dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah
menggunakan kuesioner dan eksperimen Yuhan, dkk, 2013. Metode pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk
melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak
dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan
secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya. Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan
merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran
perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama
interaksi berlangsung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak tunaru
ngu dengan „anak dengar‟? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟.
D. Manfaat Penelitan
1. Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
2. Secara Praktis
Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk
berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga
mereka tidak
merasa kesepian.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu
bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan siapa saja dan di mana saja.
Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami
perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen
konflik. 1.
Definisi
Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto 2006 dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan
suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli
dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; ReberReber,
2010. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak
tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial, komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial
Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan aksi dan respon reaksi dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi
linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial. Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang.
Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam
interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud
apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi
sosial Loomis dalam Arifin, 2015.
2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto 2006 mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru akan terjadi apabila ada kontak sosial dan komunikasi. Dua hal ini
ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti apa-
apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi: a.
Kontak Sosial
Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi sosial. Menurut Arifin 2015 kontak sosial merupakan hubungan antara
individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang tujuan masing-masing. Menurut Soekanto 2013 kontak sosial terjadi
apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu
menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara
individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan individu lainnya.
Menurut Soekanto 2013 kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu Kontak sosial primer langsung dan kontak sosial sekunder tidak
langsung.
Kontak sosial primer
merupakan suatu hubungan antar individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi
tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan kontak mata.
Sebaliknya,
kontak sosial sekunder tidak langsung
merupakan kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan
ada pengaruh dari luar. Perantara ini bisa berupa alat atau benda untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri.
Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan
informasi yang diberikan oleh individu C Soekanto, 2006. Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam
penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan
emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum
dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan
tertentu Arifin, 2015. Menurut Walgito 2003 komunikasi merupakan proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti informasi, pemikiran, pengetahuan, dll yang disampaikan oleh pengirim
pesan kepada penerima pesan. Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide, pikiran, dan perasaan seseorang kepada orang lain.
Menurut Marschark dan Spencer 2003 ada dua jenis komunikasi
yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu:
1 Komunikasi Nonlinguistik
Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi
wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis 2012 bahwa komunikasi nonlinguistik nonverbal merupakan komunikasi yang
menggunakan gerak tubuh
body movement,
gestur
,
dan ekspresi wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata
atau ucapan. Menurut Berkowitz 1980 komunikasi nonlinguistik akan
tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah
.
Ekman dan Friesen dalam Berkowitz, 1980 mendeskripsikan 5 macam perilaku
nonverbal. Perilaku tersebut adalah
emblems, illustrators, affects, regulators,
dan
adapters.
Pertama adalah
emblems. Emblems
merupakan suatu gerakan yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya,
melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua,
illustrators
merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil
menunjukkannya menggunakan tangannya. Ketiga adalah
affect.
Affects
mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan
muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan Friesen dalam Berkowitz, 1980 mengatakan bahwa afek juga dapat
tampak pada gerakan tubuh seseorang. Keempat,
regulators
merupakan suatu sinyal yang dapat muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk
melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya. Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan
perubahan postural. Kelima,
adapters
merupakan salah satu perilaku yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan
perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan.
Selanjutnya adalah ekspresi wajah. Ekspresi wajah merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul
dalam diri seseorang Berkowitz, 1980. Ekspresi wajah seseorang tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah
dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman 2010 menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah,
sedih, senang, takut, dan jijik. Emosi yang pertama adalah marah.
Marah
merupakan ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi
kemarahan dapat dilihat dengan otot yang kencang pada alis, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis, mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik,
dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir.
Kedua
, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut
bibir yang ditarik ke bawah.
Ketiga
adalah perasaan senang. Ciri-ciri ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi,
kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu, ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar
yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan.
Keempat,
ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan
sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya.
Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan
penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak.
Terakhir
adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal
mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik. Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang melibatkan gerak tubuh, perilaku nonverbal dan ekspresi wajah.
2 Komunikasi Linguistik
Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau
bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan
menggunakan bahasa yang dipahami. Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen
yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi
sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi. Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud
masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan Soekanto, 2013.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak
tunarung u dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan
komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik.
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin 2015 ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut: a.
Kerjasama PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin
dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama lain.
b. Persaingan
Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa
bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam mencapai suatu tujuan.
c. Pertentangan Konflik
Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok.
Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau pandangan terhadap suatu hal.
d. Akomodasi
Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan.
Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu.
4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya. Menurut Yuhan 2013, tahapan-tahapan tersebut
adalah:
a. Inisiasi interaksi sebaya
Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan
sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga
membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat
anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa non-
verbal atau gestur tubuh. b.
Memantau Interaksi Sebaya
Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu
mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya faktor-
faktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak
Tunarungu
Menurut Yuhan 2013 ada beberapa faktor yang mempengaruhi
interaksi sosial pada anak tunarungu, yaitu:
a. Bahasa dan kemampuan berbicara
Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga
dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi
mereka. b.
Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema sebaya
Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini
membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi
masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya. Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan
pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki
pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi
sebaliknya pada „anak dengar‟.
c. Model komunikasi
Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini
yang paling banyak dikuasai oleh anak tunarungu karena ini merupakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa
mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa
anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan
bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa
isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang
mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.
B. Ketunarunguan
1. Definisi
Menurut Arifin 2015 anak tunarungu adalah seorang anak yang mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ
telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi 2006 yang mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami
kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah kecelakaan atau tidak diketahui sebabnya.
Menurut Somantri 2007 tunarungu merupakan suatu keadaan di mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan
pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan sehari- hari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang
yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena
kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya.
2. Klasifikasi Ketunarunguan
a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel dB
Berdasarkan kriteria
International Standard Organization ISO
dalam Arifin, 2015 klasifikasi gangguan pendengaran pada anak tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori
tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Intensitas Bunyi dB
Tingkat Pendengaran
0-20 dB Normal
20-30 dB
Slight Losses
30-40 dB
Mild Losses
40-60 dB
Moderate Losses
60-75 dB
Severe Losses
75 dB
Profoundly Losses
Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori
slight losses
adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan. Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada
batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus
terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat
mendengar menggunakan alat bantu dengar. Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori
mild losses
adalah mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk
mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi
pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu
kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara.
Anak-anak tunarungu dalam kategori
moderate losses
dapat mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan
dalam jarak dekat 1 meter sehingga mereka sering salah tangkap atau salah paham terhadap lawan bicaranya. Ciri lainnya adalah
perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam
percakapan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori
severe losses
adalah mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki
kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa.
Profoundly losses
merupakan tingkat pendengaran yang paling parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara
keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap
pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi.
b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran
Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif,
tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran.
Tunarungu konduktif
merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang
pendengaran
malleus, incus,
dan
stapes.
Bagian-bagian tersebut memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa
mendengar. Lalu,
tunarungu perseptif
merupakan gangguan pendengaran yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat
pada telinga bagian dalam. Keadaan ini terjadi karena rumah siput, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
serabut saraf pendengaran, dan
corti
yang mengubah rangsang mekanis menjadi elektris tidak diteruskan ke otak.
Sedangkan
tunarungu campuran
adalah suatu keadaan di mana kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai
penghantar dan penerima rangsang.
c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan
Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua jenis, yaitu tuli bawaan
Deafness Conginetal
dan tuli fungsional
Deafness Functional
. Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor
lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan
adanya disfungsi organik.
d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan
Menurut Denmark 1994 anak tunarungu dibagi menjadi dua jenis, yaitu
preverbal deafness
dan
postlingual deafness. Preverbal deafness
adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa.
Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat
mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam
perkembangan bahasa verbal mereka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebaliknya,
postlingual deafness
merupakan ketunarunguan yang dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap
perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini
sangat jarang dialami oleh anak-anak.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Telford dan Sawrey dalam Mangunsong, 1998 ada beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak
tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara.
Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat
anak tunarungu mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami keterbelakangan di sekolah.
4. Penyebab Ketunarunguan
Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal.
Pertama,
penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan terjadi saat bayi masih dalam kandungan ibu. Beberapa penyebab
ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau keturunan,
maternal rubella,
pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan
Toxoemia. Kedua, p
enyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran
premature, faktor resus, dan
Tang Verlossing. Ketiga,
penyebab ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan postnatal adalah
meningitis cebralis,
infeksi, dan otitis media kronis.
5. Dampak Ketunarunguan
Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap
penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: a.
Secara Fisik
Menurut Arifin 2015 ada beberapa dampak yang dialami oleh anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera
pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu
mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan dalam meniti fase-fase perkembangan.
b. Secara Sosial-Emosi
Menurut Efendi 2006 dan Van Uden dalam Efendi, 2006 beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak
tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih menunjukkan sikap bermusuhan dan lebih menarik diri dari lingkungan.
Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan
beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa
dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
c. Secara Bahasa
Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak
tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan
untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka
juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda.
C. Perkembangan Anak Tunarungu
Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam
satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini
hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun
Bukatko, 2008.
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock 2009
perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi: a.
Tubuh
Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.
Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada
masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya. b.
Otak
Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan
otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.
Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol
perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur aduk
,
menghambat gerakan motorik
,
dan fleksibel dalam menentukan
pilihan yang berlawanan Munkata dalam Santrock, 2009
.
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan.
Perkembangan motorik dibagi menjadi 2, yaitu motorik kasar dan motorik PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak
perempuan Santrock, 2009. Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki Santrock
2009.
a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’
Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan
motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain
lompat tali. Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun
adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai
menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil
warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun
anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah
lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat
suatu kerajinan tangan yang lebih kompleks, misalnya membuat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan suatu alat musik.
b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu
Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami
disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan
Waelvelde 2008 anak tunarungu mengalami kekurangan dalam keseimbangan,
koordinasi dinamis
umum
general dynamic
coordination
, kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.
Pertumb uhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak
dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan
motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik
mereka. Wiegersma dan Van der Velde dalam Gheysen, Loots, dan Waelvelde, 2008 mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu
mengalami keterlambatan
adalah gangguan
syaraf, disfungsi
pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu
kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeksplor lingkungannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran yang disadari oleh seseorang Santrock, 2009. Salah satu perkembangan
proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah
theory of mind
Marschark dan Hauser, 2012.
Theory of mind
adalah kesadaran seorang anak terhadap proses mental dirinya dan proses mental orang lain Santrock, 2009. Menurut
Marschark dan Hauser 2012
theory of mind
merupakan kemampuan seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan
kepercayaan
belief
orang lain. Perkembangan
theory of mind
sangat penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi
sosial. Perkembangan
theory of mind
pada anak-anak sangat bergantung pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu,
kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif seseorang dalam konteks sebab akibat Marschark dan Hauser, 2012.
Theory of mind
juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya
kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya. Perkembangan
theory of mind
antara anak tunarungu dan „anak dengar‟ juga berbeda. Courtin dalam Santrock, 2009 mengatakan bahwa
anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada tugas
theory of mind
mereka, terutama anak-anak tunarungu yang memiliki PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
„orangtua yang mendengar‟
hearing parents.
Marschark dan Hauser 2012 juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan
dalam
theory of mind
dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya. Selain
theory of mind,
intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan
untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman Santrock, 2009.
Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ Furth dalam Efendi, 2006. Hambatan-hambatan
inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan
atau menarik sebuah kesimpulan Somantri, 2007. Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel
bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi
yang setara den gan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang
dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan
orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka
bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangan mereka.
4. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa pada anak- anak yang „mendengar‟ dan pada
anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan yang dimilikinya Marschark dan Spencer, 2003. Anak-anak tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk
mengungkapkan emosi mereka secara verbal. Normalnya seorang anak akan mengalami fase
reflexive vocalization
0-6 minggu
, babbling
6 minggu-6 bulan
, lalling
6 bulan-9 bulan
, yargon
9 bulan-12 bulan
,
dan
true speech
12 bulan- 18 bulan Smith dalam Efendi, 2006. Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan
pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase
babbling.
Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak
tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri maupun orang lain.
Menurut Denmark 1994 anak tunarungu memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar
ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa.
Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa
berinteraksi dengan orang lain. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurut Marschark dan Spencer 2003 yang termasuk dalam
perkembangan bahasa anak tunarungu adalah: a.
Fonologi
Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak berusia 1 tahun sampai 6 tahun bagi anak-anak yang belajar bahasa
inggris sebagai bahasa ibu. Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer 2003
menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.
Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan
perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya dengan kosakata yang baru.
Anak tunarungu menguasai konsonan p, b, m lebih awal dibandingkan f,v. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang
dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu
yang lama untuk dikuasai. b.
Morfologi dan Sintaks
Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih
luas dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata,
kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak
Marschack dan Spencer, 2003.
c. Kosakata
Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai 14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata
Santrock, 2009. Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata saat mereka menginjak usia 18 tahun Marschark dan Spencer, 2003.
Menurut Jensema dalam Efendi, 2006 anak-anak tunarungu yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara
dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.
5. Perkembangan Sosio-emosi
Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain
perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan Marschark dan
Spencer, 2003. Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan
sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri mereka dengan sesamanya Santrock, 2009.
Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta
kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock 2009 hal ini disebut dengan
perspective
taking
di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.
Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari
orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir anak- anak masih memiliki egosentri
sme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟.
Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini
disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain.
Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak
tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap
emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah
Somantri, 2007. Anak
tunarungu yang
mengalami keterlambatan
dalam perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri
bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama
yang tunarungu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Kerangka Konseptual
Interaksi sosial akan terjadi apabila ada dua individu atau lebih yang sedang bersama dan melibatkan kontak sosial serta komunikasi. Interaksi sosial
juga terjadi pada anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Kontak sosial yang terjadi dalam interaksi
keduanya akan melibatkan kesadaran dan emosi sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain. Kontak sosial tersebut akan digambarkan dari
perilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain kontak sosial, peneliti juga
akan menggambarkan perilaku komunikasi antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Komunikasi
yang akan digambarkan memiliki dua jenis, yaitu komunikasi linguistik dan komunikasi nonlinguistik.
Peneliti berharap melalui penelitian ini dapat menggambarkan perilaku kontak sosial dan komunikasi antar-anak tunarungu dan anak tunarungu
dengan „anak dengar‟. Gambaranperilaku yang tampak antara anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu akan dibandingkan dengan gambaran perilaku
antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penjabaran kerangka konseptual akan
tampak pada
skema 1.
Interaksi Sosial Kontak Sosial
Anak Tunarungu dengan Sesama Anak
Tunarungu
Anak Tunarungu dengan Anak Dengar
Komunikasi Komunikasi
Linguistik Anak Tunarungu
dengan Sesama Anak Tunarungu
Anak Tunarungu dengan Anak Dengar
Komunikasi Nonlinguistik
Anak Tunarungu dengan Sesama Anak
Tunarungu
Anak Tunarungu dengan Anak Dengar
Skema 1
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian