Komunikasi dengan gerakan bibir juga akan meningkatkan dan mempermudah interaksi sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
Yuhan 2013 memaparkan bahwa familiaritas memainkan peran penting dalam interaksi anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Anak
tunarungu mampu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ dengan tingkat familiaritas yang sama dibandingkan dengan „anak dengar‟ yang tidak
familiar. Temuan familiaritas juga tampak dalam penelitian ini hanya saja temuan ini justru tampak pada interaksi antara anak tunarungu dengan anak
tunarungu dalam berkomunikasi. Penelitian ini menemukan anak tunarungu berkomunikasi dengan sesama anak tunarungu dengan menggunakan bahasa
isyarat berupa abjad jari. Pemaparan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh Yuhan
2013 menggambarkan bahwa interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ akan berlangsung dengan cukup baik apabila
menggunakan komunikasi linguistik sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan. Anak tunarungu bisa saja menggunakan bahasa
isyarat dengan sesama anak tunarungu tetapi isyarat tersebut belum tentu bisa dilakukan untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟. Hal tersebut
disebabkan oleh tingkat familiaritas yang berbeda antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terkait abjad jari Yuhan, 2013.
4. Anak Tunarungu VS ‘Orang Dengar’
Adapun temuan lainnya, yaitu anak tunarungu tidak hanya berinteraksi dengan sesama tunarungu
ataupun „anak dengar‟, tetapi mereka PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Interaksi yang terjadi melibatkan kontak sosial dan komunikasi, baik nonlinguistik ataupun linguistik.
Interaksi sosial yang melibatkan „orang dengar‟ berupa bantuan untuk berko
munikasi dengan „anak dengar‟. Salah satu dampak ketunarunguan adalah anak tunarungu menjadi
lebih bergantung pada orang lain dan beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya Efendi, 2006. Hal ini juga tampak dari temuan dimana anak
tunarungu meminta bantuan „orang dengar‟ untuk menterjemahkan pesan
kepada „anak dengar‟ agar dipahami. Selain itu, familiaritas antara anak tunarungu dengan „orang dengar‟ juga menjadi hal penting dalam interaksi
sosial mereka. Familiaritas juga didukung oleh kemampuan anak tunarungu untuk berkomunikasi secara verbal dengan „orang dengar‟. Yuhan 2013
juga memaparkan bahwa komunikasi oral akan mempermudah interaksi sosial anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial
Temuan lainnya adalah macam-macam interaksi sosial yang terjadi ketika anak tunarungu sedang bersama sesama tunarungu dan dengan „anak
dengar‟. Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu terjadi saat mereka sedang bermain bersama atau membantu
sesama. Temuan ini justru tidak sejalan dengan dampak ketunarunguan secara sosial-emosi yang dipaparkan oleh Efendi 2006. Efendi 2006
justru memaparkan bahwa anak tunarungu lebih menampakkan sikap asosial dan menunjukkan sikap bermusuhan. Sikap negatif ini justru tidak tampak
pada anak tunarungu dan sebaliknya anak tunarungu justru banyak menghabiskan waktu untuk bercengkrama dan bersenda gurau bersama.
Perilaku di atas menunjukkan bahwa anak tunarungu sangat nyaman ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu. Most, dkk 2011
mendukung temuan tersebut karena penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesuksesan interaksi sosial anak tunarungu dipengaruhi oleh tingkat
pendengaran yang sama. Mereka terbiasa untuk memulai interaksi terlebih dahulu dan menghabiskan waktu lebih lama. Selain itu, mereka juga lebih
ekspresif ketika sedang berkomunikasi satu sama lain. Temuan ini didukung oleh Most, dkk 2011 bahwa anak tunarungu memiliki pengalaman yang
baik ketika berinteraksi dengan sesama anak tunarungu sehingga interaksi di antara mereka berjalan dengan sukses. Walaupun ada perasaan nyaman,
tidak semua interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dapat terjadi. Penelitian ini menemukan bahwa kadang pula
terjadi penolakan interaksi sosial, seperti menolak pelukan atau sentuhan. Kadang anak tunarungu menolak sebuah interaksi sosial dengan cara
mengabaikan. Selain itu, interaksi sosial juga bisa saja tidak terjadi karena anak tunarungu juga memilih untuk berkegiatan sendiri dan tidak menjalin
interaksi dengan siapapun. Interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ justru
berbeda dengan sesama anak tunarungu. Interaksi sosial mereka berlangsung cukup singkat karena mereka lebih memilih untuk diam dan
memperhatikan keadaan sekitarnya. Brown Remine, Prescott, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rickards 2000 menemukan bahwa anak tunarungu memilih menunggu didekati oleh „anak dengar‟ dalam aktifitas nonpermainan. Hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya konten linguistik dalam interaksi mereka sehingga interaksi mereka tidak terjadi atau terjadi dalam durasi yang
singkat Keating dan Mirus dalam Yuhan, dkk tahun 2013. Penelitian ini juga menemukan bahwa anak tunarungu memilih untuk berkegiatan sendiri,
duduk berjarak, tidak terlibat dalam percakapan, dan mengabaikan kehadiran orang lain. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
dimana anak tunarungu menghindari untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ karena memiliki ketakutan akan kegagalan dalam berinteraksi
Most, dkk tahun 2011. Menghindar i interaksi dengan „anak dengar‟ juga
merupakan salah satu cara adaptasi anak tunarungu terhadap kesulitan mereka untuk berbahasa Yuhan, 2013.
Bentuk interaksi sosial yang kompleks menunjukkan adanya perbedaan durasi interaksi sosial antara anak tunarungu dengan sesama anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Interaksi sosial anak tunarungu dengan anak tunarungu bisa berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan interaksi sosial antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya familiaritas antara anak
tunarungu dengan sesama anak tunarungu Yuhan, 2013. Penyebab lainnya adalah „anak dengar‟ yang kurang mampu memahami anak tunarungu
sehingga interaksi sosial berakhir dengan durasi yang tidak panjang Weisel dalam Yuhan, dkk tahun 2013. Penelitian ini juga menemukan penolakan
interaksi sosial yang terjadi dalam interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penolakan interaksi terjadi karena kegagalan dalam
penyampaian pesan antara anak tunarungu denga n „anak dengar‟ dan tidak
mendapatkan respon dari „anak dengar‟. Yuhan, dkk 2013 memaparkan bahwa anak tunarungu memiliki kesulitan untuk mengekspresikan sesuatu
secara verbal sehingga meraka mengalami kegagalan berkomunikasi atau tidak mendapatkan respo
n dari „anak dengar‟. Temuan menarik lainnya adalah anak tunarungu juga cenderung
menghabiskan waktu dengan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda. Interaksi sosial yang terjadi di antara mereka saling bercanda dengan
membuat ekspresi lucu. Interaksi ini terjadi karena anak tunarungu dan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda memiliki tingkat familiaritas yang
sama sehingga mereka bisa memahami maksud satu sama lain Yuhan, 2013.
Selain itu, interaksi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ yang usianya lebih muda tidak melibatkan banyak komunikasi linguistik
atau penyampaian pesan secara verbal Yuhan, dkk tahun 2013. Temuan ini juga didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya dimana anak tunarungu
memiliki keterbatasan dalam kosakata Yuhan, dkk tahun 2013 sehingga membuat mereka lebih mudah membangun interaksi sosial dengan „anak
dengar‟ yang tidak banyak melibatkan komunikasi linguistik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan