 masturbasi dengan objek

25 mencoba menyentuh payudara ibu

26 mencoba menyentuh payudara perempuan dewasa lain 27 mencoba menyentuh alat kelamin ibu

28 mencoba menyentuh alat kelamin ayah

29 mencoba menyentuh alat kelamin perempuan dewasa lain 30 mencoba menyentuh alat kelamin laki-laki dewasa lain 31 mencoba menyentuh alat kelamin anak lainnya

32 berusaha membuat orang dewasa menyentuh alat kelamin si anak

33 menyentuh alat kelaminnya di rumah

34 menyentuh alat kelaminnya di tempat umum 35 berdandan seperti lawan jenisnya

36 menggambar alat kelamin 37 ingin menjadi lawan jenisnya

38 berperan sebagai lawan jenis ketika bermain 39 bermain dengan alat main lawan jenisnya 40 meniru hubungan seksual

41 telanjang di depan orang lain 42 duduk dengan celana dalam terlihat

43 jika perempuan terlalu agresif, jika laki-laki sangat pasif 44 berdiri sangat dekat

45 malu dengan orang dewasa lawan jenis yang belum dikenal 46 mencoba melakukan hubungan seksual

47 menaruh mulut pada alat kelamin

48 mencoba menyentuh alat kelamin hewan 49 membuat suara-suara seksual


(37)

51 menaruh benda ke dalam vagina atau anus 52 mencium orang dewasa yang tidak dikenal 53 malu ketika melihat orang berciuman 54 sangat senang dengan laki-laki dewasa 55 berbicara dengan centil / menggoda 56 mencium anak lain

57 ingin menonton acara yang seronok 58 sangat tertarik dengan lawan jenis 59 menaruh mulut di payudara

E. Persepsi Masyarakat Indonesia Mengenai Seksualitas

Indonesia merupakan negara dengan pengaruh agama serta kesukuan yang kental. Agama Islam dan Kristen merupakan 2 agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia. Indonesia juga terdiri dari beragam suku yang memiliki nilai-nilai yang diyakini dan ditaati oleh masyarakatnya (Pangkahila dalam Francoeur, 2004).

Pada era lampau, keduanya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap, persepsi dan perilaku seksual masyarakatnya. Dalam ajaran agama Islam maupun Kristen, keduanya mengajarkan kesakralan akan seksualitas itu sendiri (Francoeur & Noonan, 2004). Nilai-nilai agama mengajarkan seksualitas sebagai suatu upaya melanjutkan keturunan, sehingga hanya orang-orang yang dianggap sudah dewasa dan terikat dalam pernikahan sajalah yang pantas untuk terlibat di dalamnya (Ramsey, dalam Francoeur, 2004). Oleh karena itu, pembahasan mengenai seksualitas menjadi


(38)

pembahasan yang tertutup, tabu untuk dibicarakan secara terbuka, dan seseorang mempelajarinya berdasarkan pengalaman saja.

1. Sexual Knowledge

Pada generasi lalu, masyarakat Indonesia memiliki pandangan bahwa seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka (Francoeur & Noonan, 2004). Akan tetapi, sekitar tahun 80-an hingga awal 90-an, pemerintah mulai menggalakkan pendidikan seksual bagi kaum muda serta melakukan sosialisasi penggunaan alat kontrasepsi (kondom). Hal tersebut menjadi titik tolak awal keterbukaan mengenai seksualias. Kebijakan tersebut diambil sebagai respon atas meningkatnya angka Penyakit Menular Seksual pada kaum muda.

Kebijakan tersebut mendapatkan respon keras dari kaum tua karena adanya perbedaan persepsi mengenai seksualitas. Kaum tua cenderung berdiam diri atau menutup mulut mengenai seksualitas karena menganggap bahwa seksualitas adalah ranah privasi. Namun pada saat yang sama, kencangnya arus informasi mengenai seksualitas membuat kesulitan tersendiri untuk menganggap seks adalah topik yang tabu (Pangkahila & Ramsey dalam Francoeur, 2004).


(39)

2. Autoerotic Behavior and Pattern

Dari sudut pandang moral dan budaya di Indonesia, autoerotis sering dianggap dosa walaupada kenyataannya orang dewasa etap melakukannya. Nilai-nilai agama yang masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat mengajarkan bahwa masturbasi merupakan perilaku seksual yang salah dan berdosa (Francoeur & Noonan, 2004). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia memiliki persepsi bahwa perilaku autoerotis merupakan perilaku seksual yang menyimpang.

Pada anak-anak, autoerotis juga dianggap abnormal oleh orang tua, sekalipun mereka sering mendapati anak mereka berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran orang tua bahwa kelak anak mereka akan berperilaku seksual abnormal. Auto erotis juga ditemukan pada orang dewasa. Akan tetapi masih terjadi misunderstanding dan

misinformation tentang autoerotis (Francoeur & Noonan, 2004).

3. Homosexuality and Bisexuality

Secara umum, masyarakat Indonesia menganggap homoseksualitas dan biseksualitas sebagai hal yang berdosa, dilarang, baik secara moral dan agama. Hal ini didukung dengan nilai agama yang mensahkan hubungan laki-laki dan perempuan, dan hanya pada pasangan yang terikat perkawinan (Francoeur & Noonan, 2004).


(40)

F. Persepsi Orang Tua dan Guru di Indonesia mengenai Perilaku Seksual Anak

Budaya memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi. Pemaknaan hal-hal di sekitar manusia merupakan proses pembelajaran dan pembuatan pola sepanjang hidupnya (Wood, 2009). Proses tersebut yang pada akhirnya membentuk pola persepsi seseorang, dan sifatnya subjektif. Persepsi mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku seseorang terhadap orang lain atau objek dan situasi di sekelilingnya (Wood, 2009; Martin & Nakayama, 2007).

Orang tua dan guru merupakan pihak-pihak yang berpengaruh besar terhadap anak. Pada masa awal kanak-kanak, sebagian besar tindakan anak sangat bergantung pada penerimaan pihak otoriternya, dalam hal ini orang tua dan guru (Santrock, 1995). Keduanya menjadi pihak otoriter dalam lingkungan rumah serta sekolah. Persepsi mereka terhadap anak merupakan investasi dari harapan mereka akan bagaimana seharusnya anak berperilaku (Turner, 2005; Johnston, 1996). Pada akhirnya persepsi mereka akan akan mempengaruhi sikap, perasaan dan perilakunya terhadap anak.

Masih banyak didapati orang tua dan guru yang mengeluhkan

“abnormalitas” anak mereka karena menunjukkan perilaku tertentu terkait seksualitas. Hal ini didasari oleh adanya persepsi bahwa anak-anak tidak seharusnya memiliki perhatian terkait seksualitas (Kellog, 2004; Larsson & Svedin, 2001). Selain itu, di Indonesia sendiri seksualitas masih menjadi


(41)

Pada selanjutnya menyebabkan adanya tindakan-tindakan hukuman yang diambil oleh keduanya untuk memperingatkan anak.

Hal ini menjadi kurang tepat, mengingat pada dasarnya anak terlahir sebagai makhluk seksual (sexual being) (Rathus, Nevid & Rathus, 2008). Selain itu, seiring pertumbuhan fisiknya serta perkembangan kognitifnya, secara alamiah anak akan mengalami perkembangan seksual (Kambouropoulos, Mitchell, Staiger & Tucci, 2005). Anak bertanya dan mengeksplorasi tubuhnya sebagai bentuk keingintahuannya terkait seksualitas. Respon yang tidak tepat dari pihak-pihak signifikan anak (significant others) dapat menyebabkan pelabelan yang berbahaya, pemaksaan standar perkembangan yang tidak tepat bagi anak, hingga kesalahan perlakuan (maltreatment) (Thingpen, 2009).

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual yang terjadi pada anak-anak mereka. Tujuan dari penelitian ini agar dapat mengetahui pemahaman orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak dan melakukan pembandingan dengan acuan literatur mengenai perilaku seksual anak. Sehingga apabila terdapat celah (gap) pemahaman terkait perilaku seksual anak, para akademisi dan praktisi dapat memberikan sosialisasi lebih lanjut mengenai perilaku seksual anak secara tepat.


(42)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Creswell (2008), penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk penelusuran, serta mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat persepsi orang tua dan guru di Indonesia mengenai perilaku seksual anak.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif. Penelitian eksploratif biasa digunakan untuk meneliti sebuah fenomena yang masih sedikit diketahui. Oleh karena itu, penelitian eksploratif biasanya tidak banyak garis pedoman yan gharus diikuti serta tidak terlalu terstruktur. Penelitian eksploratif biasa menggunakan metode kualitatif (Richey & Klein, 2007).

C. Fokus Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang menjadi sarana penyelidikan dan menunjukkan variasi, baik dalam jenis maupun tingkatannya (Shaughnessy, Zechmeister&Zechmeister, 2007). Variabel dalam


(43)

penelitian ini adalah persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak. Fokus pada penelitian ini adalah melihat gambaran persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak.

D. Desain Penelitian

1. Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia 4 hingga 12 tahun, serta para pengajar Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.

2. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah dengan purposive sampling , yaitu penentuan sampel dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian (Creswell, 2010), dalam hal ini adalah orang tua yang memiliki anak usia 4 hingga 12 tahun serta pengajar TK dan SD.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah dengan kuesioner terbuka. Pada kuesioner ini hanya terdapat 1 perintah pengerjaan. Subjek diminta untuk menuliskan sebanyak-banyaknya perilaku seksual anak di lingkungan mereka, yang mereka ketahui.


(44)

4. Prosedur Pengambilan Data

Subjek diminta untuk menuliskan perilaku seksual pada anak yang mereka ketahui atau pernah temui sebanyak-banyaknya. Daftar perilaku kemudian dianalisis untuk dikelompokkan berdasarkan kemiripan jenis perilaku.. Pengambilan data dihentikan hingga daftar perilaku seksual anak yang muncul telah jenuh.

5. Analisa Data

Data dianalisa dengan menggunakan analisis tematik, yaitu dengan melakukan kategorisasi dan kontekstualisasi pada data yang sangat bervariasi (Teddlie & Tashakkori, 2009). Daftar perilaku yang muncul dikelompokkan berdasarkan kemiripan. Data akan dikelompokkan melakui tahap open coding serta axial coding.

Open coding adalah proses analisis data dengan mengidentifikasi data berdasarkan kesamaan sifat atau dimensi. Sedangkan axial coding

adalah tahap selanjutnya dari tahap open coding. Pada axial coding

melibatkan serangkaian proses induktif dan deduktif yang lebih kompleks. Proses ini melibatkan proses membandingkan dan melihat relasi di antara sub-ordinat yang dihasilkan dari open coding. Hasil dari proses ini adalah sub-kategori yang lebih besar (Bornheim, 2000).


(45)

6. Kredibilitas

Kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan peer debriefing, yaitu peneliti meminta pendapat, koreksi, klarifikasi, serta pengecekan ulang dari rekan peneliti lainnya (Brink, Van der Walt, & Van Rensburg, 2006).


(46)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persepsi orang tua maupun guru mengenai perilaku seksual anak memiliki pengaruh yang besar bagi anak itu sendiri. Persepsi orang tua maupun guru yang tidak tepat mengenai perilaku seksual anak itu sendiri dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak. Hal ini disebabkan karena persepsi mereka akan mempengaruhi respon perilaku dan emosi mereka terhadap anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah untuk melihat bagaimana persepsi orang tua dan guru tentang perilaku seksual anak. Tujuannya adalah agar dapat disusun sebuah langkah preventif strategis yang berfokus pada pemberian pengetahuan yang tepat terkait perilaku seksual anak.

A. Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian

Tahap awal penelitian adalah membuat desain angket yang mampu menggali informasi mengenai persepsi orang tua dan guru mengenai perilaku seksual anak. Peneliti melakukan review literature terkait desain angket persepsi hingga akhirnya diputuskan untuk menggunakan angket terbuka. Desain angket mulai dikerjakan pada awal bulan September 2012. Peneliti membuat beberapa desain angket yang berisi informed consent, penjelasan singkat mengenai perilaku seksual anak serta petunjuk pengerjaan. Desain angket menjalani beberapa kali revisi, hingga akhirnya siap untuk dilakukan try out. Try


(47)

out dilakukan kepada 4 orang tua, 2 guru SD dan 2 guru TK. Hal ini dilakukan untuk mengecek ulang kesiapan angket sebelum akhirnya disebar kepada subjek penelitian. Hasil try out menunjukkan bahwa para subjek mampu memahami informed consent serta petunjuk pengerjaan dengan baik.

Selain persiapan angket terbuka, peneliti juga mempersiapkan SOP (Standard Operating Procedure). SOP tersebut digunakan oleh para rekan peneliti yang membantu pengambilan data agar terdapat keseragaman prosedur pengambilan data. SOP berisi penjelasan singkat mengenai penelitian, informed consent, serta petunjuk pengerjaan dan pengembalian angket dalam kondisi amplop tertutup rapat. Hal ini dirasa perlu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan data. 2. Pelaksanaan Penelitian

Setelah persiapan dirasa cukup, peneliti mulai menyebar angket kepada subjek. Peneliti melakukan penyebaran angket di sekolah-sekolah tingkat dasar (SD), taman kanak-kanak (TK) serta di tempat-tempat para orang tua berkumpul seperti sekolah minggu,

homeschooling, serta tempat les. Hal tersebut dilakukan sebagai efisiensi waktu dalam penyebaran angket.

Penyebaran angket dilakukan dalam 2 cara, yang pertama dengan menitipkan ke beberapa rekan peneliti yang memiliki akses langsung ke subjek penelitian. Cara kedua adalah peneliti langsung menyebarkan angket ke subjek penelitian.


(48)

Angket diberikan kepada subjek dalam keadaan tertutup di dalam amplop. Baik amplop maupun angket tidak diberi kode apapun. Kemudian subjek diminta untuk mengisi angket di rumah, dan angket dikembalikan kepada peneliti atau rekan peneliti keesokan harinya. Hal tersebut dilakukan agar subjek tidak terburu-buru dalam mengisi angket, sehingga diharapkan mampu menggali data perilaku seksual sebanyak mungkin. Selain itu, dengan mengisi angket di rumah, maka subjek diharapkan dapat lebih rileks dan privasinya terjaga. Hal ini juga mampu meminimalisir social desirability. Jumlah total angket yang tersebar adalah sebanyak 601 angket.

Angket dikembalikan kepada peneliti atau rekan peneliti harus dalam kondisi tertutup rapat (amplop dalam kondisi terekat lem). Tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjaga privasi subjek serta kerahasiaan data. Jumlah total angket yang kembali adalah sebanyak 217 angket.

Setelah angket terkumpul, peneliti melakukan proses input data

dan dilanjutkan dengan coding data. Berdasarkan proses input data

yang dilakukan, didapatkan total 1120 item yang akan dianalisis. Pengkodean dilakukan dalam 2 tahap, yaitu open coding dan dilanjutkan axial coding yang bertujuan untuk menemukan tema khusus dan tema umum dari data yang ditemukan. Open coding


(49)

ditemukan. Proses pengkodean dilakukan dengan bersama beberapa teman peneliti, maupun dilakukan oleh peneliti sendiri.

B. Hasil Penelitian

Pengkodean dilakukan sebanyak 11 kali pertemuan. Berdasarkan proses open coding, ditemukan 183 tema perilaku.

Tabel 2. Tema Open Coding

No Tema

1 Memperlihatkan alat kelamin ke orang lain (dikenal) 2 Memperlihatkan alat kelamin ke orang lain

3 Memperlihatkan alat kelamin ke lawan jenis 4 Anak senang alat kelaminnya membesar 5 Menggambar alat kelamin

6 Menggunakan istilah pengganti untuk menyebut alat kelamin 7 Penasaran dengan alat kelamin lawan jenis

8 Penasaran dengan aktifitas lawan jenis di ruang ganti 9 Berusaha menarik perhatian lawan jenis

10 Merasa tidak nyaman digoda lawan jenis 11 Menggoda lawan jenis

12 Jahil pada lawan jenis

13 Membicarakan tubuh lawan jenis 14 Memiliki idola

15 Memiliki idola lawan jenis

16 Takut bicara tentang mens/mimpi basah 17 Bertanya tentang menstruasi

18 Berkelakar terkait menstruasi 19 Bisa menilai ganteng/cantik

20 Senang jika diperlakukan oleh lawan jenis yang menarik 21 Membandingkan kecantikan/ganteng lawan jenis

22 Berciuman dengan lawan jenis 23 Mencium teman

24 Mencium lawan jenis 25 Mencium karena gemas 26 Cipokan/ciuman


(50)

28 Malu dicium lawan jenis

29 Malu dicium di depan umum/orang lain 30 Meraba alat kelamin sendiri

31 Memegang alat kelamin sendiri

32 Memegang/menyentuh alat kelamin orang lain

33 Memegang organ seksual teman (alat kelamin/payudara) 34 Menyentuh payudara ibu

35 Menempelkan alat kelamin ke orang lain (dikenal) 36 Berkata kotor (ngumpat/misuh)

37 Memplesetkan syair lagu menjadi kata2 kotor 38 Berkata kotor terkait seksualitas (alat kelamin,dll) 39 Menuliskan kata-kata kotor dan porno

40 Lebih suka bermain dengan lawan jenis 41 Berkomunikasi dengan lawan jenis 42 Berimajinasi tentang seksual 43 Beradegan intim dengan pacar 44 Hamil sebelum menikah

45 Merokok,dugem,minum-minuman keras

46 Ereksi ketika melihat / berkhayal tentang seksualitas 47 Pacok-pacokan

48 Menonton film porno 49 Melihat gambar porno 50 Membaca majalah porno 51 Membuat film porno

52 Bercanda dengan topik organ seksual

53 Belum berhati-hati saat bersikap (duduk, jongkok) 54 Berpelukan

55 Meminta berpelukan setelah mandi 56 Berhubungan seks

57 Merangkul orang yang disenangi 58 Meminta mandi bersama

59 Bermain peran

60 Bermain dokter-dokteran 61 Bermain manten-mantenan 62 Merasa cemburu

63 Menyentuh pantat orang dengan sengaja

64 Bercerita atau curhat ke ortu tentang lawan jenis 65 Mengerti istilah porno

66 Berdiskusi seksualitas


(51)

68 Merasa malu habis mandi tidak pakai baju 69 Merasa malu dengan lawan jenis yang menarik 70 Merasa malu bermain dengan lawan jenis 71 Bertanya mengenai penampilannya 72 Bertanya tentang kehamilan

73 Mengikuti teman yang disukai 74 Cepat mengingat materi pubertas

75 Bertanya anak belum cukup umur belum boleh pacaran 76 Paham tentang alat kontrasepsi (kondom)

77 Menyimpan alat kontrasepsi (kondom) 78 Membuat kriteria pasangan

79 Menginginkan alat kelamin lawan jenis

80 Mengaku pacar pada lawan jenis yang dianggap menarik 81 Membelai rambut teman

82 Merasa malu/tidak mau bersalaman dengan lawan jenis 83 Menulis surat cinta ke teman yang disukai

84 Ingin dekat terus dengan lawan jenis dewasa 85 Mencari perhatian lawan jenis

86 Berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis 87 Mengatakan tidak sopan pada adegan seronok 88 Menyukai lawan jenis (naksir)

89 Menyatakan suka pada lawan jenis 90 Menjadi korban pelecehan seksual 91 Mengintip pakaian dalam perempuan 92 Mengintip lawan jenis di WC/ kamar ganti 93 Mengintip orang ML

94 Mencolek lawan jenis

95 Bertanya mengenai alat kelamin 96 Bertanya tentang payudara 97 Menendang alat kelamin 98 Berfoto tanpa memakai baju

99 Menonton tayangan yang menampilkan alat kelamin 100 Pura-pura memasukkan benda ke vagina

101 Minder dengan bentuk tubuhnya 102 Mengejek maho, banci, dll 103 Menggoda perempuan cantik

104 Menyatakan status pacaran dalam sosmed (FB) 105 Malu mengenakan baju minim/seksi

106 Bermain video game cabul 107 Bertanya tentang diperkosa


(52)

108 Tertarik dengan pakaian dalam

109 Memuji lawan jenis yang dianggap menarik 110 Mencium orang tua dengan mesra (deep kissing) 111 French kiss

112 Mencium orang dewasa

113 Melihat gambar porno dengan orang lain

114 Berperilaku sesuai peran jenisnya (laki-laki dan perempuan) 115 Bermain dengan sejenis kelamin

116 Bertanya tentana pernikahan 117 Boncengan sambil meluk 118 Berpakaian seksi

119 Berbicara dengan bahasa dewasa

120 Belum merasa malu kalau tidak berpakaian/berganti pakaian 121 Bertanya mengenai proses kelahiran/melahirkan

122 Bermain dengan alat kelamin sendiri

123 Menggesek-gesek kelamin dengan benda lain 124 Memeluk orang lain (yang dikenal)

125 Menggandeng/bergandengan tangan lawan jenis

126 Berdandan dan menggunakan aksesoris seprti orang dewasa 127 Mengkoleksi barang porno

128 Berbicara tentang alat kelamin

129 Bertanya tentang seksualitas(sperma,cium,dll) 130 Berdiskusi tentang lawan jenis

131 Menceritakan adegan porno

132 Mengomentari bentuk tubuh orang lain

133 Mengatakan tidak sopan pada gambar perpempuan yang berpakaian minim

134 Menonton tayangan yang tidak seronok 135 Telanjang di depan orang

136 Bertanya tentang hubungan suami istri 137 Tertarik dengan alat kelamin hewan

138 Merasa malu belajar kelompok dengan lawan jenis 139 Bertanya tentang alat kelamin hewan

140 Mencolek payudara

141 Menerima pelukan/ciuman dari orang lain tanpa ijin 142 Ingin melindungi lawan jenis yang ditaksir

143 Senyum-senyum melihat cewe cantik 144 Paham tentang hubungan badan 145 Bertanya tentang asal-usul bayi 146 Memainkan alat kelamin depan teman


(53)

148 Masih sering tidak pakai pakaian dalam 149 Berbicara cinta-cintaan

150 Onani

151 Membandingkan alat kelamin dengan teman 152 Terangsang

153 Paham tentang perbedaan alat kelamin cowok dan cewek 154 Saling meraba tubuh

155 Memperlihatkan alat kelamin ke teman

156 Bermain alat kelamin engan teman (lomba kencing-kencingan)

157 Membahas teman yang menarik secara fisik (cantik/ganteng) 158 Anak perempuan takut belum dapat haid

159 Saling mengejek antar lawan jenis 160 Membandingkan teman lawan jenis 161 Berpakaian sesuai jenis kelaminnya 162 Merasa malu ganti pakaian di depan orang 163 Penasaran dengan sunat

164 Merasa malu/tidak nyaman duduk berdampingan dengan lawan jenis

165 Merasa malu jika ke belakang dilihat orang lain 166 Mengetahui/bisa menilai seksi

167 Menirukan adegan porno 168 Meminjam vcd porno 169 Mendownload konten porno

170 Browsing/mengakses konten porno via internet 171 Berpacaran

172 Bicara istilah pacaran 173 Berpacaran sejenis kelamin

174 Paham tentang perbedaan jenis kelamin 175 Bermain sesuai peran jenis kelamin 176 Menyibak rok

177 Melorotin celana teman

178 Bergaya dan berperilaku seperti lawan jenis

179 Merasa malu jika bertemu/berhadapan dengan lawan jenis 180 Merasa malu ketika melihat orang pacaran/ciuman

181 Merasa malu ketika melihat pakaian dalam lawan jenis 182 Membuat simbol sex


(54)

Setelah proses open coding selesai, dilanjutkan dengan proses axial coding yang bertujuan untuk mencari tema umum. Berdasarkan proses axial coding akhir , ditemukan 5 kategori besar, yaitu kategori “Perilaku”,

kategori “Non Perilaku”, “Reaksi terhadap stimulus seksual”,

“konsekuensi dari Perilaku Seksual”, serta kategori “Lain-lain”.

Hasil penelitian terbagi ke dalam 4 kategori besar serta 1 kategori “Lain-lain”. Kategori besar yang pertama adalah kategori “Perilaku” (87,4%) yang terdiri dari kategori “perilaku seksual anak” (83,1%), kategori “perilaku terkait seksualitas” (2,9%), serta kategori “perilaku non seksual” (1,4%). Kategori besar kedua adalah kategori “Non Perilaku” (7,4%) yang terdiri dari kategori “Pemahaman Anak terkait Seksualitas” (5%) dan kategori “ Emosi Anak terkait Seksualitas” (2,4%). Kategori ketiga adalah kategori “Reaksi terhadap Stimulus Seksual” (0,1%), dan yang terakhir adalah kategori “Konsekuensi Perilaku Seksual” (0,4%). Kategori “Lain-lain” (2,9%) memuat hal-hal yang tidak jelas seperti “buku-buku komik sinchan, novel”.


(55)

(56)

Secara umum, peneliti menemukan bahwa orang tua dan guru memiliki persepsi bahwa perilaku seksual anak tidak hanya perilaku seksual yang senyatanya (sesuai dengan literatur yang ada), tetapi juga perilaki-perilaku non seksual, perilaku yang terkait dengan seksualitas, serta pemahaman dan emosi anak terkait seksualitas. Selain itu, orang tua dan guru juga mempersepsikan reaksi seksual seperti ereksi, ataupun akibat dari perilaku seksual seperti hamil juga merupakan perilaku seksual anak.

1. Kategori “Perilaku”

Kategori ini memiliki persentase sebesar 87,4%. Kategori ini terdiri dari kategori Perilaku Seksual Anak (83,1%), Perilaku Anak terkait Seksualitas (5%), serta kategori Perilaku Non-Seksual (1,4%).

Secara umum, orang tua mempersepsikan perilaku seksual tidak hanya perilaku yang benar-benar perilaku seksual anak, tetapi juga perilaku anak yang ada kaitannya dengan seksualitas hingga perilaku yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan seksualitas.

a. Perilaku Seksual Anak

Kategori “Perilaku Seksual Anak” menjadi kategori dengan persentase terbanyak (87,4%). Kategori ini terdiri dari perilaku-perilaku seksual anak yang terbagi ke dalam 2 jenis perilaku-perilaku, yaitu perilaku seksual anak yang soliter, serta perilaku seksual anak dengan partner.


(57)

Tabel 3. Perilaku Seksual Anak Tanpa Pasangan (Solitary) Solitary

Arousal Persentase Non Arousal Persentase

melihat pornografi 6,4%

bergaya seperti orang

dewasa 5,0%

melihat tayangan

seronok 3,8% berpakaian seksi 3,1%

membaca majalah porno 1,3%

berdandan dan menggunakan aksesoris seperti orang dewasa

1,9% browsing dan download

konten porno 1,3%

memperhatikan

penampilan diri 0,4%

bermain game porno 0,1% mengkoleksi barang porno 0,6%

masturbasi 1,1%

menyimpan alat

kontrasepsi 0,1%

onani 0,1% menyentuh alat kelamin 3,2%

menggesekkan alat

kelamin ke benda 1,0%

menyentuh alat kelamin

sendiri 3,2%

berimajinasi seksual 0,7% penis envy 0,3%

menggambar alat

kelamin 0,5% mengenali identitas gender 4,1%

memperlihatkan

organ seksual 0,2%

berperilaku sesuai jenis

kelaminnya 1,8%

berfoto tanpa memakai

baju 0,2%

berperilaku seperti lawan

jenis 2,3%

menyukai lawan jenis 1,3% berbahasa seksual 5,6%

menulis surat cinta ke lawan jenis yang disukai

1,3%

menggunakan istilah pengganti untuk menyebut alat kelamin

0,4% mencoba memasukkan

benda ke vagina 0,1%

berkata kotor terkait

seksualitas 5,3%

tertarik dengan pakaian

dalam 0,4%

Total 10,4% Total 19,8


(58)

Perilaku seksual soliter berisi perilaku-perilaku seksual anak yang dilakukan sendiri,atau tanpa partner. Perilaku tersebut dapat bersifat menimbulkan hasrat seksual (arousal) ataupun tidak (non arousal). Menurut para orang tua dan guru, perilaku seksual soliter yang bersifat

arousal merupakan perilaku anak yang dilakukan atas dasar adanya dorongan seksual atau ketika dilakukan menimbulkan dorongan seksual. Contoh perilaku yang masuk dalam kategori ini adalah menonton film porno, masturbasi, atau menulis surat cinta ke teman yang disukai.

“Anak orang lain (ibunya cerita pada saya), anaknya 3 (11tahun, 9 th dan 5 th). Sering ditinggal ortu kerja, mereka main ke rumah tetangganya (tetangga sudah remaja, baru nonton film porno). Kakak beradik 3 orang tersebut tidak sengaja ikut nonton dan akhirnya malah dipinjami CD oleh tetangganya terus mereka menonton lagi film porno di rumah mereka sendiri secara sembunyi-sembunyi.” (124.d)

“Anak laki-laki onani diam-diam sambil liat gambar TTS porno.” (146.n)

“Surat menyurat antar kelas dengan lawan jenisnya isinya masalah cinta.” (175.d)

Sedangkan perilaku seksual anak non-arousal dipersepsikan oleh para orang tua dan guru sebagai perilaku seksual anak yang dilakukan tanpa partner, dan tanpa tendensi dorongan seksual ketika perilaku tersebut dilakukan. Contoh perilaku pada kategori ini adalah perilaku bergaya seperti orang dewasa, berperilaku seperti lawan jenis, atau menggunakan istilah pengganti untuk menyebut alat kelamin.

“Wanita, usia 9,5 tahun senang memakai baju agak seksi biar seperti kakaknya.” (216.b)


(59)

“Masih menggunakan istilah-istilah pengganti seperti "titit, nenen, dsb".” (052.c)

Perilaku seksual anak dengan partner atau pasangan merupakan kategori dengan persentase tertinggi sebesar 52,9%. Pasangan yang dimaksud pada kategori terbagi 4 jenis yaitu orang dekat (orang tua, guru, teman, keluarga), pasangan romantis (pacar), orang asing, serta hewan. Pada kategori perilaku dengan pasangn orang dekat, perilaku anak terbagi ke dalam 2 sifat, yaitu arousal dan non arousal. Akan tetapi pada kategori perilaku seksual dengan pasangan romantis, orang asing maupun hewan, perilaku yang muncul bersifat arousal.

Pada kategori perilaku seksual dengan pasangan orang dekat, subjek menyebutkan perilaku-perilaku yang bersifat arousal seperti mencium teman atau keluarga, menyentuh alat kelamin orang lain, melihat alat kelamin orang lain, berdiskusi seksualitas, dan sebagai macamnya. Subjek menyebutkan perilaku-perilaku seksual anak yang dilakukan dengan orang-orang dekat anak dan dirasa memiliki tendensi dorongan seksual.

“Mencium teman putrinya di depan anak-anak putra.”

(198.a)

“Menempel-nempelkan alat kelamin ke anak jenis kelamin lain.” (020.h)

Subjek juga menyebutkan perilaku non-arousal, yaitu perilaku yang dianggap dilakukan oleh anak tanpa tendensi atau dorongan seksual. Menurut subjek, perilaku yang tergolong dalam kategori tersebut adalah perilaku-perilaku seperti bertanya mengenai


(60)

seksualitas, bermain peran, atau bermain dengan teman sejenis kelamin.

“Menanyakan apa itu menstruasi/haid?” (060.b)

“Memainkan peran pacaran (pasangan laki-laki dan

perempuan) dengan temannya / menggunakan Barbie.” (075.e)

Tabel 4. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Orang Dekat (Partner – Close People)

Partner

Close People (parent and friend)

Arousal Persentase Non Arousal Persentase

mencium 2,9% menyukai lawan jenis 6,0%

mencium teman lawan jenis 2,5% menyukai lawan jenis 2,9%

mencium orang tua dengan

mesra (deep kissing) 0,4% mencari perhatian lawan jenis 1,3%

melihat pornografi 0,4% menggoda lawan jenis 0,9%

melihat gambar porno dengan

orang lain 0,4% Menjahili lawan jenis 0,9%

memperlihatkan organ

seksual 1,4%

bertanya mengenai

seksualitas 7,7%

memperlihatkan alat kelamin

ke orang lain yang dikenal 1,2%

bertanya mengenai

istilah-istilah seksual 1,3%

telanjang di depan orang lain 0,3%

bertanya mengenai kehamilan, kelahiran, dan proses adanya bayi

2,7%

melihat organ seksual orang

lain 6,7%

bertanya mengenai organ

seksual 2,1%

berusaha melihat alat kelamin

orang tua 0,4% bertanya mengenai pacaran 0,1%

berusaha melihat aktifitas seksual lawan jenis di WC/ruang ganti

1,4%

bertanya mengenai perbedaan cara buang air kecil laki-laki dan perempuan

0,6%

berusaha melihat pakaian


(61)

berusaha melihat aktifitas

seksual orang dewasa 0,1%

bertanya mengenai hubungan

suami istri 0,4%

menyentuh organ seksual

orang lain 4,9% bertanya mengenai sunat 0,3%

menyentuh alat kelamin teman 1,2% bertanya mengenai alat kelamin

hewan 0,1%

menyentuh alat kelamin orang

tua 3,7% bermain dengan alat kelamin 0,6%

saling meraba tubuh 0,1% membandingkan alat kelamin

dengan teman 0,4%

memeluk 0,1%

menggunakan alat kelamin sebagai permainan (lomba kencing)

0,2%

meminta berpelukan dalam

kondisi telanjang 0,1% bermain peran 0,6%

menirukan adegan porno 1,9% bermain manten-mantenan 0,5%

berbahasa seksual 2,9% bermain dokter-dokteran 0,1%

berbincang terkait seksualitas 2,9% memeluk 1,5%

clinging dengan lawan jenis

dewasa 0,2%

memeluk orang lain yang

dikenal 1,5%

berusaha kontak fisik dengan

teman lawan jenis 4,2%

berusaha kontak fisik dengan

teman lawan jenis 0,8%

duduk berdesakan dengan

lawan jenis 1,7%

bermain dengan teman lawan

jenis 0,8%

bermain dengan teman lawan

jenis 1,8%

bermain dengan teman

sejenis kelamin 0,5%

bergandengan tangan dengan

teman lawan jenis 0,7% Total 17,8%

menyentuh bagian tubuh

teman lawan jenis 1,6%

mencolek teman lawan jenis 0,9% menyentuh bagian tubuh teman

perempuan 0,5%

membelai rambut teman 0,2%

menempelkan alat kelamin

ke orang lain 0,2%

pacok-pacokan 4,2%


(62)

Selain dengan pasangan orang dekat, subjek juga menyebutkan perilaku seksual anak dengan pasangan romantis. Pasangan romantis yang dimaksud disini adalah kekasih. Perilaku seksual anak yang disebutkan di sini merupakan perilaku yang cenderung dilakukan oleh anak usia akhir (10 hingga 12 tahun).

Tabel 5. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Romantis (Partner – Romantic Partner)

Partner Romantic Partner

Arousal Persentase

beradegan intim dengan pacar (pacaran seperti orang

dewasa) 0,8%

mencium 0,3%

cipokan/ciuman di leher 0,2%

french kiss 0,1%

memperlihatkan organ seksual 0,1%

membuat film porno 0,1%

memeluk 0,4%

merangkul orang yang disayang / pacar 0,2%

berboncengan sambil memeluk 0,2%

berpacaran 0,8%

berhubungan badan / intercourse 0,7%


(63)

Contoh perilaku pada kategori tersebut adalah memeluk, mencium, berpacaran dan sebagainya. Subjek cenderung menyebutkan perilaku seksual yang biasa dilakukan oleh pasangan kekasih. Kategori perilaku seksual anak yang dilakukan dengan pasangan romantis memperoleh persentase sebesar 3%.

“Saat pulang sering terlihat ada noda cipok-cipokan.” (155.f) “Membuat film porno.” (041.n)

“Dari apa yang dilihatnya (hubungan intim orang tuanya) dia mulai coba-coba (punya pacar, pacaran di dekat rumahnya tapi gelap-gelapan). Kadang jalan-jalan dengan pacarnya sampai malam hari ddan tidak dilarang orang tuanya, ada yang pernah melihatnya berciuman dengan pacarnya dalam tingkah/pergaulan seperti orang dewasa. meski baru 5 SD, tapi payudaranya sudah kelihatan dan sudah menstruasi. badannya gemuk jadi mudah / dikira sudah remaja/dewasa.” (214.b)

Subjek juga menyebutkan beberapa perilaku yang termasuk ke dalam kategori perilaku seksual anak dengan pasangan orang asing. Pada kategori ini, subjek menyebutkan beberapa perilaku seksual anak kepada orang asing. Kategori ini memperoleh persentase sebesar 0,5%. Contoh perilaku pada kategori ini adalah memperlihatkan alat kelamin ke orang yang tidak dikenal, menyentuh alat kelamin orang yang tidak dikenal serta menerima pelukan dari orang asing.


(64)

Tabel 6. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Orang Asing (Partner – Strange People)

Partner Strange People

Arousal Persentase

memperlihatkan organ seksual 0,2%

memperlihatkan alat kelamin ke orang lain yang tidak dikenal 0,2%

menyentuh organ seksual orang lain 0,2%

menyentuh organ seksual orang lain tidak dikenal dengan

sengaja 0,2%

menerima pelukan/ciuman dari orang asing 0,1%

Total 0,5%

Kategori perilaku seksual anak dengan pasangan yang terakhir adalah perilaku seksual anak dengan pasangan hewan. Yang dimaksud dengan pasangan hewan adalah anak menunjukkan perilaku seksual tertentu kepada hewan. Kategori ini memperoleh persentase sebesar 0,5%. Kategori ini hanya terdiri dari 1 perilaku, yaitu menyentuh alat kelamin hewan.


(65)

Tabel 7. Perilaku Seksual Anak dengan Pasangan Hewan (Partner Animal)

Partner Animal

Arousal Persentase

menyentuh alat kelamin 0,2%

menyentuh alat kelamin hewan 0,2%

Total 0,2%

b. Perilaku Anak terkait Seksualitas

Kategori “Perilaku Anak terkait Seksualitas” berisi perilaku-perilaku anak pada umumnya, tetapi ada kaitannya dengan seksualitas. Kategori ini memiliki persentase sebesar 2,9%.

Tabel 8. Perilaku Anak terkait Seksualitas

Kategori Persentase

menendang alat kelamin 0,3%

bercanda dengan topik seksualitas 0,6%

memiliki idola 0,7%

berusaha melindungi lawan jenis yang ditaksir 0,2%

bicara istilah pacaran 0,3%

pakaian dalam terlihat ketika duduk 0,2%

bercerita ke orang tua mengenai lawan jenis 0,3%

membuat kriteria pasangan 0,2%

mengikuti teman yang disukai 0,2%


(66)

Contoh perilaku yang disebutkan subjek pada kategori ini adalah seperti membuat kriteria pasangan, serta terlihat pakaian dalamnya ketika duduk atau jongkok.

“Mengharapkan apabila suatu saat punya pacar mempunyai fisik menarik seperti idolanya.” (053.c)

“Terkadang lupa bahwa sudah besar (comtoh, anak perempuan kalau duduk roknya kemana-mana/kurang sopan).” (159.n)

Pada kategori ini, subjek menyebutkan perilaku-perilaku anak yang terkait dengan seksualitas, tetapi tidak termasuk ke dalam kategori perilaku seksual. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku yang disebutkan oleh subjek tidak bersifat pengumpulan informasi anak mengenai seksualitas (Kambouropoulos dkk, 2005). Perilaku-perilaku tersebut pada dasarnya adalah perilaku yang pada umumnya terjadi pada setiap orang. Bahkan perilaku terlihat pakaian dalamnya ketika duduk atau jongkok merupakan perilaku yang terjadi pada anak tanpa intensi dan tendensi apapun.


(67)

c. Perilaku Non-Seksual

Pada kategori perilaku non seksual, subjek menyebutkan beberapa perilaku anak yang sama sekali bukan perilaku seksual dan tidak terkait dengan seksualitas. Kategori ini memperoleh persentase sebesar 1,4%.

Tabel 9. Perilaku Non-Seksual

Kategori Persentase

bertingkah seperti orang dewasa 0,6%

merokok, dugem, minum-minuman keras 0,4%

Agresif 0,4%

Total 1,4%

Perilaku yang disebutkan oleh subjek contohnya adalah perilaku agresif anak, perilaku merokok, serta berperilaku seperti orang dewasa.

“Saya pernah melihat seorang anak laki-laki yang berumur SD sudah suka merokok secara terang-terangan di depan umum dan menggunakan motor secara ugal-ugalan.”(042.c)

“Anak ini laki usia sekitar 8 tahun. Dari kecil dia diasuh ibunya di lingkungan yang kebanyakan orang tua atau ibu-ibu. Karena kebiasaan itulah dia masih anak kecil tetapi omongannya sudah seperti orang dewasa.”(022.a)


(68)

2. Kategori “Non-Perilaku”

Menurut para orang tua dan guru, perilaku seksual anak tidak hanya berupa perilaku yang secara eksplisit terlihat. Mereka memiliki pandangan bahwa emosi dan pemahaman anak terkait seksualitas juga termasuk perilaku seksual. Kategori “Non-Perilaku” memiliki persentase sebesar 7,4%, dan terdiri dari 2 kategori besar yaitu pemahaman terkait seksualitas (5%) dan emosi terkait seksualitas (2,4%).

