Latar Belakang Masalah Interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan ` Anak Dengar

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

World Health Organization WHO mengatakan bahwa 80 penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Sepertiga dari 80 jumlah penyandang disabilitas merupakan anak- anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia ada 7-10 dari jumlah populasi di Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014 disabilitas pendengaran menempati posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis disabilitas ganda dan disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87 dari total disabilitas yang ada di Indonesia www.depkes.go.id. Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat Statistik BPS terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Infodatin Kementrian Kesehatan 2014. Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang mengalami disabilitas pendengaran www.depkes.go.id. Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami disfungsi pendengaran dan mempengaruhi kehidupan sehari-sehari Somantri, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2007. Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. Arifin, 2015. Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa. Marschark dan Spencer 2003 mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang „anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama Liben, 1978. „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori. Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain Brown dan Remine, Prescot, dan Rickards, 2000 sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif. Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami oleh orang-orang di sekitarnya Liben, 1978. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam Most, Ingber, dan Heled- Ariam, 2011 kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan 2013 mengatakan bahwa bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010. Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial Soekanto, 2006. Interaksi sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik dan nonlinguistik serta permainan sosial Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013. Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang kurang lebih sama Yuhan, 2013. Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika mencoba untuk melakukan kontak sosial. Terkadang komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan konten linguistik dan berakhir dengan cepat Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013. Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk b erinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟ Bat-Chava dan Deignan, 2001. Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013. Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013. Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada komunikasi. Terkadang, setelah kontak sosial terjadi akan ada proses penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken, Powers, dan Watson 1998 yang mengatakan bahwa anak tunarungu cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟. Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟ Yuhan, 2013. Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak teman Bat-Chava dan Deignan, 2001. Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa „anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka. Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian yang berkepanjangan Most, 2007. Penolakan ini juga menjadi acuan apakah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu interaksi. Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013 dan gambaran tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan, dkk 2013 memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak dengar‟. Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun Weisel et al, 2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013. Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟. Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen Yuhan, Potmesil, dan Peters tahun 2013. Observasi banyak digunakan pada responden dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah menggunakan kuesioner dan eksperimen Yuhan, dkk, 2013. Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya. Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama interaksi berlangsung.

B. Rumusan Masalah