Timur dan golongan Orang Bumi Putra. Akibat adanya perjanjian Palihan Nagari tercatat penduduk Kesultanan Yogyakarta pada saat itu berkisar antara 522.300 Jiwa.
18
Apabila kita berada di sebuah pertemuan-pertemuan penting, diskusi, upacara kepahlawanan atau seminar-seminar pendidikan, kita akan melihat seorang tua yang bertubuh
mungil, memakai peci hitam dan syal di leher serta tidak lupa membawa termos minum selalu hadir. Orang tua tersebut pembawaanya ramah tamah, penuh semangat, dan sangat
berwibawa. Orang tua itu juga selalu duduk di barisan depan bersama orang-orang besar dan penting lainnya. Orang tua tersebut juga sangat disegani oleh para tokoh masyarakat,
pemerintah, para pemuda, para pemuka adat dan agama, dan lain-lain. Apabila ada yang belum mengenal orang tua tersebut pasti bertanya-tanya siapa beliau itu? Orang tua yang kita
bicarakan inilah yang bernama Ki Sugondo Kartoprojo. Sedangkan
pada tahun 1930, penduduk Kesultanan Yogyakarta meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.
2.2 Pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo
19
Ki Sugondo Kartoprojo atau yang bernama asli dengan nama R.M Soegondo Kuwuri Kusman lahir di Onder Distrik Watukarang Yogyakarta pada 15 Juli 1908. Sugondo
merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara. Abang tertua Sugondo bernama Sundoro Kartoprojo. Sugondo merupakan anak dari Raden Ngabehi Pringgo Kartoprojo yang
menjabat sebagai kepala Onder Distrik Gunung Kidul. Sebagai seorang kepala Onder Distrik atau sekarang ini disebut dengan kepala camat, Raden Ngabehi sering dipindah tugaskan dari
satu kota ke kota lainnya menurut perintah kesultanan. Kedudukan terakhir Raden Ngabehi adalah sebagai Asisten wedana Kl.1. Sehingga semasa kecil, Sugondo sering berpindah-
pindah rumah mengikuti pekerjaan ayahnya. Keluarga Sugondo masih memiliki keturunan bangsawan dari Sultan Hamengku Buwono I dari Mataram. Oleh karena itu, Sugondo kecil
18
Ibid., hal.2
19
Wawancara: Ki H. Moh. Marzuki pada 14 Novemver 2012
Universitas Sumatera Utara
sudah diasuh layaknya anak-anak Bangsawan Jawa pada umumnya dengan penuh kasih sayang dan tata krama.
Ketika masih kecil, Sugondo senang mendengar cerita sebelum tidur dari nenek dan ibunya tentang wayang. Topik yang disenangi Sugondo adalah tentang kepahlawanan,
keberanian dan kejujuran. Sugondo mengangumi kepahlawanan Raja-raja Mataram yang merupakan leluhurnya sendiri. Ayah Sugondo berharap dengan menanamkan cerita-cerita
leluhurnya maka Sugondo kelak menjadi seorang anak yang baik, jujur dan membela keadilan. Ternyata sikap yang diharapkan ayah Sugondo telah dimiliki Sugondo semenjak
kecil. Hal ini terlihat dari kehidupan Sugondo semasa sekolah. Pada awalnya, Sugondo bersekolah di sekolah rendah yang pada saat itu bernama
H.I.S Holand Indlands School di Desa Tangka Yogyakarta. Sugondo sangat menyenangi mata pelajaran sejarah dan bahasa. Walaupun merupakan murid yang paling kecil di kelas,
Sugondo memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan. Sifat kepemimpinan Sugondo tercermin dari usaha Sugondo di dalam mempertahankan kebenarannya, beliau berani menanggung
segala akibat dan perbuatannya. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas empat, pernah terjadi suatu peristiwa di kelasnya, karena adanya suatu keperluan, guru meninggalkan kelas, dan
pada saat itulah murid-murid yang lainnya melakukan permainan perang-perangan kertas di dalam kelas. Kelas yang awalnya sunyi menjadi gaduh dan kotor karena kertas-kertas
berserakan di lantai. Sugondo sendiri memilih diam di kelas dan tidak ikut bermain. Sugondo yang melihat keadaan kelas menjadi kotor akhirnya mengutip kertas yang berserakan di
lantai, dan pada saat itulah guru masuk ke kelas dan melihat keadaan kelas menjadi gaduh. Guru menangkap murid-murid yang bermain perang-perangan tersebut dan menghukumnya
termasuk Sugondo kecil. Sugondo yang merasa tidak ikut bermain menolak hukuman
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dengan tegas beliau menolak dan mengatakan bahwa: “Saya tidak ikut bermain”.
20
Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Adi Dharmo kemudian Sugondo meneruskan pendidikannya ke sekolah Taman Dewasa Taman Siswa. Sekolah Taman Siswa
tersebut setara dengan Mulo Kweek School. Di sekolah inilah, Sugondo menerima pendidikan mata pelajaran umum dan ilmu kependidikan. Pada sekolah ini pulalah Sugondo menerima
didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara. Teman-teman lainnya ikut membenarkan pernyataan Sugondo tersebut. Namun gurunya tetap
menyatakan Sugondo bersalah dan tidak mau menerima pernyataan Sugondo. Akibat merasa dirinya benar dan ketidakpercayaan gurunya kepadanya, Sugondo memutuskan untuk keluar
dari sekolah bersama kelima temannya. Untuk melanjutkan pendidikannya, Sugondo pindah ke sekolah Adi Dharmo. Sekolah
Adi Dharmo dipimpin dan diasuh oleh R.M Suryo Pranoto atau dikenal sebagai Raja Pemogokan yang merupakan abang kandung Ki Hajar Dewantara, beliau juga salah satu
pemimpin Serikat Islam juga teman H.O.S Cokroaminoto dan H.Agus Salim. Sekolah yang berlafaskan Islam inilah Sugondo menamatkan pendidikannya. Sugondo juga menamatkan
pendidikan dalam Kleine Amternar Eropen yaitu ijazah Bahasa Belanda untuk pegawai rendah dengan nilai terbaik.
21
20
Ki Drs H. Asuhaimi S, Ki Sugondo Kartoprojo: Pendidik, Perintis dan Pejuang, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1986, hal. 3
21
Ibid., hal.4
Ki Hajar Dewantara mengajarkan Sugondo pelajaran pendidikan Etika dan Ketatanegaraan. Di dalam pengajarannya, Ki Hajar
Dewantara menekankan bagaimana seharusnya etika manusia yang merdeka. Beliau menegaskan bahwa orang Indonesia hendaknya memiliki rasa persatuan yang kokoh, kreatif,
aktif dan jujur serta rela berkorban demi kebenaran dan keadilan. Ajaran yang diajarkan Ki Hajar Dewantara sangat meresap dalam kehidupan Sugondo. Hal ini terbukti dari beberapa
Universitas Sumatera Utara
peristiwa berikut yang sangat mempengaruhi kepribadian Sugondo selama mendapat didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara. Peristiwa-peristiwa berikut adalah:
Ketika di sekolah, Sugondo memiliki guru pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah
Umum yaitu Bapak Suwandi yang pada saat itu juga menjadi penasehat dari Surat Kabar De Clock. Ketika itu surat kabar tersebut mendapat sorotan tajam dari
pemerintah Belanda karena dianggap menyebarkan berita yang kontroversi, Suwandi yang saat itu menjadi takut terhadap pemerintahan Belanda kemudian
memilih untuk melarikan diri. Ki Hajar Dewantara yang melihat sikap pengecut Suwandi menjadi murka dan menasehati murid-muridnya agar jangan mencontoh
sikap guru mereka tersebut. Ki Hajar Dewantara menekankan kepada murid- muridnya bahwa manusia itu hendaknya memiliki budi yang luhur dan berani
bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Ki Hajar Dewantara menegaskan kepada murid-muridnya hanya orang penakut yang lari karena mengaku salah tetapi
jika kita benar maka kita haruslah berani.
Pernah suatu ketika Sugondo ditugaskan untuk memimpin kegiatan di sekolah. Sugondo dan kawan-kawan mempersiapkan segalanya sebaik mungkin dan serapi
mungkin, tetapi tiga hari sebelum kegiatan dilaksanakan ayah dari Ki Hajar Dewantara yaitu Kanjeng Pangeran Harya Suryaningrat meninggal dunia. Melihat
segala persiapan telah selesai, biaya telah banyak dikeluarkan dan semua undangan telah disebar, Sugondo merasa kegiatan tersebut haruslah tetap dilaksanakan maka
Sugondo memberanikan diri meminta izin kepada Ki Hajar Dewantara untuk tetap membiarkan acaranya berlangsung, dan ternyata Ki Hajar Dewantara
mengizinkannya. Sepuluh hari setelah acara selesai diselenggarakan, Ki Hajar Dewantara memanggil Sugondo. Ki Hajar Dewantara menasehati Sugondo apabila
ada kejadian seperti itu hendaknya jangan bertanya atau meminta izin kepada yang
Universitas Sumatera Utara
sedang mengalami musibah tetapi mintalah nasehat dari orang tua yang lainnya saja. Ki Hajar Dewantara berpesan janganlah menambah duka kepada orang yang
mendapat kemalangan.
Ketika Sugondo duduk dibangku sekolah rendah, Sugondo senang naik sepeda ontel. Ketika sedang mengendarai sepedanya, Sugondo tidak sengaja menabrak
seorang anak Belanda. Anak Belanda yang tertabrak itu terjatuh dan kesakitan, tetapi karena pada saat kejadian anak Belanda itu sendirian, dia memilih untuk diam
dan tidak berbuat apa-apa kepada Sugondo. Tetapi keesokkan harinya, anak Belanda itu membawa kawan-kawannya dan mendatangi Sugondo. Mereka
mengeroyoki Sugondo sampai jatuh ke parit. Mengalami kejadian yang memilukan tersebut, dan melihat ketidakadilan yang diterimanya, Sugondo berjanji kepada
dirinya untuk belajar bela diri dan rajin berolahraga agar orang tidak berlaku semena-mena kepada dirinya lagi. Setelah kejadian tersebut Sugondo rajin latihan
pencak silat dan siap digunakan kapan saja demi membela dirinya. Untuk mempraktekkan kemampuannya Sugondo pernah memimpin kawan-kawannya
berkelahi dengan anak-anak Belanda. Perbuatan tersebut dilakukan Sugondo untuk mengembalikan harga dirinya dan di perkelahian tersebut anak-anak Belanda itu
kalah. Melihat kekalahan anak-anak Belanda tersebut, Sugondo semakin sadar bahwa Belanda tidaklah istimewa, mereka tetap saja manusia biasa. Ki Hajar
Dewantara yang mengetahui perbuatan murid-muridnya tidaklah marah tetapi menuruti kehendak murid-muridnya. Sugondo sendiri selalu mengenang kejadian
tersebut dan dipraktekkannya di dalam kehidupannya.
Bukan hanya Ki Hajar Dewantara saja yang menjadi guru dari Sugondo, namun ada Bapak Prono Widigdo yang mengajarkan pelajaran Sejarah Babat Tanah Jawa dan
Universitas Sumatera Utara
Bapak Oesman Sastro Amidjojo. Pada saat itu kedua guru Sugondo tersebut juga merupakan tokoh pergerakan.
Bakat memimpin Sugondo telah diperlihatkannya semenjak Sugondo kecil dan
semakin nyata setelah dididik langsung oleh Ki Hajar Dewantara. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas satu Taman Dewasa, Sugondo mendirikan kelompok Klaver
Blad Van Vier atau kelompok perdamaian dan ketertiban. Kelompok ini terdiri dari empat orang anggota. Alasan Sugondo mendirikan kelompok ini adalah sebagai
saingan dari kelompok Tengkorak atau yang dikenal dengan kelompok Doodskep yang lebih dulu ada. Kelompok Tengkorak ini selalu membuat keonaran dan
perkataan-perkataannya selalu kasar dan kotor.
22
Pada tahun 1922, Sugondo masuk ke dalam organisasi kepanduan yang bernama Javansche Padvnders Organisation J.P.O. J.P.O kemudian bergabung dengan Jong Java
Padvinderiy J.J.P pada tahun 1924. Dalam kongres Jong Java akhir bulan Desember 1925, Sugondo turut aktif sebagai anggota dengan mengadakan kegiatan khusus mengenai jurusan
kepanduan. Kelompok Tengkorak ini terdiri
dari para remaja yang berusia 17 tahun ke atas. Demi menghindari pertikaian diantara kedua kelompok ini, Bapak Suwandi mengajak kedua kelompok ini untuk
mengadakan semacam dialog. Dalam dialog yang diadakan akhirnya kelompok Tengkorak menyadari kesalahannya. Setelah itu kedua kelompok ini bersatu dan
selalu mengadakan kegiatan diskusi. Diskusi diadakan setiap bulan dan membahas tentang pelajaran yang sulit ataupun kejadian-kejadian yang terjadi di kelas.
Sugondo yang menjadi pemimpin kelompok diskusi ini.
Selain aktif di dalam organisasi kepanduan dan kepemudaan, Sugondo juga ikut terlibat di bagian kesenian dan olahraga. Dalam olahraga, Sugondo mengikuti bidang
22
Ibid., hal.5
Universitas Sumatera Utara
gymnastic, gerak jalan serta berkereta angin dari kota ke kota. Sugondo pun senang ikut kegiatan berkemah atau senang berjalan kaki.
Dalam bidang kesenian, Sugondo menyenangi seni menulis cerita terutama untuk cerita sandiwara. Sugondo juga tidak segan mementaskan cerita yang ditulisnya sendiri walaupun
tidak ikut bermain di dalamnya. Namun sekali-kali Sugondo juga ikut terlibat di dalam sandiwara lawak. Ketika menjadi anggota pengurus Indonesia Muda, Sugondo terpilih
sebagai ketua dari Toneel Vereeniging Mataram, di mana akan mengadakan sebuah pertunjukkan pada bulan April 1929 dengan judul “Kakek Yang Merindukan Cucunya Yang
Tinggal di Kota Digul”. Ketika Sugondo sedang membacakan pidato pembukaan, tiba-tiba puluhan polisi masuk dari semua pintu yang dipimpin oleh wedana polisi dari PID Politieke
Inchlichtingen Diens. Pertunjukkan tersebut dilarang dan seluruh pemain serta penonton dibubarkan, setelah itu Sugondo sendiri ditangkap untuk diperiksa PID.
23
23
Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, Medan:Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara,1984,hal.427
Sampai sekarang belum ditemukan alasan penangkapan Sugondo tersebut, namun melihat cerita yang akan
dipentaskan, sepertinya Pemerintah Belanda takut cerita tersebut membangkitkan rasa nasionalisme di benak para penonton yang hadir.
2.3 Falsafah Hidup Ki Sugondo Kartoprojo