Tabel 10. Pemahaman Anak terkait Seksualitas

Kategori Persentase

Memahami identitas gender 2,4%

memahami konsep lawan jenis yang menarik secara fisik 1,5% memahami fungsi dan pemakaian alat kontrasepsi 0,3%

mengerti istilah pornografi 0,2%

mengerti norma sosial terkait seksualitas 0,4%

mengerti tentang konsep hubungan badan 0,1%

mengingat materi pelajaran terkait seksualitas 0,1%

Total 5%

Tabel 11. Emosi Anak terkait Seksualitas

Kategori Persentase

Malu 0,7%

Takut 0,2%

Cemas 0,3%

Tidak Nyaman 0,2%

Senang 1%


(69)

Para orang tua dan guru memiliki persepsi bahwa kemampuan anak untuk memahami konten atau materi terkait seksualitas adalah merupakan perilaku seksual. Hal ini disebabkan karena pemahaman anak mengenai seksualitas tercermin dari perkataan atau perbuatannya, sehingga hal tersebut dianggap subjek sebagai perilaku seksual juga. Contoh perilakunya adalah sebagai berikut.

“Saya wali dari anak yang berjenis kelamin perempuan kira

-kira umur 10 tahun, dia sudah mengerti bedanya kelamin anak perempuan dan laki-laki. Dia sudah mulai mengenal lawan jenis.” (119.a)

“Anak-anak pada umumnya sudah dapat menilai wajah

temannya mana yang cantik, ganteng, maupun jelek.”(009.a)

Subjek juga seringkali memandang bahwa pengetahuan anak mengenai seksualitas adalah hal yang tidak wajar. Pengetahuan anak terkait objek seksual seringkali dianggap aneh dan belum waktunya anak tahu.

“Anak seusianya yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah mengerti apa itu alat kontrasepsi padahal belum waktunya mereka tahu itu.”(087.e)

Padahal perkembangan teknologi yang semakin maju sangat memungkinkan hal tersebut terjadi. Anak-anak dapat dengan mudah mengetahui berbagai info terkait seksualitas dari internet atau media massa.

Serupa dengan pemahaman anak terkait seksualitas, subjek juga menganggap bahwa emosi anak terkait seksualitas merupakan perilaku seksual anak. Secara umum, subjek melaporkan emosi anak terkait


(70)

seksualitas berupa 4 macam, yaitu, malu, tidak nyaman, takut atau cemas, serta senang.

“Agak bereaksi berlebihan jika misal rok ibu terbuka, "ibu keliatan!". Tapi akhir-akhir ini agak berkurang.”(052.f) “Menutupi ketika datang bulan pertama kali(tidak berani bicara).”(159.j)

“Wanita, usia 9,5 tahun masih malu dan marah jika digoda teman pria.”(216.f)

“Ada yang cowok lebih seneng digendong tantenya yang

cantik - cantik, kalo yang cewek lebih seneng digendong om nya yang ganteng2.”(070.c)

3. Kategori “Reaksi terhadap Stimulus Seksual”

Para orang tua dan guru juga mengungkapkan reaksi terhadap stimulus seksual sebagai suatu perilaku seksual anak. Reaksi yang dimaksud adalah ereksi. Kategori ini memperoleh persentase sebesar 0,1%. Contoh dari perilaku ini adalah terangsang.

Contoh reaksi terhadap stimulus seksual yang disebutkan oleh subjek adalah sebagai berikut.

“Menonton tv gambarnya orang cantik lalu katanya

burungnya dia ereksi/berdiri.”(149.b)

“Tiba-tiba penis berdiri katika berkhayal yang

tidak-tidak.”(159.l)

Tabel 12. Reaksi terhadap Stimulus Seksual

Kategori Persentase

Terangsang 0,1%


(71)

4. Kategori “Konsekuensi dari Perilaku Seksual”

Para orang tua dan guru juga mengungkapkan reaksi serta dari perilaku seksual sebagai suatu perilaku seksual anak. Konsekuensi yang dimaksud adalah hamil dan menjadi korban pelecehan seksual.

Tabel 12. Konsekuensi dari Perilaku Seksual

No Kategori Persentase

1 Hamil 0,3%

2 menjadi korban pelecehan

seksual 0,2%

Total 0,4%

Contoh akibat dari perilaku seksual menurut subjek adalah sebagai berikut.

“Ada salah satu warga kampung saya yang sedang duduk di bangku sekolah sedang hamil di luar nikah karena kurangnya perhatian orang tua, kasih sayang dan pengawasannya yang kurang. Hal itu sangat disayangkan karena masa depannya hancur. Hal itu bisa terjadi karena alat modern saat ini sangat modern. contoh (laptop, HP) semua itu bisa ditiru anak remaja zaman sekarang.”(078.a)

“Ada tetangga saya yang di bawah umur udah menikah karena waktu sekolah hamil karena kurangnya pengawasan orang tua dan kasih sayang dan perhatiannya. Hal itu sangat disayangkan karena zaman sekarang sudah canggih karena ada alat komunikasi yang modern (HP, laptop). cukup itu yang saya ketahui.”(073.a)

“Anak umur di bawah 5 tahun pernah menjadi korban pelecehan seksual, saat main ke rumah tetangganya, dia disuruh membuka celana dalamnya oleh aak SMA yang ada di rumah itu. Lalu alat kelamin anak ini dipegang-pegang sama anak laki-laki tersebut.”(188.f)


(1)

206.c mencium

206.d memegang tangan teman

206.e menulis surat-surat cinta

207.a membaca komik yang belum saatnya dibaca

207.b melihat gambar-gambar yang sangat porno

207.c berbicara jorok

207.d suka memainkan dan pegang-pegang alat kelaminnya sendiri

208.a

saya pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri perempuan dan laki-laki duduk berduaan saling berpegangan dan ternyata sangat membahayakan juga kalu diliat. Perempuan tiduran dan laki-laki itu pegang-pegang salah satu bagian tubuhnya. Itu dapat dikatakan pelecehan seksual

208.b anak perempuan bermain bolam kecil kemudian di dalam rumah pura-pura bolam itu dimasukkan ke alat kelaminnya

208.c ada anak laki-laki duduk dibangku sendirian sambil bermain alat kelaminnya

209.a anak kecil pura-pura main dokter-dokteran pura-pura memeriksa tapi kebablasan memegang alat kelamin

209.b melihat vcd porno lalu menirukan


(2)

154

209.d selagi tidur mata mirem tapi kuping mendengarkan suara-suara yang ah ih uh

210.a anak umur 5-7,5 tahun suka mengintip temannya yang sedang mandi

210.b bermain dan memainkan alat kelaminnya

210.c ngomong jorok

211.a pengakuan anak-anak sudah pernah melihat film porno di hape2

211.b anak suka membuka rok teman satu kelas

211.c suka memamerkan organ tubuh yang tidak seharusnya/tidak pantas dipamerkan

212.a anak 4 tahun, cewek, kalau sedang mandi bersama dia suka pegang-pegang buah dada saya sambil berkata, "ini nenen mommy"

212.b

anak 4 tahun, cewek, dia sudah mengenali bahwa alat kelamin laki-laki dan perempuan berbeda, setidaknya yang dia lihat dari sepupunya dan berkata, "mommy, bokongnya Devin lain sama bokongku. Punya Devin panjang". Anak saya menyebut alat kelaminnya dengan kata "bokong" sementara ini saya memang masih membiarkannya.

213.a perempuan 10 tahun, kelas 4 SD. Perilaku dengan teman lawan jenis malu-malu tersipu

213.b suka berdandan

213.c senang dengan aksesoris

213.d pengen tahu dengan situasi/pengenalan kewanitaan (menstruasi)


(3)

213.e sudah mulai mengenal perbedaan lawan jenis

213.f suka memakai parfum

214.a

perempuan umur 10 tahun. Karena keterbatasan ekonomi, maka diasuh dan dibesarkan dalam keluarga sederhana (rumah dari anyaman bambu), kadang ingin tahu yang dilakukan orang tuanya. Ibunya dinikahi ayah tirinya.. Agak ruwet. Meski baru kelas 5 tapi pernah melihat orang tuanya berhubungan intim sehingga dia salah bergaul (hamil dan akhirnya harus menikah)

214.b

dari apa yang dilihatnya (hubungan intim orang tuanya) dia mulai coba-coba (punya pacar, pacaran di dekat rumahnya tapi gelap-gelapan). Kadang jalan-jalan dengan pacarnya sampai malam hari ddan tidak dilarang orang tuanya, ada yang pernah melihatnya berciuman dengan pacarnya dalam tingkah/pergaulan seperti orang dewasa. meski baru 5 SD, tapi payudaranya sudah kelihatan dan sudah menstruasi. badannya gemuk jadi mudah / dikira sudah remaja/dewasa.

215.a laki-laki umur 12 tahun. Merasa malu jika ganti baju (telanjang) dihadapan arang lain yang bukan keluarga, tetapi dengan keluarga inti belum terlalu malu.

215.b tidak pernah membicarakan lawan jenis, cuek bahkan marah-marah ketika di olok-olok dengan teman wanita

215.c selalu bermain kelompik dengan teman pria, tidak pernah mengambil prakarsa untuk ngobrol atau bermain dengan teman wanita

215.d muali memperhatikan bau tubuh, baju kalau tidak wangi marah. Mulai memakai pewangi

215.e

mulai mematut-matut diri di kaca, mualai agak rapi dalam penampilan. Di rumah tidak terlalu memperhatikan baju/celana yang dipakai sedangkan untuk bepergian sudah mulai memilih baju/celana yang diinginkan yang membuat nyaman menurut dirinya


(4)

156

215.f masih suka dicium mamanya dengan syarat : dirumah dan tidak di depan orang lain, tetapi akan sangat marah jika di luar rumah dan di depan orang lain

216.a wanita, usia 9,5 tahun senang banget dibilang cantik

216.b wanita, usia 9,5 tahun senang memakai baju agak seksi biar seperti kakaknya

216.c wanita, usia 9,5 tahun malu ganti di depan bapaknya/orang lain kecuali ibu

216.d wanita, usia 9,5 tahun sudah memakai mini set (BH untuk anak-anak)

216.e wanita, usia 9,5 tahun bila berkaca/bercermin lama sambil senyum-senyum

216.f wanita, usia 9,5 tahun masih malu dan marah jika digoda teman pria

217.a pernah berkata "ngentot". Saya beritahu bahwa itu kata-kata saru


(5)

vii

PERSEPSI ORANG TUA DAN GURU MENGENAI PERILAKU

SEKSUAL ANAK

Arafiani Difka Putri

ABSTRAK

Orang tua dan guru sering merasa cemas terhadap perilaku seksual anak mereka, apakah perilaku tertentu adalah normal atau tidak. Sayangnya, informasi ilmiah tentang perilaku seksual anak dalam budaya Asia dirasa masih kurang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi awal terhadap perilaku seksual anak berdasarkan perspektif orang tua dan guru. Dengan menggunakan pendekatan adat, kuesioner terbuka dipakai untuk melihat perilaku seksual anak dari perspektif orang tua dan guru. Dua ratus tujuh belas orang tua dan guru menjawab kuesioner secara pribadi. Jawaban dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu perilaku seksual anak (misalnya bertanya tentang seksualitas, perilaku voyeuristik, minat pada seks lainnya, menyentuh yang lain alat kelamin, dll) (83,1%), pengetahuan tentang seksualitas (misalnya mengerti tentang identitas gender, mengerti tentang orang lain seks secara fisik menarik, dll) (5% ), perilaku yang berkaitan dengan seksualitas (2,9%), emosi yang berkaitan dengan seksualitas (2,4%), perilaku non-seksual (1,4%), konsekuensi dari perilaku seksual (0,4%), respon terhadap perilaku seksual (0,1%), dan lainnya (2,9%). Temuan ini memberikan informasi empiris tentang perilaku seksual anak berdasarkan perspektif orangtu dan guru di Indonesia. Hal ini dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang perilaku seksual anak dan latar belakang budaya, yang pada gilirannya dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana konteks budaya mempengaruhi persepsi tentang perilaku seksual anak.


(6)

viii

INDONESIAN PARENT AND TEACHER PERSPECTIVE ON CHILD

SEXUAL BEHAVIOR

Arafiani Difka Putri

ABSTRACT

Frequently parents are anxious on their child sexual behavior, whether a certain behavior is normal or not. Unfortunately, there is lack of scientific information on child sexual behavior in Asian culture. This study aims at giving early information on child sexual behavior based on the perspective of parent and teacher. Using an indigenous approach, an open ended

questionnaire was employed to tap child sexual behavior from parent and teacher’s

perspective. Two hundred and seventeen parents and teachers answered the questionnaire privately. Answers could be categorized into some groups e.i. child sexual behavior (e.g.

asking about sexuality, voyeuristic behavior, interest in other sex, touching other’s genitalia,

etc) (83.1%), knowledge on sexuality (e.g. understood about gender identity, understood about

others sex’s physical appealing, etc) (5%), behavior related to sexuality (2.9%), emotion related to sexuality (2.4%), non-sexual behavior (1.4%), consequence of sexual behavior (0.4%), response to sexual behavior (0.1%), and others (2.9%). This finding gives an empirical information on child sexual behavior based on Indonesian parent and teacher perspective. It can provide a more complete picture of child sexual behavior and its cultural background, which in turn could give a better understanding on how the cultural context affects perceptions about child sexual behavior.

Keyword : sexuality, children, caregiver, culture, Indonesia